Juara I Lomba Cerpen Majalah Femina 2008
Jantung Arini berdebar-debar. Matanya berkilau-kilau kala
melihat lemari lapuk itu. Lemarinya berwarna coklat tanah musim kemarau bulan
Juni, buram berlapis bermili-mili debu. Tingginya satu setengah meter. Di
setiap sudut atap lemari ada tonjolan sebesar bola kasti. Lemari itu memiliki
dua pintu. Pintu pertama dalamnya memiliki lima undakan untuk meletakan
baju-baju yang dilipat. Di dalam pintu kedua ada batang kayu memanjang untuk
menggantung pakaian.
Lemari itu berdiri di sudut toko barang antik. Beraroma
kecoa dan kotoran tikus. Namun Arini memeluknya, menciumnya, seraya mengatupkan
matanya. Dibukanya lemari, sumringah. Segerombolan kecoa kalang kabut. Arini
tidak apa-apa. Ia mengibas-ibas kecoa yang merayap di betisnya.
‘’Tom, aku sudah menemukan lemari yang kucari’’ bisik Arini
gemetar, gembira pada calon suaminya.
Tom tengah mengamati lemari jati berdesain sederhana,
berpintu tiga, tanpa ukiran. Satu setel dengan tempat tidur di sampingnya. Meja
riasnya kecil bercermin bulat. “Aku suka ini,” ujar Tom.
‘’ Tapi lemarinya aku suka yang ini, ” Arini mengetuk-ngetuk
lemari, mencari perhatian Tom.
‘’Tua, reyot, dan sarang kecoa itu untuk kamar pengantin?”
Tom menengok dan tergelak, mengira Arini becanda.
Arini menggeleng. ‘’Aku mau lemari ini untuk kamar pengantin
kita.” Katanya tegas, memelas, nyaris hendak menangis.
Tom menatap calon istrinya, terheran-heran. “Kamu serius?”
Arini mengangguk cepat, meremas jemari Tom. ”Kau yang pilih
tempat tidur dan kaca riasnya, ya.”
Tom melihat benda-benda pilihannya, lalu beralih menatap
lemari pilihan Arini.
“Perhatikan, Rin, apakah tempat tidur dan meja rias
pilihanku serasi dengan lemari pilihanmu?”
“Untuk serasi jangan hanya lihat desainnya. Lihat juga
karakter kayunya yang saling menghidupi, yang bisa memberi kita energi.’’
“Hm.” Tom meneliti kayu itu mencoba menangkap energi yang
dikatakan Arini.
“Lihat, masing-masing kayu memiliki tekstur berbeda.
Beberapa potongannya bahkan tak sempurna. Mengingatkanku bahwa yang sempurna
hanya Tuhan.” Arini mengelus benda-benda tersebut.
“Rin...”
“Kita terbiasa berpikir bahwa serasi itu berhubungan dengan
warna, ruang, dan penataan. Bagaimana dengan sejarah? Memadu benda tua dan
baru, secara usia tidak serasi, tapi sejarahnya mungkin serasi dengan
pemiliknya. Benda tua membawa kenangan indah, buruk, menyesalkan. Benda-benda
baru menemani perjalanan, yang mungkin tertunda, gagal, belum selesai...”
“Rin, kau bicara apa barusan?”
Arini tertawa. “Setuju, kan, membeli lemari itu. Kita minta
tukang membersihkannya, membenahi kakinya yang patah. Aku suka bau jati
tuanya...”
“Bagaimana kita menjelaskan kepada keluarga?” Tom masih
belum percaya Arini ingin memiliki lemari yang berdiri doyong itu.
“Kita cari kata-katanya nanti.”
Tom merasa masih banyak yang belum ia ketahui tentang calon
istrinya. Selera Arini pada bau apek jati tua membuatnya khawatir.
Mengingatkannya pada Iyah!
