[Catatan Akhir Tahun] Satu hal yang tidak bisa dilupakan terjadi di tahun 2018 ini adalah kisah musibah kehilangan yang keluargaku alami. Yaitu kisah Pencurian di rumahku. Kejadiannya terjadi di pertengahan bulan Agustus 2018, waktu ketika aku tidak berada di Indonesia karena sedang menjalankan ibadah haji di tanah suci berdua suamiku.
Entahlah.
Meninggalkan anak-anak saja di rumah itu terkadang, bikin orang tua model aku jadi kepikirian.
Sebelum berangkat haji (jadwal kloterku adalah tanggal 2 agustus 2018 berangkat hajinya), aku sudah mempersiapkan segalanya buat anak-anakku.
Kami memang tidka menggunakan tenaga pembantu rumah tangga. Dan anak-anakku tidak lagi memiliki nenek dari kedua belah pihak (baik nenek Anang maupun nenek Ine orang tuaku, atau Eyang Kakung dan Eyang Putri orang tua suamiku. Dan aku naik haji dengan keluargaku, yaitu kakakku dan suaminya, serta adik tepat di bawahku dan suaminya. Jadi, masing-masing otomatis meninggalkan anak-anak mereka di rumah tanpa orang tua juga; jadi tidak ada saudara yang bisa diharapkan menjaga anak-anakku di rumah. Ada sih adik bungsuku, tapi dia punya 2 balita dan bekerja sebagai pedagang juga. Jadi, otomatis tidak bisa dititipi. Saudara lain, kakak-kakaknya suamiku kebanyakan sudah pada tua semua usianya.
Suami, berkali-kali meyakinkan aku, bahwa "Anak-anak sudah besar, De. Mereka bisa kok insya Allah saling jaga satu sama lain. Apalagi sekarang Ibam juga sudah menikah jadi ada Danti di rumah."
Baiklah. Meski pernyataan yang terakhir ini tidak bisa dijadikan patokan bahwa ketenangan akan muncul di dalam hati. Status putraku ini memang sudah menikah. Tapi, dia menikah muda. Pasangan pengantin baru ini menikah di usia mereka yang ke 22 tahun; dan perilaku mereka masih seperti anak-anak menurutku. Yap. Anakku menikah karena tidak mau pacaran; jadi mereka pun menikah muda dan menjadi pasangan muda yang halal. Tapi, bukan berarti mereka sudah dewasa sih.
Entahlah.
Meninggalkan anak-anak saja di rumah itu terkadang, bikin orang tua model aku jadi kepikirian.
Sebelum berangkat haji (jadwal kloterku adalah tanggal 2 agustus 2018 berangkat hajinya), aku sudah mempersiapkan segalanya buat anak-anakku.
Kami memang tidka menggunakan tenaga pembantu rumah tangga. Dan anak-anakku tidak lagi memiliki nenek dari kedua belah pihak (baik nenek Anang maupun nenek Ine orang tuaku, atau Eyang Kakung dan Eyang Putri orang tua suamiku. Dan aku naik haji dengan keluargaku, yaitu kakakku dan suaminya, serta adik tepat di bawahku dan suaminya. Jadi, masing-masing otomatis meninggalkan anak-anak mereka di rumah tanpa orang tua juga; jadi tidak ada saudara yang bisa diharapkan menjaga anak-anakku di rumah. Ada sih adik bungsuku, tapi dia punya 2 balita dan bekerja sebagai pedagang juga. Jadi, otomatis tidak bisa dititipi. Saudara lain, kakak-kakaknya suamiku kebanyakan sudah pada tua semua usianya.
Suami, berkali-kali meyakinkan aku, bahwa "Anak-anak sudah besar, De. Mereka bisa kok insya Allah saling jaga satu sama lain. Apalagi sekarang Ibam juga sudah menikah jadi ada Danti di rumah."
