[Keluarga] Traveling itu kan biasanya berkunjung ke suatu daerah untuk sesaat saja. Tapi, ada juga yang sampai beberapa kali dikunjungi hingga masuk kategori sering dikunjungi. Nah, berikut kota yang sering aku kunjungi selama ini.
Kota yang sering aku kunjungi sejak aku kecil hingga menjelang usia 50 tahun ini, ada beberapa ternyata setelah diingat-ingat sekarang. Lucu juga ya mengingat-ingat kenangan. Aku nyaris lupa bahwa ternyata aku pernah punya kenangan melakukan traveling sejak masih kecil dulu.
Kota yang Sering Aku Kunjungi
1. SEKAYU
Ayahku berasal dari dusun di pinggir kota Palembang, yaitu di dusun Bumi Ayu. Ini sebuah dusun kecil di pinggir Sungai Musi, dan termasuk wilayah kabupaten Musi Banyuasin.Kabupaten Musi Banyuasin sendiri, ibukotanya adalah Sekayu. Dahulu, nyaris setiap 2 tahun sekali ayah mengajak kami sekeluarga untuk mudik pulang ke Bumi Ayu.
Perjalanan menuju Bumi Ayu tempo dulu memakan waktu cukup lama. Jika sedang musim kemarau, kami Bumi Ayu bisa ditempuh dengan mobil melalui jalan darat. Tapi, di musim hujan, dimana Sungai Musi sedang mengalami air pasang, di beberapa tempat air sungai naik dan menutupi jalan. Sehingga untuk bisa menuju ke Bumi Ayu kami harus menggunakan perahu getek dari Sekayu.
Inilah dusun ayahku: BUMI AYU. Unutk mencapai kesana, mau tidak mau harus melewati kota SEKAYU.
Dari Palembang menuju Sekayu, memakai waktu naik mobil sekitar 4 Jam. Dengan catatan, 4 jam itu disupiri oleh supir a la angkot Trans Sumatra ya. Mungkin, jika kalian tidak pernah naik mobil yang disupiri oleh supir angkot Sumatra, akan menganggap bahwa jarak tempuh 4 jam itu berarti jaraknya dekat. Salah. Itu jarak yang amat jauh, tapi supirnya asli bikin jantung kita terus berdebar-debar.
Salip sana.
Salip sini.
Ada lubang, dihajar. Jalan rusak, tetap dihajar.
Pokoknya bagi supir angkot sumatra, tidak ada yang namanya hambatan jalan. Separah apapun kondisi jalan, di depan mata supir angkot sumatra terasa mulus seperti jalan tol.
3 tahun lalu, aku sekeluarga mengunjungi Bumi Ayu, ternyata dengan mobil supir orang Jakarta, perjalanan ditempuh memakan waktu 6 jam. Hahahaha.
Nah. Dari Palembang ke Sekayu 3 jam, maka dari Sekayu ke Bumi Ayu memakan waktu 3 jam (di jaman sekarang yang kondisi jalannya mulus karena di Sekayu sekarang ada stadion Jaka Baring yang digunakan untuk PON dan SEA Games.
Jaman dulu, biasanya kami pergi setelah shalat shubuh dan sampai di Bumi Ayu maghrib. Di Sekayu, ibuku selalu membeli beberapa bahan makanan terlebih dahulu. Biasanya sih Tempe, Tahu dan Mie Instan. Mungkin karena ibu tahu, anak-anaknya tidak semuanya suka masakan berbahan dasar ikan.
Yap. Di dusun ayahku ini, Bumi Ayu, semua masakannya berbahan dasar dari Ikan. Ikannya fresh diambil dari Sungai Musi.
2. PALEMBANG
Untuk menuju ke Sekayu, mau tidak mau harus mampir di PALEMBANG.
Kota Palembang itu tempat orang-orang Bumi Ayu merantau untuk meneruskan sekolah atau bekerja. Saudara-saudaraku sudah banyak yang tinggal di Kota Palembang.
Sekarang, bahkan dusun Bumi Ayu isinya hanya orang-orang tua saja. Semua anak-anak mudanya sudah pindah ke Kota Palembang. Itu sebabnya jika berkunjung ke Bumi Ayu, tidak banyak perubahan yang terjadi di dusun ini. Kondisinya tidak berbeda dengan ketika aku masih kecil berkunjung ke sana. Bisa jadi karena hanya orang-orang tua yang bertahan di sana.
