Catatan : notes ini terinspirasi dari status temanku Saptari semalam. Aku copas status ini ke statusku di menit berikutnya.
Saptari Kurniawati
Lita
Dimpudus wrote:At 3 years ''Mommy I love you."At 10 years ''Mom
whatever."At 16 years "My mom is so annoying."At 18 years "I'm leaving
this house."At 25 years ''Mom, you were right''..........At 30 years ''I
want to go to Mom's house."At 50 years ''I don't want to lose my
mom."At 70 years "I would give up everything to have my mom here with
me."WE only have one MOM. Post this on your wall if you appreciate ...
14 hours ago via BlackBerry · Like ·
-------------------------------------------------
"Ini deja vu. Pasti deja vu."
Beberapa
kali keningku berkerut melihat pasien di sebelah tempat tidurku.
Subhanallah, aku sudah bermimpi bertemu dengannya satu bulan yang lalu.
Bahwa dia menderita tumor otak, bahwa dia sakit parah, aku sudah
diberitahu dalam mimpiku. Tapi tetap saja hatiku berdetak ketika pertama
kali melihatnya berbaring untuk pertama kalinya. Wajah itu amat sangat
kuingat. Kucoba untuk mengantarkan sebuah senyuman padanya, meski tidak
dibalasnya, tapi aku begitu terharu dengan pertemuan dengan dirinya.
Pasien
di sebelah tempat tidurku adalah seorang perempuan berusia 49 tahun
yang menderita tumor otak. Sekilas kondisinya seperti tidak menderita
sakit. Tubuhnya masih subur, kulitnya tidak pucat, dan dia masih bisa
terpingkal-pingkal tertawa menonton acara televisi yang lucu di kamar
kami di rumah sakit. Dan sementara aku terheran-heran dengan peristiwa
deja vu yang aku alami, aku terus berpikir, apa sebenarnya yang ingin
diperlihatkan oleh Allah dari peristiwa deja vu ini? Apa sebenarnya yang
Allah ingin aku petik hikmahnya dari jatuh sakitnya diriku kali ini?
Sesungguhnya,
memang tidak pernah ada yang sia-sia dalam penciptaan Allah atas segala
sesuatu di langit dan bumi. Semuanya senantiasa diiringi oleh hikmah.
Itu sebabnya aku senantiasa merenung atas segala sesuatu yang aku temui
dalam keseharian. Dan kali ini aku terus merenung dalam kesendirian di
kamar perawatanku. Segelintir suara percakapan dari tempat tidur di
sebelahku terdengar.
"Ibu, aku tidak suka acara ini. Ganti dong!"
Sebuah
suara bentakan terdengar dari pasien di sebelah tempat tidurku. Lalu
muncullah sosok perempuan tua yang renta ke depan televisi yang
digantung di atas langit-langit kamar. Jemari renta yang sedikit
gemetaran itu terlihat memencet tombol televisi untuk mengganti acara.
"Aku tidak mau ini. Ganti!"
Kembali
terdengar bentakan. Lalu diulang dengan permintaan lain, lagi dan lagi.
Hingga akhirnya perempuan renta dengan jemari gemetar itu menunduk
dalam sambil tangannya masih terus memencet tombol untuk mengganti
channel televisi.
"Duh, ibu cape nak. Masa belum ketemu juga apa yang kamu suka?"
Aku
gemas sendiri. Ingin rasanya menolong perempuan tua itu mencari channel
yang disukai anaknya tapi kakiku belum bisa digerakkan. Masih amat
lemah dan pusing di kepala juga mulai mengganggu. Akhirnya hanya bisa
menatap penuh iba pada perempuan renta itu.
Pada sebuah
percakapan berikutnya dengan perempuan renta itu, barulah aku ketahui.
Anaknya yang sakit sudah berusia 49 tahun. Seorang perempuan tanpa anak
yang memiliki karir cerah karena menduduki posisi amat strategis di
sebuah perusahaan. Sedangkan si ibu, adalah perempuan berusia 79 tahun
yang sudah ditinggal mati oleh suaminya beberapa tahun yang lalu.
"Anak saya menderita tumor otak. Sudah satu bulan penuh dia di rumah sakit ini."
"Oh, dan ibu menjaganya berganti-gantiankah dengan anak ibu yang lain?"
"Tidak.
Sama seperti dia, ibu pun sudah satu bulan penuh tidak pernah pulang ke
rumah. Ibu sendirilah yang menjaga dia di rumah sakit."
