(Free Day: catatan harianku yang terinspirasi dari postingannya Andri Husein).



(Free Day: catatan harianku yang terinspirasi dari postingannya Andri  Husein).

Malam telah amat larut ketika suara berderum yang amat kencang tiba-tiba saja memecah kesunyian malam. Volume suaranya amat sangat besar. Suara mesin. Aku terjaga, dan nyaris mengira bahwa sebuah pesawat jet dengan penumpang terbatas telah melakukan pendaratan mendadak di jalanan depan rumahku.


"Astaghfirullah!... Apa itu mas?"
"Sstt....sstt.... itu suara motor lewat, ngebut. Sudah, istirahat lagi." Suamiku langsung menenangkan aku. Sudah lewat tengah malam, pukul satu dini hari kurang sedikit.
"Kamu... belum tidur mas?"
"Iya.... menunggu City main, sebentar lagi."
"Ugh... ngantukku sudah langsung hilang karena suara motor tadi." Lalu aku pun duduk dan menemani suamiku yang sedang asyik dengan tabletnya, dalam rangka menunggu Manchester City main melawan Soton (maaf karena tidak mengerti bola, aku gak tahu kepanjangan apa SOton ini). Untuk menemnai mataku yang sudah  tidak mau diajak tidur lagi, aku pun meraih tabletku sendiri dan mulai menggeser layarnya, buka facebook. Saat itulah aku melihat ada notification baru dari BAW, dibuat oleh Andri Husein.
Seumur hidupku, ada dua orang temanku yang aku tahu amat menyukai hitung-hitungan dan rumus. Yang pertama adalah teman SMA-ku, namanya Tras Rustamadji; dan yang kedua ya Andri Husein ini.  Dulu, Tras di kelas sering  menyelipkan rumus-rumus yang terdengar membosankan dalam obrolan yang dia lemparkan. Satu dua masuk ke dalam kepalaku. Lalu kemudian, mulai memberi pengaruh sedikit, banyak gak pengaruhnya , tentang pemahamanku pada matematika dan ilmu eksak lainnya. Tapi dari cara berpikirnya yang "ilmiah" ini,  satu hal yang aku kagumi darinya adalah, dia bisa menyederhanakan sebuah  kerumitan yang bahkan orang lain mungkin  akan garuk-garuk kepala dulu menghadapinya (aku tidak akan berkata tidak mampu; karena bagaimanapun caranya, setiap orang pada dasarnya memiliki kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang dia hadapi dengan cara yang dia kuasai sendiri).  
Setelah bertahun-tahun kemudian, satu demi satu rumus atau ocehan Tras tentang matematika itu Pop Up begitu saja ketika aku mencoba merenungi beberapa hal yang aku temui dalam kejadian keseharian. Aku menyaksikan akhir hidup seseorang yang sepanjang hidupnya selalu mengucapkan sebuah kata secara dominan dan dia pun mengakhiri hidupnya dengan kata itu. Aku pun teringat kegiatan Tras menghitung berapa kali  seorang guru  yang berasal dari Bali, mengucapkan satu kata "itu" dengan dialek Bali yang amat kental.  Mengalikannya dengan jumlah waktu dalam sehari, seminggu, sebulan, setahun, lalu mencari rumus matematika untuk penghitungannya hingga muncul sebuah rumus matematika guna menghitung berapa kali guru tersebut (namanya Pak Made, di SMA 8 Jakarta), dalam beberapa waktu.
"Hmm, berarti, bisa jadi, sebuah kata yang sering kita ucapkan itulah yang mematri benak kita. Ketika ajal telah tiba, dan sakaratul maut  sudah diujung kaki, semua orang pasti akan merasa ketakutan. Seluruh kejadian yang dia alami segera tersaji di depan mata. Pasti ada kebahagiaan ketika melihat kebaikan yang sudah dilakukan. Tapi... apakah kebaikan selalu jumlahnya lebih banyak dari kemunkaran yang dia lakukan? Bagaimana jika jumlah keburukan yang dia lakukan sepanjang hidupnya ternyata lebih banyak ketimbang jumlah kebaikannya? Tentu gemetar seluruh jiwa raga ini. Tidak ada waktu lagi untuk bertobat dan memperbaiki diri. Dan akhirnya...  yang muncul adalah kata yang sudah terlanjur terinternalisasi dengan baik selama ini. Kata yang paling sering muncul keluar dari mulut seseorang. Kata yang...."
Aku jadi teringat rumus matematik yang dibuat oleh Tras beberapa tahun yang lalu. Dan demikianlah sebuah rumus atau teori yang dahulu tampaknya sepele dan patut aku lupakan  (hehehe karena njelimet), tiba-tiba saja menjawab pertanyaan atas sebuah persoalan hidup yang aku temui di masa sekarang.  Sejak itulah aku berusaha untuk memperhatikan setiap hal-hal yang membosankan dan masuk kategori patut dilupakan menjadi hal-hal yang "perhatikan saja; semua ilmu itu tidak akan sia-sia insya Allah."
Dan malam ketika aku terbangun itulah aku membaca postingan Andri Husein tentang  rumus aljabar yang disebut dengan :