*****
Sejak menetapkan tanggal pernikahan, Tom dan Arini
menyempatkan diri mencari furniture untuk isi kamar pengantin. Keduanya sepakat
memilih kayu jati, meski mahal, tapi anti rayap dan tak pernah ketinggalan
zaman. Nyatanya sulit menemukan furniture jati yang sesuai untuk rumah mereka
yang minimalis.
Tiap akhir pekan Tom dan Arini keluar masuk toko mebel dan
mendatangi pameran. Belum satu pun yang memenuhi selera berdua. Tom pernah
ingin mengalihkan angan-angannya untuk memilih furniture bergaya minimalis
dengan warna-warna klasik, yang bukan dari kayu jati. Arini mengatakan tidak.
Alasannya, benda-benda itu pasaran.
“Sabar. Kita perlu mengalihkan pencarian ke luar kota. Di
pinggir jalan biasanya ada toko mebel Jepara. Kita pesan dan desain sendiri...”
Belum Arini selesai bicara Tom menyela, “Model-model itu
juga umumnya pasaran. Ingat, kita pernah menemukan model kursi dan lemari yang
sama di rumah Rusli dan Endah.”
“Dua kali lagi kita mencari. Setelah itu, tempat tidur dan
kaca rias kau yang memilih. Aku yang memilih lemarinya. Setuju?”
“Lemari macam apa?”
“Lemari macam...” Arini berupaya berpikir keras, “Nanti
kujelaskan setelah kutemukan,” sambungnya.
“Bagaimana dengan tawaran Ibu?” Tom diam-diam mulai lelah
dan menyerah.
Ibunya pernah menawari Tom tempat tidur, lemari, dan kaca
rias berwarna sawo matang peninggalan zaman kolonial, yang pernah dipakai untuk
kamar pengantin nenek dan kakek. Jatinya ditebang dari perkebunan jati, di
Kunduran, Blora. Tempat tidurnya besar berukir dengan tiang di tiap sudut untuk
meletakkan kelambu. Ibu masih merawat kelambu tua, putih gading dengan pengait
berbentuk bunga kenanga, yang terbuat dari kuningan. Meja rias yang Ibu
tawarkan memiliki tiga kaca. Lemari pakaiannya berpintu tiga, berukir bunga dan
daun.
Arini tegas menggeleng. “Benda-benda lama peninggalan itu
indah dan sangat berharga. Tapi benda-benda itu tidak mewakili kita. Rumah kita
akan sesak.”
Tom membelai-belai rambut Arini dan berkata, “Aku tak
keberatan jika kamar pengantin kita diisi dengan isi kamar tidurmu.”
“Aku tak menyukai benda-benda di kamar tidurku. Aku hanya
menyukai lemari baju di kamar Iyah.”
“Bawa saja lemari baju itu. Sisanya kita beli.”
“Lemari itu sudah tidak ada lagi. Ibu membuangnya.”
“Membuangnya?”
Arini mengangkat bahu, menyembunyikan wajah dari pandangan
Tom.
“Membuangnya? Kenapa?”
Arini menggeleng. “Siang itu sepulang sekolah, aku tak
menemukan lemari baju di kamar Iyah. Juga tak menemukan Iyah.”
“Iyah, siapa?”
“Pembantu keluarga kami.”
“Apa yang terjadi padanya?”
Arini mengalihkan topik pembicaraan, “ Ah, itu tidak
penting. Sekarang kita putuskan, kau memilih tempat tidur dan kaca rias, aku
yang memilih lemari...”
*****
“Rin, aku tertarik untuk tahu tentang Iyah? Dia pengasuhmu
yang setia? Dia...”
Terlalu lama termenung, Tom tidak tahu Arini pergi dari
sisinya. Tom celingukan. Lalu dengan matanya ia susuri lemari demi lemari tua
yang ada di toko barang antik. Arini tak terlihat.
Ia bertanya pada tukang yang sedang mengampelas kursi.
“Mungkin ke kamar mandi,’’ katanya.