3. Bandung
Kedua orang tuaku sebenarnya berasal dari Sumatra Selatan semua. Bedanya, ayah dari Bumi Ayu, sedangkan ibu berasal dari Kayu Ara. Dusun Kayu Ara ini beda kabupaten dengan ayah, dia masuk wilayah Kabupaten Musi Rawas.
Tapi, ibu dibawa ke Bandung ketika berusia 3 tahun.
Hmm.
Jadi, ceritanya nenek Anangku dari pihak ibu adalah seorang pedagang sekaligus penjahit pakaian. Dia lama tinggal di Bandung sebagai perantau. Hingga akhirnya mengajak istrinya, yaitu Nenek Ine dari pihak ibuku untuk migrasi kembali ke dusunnya, yaitu dusun Kayu Ara. Maka, diboyonglah istri dan 2 orang anaknya, yaitu Uwak Husni Herawati (kakak ibuku) dan ibuku, Hosiah.
Tapi, nenek ine ternyata tidak cocok dengan udara dusun Kayu Ara. Nenek ine memang punya penyakit asma yang cukup parah. Karena terus menerus sakit-sakitan, maka oleh Anangku dibawa kembalilah Nek Ine ke Bandung lagi. Lalu, Anang bolak balik Bandung - Kayu Ara. Tapi, ya lelah sendiri sih karena memang jaraknya amat jauh (baca di atas ya untuk tahu seberapa jauh. Nah, di tahun 1950-an tentu saja kendaraan belum banyak jadi makin terasa jauh. Ibuku lahir di tahun 1947. Akhirnya, nenek Ine tinggal sendiri di Bandung, dan nenek Anangku menikah lagi dengan perempuan di Kayu Ara. Dengan begitu, ketika harus bolak-balik ke Bandung, usahanya ada yang mengurusnya. Di Bandung usaha nenek Anang diurus oleh nenek ine Bandung, di Kayu Ara usahanya diurus oleh nenek Ine kayu Ara.
Hingga akhirnya nenek Ine di Kayu Ara meninggal dunia. Dan istrinya di Bandung juga tetap sakit-sakitan. Ya sudah, nenek Anangku pun menutup usahanya di Kayu Ara dan pindah ke Bandung.
Nah. Ibuku pun akhirnya besar di Bandung bersama saudara-saudaranya. Adiknya ada 3, kakaknya 1.
Ibuku bersekolah di sekolah Perhotelan; sedangkan ayahku, merantau ke Bandung dalam rangka kuliah di IKIP Bandung. Sebagai sesama perantau dari Sumatra Selatan, mereka bergabung di perkumpulan pemuda pemudi asal Sumatra Selatan dan bertemulah. Lalu saling jatuh cinta, lalu menikah.
Nah. Ketika aku masih kecil, ayah dan ibuku sering sekali mengajak kami kembali ke Bandung, meski dua nenek sudah pada meninggal untuk sekedar bernostalgia tentang kisah cinta mereka di Bandung.
Hahahaha.
Aku waktu masih kecil sampai bosan.
"Eh... Ayo kita mampir ke Alun-alun. Ada mie kocok disana. Yek.. Yek.. ingat dak, waktu itu kitek meli mie kocok?" (Ibuku memanggil ayahku Iyek, dan mereka berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Sekayu. Artinya: Yek, Yek, ingat tidak, waktu itu kita beli mie kocok?)
Iya. Bahasa Sekayu berbeda dengan bahasa Palembang. Bahasa Sekayu banyak menggunakan huruf E (seperti membaca Enak jika ingin menyebut lezat) sedangkan bahasa Palembang banyak menggunakan huruf O. Seperti : Berapo? (Palembang), Berape (Sekayu).
Pokoknya, rute yang wajib ditempuh jika berkunjung ke Bandung itu adalah: bukit dago (karena disini, ayah dan ibu dulu sering duduk menatap lampu-lampu di lembah di kota Bandung); gedung IKIP (karena ayah kuliah disini), Buah Batu (karena asrama sekolah Perhotelan ibuku dulu ada disini), Alun-alun (karena mereka makan mie kocok dan beli mie kocoknya terpaksa 1 piring berdua karena ayah adalah anak rantau yang bergantung pada uang kiriman orang tuanya jadi biar hemat maka makan nya 1 piring buat berdua); serta mencari tukang yang jual kue Pancong.