"Oh... suaminya?"
"Suaminya
sibuk bekerja. Dia juga tidak punya anak. Anak-anak ibu yang lain juga
bekerja semua. Ibu sudah tidak punya suami, anak-anak sudah besar jadi
biarlah ibu yang menjaganya."
"Subhanallah.. ibu luar biasa sekali."
"Ah, anak ini suka berlebihan. Semua ibu mungkin akan melakukan hal yang sama pada anak mereka."
Perempuan
renta itu tersenyum penuh kelembutan padaku. Kakiku yang ngilu
dipijitnya ringan. Pembicaraan kami terputus karena anaknya berteriak.
"Ibuuuu... aku mau minum!"
"Iya, sabar ya, ibu jalan dulu."
Lalu dengan langkah tertatih perempuan renta itu berjalan menuju botol minuman yang ada di samping lemari.
Mungkin
keberadaan tumor di otak pasien di sebelahkulah yang menyebabkan pasien
di sebelahku terlihat amat egois dan manja layaknya anak kecil.
Sementara dia terpingkal-pingkal melihat komedi di televisi, ibunya
mencuci pakaian dalamnya di kamar mandi, memanaskan makanan dan
minumannya di dapur rumah sakit, membelikannya pampers, bahkan juga
menyediakan diri sebagai tempat untuk si anak menumpahkan kekesalannya
karena dimarahi oleh dokter spesialis yang menegur si pasien karena
membandel dari saran dokter.
"Enak saja dokter itu
menyuruhku aku jalan. Dia sih enak tidak sakit, tapi aku kan sakit. Ibu
sih diem saja, coba kalau ibu merasakan sakitku, bagaimana?"
"Aku
bosan makan daging terus-menerus. Ibu dengar sendiri kan, kata dokter
gula darahku bisa naik jika aku begini terus. Ibu usaha dong, carikan
aku buah kek! Sayur kek! Jadi aku sehat, apa ibu senang lihat aku
sakit?"
"Sabar nak. Kata dokter, guladarahmu bisa naik
jika kamu tidak berlatih untuk berjalan dan bangun dari tempat tidurmu.
Ayo sayang, kita bangun dari tempat tidur ya? Ibu takut ancamana dokter
bahwa tulangmu bisa keropos jika kamu tidak berusaha bangun dari tempat
tidur akan terjadi sayang."
"Sakit bu! Aku sakit! Ibu lihat sendiri kan, aku kan bukan enak-enakan disini."
Akhirnya
aku mencoba untuk menutup telinga dan mataku. Tidak tega mendengar
percakapan kedua anak beranak ini. Hingga akhirnya ketika aku telah
sehat dan diperbolehkan untuk pulang, aku mencoba untuk mampir ke tempat
tidur pasien di sebelahku.
Ibunya yang berwajah teduh dan
sabar, langsung meyalamiku dan mengirimiku doa-doa agar penyakitku
tidak lagi kambuh. Aku terharu, begitu terharu melihat kesabarannya.
Maka setelah bersalaman dengan sang ibu, aku mengalihkan pandanganku
kepada si anak.
"Mbak... kamu amat sangat beruntung
memiliki ibu yang amat sabar seperti ibumu ini. Dia sudah tua, tapi rasa
sayang dan sabarnya tidak berkurang sedikitpun untuk merawatmu.
Subhanallah... baru dua hari aku sekamar denganmu, tapi aku terus
menerus mengucapkan kalimat subhanallah karena takjub dengan kesabaran
ibumu. Kamu amat beruntung. Beruntung sekali. Ibumu selalu benar untuk
satu hal, bahwa untuk sembuh memang kita harus berusaha untuk melawan
rasa malas dan rasa sakit. Semangat ya mbak.. semoga mbak cepat sembuh."
Lalu
aku memandang si ibu yang berdiri dengan tangan mengatup takzim ke
arahku. Rasanya aku ingin memeluk perempuan renta yang luar biasa ini.
Ya..
aku baru menyadari satu hikmah apa yang bisa dipetik dari sakitnya aku
kali ini. Bahwa kesabaran itu sifatnya tidak terbatas, tidak mengenal
batas usia dan tidak lekang oleh waktu.
-------------
Catatan
ketika sakitnya ade anita: 10 agustus 2011. RS Premier Jatinegara.
Kenangan selesai kateterisasi jantung di tanggal 9 agustus 2011