Aku membacanya pelan-pelan, mencoba memahami satu demi satu dengan kemampuan otakku yang terbatas.  Dia membahas tentang Fraktal, yang menurutnya merupakan sisi paling romantis dari ilmu matematika (jujur saja, awalnya aku langsung tersenyum, matematika kok romantis? Ini saja sudah lucu, dan masih ditambahkan dengan kalimat bahwa Rumus Fraktal adalah sisi paliang romantis dari ilmu matematika? waaah). Tapi.... kesampingkan dulu pendapat subjektifku, mari kita baca dengan hati-hati.
Ini penjelasannya:
Dalam ilmu yang paling wajib dalam matematika yang setahu saya adalah aljabar, kita tentu tidak asing dong dengan formulasi sbb :
y = 2x.

Namun, dalam Fraktal kita akan sering menjumpai formulasi yang membingungkan semacam
y = y+1

Wah kecil dong, gampang dong, kalau diselesaikan secara aljabar kita akan memeroleh
y-y = 1
atau
0 = 1

Tapi, lho, kok nol bisa sama dengan 1 ?

Nah, formulasi semecam itu bermakana

y(baru) = y(lama)+1

Oleh karena itu ia sangat memerlukan komputer sebagai pemroses karena untuk mencari nilai y yang lebih baru kita memerlukan nilai y yang lama demeikian

seterusnya sampai batas yang telah kita tentukan sendiri apakah mau diulangi 5x saja atau 5 ribu kali.
Seperti tampak dalam gambar di bawah ini. Ini merupakan dasar menggambar fraktal dari level 0, 1, 2 dan 3, yang saya temukan di bukunya H. Strogatz.

Dari motif sederhana ini bisa dikembangkan menjadi aneka bentuk yang lebih luas lagi macam segitiga, segi empat dan sebagainya.


Namun pada prisipnya, sebuah fraktal merupakah "dunia di dalam dunia." Gambaran kecil merupakan gambaran besarnya. Demikian juga sebaliknya. Sepotong fraktal bila kita perbesar dengan mikroskop akan kita temukan fraktal lagi di dalamnya.
teori Fraktal sudah lama usianya, namun ia membeku sampai era komputer yang bisa memroses aljabar iteratif seperti y(baru) = y(lama)+1.

Misalnya,

y = 1.2
akhir = 500
i = 0
for i<=akhir
i=i+1
y = y+1
end

Maka ia akan menghitung y sebanyak 500 kali loops (perulangan)
Nilai y akan berevplusi dari awalnya 1.2, menjadi 2.2, 3.2, 4.2 ... dst ...

--------------------
Hahahaha... njelimet ya. Aku bolak balik membaca ulang penjelasan dari Andri ini. Lalu mengamati gambarnya. Lalu membayangkan jika gambar itu muncul 3 Dimensi. Hasilnya, aku mulai bisa mengerti sedikit-sdikit. Tapi ya itu, sesuai dengan kemampuanku yang bukan ahli matematika. Tapi sebagai seorang ibu, istri dan kekasih paling hebat bagi suamiku (ehem ehem, insya Allah).