Kenapa dengan kue Pancong?
Karena, dulu ketika pertama kali ayahku ingin bicara dengan Nenek Anang guna memberitahu bahwa dia menyukai putrinya dan ingin serius hubungannya, ayahku tidak punya uang untuk membawa oleh-oleh buat calon mertuanya. Akhirnya, ayahku pun membeli kue Pancong ini. Lalu menghadap calon mertuanya.
Alhamdulillah dikabulkan niat baik ayahku ini.
Tapi, uang di kantong anak rantau ini pun habis karena membeli kue Pancong.
Akibatnya, ayahku terpaksa berjalan kaki ke rumahnya. Dan itu jauh sekali. Besoknya, ayahku langsung jatuh sakit.
Hehehe. Kisah cinta yang mengenaskan sebenarnya. Tapi, ayah dan ibuku gemar sekali menceritakan ulang cerita cinta mereka ini. Sambil senyum-senyum bernostalgia.
Sekarang aku tahu kenapa mereka berbuat begitu. Karena ternyata, sesuatu yang dulu pahit itu ternyata di masa depan menjadi cerita yang lucu untuk dikenang. Dan memicu semangat untuk bisa lebih baik lagi.
4. Kuala Lumpur
Sepertinya, nyaris setiap tahun aku selalu berkunjung ke Kuala Lumpur. Hanya di tahun 2018 saja aku tidak berkunjung ke Kuala Lumpur karena sibuk dengan persiapan haji 2018 lalu.
Entahlah. Selalu ada rindu untuk bisa berkunjung ke Kuala Lumpur lagi, Kuala Lumpur lagi.
Aku pernah tinggal di kota ini dulu, tahun 2004-2005. Suamiku mengadakan penelitian di Kuala Lumpur dan boleh membawa keluarga. Jadilah suamiku memboyongku dan anak-anak untuk tinggal di sini. Lalu, kami jadi akrab dengan setiap sudut kota Kuala Lumpur.
Bahkan, koleksi jilbab-jilbabku selalu made in Kuala Lumpur. Begitu juga baju gamisku.
Sebelum gelombang belanja online terjadi di Indonesia, aku memang selalu kesulitan mencari jilbab lebar yang bahannya tidak kaku dan jatuh di wajahnya enak serta tidak panas, di Indonesia. Aku pernah mencarinya di kota-kota yang pernah aku kunjungi seperti di Sala tiga, Yogyakarta, Bandung, Bogor, tapi tidak bertemu dengan bahan seperti ini.
Ya sudah.
Akhirnya, aku menganggarkan dana untuk bisa berbelanja di Kuala Lumpur.
Barang-barang di Malaysia itu sertifikat halalnya benar-benar halal. Di sana, barang yang dijual itu tidak hanya diberi label halal saja, tapi juga ada yang diberi label haram.
Seperti DAISO di Malaysia, di pisahkan mana saja sikat baju, sikat gigi dan barang-barang lain yang dibuat dari kulit babi atau dengan menggunakan sisi tubuh dari babi.
Di Jakarta, aku tidak menemukan hal ini dilakukan.
Di Malaysia, bahkan ada sebuah toko perlengkapan dari Kulit seperti jaket, tas, sepatu, ikat pinggang, yang terang-terangan memasang peringatan: "Semua Kulit yang dijual disini ada campuran kulit anjing dan kulit babinya. Haram bagi orang Islam untuk membelinya.". Toko ini ada di Bukit Bintang.
Nah. Dan karena Malaysia memang negara bersyariat Islam, maka model jilbab dan gamisnya itu banyak dan beragam serta tersedia untuk seluruh postur tubuh perempuan. Disinilah aku merasa cocok karena aku bisa menemukan jilbab lebar dengan bahan yang jatuh tapi tidak nerawang dan adem.
Seperti ini nih jilbab dan baju yang aku beli di Kuala Lumpur.
Tapi, ibu dibawa ke Bandung ketika berusia 3 tahun.
Hmm.
Jadi, ceritanya nenek Anangku dari pihak ibu adalah seorang pedagang sekaligus penjahit pakaian. Dia lama tinggal di Bandung sebagai perantau. Hingga akhirnya mengajak istrinya, yaitu Nenek Ine dari pihak ibuku untuk migrasi kembali ke dusunnya, yaitu dusun Kayu Ara. Maka, diboyonglah istri dan 2 orang anaknya, yaitu Uwak Husni Herawati (kakak ibuku) dan ibuku, Hosiah.