Baiklah. Meski pernyataan yang terakhir ini tidak bisa dijadikan patokan bahwa ketenangan akan muncul di dalam hati. Status putraku ini memang sudah menikah. Tapi, dia menikah muda. Pasangan pengantin baru ini menikah di usia mereka yang ke 22 tahun; dan perilaku mereka masih seperti anak-anak menurutku. Yap. Anakku menikah karena tidak mau pacaran; jadi mereka pun menikah muda dan menjadi pasangan muda yang halal. Tapi, bukan berarti mereka sudah dewasa sih.
Tuh. Pasangan suami istri berusia muda di atas lah yang aku maksud.
Jadi, mereka menikah muda agar bisa pacaran halal lalu perlahan belajar berumah tangga.
Aku sendiri, sama sekali tidak merasa mendapat menantu karenanya. tapi lebih seperti merasa mendapat tambahan anak baru.
Akhirnya, sebelum berangkat aku menyetok makanan di rumah dengan beberapa makanan yang tahan lama seperti frozen food, rendang, dendeng, dan ayam ungkep serta makaroni skotel. Juga minyak goreng, keperluan dapur seperti beras, kecap, telur, garam, gula, dan bumbu-bumbu. Dan suami membekali anakku dengan uang belanja.
"Pokoknya, jangan kebanyakan makan mie instan ya. Usahain masak atau beli lauk saja sekalian. Jangan makan mie instan kebanyakan."
"Uangnya disimpan yang baik. Dipecah ya nak, jangan dikumpulkan jadi satu jadi tidak serta merta habis begitu saja."
"Ini nih, nomor cepat dial di pesawat telepon. No 1 nomor hape ayah, nomor 2 nomor hape ibu, nomor 3 dan 4 error, belum diperbaiki, nomor 5 buat manggil tukang gas dan aqua isi ulang. Jadi kalau gas dan aqua galon habis, langsung saja pencet RD lalu 5. Oke?"
Pokoknya, wanti-wantinya panjang banget. Termasuk pesan wanti-wanti:
"Jangan lupa ya, jika kalian mau pergi perhatikan listrik, kompor gas, dan pintu. Double cek jangan lupa."
Begitulah.
Selanjutnya, aku pun ber tawakkal saja. Mau bagaimana lagi? Aku hanya bisa berdoa setelah menyampaikan aneka macam nasehat, peringatan, wejangan dan pemberitahuan pada anak-anakku. Selepas aku dan suami berangkat nanti, yang bisa kami lakukan adalah menitipkan anak-anak dalam perlindungan Allah SWT.
Lalu, kami pun berangkat haji.
Hatiku penuh dengan rasa terharu ketika berkumpul di Gedung yang terdapat di bilangan Gatot Subroto Jakarta tempat keberangkatan rombongan haji Travel PATUNA MEKAR DJAYA. Baiklah. Mulai saat itu, ketika bis berangkat membawa rombongan dan meninggalkan semua lambaian orang-orang yang akan kami tinggal di tanah air, aku konsentrasi meluruskan niat. BISMILLAH. La hawla wala kuata illabillah.
Aku harus fokus pada ibadah hajiku dan tidak boleh memikirkan apapun, termasuk memikirkan anak-anakku.
Lalu pesawat membawaku terbang menuju ke tanah suci.
Di Tanah Suci, aku meremove diriku sendiri dari berbagai grup chat media sosial. Aku juga log out dari berbagai akun media sosial. Yang aku pertahankan adalah grup keluarga intiku dan keluarga kandung ku.
Sungguh deh. Di antara semua grup, maka grup saudara kandung adalah grup yang harus dipertahankan oleh kalian karena grup inilah yang kelak akan melakukan sesuatu pertama kali ketika kalian mendapat musibah atau kemalangan.Lewat sepekan keberadaanku di Mekah, suatu malam, aku ingin melakukan video call dengan anak-anakku lewat aplikasi video call yang ada di aplikasi Whats App.
Aku melakukannya pada pukul 21.00 waktu Mekah, jadi sekitar pukul 01.00 waktu Indonesia bagian barat (dini hari). Mereka belum tidur.