Dan ini pemahamanku membaca postingan ini:

----------------------
Baik. Kita ganti semua faktor yang  terkait di atas.
Y : aku
Dan beri sebuah pertanyaan : seberapa banyak  sih rasa cintaku padamu? Secara matematika, jawabnya tidak terhingga. Bukan lagi ratusan seperti di iklan-iklan. Tapi jika kamu masih penasaran, berapa tepatnya jumlah rasa cintaku padamu, pakailah teori Fraktal di atas.
Y (lama) = cintaku padamu kemarin.
Y (baru) = cintaku padamu hari ini
Rumus Fraktal = itulah cintaku padamu. Jadi, cintaku padamu hari ini selalu bertambah satu setiap harinya dibanding hari kemarin.

---------------
Hahahaha.... Gimana? Ngerti gak?? Belon juga? Ayo kita coba mengganti variabelnya dengan kata yang lain.

---------------

Sekarang kita ganti lagi dengan tema yang lain. Bagaimana dengan tema kualitas diri. Yap. Rumus Fraktal seharusnya diterapkan ketika seseorang ingin mengukur kualitas dirinya. Kualitas diri seseorang baru akan dinyatakan mengalami peningkatan jika dia lebih baik dari dirinya di waktu yang lalu. Ini sudah seharusnya dan idealnya seperti ini. Bayangkan jika kita bertemu dengan teman waktu kita duduk di sekolah dasar dulu. Setelah bertahun-tahun berpisah, mungkin belasan atau puluhan tahun, apa yang akan terjadi jika ternyata begitu bertemu lagi dia masih mengenakan kemeja putih dengan badge bergambar Tut Wuri Handayani, celana pendek berwarna merah lengkap dengan dasi pendek Sekolah Dasar?? Bagaimana jika dia masih tidak merasa malu hingga membiarkan saja ingus berwarna hijau keluar masuk dari hidungnya? Bagaimana jika dia masih asyik jongkok menyentil kelereng?? Waaahhhh... nggak banget deh. Seharusnya, setelah berbelas belas tahun berpisah, dia sama dengan kita dong ya. Memakai pakaian orang dewasa dan bisa berkomunikasi sebagaimana orang dewasa berkomunikasi, tahu sopan santun dan tata krama. Jika dia masih sama dengan kondisi ketika masih SD dulu, itu namanya Idiot. Tidak ada kemajuan.

Atau ketika pasangan pengantin baru, mungkin setahun pertama masih tertawa-tawa jika istri belum bisa masak. Tapi jika sudah lima tahun usia pernikahan dan si istri masih juga tidak bisa memasak sama sekali, bahkan memasak air pun tidak bisa, pasti suaminya mikir, "bini gue kenapa kagak ada kemajuan?"...

Setiap orang, seharusnya memang selalu mengalami kemajuan dalam kualitas dirinya setiap usianya bertambah. Setiap pergantian waktu dialaminya. Dan waktu itu selalu maju ke depan, tidak pernah bisa diulang atau mundur ke belakang. Itu sebabnya dikatakan bahwa orang yang mengalami kerugian adalah orang yang tidak bisa  memanage waktunya hingga dia tidak memperoleh peningkatan apapun dari pertambahan waktu yang dia lalui. Inilah yang disebut kualitas diri.
Sekarang... mari kita mengukur kualitas diri kita dengan menggunakan Fraktal.

Y (lama) = kualitas diri di masa lalu
Y (baru) = kualitas diri di masa sekarang
Rumus Fraktal = peningkatan kualitas diri seseorang.
Jadi, seseorang yang bisa dikatakan berhasil adalah: mereka yang mengalami peningkatan dalam kualitas dirinya, selangkah lebih banyak daripada masa lalunya. 
Sejalan dengan Surat Al Ashr dalam Al Quran:
”Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sholih dan saling menasihati supaya menaati kebenaran dan saling menasihati supaya menetapi kesabaran” (QS. Al ‘Ashr).

--------------------------------
Dan berikut ini adalah artikel bagus yang ditulis oleh Muhammad Nur Ichwan Muslim di www.muslim.or.id. ketika membahas kandungan isi surat Al Ashr.
Allah ta’ala berfirman,
وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (3)
”Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sholih dan saling menasihati supaya menaati kebenaran dan saling menasihati supaya menetapi kesabaran” (QS. Al ‘Ashr).