Tapi, nenek ine ternyata tidak cocok dengan udara dusun Kayu Ara. Nenek ine memang punya penyakit asma yang cukup parah. Karena terus menerus sakit-sakitan, maka oleh Anangku dibawa kembalilah Nek Ine ke Bandung lagi. Lalu, Anang bolak balik Bandung - Kayu Ara. Tapi, ya lelah sendiri sih karena memang jaraknya amat jauh (baca di atas ya untuk tahu seberapa jauh. Nah, di tahun 1950-an tentu saja kendaraan belum banyak jadi makin terasa jauh. Ibuku lahir di tahun 1947. Akhirnya, nenek Ine tinggal sendiri di Bandung, dan nenek Anangku menikah lagi dengan perempuan di Kayu Ara. Dengan begitu, ketika harus bolak-balik ke Bandung, usahanya ada yang mengurusnya. Di Bandung usaha nenek Anang diurus oleh nenek ine Bandung, di Kayu Ara usahanya diurus oleh nenek Ine kayu Ara.
Hingga akhirnya nenek Ine di Kayu Ara meninggal dunia. Dan istrinya di Bandung juga tetap sakit-sakitan. Ya sudah, nenek Anangku pun menutup usahanya di Kayu Ara dan pindah ke Bandung.
Nah. Ibuku pun akhirnya besar di Bandung bersama saudara-saudaranya. Adiknya ada 3, kakaknya 1.
Ibuku bersekolah di sekolah Perhotelan; sedangkan ayahku, merantau ke Bandung dalam rangka kuliah di IKIP Bandung. Sebagai sesama perantau dari Sumatra Selatan, mereka bergabung di perkumpulan pemuda pemudi asal Sumatra Selatan dan bertemulah. Lalu saling jatuh cinta, lalu menikah.
Nah. Ketika aku masih kecil, ayah dan ibuku sering sekali mengajak kami kembali ke Bandung, meski dua nenek sudah pada meninggal untuk sekedar bernostalgia tentang kisah cinta mereka di Bandung.
Hahahaha.
Aku waktu masih kecil sampai bosan.
"Eh... Ayo kita mampir ke Alun-alun. Ada mie kocok disana. Yek.. Yek.. ingat dak, waktu itu kitek meli mie kocok?" (Ibuku memanggil ayahku Iyek, dan mereka berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Sekayu. Artinya: Yek, Yek, ingat tidak, waktu itu kita beli mie kocok?)
Iya. Bahasa Sekayu berbeda dengan bahasa Palembang. Bahasa Sekayu banyak menggunakan huruf E (seperti membaca Enak jika ingin menyebut lezat) sedangkan bahasa Palembang banyak menggunakan huruf O. Seperti : Berapo? (Palembang), Berape (Sekayu).
Pokoknya, rute yang wajib ditempuh jika berkunjung ke Bandung itu adalah: bukit dago (karena disini, ayah dan ibu dulu sering duduk menatap lampu-lampu di lembah di kota Bandung); gedung IKIP (karena ayah kuliah disini), Buah Batu (karena asrama sekolah Perhotelan ibuku dulu ada disini), Alun-alun (karena mereka makan mie kocok dan beli mie kocoknya terpaksa 1 piring berdua karena ayah adalah anak rantau yang bergantung pada uang kiriman orang tuanya jadi biar hemat maka makan nya 1 piring buat berdua); serta mencari tukang yang jual kue Pancong.
Kenapa dengan kue Pancong?
Karena, dulu ketika pertama kali ayahku ingin bicara dengan Nenek Anang guna memberitahu bahwa dia menyukai putrinya dan ingin serius hubungannya, ayahku tidak punya uang untuk membawa oleh-oleh buat calon mertuanya. Akhirnya, ayahku pun membeli kue Pancong ini. Lalu menghadap calon mertuanya.
Alhamdulillah dikabulkan niat baik ayahku ini.
Tapi, uang di kantong anak rantau ini pun habis karena membeli kue Pancong.
Akibatnya, ayahku terpaksa berjalan kaki ke rumahnya. Dan itu jauh sekali. Besoknya, ayahku langsung jatuh sakit.