Lembut, anak pertamaku yang cowok dan sudah menikah bertanya padaku, "Ibu sudah makan?"
Aku menjawab belum. Karena memang pukul 21.00 waktu Mekah, aku dan suami baru saja tiba kembali di hotel setelah menjalankan ibadah shalat Isya di Masjidil Haram Mekah.
"Kenapa, Bam?"
"Nggak apa-apa. Ada yang mau kami bicarakan." Anak sulungku tampak canggung mengatakan kalimat ini. Tenang tapi canggung. Dan itu malah membuatku bertanya-tanya penasaran.
"Ngomong saja sekarang."
"Nggak ah. Nanti saja setelah ibu dan ayah makan." Lalu tidak lama, menantuku mengambil alih handphone yang dipegang anakku dan berbicara lewat video call.
"Sudah, ibu dan ayah makan saja dulu. Istirahat dulu, santai saja makannya. Nanti kami tungguin kok."
"Ngomongin masalah apa sih kok harus nungguin ibu ama ayah makan segala? Ngomong langsung saja sekarang."
"Nggak. Biar ibu dan ayah makan dulu. Nanti kalian sakit lagi. Nanti kita bicara lagi."
Lalu pembicaraan terputus.
Jika kalian jadi aku, kalian bisa nggak makan dengan tenang dan kenyang? Alhamdulillahnya, aku bisa sih makan dengan tenang dan kenyang. Hehehe. Tapi, tetap saja sih makan sambil menduga-duga bersama suamiku.
"De... kira-kira anak-anak mau ngomong apa ya?" suamiku yang memulai pembicaraan terlebih dahulu. Aku ikut berpikir sambil mengunyah makanan.
"Mungkin mereka mau minta ijin buat liburan ke Belitung kayaknya. Sebelum berangkat soalnya Ibam sempat bilang ke aku, kalau ada rezeki boleh nggak dia membawa adik-adiknya berlibur bersama ke Belitung pas kita naik haji."
"Kok... mereka nggak bilang ke aku?" suami sedikit baper.
"Itu sebabnya dia mau ngomong ama kita sekarang mas. Kayaknya sih masalah itu. Sudah, biasa saja. Karena anak-anak kan memang lebih terbuka sama aku selama ini, jadi itu sebabnya mereka test water dengan bertanya padaku dulu."
Lalu kami lanjut makan.
Perjalanan menuju ke masjidil Haram sebenarnya tidak terlalu jauh dari hotel tempatku menginap (Hotel yang terletak di tower Zamzam, yaitu hotel Swissotel Mekah), tapi manusianya padat sekali, dan cuacanya juga panas karena memang masih musim panas di Arah Saudi, jadi cukup menguras tenaga dan keringata dan energi. Itu sebabnya kami berusaha untuk makan lengkap agar terpenuhi semua asupan tubuh).
"Eh... mas... jangan-jangan...?" Aku melontarkan dugaan kedua. Membuat suamiku berhenti makan dan mendongakkan kepalanya padaku menunggu kalimat lengkapku keluar dari mulutku.
"Jangan-jangan, anak kita dilamar orang?"
"Hah?" Suami bengong lalu tertawa terpingkal.
Hehehe.
Jujur saja. Aku dan suami memang melarang anak-anak kami untuk berpacaran. Tapi, konsekuensi dari larangan ini adalah, kami harus siap jika anak-anak akan menikah di usia muda. Tidak mengapa menikah di usia muda, karena itu lebih menyelamatkan mereka di kehidupan akherat nanti. Daripada membiarkan mereka melakukan pacaran lalu terjerumus pada perzinahan tak sengaja. Nah, setelah melalui keseruan menikahkan anak pertamaku di usia mudanya, maka putri keduaku yang sudah kuliah pun sepertinya harus membuatku mulai bersiap-siap juga.