Surat Al ‘Ashr merupakan sebuah surat dalam Al Qur’an yang banyak dihafal oleh kaum muslimin karena pendek dan mudah dihafal. Namun sayangnya, sangat sedikit di antara kaum muslimin yang dapat memahaminya. Padahal, meskipun surat ini pendek, akan tetapi memiliki kandungan makna yang sangat dalam. Sampai-sampai Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata,
لَوْ تَدَبَّرَ النَّاسُ هَذِهِ السُّوْرَةَ لَوَسَعَتْهُمْ
”Seandainya setiap manusia merenungkan surat ini, niscaya hal itu akan mencukupi untuk mereka.” [Tafsir Ibnu Katsir 8/499].

Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, ”Maksud perkataan Imam Syafi’i adalah surat ini telah cukup bagi manusia untuk mendorong mereka agar memegang teguh agama Allah dengan beriman, beramal sholih, berdakwah kepada Allah, dan bersabar atas semua itu. Beliau tidak bermaksud bahwa manusia cukup merenungkan surat ini tanpa mengamalkan seluruh syari’at. Karena seorang yang berakal apabila mendengar atau membaca surat ini, maka ia pasti akan berusaha untuk membebaskan dirinya dari kerugian dengan cara menghiasi diri dengan empat kriteria yang tersebut dalam surat ini, yaitu beriman, beramal shalih, saling menasehati agar menegakkan kebenaran (berdakwah) dan saling menasehati agar bersabar” [Syarh Tsalatsatul Ushul].

Iman yang Dilandasi dengan Ilmu

Dalam surat ini Allah ta’ala  menjelaskan bahwa seluruh manusia benar-benar berada dalam kerugian. Kerugian yang dimaksud dalam ayat ini bisa bersifat mutlak, artinya seorang merugi di dunia dan di akhirat, tidak mendapatkan kenikmatan dan berhak untuk dimasukkan ke dalam neraka. Bisa jadi ia hanya mengalami kerugian dari satu sisi saja. Oleh karena itu, dalam surat ini Allah mengeneralisir bahwa kerugian pasti akan dialami oleh manusia kecuali mereka yang memiliki empat kriteria dalam surat tersebut [Taisiir Karimir Rohmaan hal. 934].

Kriteria pertama, yaitu beriman kepada Allah. Dan keimanan ini tidak akan terwujud tanpa ilmu, karena keimanan merupakan cabang dari ilmu dan keimanan tersebut tidak akan sempurna jika tanpa ilmu.  Ilmu yang dimaksud adalah ilmu syar’i (ilmu agama). Seorang muslim wajib (fardhu ‘ain) untuk mempelajari setiap ilmu yang dibutuhkan oleh seorang mukallaf dalam berbagai permasalahan agamanya, seperti prinsip keimanan dan syari’at-syari’at Islam, ilmu tentang hal-hal yang wajib dia jauhi berupa hal-hal yang diharamkan, apa yang dia butuhkan dalam mu’amalah, dan lain sebagainya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلىَ كُلِّ مَسْلَمٍ
”Menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah nomor 224 dengan sanad shahih).
Imam Ahmad rahimahullah berkata,

يَجِبُ أَنْ يَطْلَبَ مِنَ الْعِلْمِ مَا يَقُوْمُ بِهِ دِيْنَهُ
”Seorang wajib menuntut ilmu yang bisa  membuat dirinya mampu menegakkan agama.”  [Al Furu’ 1/525].
Maka merupakan sebuah kewajiban bagi setiap muslim untuk mempelajari berbagai hal keagamaan yang wajib dia lakukan, misalnya yang berkaitan dengan akidah, ibadah, dan muamalah. Semua itu tidak lain dikarenakan seorang pada dasarnya tidak mengetahui hakikat keimanan sehingga ia perlu meniti tangga ilmu untuk mengetahuinya. Allah ta’ala  berfirman,
مَا كُنْتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلا الإيمَانُ وَلَكِنْ جَعَلْنَاهُ نُورًا نَهْدِي بِهِ مَنْ  نَشَاءُ مِنْ عِبَادِنَا
”Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Quran itu dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al Quran itu cahaya, yang Kami tunjuki dengannya siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami.” (Asy Syuura: 52).