Tom menuju kamar mandi, memanggil-manggil nama Arini. Tak
ada jawaban. Ia buka pintu kamar mandi, tak ada siapa-siapa. Lalu ia mengecek
ke halaman. Pikirnya, Arini ngambek karena ia menertawakan pilihannya. Arini
tidak ada di sana.
Tom kembali ke toko barang antik. Arini tak mungkin
melarikan diri, pikirnya. Ia berjalan perlahan dari satu lemari lapuk ke lemari
lapuk yang lain. Ia berhenti dekat lemari pilihan Arini. Tom tak menemukan
calon istrinya!
“Bang, betul tak melihat Arini?” Tom mulai dirayapi rasa
gelisah,
“Telepon saja hand phonenya, Pak?”
Ups, Tom menepuk dahingnya, merasa tolol. “Terima kasih,
Pak.”
“Hi, Rin, kamu di mana?” Tom lega, mendengar balasan ‘Hi’
dari Arini.
“Aku di...”
Tom melekatkan telinganya ke lemari pilihan Arini. “Rin...”
Tom berteriak, tercekat. Tergopoh-gopoh ia membuka pintu lemari.
Ia terpana, terenyuh menyaksikan Arini duduk memeluk lutut
di dalam lemari, di antara kecoa yang berseliweran.
“Rin,” bisik Tom tersendat, menelan ludah. Ia masuk ke dalam
lemari, mengambil tempat di sisi Arini. Membawa Arini ke dadanya..
Air mata Arini tumpah.
“Iyah menempatkanku di lemari seperti ini tiap kali Ibu
menjerit-jerit disiksa Bapak,’’ tutur Arini di antara sedu-sedannya.
Tom merenggangkan pelukannya, menyipitkan matanya, menatap
Arini lekat-lekat. Lantas ia tersedu-sedu di bahu Arini.
“Semula aku protes, menangis, tak suka berada di ruang
pengap.”
Bahu Arini terguncang-guncang oleh tangis Tom.
“Lama-lama aku senang. Aku menemukan banyak teman khayalan. Aku
bertemu pangeran berkuda yang berjanji akan menjagaku. Aku bisa tidur nyenyak,
tanpa mendengar teriakan Ibu yang kesakitan. Bentakan Bapak yang tak
berperikemanusiaan.”
Arini merasa pelukan Tom kian ketat. Tangis Tom kian
menyanyat. Arini tak mengira kekasihnya mengikuti kesedihannya begitu mendalam.
“Satu malam...” Arini menghela nafas panjang, “Aku tertidur
di lemari. Entah jam berapa aku terbangun mendengar Iyah menangis dan minta
ampun. Aku mendengar suara Bapak...”
Di sela tangisnya Tom bertanya, “Bapak memukul Iyah juga
kah?”
Arini menggeleng. “Ibu datang, melihat Bapak memarahi Iyah
karena menyembunyikan aku. Ibu lalu menemukanku di dalam lemari...”
“Sudah kuduga,” ujar Tom.
“Tom,’’ bisik Arini pelan. “Mengertilah, aku masih sering
merasa cemas dan takut,.”
Arini merasakan tubuh Tom menggigil. Pelukan Tom semakin
ketat. Membuatnya sulit bernafas.
“Aku pun sering dihantui rasa cemas dan takut, Rin.”
Arini menemukan wajah calon suaminya penuh air mata. “Cemas
dan takut menerima kenyataan calon istrimu suka lemari bau apek...”
Tom menggeleng, menutup bibir Arini dengan jarinya. Membawa
wajah Arini lekat ke wajahnya. Air mata mereka menyatu. Lalu dari bibir Tom,
yang bersentuhan dengan bibir kekasihnya, keluar kata-kata yang membuat Arini
mengerti, mengapa tangis Tom begitu menyanyat, tubuhnya menggigil...
“Aku takut menjelma menjadi lelaki seperti Bapakmu. Seperti
Bapakku, yang suka memukul Ibuku, memukulku!”
http://idaahdiah.blogspot.com/2010/10/lemari-baj.html