"Sudah, Cepat selesaikan makanannya, jadi kita bisa melakukan video call lagi dengan anak-anak. Jadi jelas, mereka mau ngomong apa daripada terus menduga dan makin malam dugaannya makin ngaco." kata suamiku. Membuatku segera ngebut makan. Setelah itu kembali ke kamar hotel. Dan mulai melakukan hubungan video call lagi.
"Ayah ibu sudah makan?" itu sapa menantuku membuka percakapan kami lewat video call whats app.
"Sudah. Kalian mau ngomong apa?" Di layar handphoneku, aku melihat menantuku meletakkan handphoneku di atas bantal sehingga terlihatlah 3 wajah yang sedang bersandar di dinding kamar, di atas tempat tidur. Wajah anak sulungku, menantuku di tengah, lalu wajah putri keduaku yang sudah kuliah.
"Hawna sudah tidur ya?" Hawna adalah putri bungsuku.
"Sudah bu."
"Dia sehat?" tadi waktu makan, aku dan suami sempat menduga jangan-jangan putri bungsuku ini sakit dan harus diopname di rumah sakit. Putri bungsuku ini memang masih rentan tubuhnya terhadap penyakit karena punya daftar alergi cukup banyak.
"Sehat bu alhamdulillah." Fiuh. Alhamdulilllah. Lalu apa dong kok sampai sebegitu penting tapi kami harus makan kenyang dulu baru akan diberitahu?
"Ayah, ibu, ada sesuatu yang akan kami beritahu. Tapi, kami ingin ayah dan ibu tidak kaget atau khawatir karena insya Allah keadaan kami disini semua dalam kondisi baik-baik saja dan sehat-sehat semua." Aku deg-degan. Menunggu dan tidak berani menyela pembicaraan dengan komentar tak berguna.
"Ayah, ibu, alhamdulillah, kami baru saja kecurian tadi sore."
"HAH??? Innalillahi wa innalillahi rajiun." Aku dan suami kaget, tapi langsung terhenyak tak bisa bicara.
Aku dan suami kehabisan kata-kata.
Kami hanya bisa menatap layar handphone yang menampakkan wajah 3 anak menantuku yang tampak masih kaku menyandar di dinding kamar.
Ah. Aku baru sadar, mereka bersandar di dinding kamar putri bungsuku, di atas tempat tidurnya.
Ah. Kenapa aku tidak curiga kenapa tumben banget putri bungsuku tidak melakukan video call bersama kakak-kakaknya.
Ah. Kenapa aku tidak memperhatikan wajah lesu dan separuh tegang anak-anakku sejak pertama kali aku melakukan video call dengan mereka?
Ah. Mungkin itu sebabnya putri bungsuku tidak ada bersama mereka saat ini.
Perlahan, otakku yang mengalami rasa terkejut segera berusaha bangkit lagi.
Kalian tahu tidak? Ketika ada test kepribadian, logika lebih tinggi skor-nya ketimbang emosiku. Artinya, pada banyak kondisi, logikaku lebih cepat berfungsi ketimbang kondisi emosionalku. Itu sebabnya ketika ada sesuatu yang terjadi di depan mataku, aku bisa bertahan terdiam dan "waras sendiri" di saat semua orang di sekelilingku menangis karena panik atau cemas. Aku juga bisa bergeming berusaha untuk netral di saat kondisi penuh emosional terjadi di sekitarku. Gara-gara hal ini, orang tuaku pernah bertanya padaku, "Apakah kamu punya hati, De? Kenapa kamu bisa diam tidak berpihak?"
Jadi. Aku tidak tahu apakah ini kelebihanku atau kekuranganku. Tapi saat kejadian video call itu, aku amat sangat bersyukur karena punya kepribadian seperti itu.
"Innalillahi wa inna ilaihi rajiun." Kembali kalimat ini aku ulang untuk kedua kalinya. Lalu aku menatap anak-anakku lewat layar handphone.
"Kalian gimana keadaannya disana? Ada yang luka atau apa gitu?" Ujarku tenang.