Mengamalkan Ilmu

Seorang tidaklah dikatakan menuntut ilmu kecuali jika dia berniat bersungguh-sungguh untuk mengamalkan ilmu tersebut. Maksudnya,  seseorang dapat mengubah ilmu yang telah dipelajarinya tersebut menjadi suatu perilaku yang nyata dan tercermin dalam pemikiran dan amalnya.
Oleh karena itu, betapa indahnya perkataan Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah

لاَ يَزَالُ الْعَالِمُ جَاهِلاً حَتىَّ يَعْمَلَ بِعِلْمِهِ فَإِذَا عَمِلَ بِهِ صَارَ عَالِمًا
”Seorang yang berilmu akan tetap menjadi orang bodoh sampai dia dapat mengamalkan ilmunya. Apabila dia mengamalkannya, barulah dia menjadi seorang alim” (Dikutip dari Hushul al-Ma’mul).
Perkataan ini mengandung makna yang dalam, karena apabila seorang memiliki ilmu akan tetapi tidak mau mengamalkannya, maka (pada hakikatnya) dia adalah orang yang bodoh, karena tidak ada perbedaan antara dia dan orang yang bodoh, sebab ia tidak mengamalkan ilmunya.

Oleh karena itu, seorang yang berilmu tapi tidak beramal tergolong dalam kategori yang berada dalam kerugian, karena bisa jadi ilmu itu malah akan berbalik menggugatnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تَزُوْلُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتىَّ يَسْأَلَ عَنْ عِلْمِهِ مَا فَعَلَ بِهِ
,”Seorang hamba tidak akan beranjak dari tempatnya pada hari kiamat nanti hingga dia ditanya tentang ilmunya, apa saja yang telah ia amalkan dari ilmu tersebut.” (HR. Ad Darimi nomor 537 dengan sanad shahih).

Berdakwah kepada Allah

Berdakwah, mengajak manusia kepada Allah ta’ala, adalah tugas para Rasul dan merupakan jalan orang- orang yang mengikuti jejak mereka dengan baik. Allah ta’ala berfirman,
قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ (١٠٨)
“Katakanlah, “inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.” (Yusuf: 108).

Jangan anda tanya mengenai keutamaan berdakwah ke jalan Allah. Simak firman Allah ta’ala berikut,
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?” (QS. Fushshilat : 33).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
فَوَاللَّهِ لَأَنْ يُهْدَى بِكَ رَجُلٌ وَاحِدٌ خَيْرٌ لَكَ مِنْ حُمْرِ النَّعَمِ
Demi Allah, sungguh jika Allah memberikan petunjuk kepada seseorang dengan perantara dirimu, itu lebih baik bagimu daripada unta merah” (HR. Bukhari nomor 2783).

Oleh karena itu, dengan merenungi firman Allah dan sabda nabi di atas, seyogyanya seorang ketika telah mengetahui kebenaran, hendaklah dia berusaha menyelamatkan para saudaranya dengan mengajak mereka untuk memahami dan melaksanakan agama Allah dengan benar.

Sangat aneh, jika disana terdapat sekelompok orang yang telah mengetahui Islam yang benar, namun mereka hanya sibuk dengan urusan pribadi masing-masing dan “duduk manis” tanpa sedikit pun memikirkan kewajiban dakwah yang besar ini.

Pada hakekatnya orang yang lalai akan kewajiban berdakwah masih berada dalam kerugian meskipun ia termasuk orang yang berilmu dan mengamalkannya. Ia masih berada dalam kerugian dikarenakan ia hanya mementingkan kebaikan diri sendiri (egois) dan tidak mau memikirkan bagaimana cara untuk mengentaskan umat dari jurang kebodohan terhadap agamanya. Ia tidak mau memikirkan bagaimana cara agar orang lain bisa memahami dan melaksanakan ajaran Islam yang benar seperti dirinya. Sehingga orang yang tidak peduli akan dakwah adalah orang yang tidak mampu mengambil pelajaran dari sabda rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
”Tidak sempurna keimanan salah seorang diantara kalian, hingga ia senang apabila saudaranya memperoleh sesuatu yang juga ia senangi.” (HR. Bukhari nomor 13).
Jika anda merasa senang dengan hidayah yang Allah berikan berupa kenikmatan mengenal Islam yang benar, maka salah satu ciri kesempurnaan Islam yang anda miliki adalah anda berpartisipasi aktif dalam kegiatan dakwah seberapapun kecilnya sumbangsih yang anda berikan.

