Contoh penulisan Cerpen yang FUll DIalog


Pengantar dari ade anita:
Sebuah cerpen, sejatinya adalah sebuah cerita dimana di dalamnya terdapat tokoh-tokoh yang menggambarkan karakter tertentu dan merajut sebuah jalinan cerita tertentu. Ada pembukaan, ada konflik dan ada penutupnya. Penutupnya bisa solusi dari konflik yang berkembang, tapi bisa juga klimaks dari konflik sehingga penutupannya bersifat terbuka.




Konflik dalam sebuah cerita itu sebuah keharusan. Karena dengan konflik inilah maka sebuah cerita bisa mengalir dan memiliki sebuah kekuatan untuk berdirinya sebuah cerita.

Karena konflik adalah pondasi dasar dari sebuah cerita, maka menjadi wajar jika cara yang umum dilakukan adalah merangkai kalimat pembuka dengan sebuah narasi atau penggambaran deskripsi situasi yang dimaksudkan untuk menggiring pembaca agar memliki satu pemahaman yang sama tentang suguhan konflik yang akan disajikan. Tapi, ternyata tidak selalu sebuah konflik dihantar oleh sebuah narasi. Cerpen-cerpen berikut ini merupakan contoh cerpen dimana tidak ada narasi atau keberadaan narasinya kurang dari 80%. Amat sangat kreatif.
Jadi... mari kita simak langsung saja ya cerpen-cerpen cantik tersebut.

contoh cerpen 1:
Kau, aku, dan obsesiku ( cerpen dialog )
Desember 2, 2007 oleh anginberbisik

Dalam mobil di pinggir jalan,
Kau : Aku sangat mencintainya Rin…aku nggak bisa melupakannya, bayangin aja Rin…Enam tahun aku bareng dia. Enam tahun itu hampir nggak ada konflik di antara kami. Apalagi orang ketiga, belum pernah ada…dan tiba-tiba saja dia meninggalkan aku, dan sudah bersama laki-laki lain, ugh…(mengepalkan tangan)
Aku : (melihat kepadamu dan hanya bisa tersenyum) Sakit banget yah rasanya?
Kau : Banget,…aku depresi…gimana cara aku bisa melupakannya…Arrggh…(menoleh ke arahku) Bagaimana kamu bisa tegar seperti itu Rin?
Aku : (menghela nafas) Cari pacar lagi…Time can heal itu bullshit, bohong banget, yang bisa menyembuhkan luka karena cinta yaa cari lagi aja orang yang bisa menambal luka itu dengan cinta yang baru.
Kau : (menyisir rambut, kesal) Mana ada yang mau sama aku, udah umur segini…lagipula jarang ketemu ama cewek.
Aku : Kalau ada yang mau gimana? ( menoleh kepadamu)
Kau : Hahh (menghembuskan nafas, berat) Nggak bakal ada…
Aku : Kenapa? Kamu lumayan…cakep, mapan…(menghela nafas)
Kau : (menatapku dan berbisik) Siapa…Hmm…Siapa?
Aku : (berkata pelan) Aku kali…
Kau : (masih menatapku) Apa??
Aku : (malu banget) Nggak…
Kau : (tertawa pelan)
Aku : Hmm…(terdiam)
Kau : (terdiam)
Aku : Nggaklah, kita kan sahabatan…
Kau : (tersenyum) Yah…persahabatan.
Aku : Apa sih artinya persahabatan?
Kau : Berteman dengan tulus, tanpa mengharapkan pamrih, tidak ada maksud yang tersembunyi.
Aku : (menghela nafas)
Kau : (menatapku) Kamu kelihatannya kesal malam ini…
Aku : (menatapmu malu) Kok bisa?