"Nggak bu. Alhamdulillah kami semua sehat dan tidak kurang suatu apapun. Maafin kami ya bu. Karena kami tidak bisa menjaga amanah ibu ayah untuk menjaga rumah ayah ibu."
Kalimat itu.... kalimat ini yang tiba-tiba saja membuatku ingin menangis terharu. Masya Allah. Subhanallah. Alhamdulillah.
"Nggak. Barang yang sudah hilang, insya Allah akan diganti Allah jika kita semua sabar dan ikhlas. Ibu ayah justru mengkhawatirkan kondisi kalian disana. Apa saja memangnya yang hilang?"
"Notebook bu. Semua notebook di rumah ini hilang dibawa maling. Juga semua tab dan beberapa gadget. Juga perhiasan emas Dhanti. Baru itu saja sih yang ketahuan pasti dibawa maling."
"Innalillahi wa innalillahi rajiun." Kembali kalimat ini keluar dari mulutku dan mulut suamiku.
"Tapi semua sudah diatasi kok alhamdulillah. Pokoknya ayah dan ibu fokus saja pada ibadah hajinya ya. Nggak usah terdistraksi dengan kejadian ini. Konsentrasi saja dengan ibadah kalian."
Pertanyaannya, memangnya bisa semudah itu kembali fokus tanpa terdistraksi? Sekali lagi, dalam hati, aku kembali mengucapkan kalimat Innalillahi wa innalillahi rajiun. Rasanya, kalimat ini benar-benar memberi kekuatan tersendiri buatku.
"Tapi ibu sebenarnya memikirkan kalian. Ibu khawatir kalian kenapa-kenapa sih? Barang yang hilang bisa dicari, tapi kalian? Ibu sayang banget sama kalian. Alhamdulillah pencuri hanya mengambil barang. Alhamdulillah kalian semua baik-baik saja. Itu yang penting." Aku setengah mati berusaha menahan tangis kala itu.
FOKUS ADE.
KAMU SEDANG MENJALANKAN IBADAH HAJI.
FOKUS.
Kalimat ini terus aku tanamkan dan bor di dalam hatiku, di dalam kepalaku. Tidak boleh berpikir yang tidak-tidak... tidak boleh! Karena ini tanah haram! Ya Allah.... dalam hati lalu aku mulai membaca Al Fathihah. Lanjut dengan doa, "Allah lindungi anak dan menantuku. Allah lindungi anak dan menantuku." Terus dan terus doa ini aku lantunkan di dalam hatiku. Penuh pengharapan. Penuh khusyuk.
"Mungkin, ini teguran untuk kita semua." Akhirnya, setelah diam-diaman beberapa saat, karena bingung mau ngomong apa, aku menatap layar handphone, menatap wajah anak dan menantuku. Kedua anakku sejak tadi terdiam, hanya menantuku saja yang aktif berbicara.
"Mungkin, ini teguran karena kita kurang berhati-hati. Ibu selalu pesan pada kalian, jangan lupa cek lagi kunci pintu dan jendela. Listrik. Gas. Terus... bisa juga karena kita kurang sedekah. Coba mulai besok tambah lagi sedekahnya. Lebih ikhlas lagi. Atau... bisa juga ini ujian agar kita lebih bersabar. Yang sabar ya semuanya disana. Ibu ayah nggak bisa bersama kalian."
"Iya bu.... maafkan kami ya."
"Nggak. Ibu dan ayah yang harusnya minta maaf. Dhanti, maaf ya, perhiasan emas kamu jadi hilang dicuri orang. Maaf ya."
Lalu, kami saling meminta maaf. Ikhlas itu hadir bermula dengan saling meminta maaf dan memaafkan satu sama lain. Dan ini terjadi di tanggal 10 Agustus 2018.
Akhirnya. video call pagi itu harus berakhir karena di Indonesia, sudah menunjukkan pukul 02.30 pagi, sementara di Mekah sudah hampir masuk tengah malam.