Bersabar dalam Dakwah

Kriteria keempat adalah bersabar atas gangguan yang dihadapi ketika menyeru ke jalan Allah ta’ala. Seorang da’i (penyeru) ke jalan Allah mesti menemui rintangan dalam perjalanan dakwah yang ia lakoni. Hal ini dikarenakan para dai’ menyeru manusia untuk mengekang diri dari hawa nafsu (syahwat), kesenangan dan adat istiadat masyarakat yang menyelisihi syari’at [Hushulul ma’mul hal. 20].
Hendaklah seorang da’i mengingat firman Allah ta’ala berikut sebagai pelipur lara ketika berjumpa dengan rintangan. Allah ta’ala berfirman,

وَلَقَدْ كُذِّبَتْ رُسُلٌ مِنْ قَبْلِكَ فَصَبَرُوا عَلَى مَا كُذِّبُوا وَأُوذُوا حَتَّى أَتَاهُمْ نَصْرُنَا وَلا مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِ اللَّهِ وَلَقَدْ جَاءَكَ مِنْ نَبَإِ الْمُرْسَلِينَ (٣٤)
”Dan sesungguhnya telah didustakan (pula) para rasul sebelum kamu, akan tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka, sampai datang pertolongan Kami terhadap mereka” (QS. Al-An’am : 34).

Seorang da’i wajib bersabar dalam berdakwah dan tidak menghentikan dakwahnya. Dia harus bersabar atas segala penghalang dakwahnya dan bersabar terhadap gangguan yang ia temui. Allah ta’ala menyebutkan wasiat Luqman Al-Hakim kepada anaknya (yang artinya),

”Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang munkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)” (QS. Luqman :17).
Pada akhir tafsir surat Al ‘Ashr ini, Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata,
فَبِالِأَمْرَيْنِ اْلأَوَّلِيْنَ، يُكَمِّلُ اْلإِنْسَانُ نَفْسَهُ، وَبِالْأَمْرَيْنِ اْلأَخِيْرِيْنَ يُكَمِّلُ غَيْرَهُ، وَبِتَكْمِيْلِ اْلأُمُوْرِ اْلأَرْبَعَةِ، يَكُوْنُ اْلإِنْسَانُ قَدْ سَلِمَ تعل مِنَ الْخُسَارِ، وَفَازَ بِالْرِبْحِ [الْعَظِيْمِ]
”Maka dengan dua hal yang pertama (ilmu dan amal), manusia dapat menyempurnakan dirinya sendiri. Sedangkan dengan dua hal yang terakhir (berdakwah dan bersabar), manusia dapat menyempurnakan orang lain. Dan dengan menyempurnakan keempat kriteria tersebut, manusia dapat selamat dari kerugian dan mendapatkan keuntungan yang besar” [Taisiir Karimir Rohmaan hal. 934].
Semoga Allah memberikan taufik kepada kita untuk menyempurnakan keempat hal ini, sehingga kita dapat memperoleh keuntungan yang besar di dunia ini, dan lebih-lebih di akhirat kelak. Amiin.
-------------------
Nah.... benar kan. Semua ilmu itu tidak ada yang sia-sia. (penulis dan perangkum: ade anita)








6 komentar

  1. Masya ALLoh.. rumus kehidupan yang kereen, Bunda.. tanpa ilmu, iman seseorang tak akan mudah bertahan lama, yaa...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya bener... semua orang insya allah setiap harinya akan memperoleh satu nilai plus... tidak ada yang sama persis dengan hari kemarinnya

      Hapus
  2. Masha Allah, keren sekali penjabaran dari perumusan matematika tsb. Entah bisa dihubungkan atau tidak, rumus Fraktal Andri dan penjabaran teori tersebut oleh mb Ade, tapi yg jelas, tulisan mb Ade so touching. Bener, tidak disebut orang berilmu sampai dia mengamalkannya... Love it

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya bener mbak atik.. ilmu tidak ada artinya jika tidak ada pengamalannya

      Hapus
  3. tulisan ini membantuku memahami dan merasakan manfaat andri 'fraktal' husein. thanks mbak

    BalasHapus