Kau : (menatap mataku dalam) Yah, mata kan nggak bisa bohong Rin.
Aku : (menutup mata dengan tanganku) Udah ahhh, jangan suka ngelihatin gitu…
Kau : (tertawa) Ha..ha..ha
Aku : (menghela nafas)
Kau : Iya yah? Kamu kesal banget yah…kamu pasti sebel banget ama aku.
Aku : Nggaklah.
Kau : Halah, bohong…
Aku : Hmm, kalau misalnya aku kesal beneran, emang kamu tahu kenapa aku kesal? (mataku menantang matamu)
Kau : Hmm,…Sepertinya sih aku tahu…Kamu kesal karena…
Aku : Udah, nggak usah dilanjutin, nggak usah bilang apa jawabanmu.
Kau : (tersenyum) Yah…thanks ya, mau dengarin curhatanku tentang dia,…
Aku : (menghela nafas)
Kau : Ohya, gimana ama pacarmu?
Aku : Aku nggak pingin ngomongin tentang dia ah… nggak bakal lama lagi juga paling dah selesai hubunganku ama dia.
Kau : Tertutup banget sih, nggak kayak aku ke kamu.
Aku : Bahas masalahmu aja deh.
Kau : Masalahku, aku jadi kayak psiko gini…dia masih merasuk dalam fikiranku, ah…rasanya aku perlu cuci otak.
Aku : (menghela nafas) Segitunya sih,…Biasanya tuh, cowok kalau ditinggalin gitu aja ama ceweknya, apalagi di duain gitu, bakal cepat ngelupainnya.
Kau : Aku kan nggak.
Aku : Yah…satu banding sekian ratus cowok kali…
Kau : Kok kayaknya kamu kesal banget sih nadanya?
Aku : (menghela nafas) Biasa aja…
Kau : (menirukan aku menghela nafas) Terus ini apa?
Aku : (tersenyum) He…he…he, nggak sampai segitunya ah…
Kau : Yuk, pulang…
Aku : Hmm, sekarang? 5 menit lagi dong.
Kau : Aku udah ditunggu ama temen nih, mau kumpul-kumpul. Maklum, malam minggu nih. Malam minggu kelabu…
Aku : (menghela nafas) Emang malam mingguan ama aku nggak cukup?
Kau : Hehehehe, yuk…entar juga kita bisa ketemuan lagi.
Aku : (menatapmu)
Kau : (menatapku) Apa sih, kok kamu serius banget…
Aku : Aku…aku suka ama kamu.
Kau : (kaget) Ha?
Aku : (tergagap) Eh, maksudku…aku suka banget ngabisin waktu beberapa jam ama kamu di sini…
Kau : Ooh…ya, aku juga kok (tersenyum), (menatapku) hmm, nyetirnya serius amat.
Aku : Nyetir kan harus serius…gimana sih? (menoleh kepadamu dan tersenyum)
Kau : Oke, aku turun di sini aja…thanks ya Rin.
Aku : Ya…take care yah…
Kau : Okay, hati-hati yah di jalan…bye
Aku : (menatap bayang tubuhmu menghilang dari kaca spion) Hmm…(menghela nafas), (mendengarkan lagu Letto dari CD Player di mobil dan menyanyikannya keras)
Merasuk, malam ini kau merasuki aku
Terhasut, alam pikiranku kini
Tersenyum, seolah engkau menginginkan aku
Tetapi siapa yg tahu hati
Kau, aku dan obsesiku
Hanya Tuhan yang akan tahu
Tapi jangan kau tertipu
Kan kusimpan sampai akhir waktu
Kemerlap, bintang yang ada di malam ini
Sekejap, terasa sangat sempurna
Ucapan, kata yang terlontar oh indahnya
Aku , aku sangat terlena
Aku : Yah…bersahabat saja…Hiduppp persahabatannn!!! (menghela nafas lagi….dan lagi)
Semarang, Desember 2007
http://anginberbisik.wordpress.com/2007/12/02/kau-aku-dan-obsesiku-cerpen-dialog/