Sungguh deh.
Meski kami semua tahu bahwa kami baru saja kehilangan harta, tapi kebersamaan itu malah menumbuhkan rasa sayang yang lebih menjulang dan berakar lebih dalam dan panjang.
Jika boleh aku membanggakan anak-anak dan menantuku, maka aku akan berkata, aku bangga dengan anak-anakku karena mereka bisa segera berlaku ikhlas dan bisa segera bangkit setelah mengalami shock untuk move on kembali.
Selanjutnya, aku dan suami mencoba untuk fokus dengan ibadah haji kami. Kami ikhlas dengan apa yang terlepas dan hilang dari genggaman kami. Dan berdoa agar rahmat dan kasih sayang Allah terus terlimpah pada keluarga kami. Aku tawakkal, aku ikhlas.
Tapi, hari ketika akhirnya perjalanan ibadah haji selesai, yaitu hari ketika kami akhirnya berkumpul di Jeddah 2 hari menjelang kepulangan ke Indonesia, aku tidak bisa lagi menahan tangisku karena merindukan anak-anak dan menantuku. Di dalam bis menuju Jeddah, aku terus menangis diam-diam karena merindukan mereka. Melihat foto mereka yang masih tersimpan di dalam handphoneku, hatiku rasanya seperti ingin meledak karena rasa rindu yang penuh.
Tahun 2018, adalah tahun dimana aku tahu, bahwa ikhlas itu adalah satu-satunya yang bisa membuat kita bisa segera bangkit dari rasa kehilangan dan move on untuk mendapatkan yang lebih baik lagi, menggantikan yang hilang.
Itulah kenapa jadi Mba Ade blogger favoritku, setiap cerita kesehariannya kasih insight buat aku. :) setuju mb Ade, aku dan suami sering ditipu bahkan kecurian juga pernah dari HP sampe motor tapi bagi kami ya sudah IKHLAS karena Alloh pasti kasih gantinya nanti itu yg selalu aku tanamkan
BalasHapusTerima kasih banyak Herva...makasih ya utk apresiasinya yang bikin aku tetap semangat menulis blog
HapusYeay semangat mba Ade selalu suka sama ceritanya, sama detail kejadian yang selalu dituangkan ada "rasa" dalam setiap cerita mba Ade :)
Hapussubhanallah...sungguh mengharukan, sangat mengedukasi, thanks mbak ade...semoga selalu sakinah mawaddah warrahmah...
BalasHapusini dari aku mbak @Faidzul Muizzah
wah... Faidzul... alhamdulillah, dikunjungi oleh dirimu. Senangnya.
BalasHapusSyukurlah semuanya sehat, selamat ya mbak Ade. Terharu baca postingan mbak Ade ini *meski dulu udah pernah cerita juga di WAG.
BalasHapusJadi inget novel mbak Ade, yang mengajarkan tentang keikhlasan hati. Semoga kita semua selalu dilindungiNya. amin.
Masyaallah aku speechless. Terharu sama kisah nya ini mba. Ilmu ikhlas itu emang yang paling susah ya mba, tapi kalau kita selalu berserah diri sama Allah, insyaallah, ikhlas itu akan terasa.
BalasHapusYang aku suka dari mb ade selalu punua cerita yang memberi makna dan real bamget, dikemas dalam bahasa sederhana yang renyah.
BalasHapusMbaaaa, mau dong jadi mantunya *eh plak! hahahaha
BalasHapusSubhanallah, saya bisa banget merasakan kelembutan mba Ade dalam mengasuh anak-anaknya.
Semuanya tumbuh jadi anak yang baik, tau sikon, gak mau kedua orang tuanya kepikiran sebelum makan.
Semoga diberi ganti yang lebih berkah ya mba :)
Entah apa jadinya kalo itu kejadian sama aku, mbaak. Pastinya nggak bisa setenang mbak Ade.