Hehehe. Kisah cinta yang mengenaskan sebenarnya. Tapi, ayah dan ibuku gemar sekali menceritakan ulang cerita cinta mereka ini. Sambil senyum-senyum bernostalgia.
Sekarang aku tahu kenapa mereka berbuat begitu. Karena ternyata, sesuatu yang dulu pahit itu ternyata di masa depan menjadi cerita yang lucu untuk dikenang. Dan memicu semangat untuk bisa lebih baik lagi.
4. Kuala Lumpur
Sepertinya, nyaris setiap tahun aku selalu berkunjung ke Kuala Lumpur. Hanya di tahun 2018 saja aku tidak berkunjung ke Kuala Lumpur karena sibuk dengan persiapan haji 2018 lalu.
Entahlah. Selalu ada rindu untuk bisa berkunjung ke Kuala Lumpur lagi, Kuala Lumpur lagi.
Aku pernah tinggal di kota ini dulu, tahun 2004-2005. Suamiku mengadakan penelitian di Kuala Lumpur dan boleh membawa keluarga. Jadilah suamiku memboyongku dan anak-anak untuk tinggal di sini. Lalu, kami jadi akrab dengan setiap sudut kota Kuala Lumpur.
Bahkan, koleksi jilbab-jilbabku selalu made in Kuala Lumpur. Begitu juga baju gamisku.
Sebelum gelombang belanja online terjadi di Indonesia, aku memang selalu kesulitan mencari jilbab lebar yang bahannya tidak kaku dan jatuh di wajahnya enak serta tidak panas, di Indonesia. Aku pernah mencarinya di kota-kota yang pernah aku kunjungi seperti di Sala tiga, Yogyakarta, Bandung, Bogor, tapi tidak bertemu dengan bahan seperti ini.
Ya sudah.
Akhirnya, aku menganggarkan dana untuk bisa berbelanja di Kuala Lumpur.
Barang-barang di Malaysia itu sertifikat halalnya benar-benar halal. Di sana, barang yang dijual itu tidak hanya diberi label halal saja, tapi juga ada yang diberi label haram.
Seperti DAISO di Malaysia, di pisahkan mana saja sikat baju, sikat gigi dan barang-barang lain yang dibuat dari kulit babi atau dengan menggunakan sisi tubuh dari babi.
Di Jakarta, aku tidak menemukan hal ini dilakukan.
Di Malaysia, bahkan ada sebuah toko perlengkapan dari Kulit seperti jaket, tas, sepatu, ikat pinggang, yang terang-terangan memasang peringatan: "Semua Kulit yang dijual disini ada campuran kulit anjing dan kulit babinya. Haram bagi orang Islam untuk membelinya.". Toko ini ada di Bukit Bintang.
Nah. Dan karena Malaysia memang negara bersyariat Islam, maka model jilbab dan gamisnya itu banyak dan beragam serta tersedia untuk seluruh postur tubuh perempuan. Disinilah aku merasa cocok karena aku bisa menemukan jilbab lebar dengan bahan yang jatuh tapi tidak nerawang dan adem.
Seperti ini nih jilbab dan baju yang aku beli di Kuala Lumpur.
Pekalongan dong mba Ade. Hehe
BalasHapusNampakmya Pekalongan tidak masuk list kota yang ingin dikunjungi mba Ade ya. Hahaha
Ku tertarik mengunjungi sungai musi yang terkenal, kalau bandung memang favorit unuk dikunjungi ya mba.. banyak kuliner nya
BalasHapusAda cerita panjang juga ya Mba di Bandung. Ayo mba main-main lagi ke Bandung yang lagi musim hujan sekarang hihi
BalasHapusMbkkkk,aku jadi inget waktu pindahan lewat darat dari Siak Riau ke Subang. Rute terjauh dan terlama itu di Palembang,jalannya aduhai banyak lubang ya hahaha...rusak2 dan memang harus hati2 banget hehe
BalasHapusBtw jadi salfok sama kisah cinta ayah dan ibunya mbak, terharu sama perjuangannyaaa sampai jalan kaki dan jadi sakit :")
BalasHapusBandung memberikan banyak cerita memang ya mbak, hihi..