contoh cerpen 2:
Sepuluh Menit
Hei.
Hei.
Aku kangen kamu.
Ya. Aku juga.
....
....
Bagaimana?
Hm?
Kabarmu. Bagaimana?
Oh. Yah, gini-ginilah.
Kamu kurusan.
Yah.
Kamu cukup makan?
Lumayan. Nasi dua kali sehari.
Lauknya apa?
Biasa. Seringnya nasi dan jagung doang. Dingin lagi. Tapi ngenyangin, setidaknya.
Bukannya kamu enggak suka?
Hah?
Kamu benci jagung.
Oh. Iya. Dulu. Bener.
....
....
Penjaganya galak-galak?
Ah, enggak. Ramah juga. Tampangnya aja yang agak-agak sangar. Ada satu yang baik. Suka bagiin makanan sama suka ngajakin ngobrol kalau lagi jam istirahat.
Orangnya itu, yang di belakang kamu itu?
Bukan. Dia tukang jaga pintu masuk sini doang.
Pantesan enggak kayak bayangan aku. Sangar orangnya. Serem.
Hahaha ....
Aku bawain kamu makanan. Kue-kue kesenengan kamu.
Oya? Apa aja?
Apem. Kue beras. Loyang dikit. Terus... es kacang ijo.
Wuah. Kamu tahu betul kesenengan aku.
Iyalah. Dulu hampir tiap hari kamu masak itu, masa aku masih enggak bisa duga itu kesenengan kamu?
Haha. Iya ya.
Dihabisin ya.
Tentu aja. Tapi enggak langsunglah. Mau aku simpen dulu untuk bekal.
Bekal apa?
Ya ... kalau malem-malem aku rindu kamu, aku bisa makan satu-satu kue-kuenya pelan-pelan, sambil terus inget-inget muka kamu sekarang.
Halah. Jangan sembarangan. Kue-kue itu enggak tahan lama. Makan yang cepat, selagi masih bagus.
Iya. Aku tahu. Bercanda doang.
Oh.
Kamu memang enggak berubah ya.
Memang aku siapa, perlu berubah?
Hahaha ....
....
... Si adek gimana?
Baik-baik aja. Nanyain kamu terus tiap hari. Tadi mau ngajak dia, tapi sekolahnya ngadain tujuh belasan. Dia musti ikutan upacara, enggak bisa ikut hari ini.
Oh gitu. Kenapa enggak datang siangan aja?
Siang aku musti ke proyek lagi.
Lho. Enggak dikasih libur?
Enggak. Tauk, itu. Yang punya proyeknya parno. Takut itu rumah enggak selesai sebelum istrinya melahirkan atau gimanalah. Percaya takhyul orangnya.
Kamu minta izin aja.
Pengennya gitu. Tapi entar upah dipotong. Sehari dua puluh ribu. Sayang. Lumayan juga tuh kalau sehari aja enggak kerja.
....
....
Terus, si adek, enggak ada yang nemenin?
Ada sodara yang jaga.
Padahal aku pingin ketemu adek sebentar aja.
....
Kenapa?
Enggak usah kawatirin adek. Kamu jaga baik-baik aja kesehatan kamu di sini.
Memang kenapa dengan Adek?
Baik-baik aja. Enggak kenapa-kenapa.
Terus kenapa aku enggak boleh ketemu dia?
Lho, aku enggak bilang gitu.
Enggak. Kamu enggak bilang gitu. Tapi kamu seperti enggak mau jawab waktu aku tanya kenapa.
....
... Apa karena aku?
....
Kamu enggak mau bawa adek ke sini karena takut dia ngeliat aku ada di ... sini. Takut dia malu seumur hidupnya. Iya ‘kan?
....
Udah. Enggak apa. Aku enggak nyalahin kamu. Mungkin aku akan lakuin hal yang sama kayak kamu, seandainya aku di luar, kamu di dalam.
Juga. Seandainya dulu kamu enggak nekat, enggak bakal gini jadinya.
Tapi-
Kalau kamu enggak sembrono nyerang itu petugas.
Tapi dia orang brengsek. Penipu. Hina. Pantas dapat yang lebih sakit daripada itu.
Terus apa guna? Sekarang kamu di dalam, aku di luar. Kita berdua terpisah dinding kaca. Cuma bisa ngomong sekali seminggu dari telepon ini, tidak lebih dari sepuluh menit. Apa kamu sempat mikirin ini sebelum kamu tau-tau nyoba nyerang itu petugas?
Terus? Aku musti diam aja waktu dia mau nutup kios dagangan kita? Biarin dia ngebolak-balik dan ngehancurin itu gerobak sampai patah-patah, bahkan enggak bayar kerugian balik buat kita? Aku cuma melindungi diri, berusaha untuk tetap HIDUP. Itu bukan tindakan sembrono yang aku niat lakukan untuk berakhir nasib di balik jeruji-jeruji besi sialan ini!
Aku- ... Sudahlah.
....
....
Aku mau ketemu adek.
Iya.
Udah lama. Udah berapa bulan. Lebih dari itu, aku takut adek lupa sama aku.
Enggak. Dia enggak bakalan lupa. Tadi kan udah aku bilang, dia nanyain kamu tiap hari. Liatin foto kamu tiap hari. Dia enggak mungkin lupa.
Terus, apa kilah kamu padanya selama aku di sini?
Aku bilangin kamu pergi ke rumah nenek di kampung. Bilang neneknya kangen sama kamu, jadi kamu perginya agak lama. Gitu.
... Memang adek masih percaya itu sampai sekarang?
Yah ... Akhir-akhir ini kayaknya mulai curiga.
Makanya. Enggak ada guna bohong ama dia. Nanti juga dia pasti, dan harus tahu kalau nyatanya, bahwa selama ini aku ada di sini, bukan di rumah ibu.
Dia masih kecil. Takut belum siap. Entar trauma.
Tapi kalau enggak sekarang, kapan? Aku kena vonis lima tahun, dan sekarang, kalau tak salah hitung, baru tiga bulan, satu minggu yang berjalan.
Kita tunggu pengacara angkat kasus atau naik banding-
Kapan itu? Apa akan ada? Sejak kios kita dirusak, sejak proses persidangan, sejak vonis dijatuhkan, aku sudah hilang percaya sama hukum negeri ini. Aku akan di sini selama lima tahun, dan tidak mungkin kurang banyak daripada itu.
....
Jadi biarin aku ketemu sama adek. Jangan sampai dia sendiri lupa, kalau dia masih punya Ibu di sini.
....
Jawab aku, Mas.
....
Mas? Mas?
....
....
....
Ya udah. Sampai minggu depan lagi ya, Mas.
copas dari http://www.kemudian.com/node/258047

-------------------------------------

1 komentar