BalasHapusInsyaAllah akan ada gantinya yang labih baik dari Allah ya, mbaak
Insya Allah akan diganti oleh-Nya dengan yang kebih baik ya mba. Memang ikhlas itu paling sulit dilakukan tapi kita harus bisa. Semuanya adalah milik-Nya
BalasHapusTerima kasih sharingnya mba Ade.. ilmu ikhlasnya luar biasa. Alhamdulillah diberkahi anak-anak yang kuat yaa. Semoga Mba Ade selalu sehat dan dilindungi Allah SWT :)
BalasHapusIkhlas pastinya buka sesuatu yang mudah seperti mengucapkannya ya, Mbak. Tetapi, alhamdulillah anak-anak selamat. Untuk harta yang hilang, semoga diberi penggantinya. aamiin
BalasHapusMba Ade, kaget bener memang mba pas dapat kabar kayak gitu. Tapi anak anak alhadulillah baik baik saja ya. Dan malah mereka yang merasa bersalah. Anak hebat, ortu pun hebat ;)
BalasHapusYa Allah mbk, nggak kebayang rasanya ninggalin anak anak saat ibadah haji terus rumah kemalingan. Pasti pikirannya nggak karu karuan ya mbk. Tapi salut sama mbk Ade, tetap fokus sama ibadah. Insya Allah akan diganti dengan yang lebih baik, aamiin
BalasHapusSubhanallohh, hikmah yg luar biasa di setiap kejadian ya Mak. jadi makin hangat sesama anggota keluarga. tidak ada yg tidak diganti kembali sama Alloh, setelah diambil ya Mak. Semoga mabrur hajinya Mak aamiin
BalasHapusYa Allah.. musibah y mba pasrahkan ke Allah semoga dpt pengganti yg lbih baik.. aamiin.. yg gk bikin tenag katena Kita gk Ada d rumg trs khawatir sama keadaan anak2 duh��
BalasHapusAllahu Akbar...aku deg2an bacanya. semua notebook, gadget, perhiasan di curi..orang yg curi kok bisa masuk ya. jadi was2 deh kalau udah kejadian kaya gini. semoga besok mendapatkan ganti yg lebih besar lagi dr yg hilang ya mba. Alhamdulillah semua penghuni rumah aman dan selamat. patut di syukuri....
BalasHapusTurut prihatin dengan kehilangannya ya Mbak Ade. Tapi jujur saya terharu sekali dengan bagaimana Mbak Ade berkomunikasi dengan anak dan menantu. Tampak akrab namun tetap saling menghormati ya Mbak....
BalasHapusMerindinh bacanya. Soalnya tetangga2ku baru saja rumahnya di masuki maling dan beberapa lainnya kehilangan motor. Semoga Allah ganti dg rejeki melimpah yaa mbak.
BalasHapusSedih aku baca postingan ini. Pernah juga keluarga saya mengalami kejadian yang hampir mirip seperti ini pas bulan Ramadhan. Ya intinya harus ikhlas aja. Dan semoga kita tetap bisa mengambil hikmah dengan apa yang sudah terjadi.
BalasHapusDuh Mbak. Udah kebayang kebalikannya sama mamaku. Pasti mamaku wis panik, ngomel dan sebagainya.
BalasHapusSoalnya pernah antingku saja hilang bisa jadi masalah berbulan bulan.
Mba Ade ga punya anak cowok lagi kah? Hiks...
MasyaALLAH ini memberi hikmah yang luar biasa ya untuk kita, supaya tidak mengutuk musibah. kalau aku di posisi itu pasti panik, marah dan lain lain
BalasHapusInnalillahi....aku bingung mau komen apa, selain setuju dan kagum memang apa yg Mba dan keluarga lakukan ..ikhlasnkrn semua memang titipan jangankan harta diri kita oun bukan milik kita...tp pasti prakteknya butuh proses sih utk bs ikhlas ya Mba.