BalasHapusbiasanya kalua dari pribadi kenapa ingin kembali mengunjungi mbak? soalnya pas aku baca lebih karena disana ada kenangan-kenangan orang tersayang sih hehe
Oalah aku baru tahu kalau Mbak Ade memang keturunan darah Sumatra. Aku pikir orang Jawa Barat, Mbak. Soalnya orang Jawa Barat kan banyak yang namanya Ade, hehe.
BalasHapusMbk ade sudah kemana-mana, diriku masih disini ajyaahhh..ulalah..doakan aku ya mbk, bisa traveling kemana mana seperti dirimu
BalasHapusAda kue pancong, jadi ingat di Citayam deh.
BalasHapusPernah ke Malaysia tapi cuma transit doang 😂 btw aku pengen banget ke Palembang loh kak, mudah2an bisa ke sana nanti, pengen makan pempeknya langsung dari sana 😍
BalasHapusIh bener, yang ngenes di masa lalu itu bisa menguatkan cinta di masa yang akan datang.
BalasHapusBaca soal supir sumatra daku jadi inget waktu ke Lampung enggak berani nyebrang krn supir-supirnya kalo nyetir mengerikanm 😂
Jadi inget almarhumah mertua. Kadang-kadang kalau lagi ngobrol suka ada selipan logat Palembang
BalasHapusYeay .. kota kelahiran saya termasuk kota yang sering dikunjungi oleh Mbak Ade. Bandung memang selalu ngangenin untuk dikunjungi ya..apalagi banyak kuliner yang enak hehehe
BalasHapusAku belum pernah ke kota-kota itu semua deh. Tapi kalau makan kue pancong memang lumayan sering karena tetangga aku jualan kue pancong.
BalasHapusWaaoooo, jauh mbaaa.
BalasHapusenak banget bisa tinggal di tempat yang beneran menjaga hal-hal tentang agamanya.
Semoga Indonesia bisa meniru Malaysia ya.
Tanpa ada isu SARA ataupun gimana.
Optimis sih, karena zaman sekarang sudah banyak bermunculan produk2 halal :)
Btw, cuman Bandung yang pernah saya kunjungi tuh kotanya mba :)
Ga bisa move on Dari Bandung lalu jatuh cinta pada palembang. Pempek, es kacang merah yang selalu bikin kangeen
BalasHapusTernyata aku tahu dari mana datangnya keromantisa cerita cintamu dengan Pak Bandi, yaitu menurun dari orang tuamu ya Mbak Ade. Aku dulu pas kecil pernah diceritain tentang Mama sama Papa, tapi Papaku selalu menyangkal, malu, jadi berusaha untuk nggak mau ikut2an mengenang atau bernostalgia. Aku jadi kepikiran jua untuk nyeritain dan ngajak anak2 untuk napak tilas ke kota2 yang pernah aku n suamiku kunjungi dulu sejak pertama kenal sampai akhirnya menikah. Semoga keturutan. :)
BalasHapusJarang tertarik dengan negera tetangga, tapi seketika pengen ke Malaysia. Daiso aja sampai beda. Ingin tau sistem mereka.
BalasHapussekayu, musi rawas, palembang, itu semua daerah di masa kecilku mbak.. hehehe. dulu ikut bapak pas tugas disana, jadi flashback sejenak ini, hehehe. penasaran aku dengan kuala lumpur, keren deh ada label haramnya. aku pernah kesana dulu sekali doang, tapi gak merhatiin detail. semoga ada rejeki buat balik lagi, aamiin.
BalasHapusIh asiknyaa sering ke Kuala Lumpur. aku tuh belum pernah ke sana, penasaran pengin jalan2. sekalian ke penang gitu mba. Mayan kali yaa kalau sekalian jastip gitu
BalasHapusMba... Ujame salfok sama foto mba, cauntiiiikknyaaa rek hehehe.
BalasHapus2 dari 4 Ujame pernahnya ke Bandung sama Kuala Lumpur.