BalasHapusIkhlas itu kudu dijaga dan dipelihara. Salut sama anak2 itu pasti ya Mak. Semoga Allah ganti dg yang lebih baik dan tetap kudu jaga diri dan juga milik kita biar orang juga gak ambil apa yg kita punya karena lalai
BalasHapusInnalillahi.. ternyata banyak juga cerita yang terjadi saat mbak Ade sedang menjalankan ibadah haji. mbak Ade hatinya luas sekali ya Allah.. kalau aku udah galau berat itu :(
BalasHapusAku suka sama Mbak Ade kalau menghadapi sesuatu itu santai gak dibikin susah atau stress. Insya Allah ada penggantinya ya mbak atas smeua barang2nya yang hilang kemarin, Allhamdulillah anak-anak aman semua ya
BalasHapusInnalilahi, jadi terharu bun, hampir sama dengan kejadian dirumaku dulu bund, pas rumah kosong kebobolan, padahal itu bulan puasa. Untungnya ibu pas lagi gak ada dirumah, karena akan kuatir kalau terjadi apa-apa sama keluarga.
BalasHapusAku belajar menikmati setiap musibah dan ujian hidup keluarga kami, jadi bisa merasakan duka hati mba Ade kala di tanah haram. Membacanya seperti merasakan kekompakan yang harusnya ada pada setiap keluarga di Indonesia. Jadi nggak ada alasan tercerai berai karena musibah keluarga. Dan aku pun memiliki tingkat logika yang lebih besar prosentase nya dibanding emosi. Adikku malah yang protes, apakah aku punya hati, hihiii
BalasHapusBaca kisah Mba Ade, ikutan deg-degan dan lutut ikut lemas. Masya Allah, salut dengan keluarga ini, teuratama Mba Ade dan suami yang udah bisa mendidik anak-anak menjadi begitu dewasa. Huhuu, aku jadi malu, apa-apa seringnya panik duluan dan mengedepankan emosi.
BalasHapusMakasih banget sharingnya ya Mbaaa, ditunggu kisah-kisah lainnya. Peluk jauuuhhh :*
Alhamdulillah anak2 gpp ya mbak Ade. InsyaAllah yang hilang akan diganti yg lbh baik. Emang gak mudah mengalami hal2 kyk gtu. Salut sama mbak Ade dan suami yg sabar menghadapi ujian, insyaAllah mabrur ya ibadah hajinya aamiin
BalasHapusAku percaya setiap kejadian pasti ada hikmah.
BalasHapusMemang perlu waktu untuk bisa memahaminya.
Innanilahi wainnailaihi rojiuun. Kejadian telah ditakdirkan terjadi pd peluarga mbak Ade. Md2an Allah menvganti dan mencukupkan rezeki mbak Ade sekeluarga. Aamiin
BalasHapusYa Allah padahal anak udah gede-gede ya pas ditinggal haji. Apalagi aku anaknya masih kecil2. Makanya nahan dulu mau daftar haji.
BalasHapusMba Ade, aku ikut terharu saat baca percakapanmu dengan anak-anak saat membicarakan kehilangan itu. Tentunya nyesek banget ya, mana posisi sedang menjalankan ibadah haji gitu.
BalasHapusSemoga ikhlas kalian sekeluarga bisa menjadi penambah ketakwaan. Dan semoga yang hilang segera digantikan dengan yang lebih baik lagi.
Ya allah aku terharu kak ade.
BalasHapusYg pertama keluar dr mulut anak ka ade justru alhamdulillah kami kecurian. Ditengah musibah masih bersyukur kepada Allah. Aku jadi belajar banyak hal. Betapa syukur dan ikhlas itu yg utama dari sekedar harta dunia
Terharu banget akuuu, Mbak Ade.. kebersamaan dan kehangatan keluarga mbak Ade terasa banget dalam cerita di atas. Dan banyak hal yang bisa dijadikan pelajaran. TFS ya, Mbak.. selalu suka dan baca komplit tulisan-tulisan mbak Ade ��
BalasHapus