Jadi pengen ke Palembang sama Sekayunyaaa hehehe
Aku udah ke Palembang, dan pengen balik lagi berkunjung kesana. Belum sempat naik perahu di sungai Musi
BalasHapusaku belum pernah ke Palembang, banyak yg bilang kuliner di sana enak-enak semua yaa mba.. jadi pingin ke sana secepatnya :)
BalasHapusKue Pancongnya kalau di sini disebut Pukis. Aku pernah ikutan buat lalu nyoba padahal lagi puasa, hahaha
BalasHapusKalau di Malaysia sana banyak yg udah label halal ya. 11-12 sama Indonesia
Mpo juga suka kue pancong . Kalau orang Sunda bilangannya Bandros (kalau tidak salah)
BalasHapusKota kota yang kita kunjungi memiliki daya tarik tersendiri terutama kuliner nya. Soalnya Mpo suka makan
kue pancong itu bandros yah? liat gambarnya mirip bandros...makanan tradisional dari tepung beras campur santan...ada yg suka pake gula putih juga sih atasnya
BalasHapusdisupiri oleh sopir angkot Sumatera kitanya ikutan ngerem2 juga gak kakinya mbak? :)
BalasHapusWah Mba Ade ditakdirkan sudah ke banyak tempat ya...banyak pengalamannya banget ya ..alhamdulillah..
BalasHapusBelakangan ini kalau berkunjung ke blog mba Ade aku makin ga kuat euyy,,, postingannya jalan-jalan terus hahaha kan akuhnya mupeng pengen plesiran juga hehe.
BalasHapusbaca part ayahnya beli kue pancong kok geli dan kasihan udahannya hahha perjuangan pahit emang kalau dikenang di masa depan jadi bikin tertawa ya mba :)
BalasHapusJadi hanyut dalam kenangan kalo baca cerita Mba Ade ini. Apalagi bagian kisah cinta orangtua dan nenek Anang serta nenek Ine :D
BalasHapusngikik baca supir trans Sumatra. Di Sulawesi gitu juga, mbak. Jalan berkelok macem jalan lurus aja. Ngebuuut! aku udah pasrah sambil siap-siap kresek. Hahaha
BalasHapusbtw, jilbab yang bahannya enak mungkin bahan voal.
Mba udah pernah ke Surabaya? Sini mampiirr.. mumpung masih cantik dan tertata rapi hihihi
BalasHapusAku baca ini kok mbak Ade. dan aku bilang Pekalongan, gitu. Pengen juga kan Pekakongan jadi kota yng sering dikunjungi. Gituu.
BalasHapusDi sekayu masih banyak rumah panggungnya ya, pernah roadtrip ke Palembang dan memang banyak rumah model panggung kayak di Sekayu
BalasHapusMasa kecilku juga ga jauh-jauh dari kue Pancong :)
BalasHapusApalagi dimakan hangat-hangat dengan teh hangat yang juga manis -manis jambu
Palembang dulu aku pernah lewat dan nginep sehari doang mba. Udah lama tapinya, tahun 1995 kalau nggak salah. Mampir ke ortunya temanku pas kami 6 cewek semua naik Gunung Kerinci :))
BalasHapusDuh, mupeng lagi deh ini. Aku mah jarang ke mana2. Paling jauh yang sering aku datengin palingan Jakarta. :D
BalasHapusAku baru tahu soal Sekayu :D
BalasHapusDi sana kyknya masih sederhana banget ya mbak, namun kyknya nyaman dan damai.
Ooo mbk Ade pernah tinggal di KL. Emang KL itu dah kyk ke Bandung atau ke mana gtu ya kalau dr Jkt, tiket pesawatnya jg lbh murah dr kalau aku mudik k rumah mertuaku di kalimantan haha
Wahhh...aku baru baca mba tentang sekayu, jadi mupeng. Btw, mudah2an nanti aku sekeluarga punya kesempatan kayak mba ade bisa sering travelling. Aamiin.
BalasHapusAku belum pernah pergi sampai ke sumatera atau palembang... pengen deh someday bisa ke sana, pengen liat seberapa indahnyaaa
BalasHapusPalembang tempat penuh kenangan, Ibuku di besarkan di sana. Kuliner Palembang paling enak ya Mbk, selalu suka deh pempek, tekwan, dll.
BalasHapusPernah sekali ke Palembang, ke rumah pakcik suami. Foto foto dekat jembatan Ampera dan makan di restoran dekat situ. Terkesan sama pindang ikan patin nya. Sampai saya buat sendiri setelah kembali ke Johor.
BalasHapusCintaku dalam sekantong kue pancong, kayaknya itu juduk yg cocok klo kosah cinta ayah dibikin film FTV ya mba ade. Haha
BalasHapusAku belum pernah ke Palembang mbak padahal pengin banget, peenah lewat doang sewaktu mudik naik bus ke Medan.
BalasHapus