Cantik Vs Jelek: Pilih mana?

Kemarin, sambil menunggu putriku pulang dari sekolahnya, aku ngobrol sama ibu-ibu di sekolah. Salah satu ibu bercerita bahwa dia bersyukur anaknya tidak tertarik pada fisik semata.
Loh?
Kenapa nih kok tiba-tiba si ibu ini ngomong seperti ini?

Ada kejadian sebelumnya.
Jadi, ceritanya kami tuh sedang membicarakan tentang susah-susah gampangnya mengasuh anak perempuan.

Semua perempuan dewasa pasti deh menyadari bahwa fisik, sekali lagi: FISIK, seorang perempuan itu adalah point penting yang harus dijaga keindahannya oleh seorang perempuan.
Ya..sepakat tidak sepakat mungkin yang membaca ini. Tapi, coba deh jujur dalam membeli penilaian.

Memang sih, beauty is behalf on the behoulder alias cantik itu relatif banget, tergantung siapa yang melihatnya. Juga bahwa cantik luar  itu tidak penting jika disandingkan dengan cantik di dalam. Jadi, jika hatinya cantik otomatis dia akan terlihat cantik.

Masalahnya, jika ada di sebuah kerumunan, ruangan 4 x 5 meter yang isinya 50 orang cewek pakai seragam, dan di atas panggung ada seorang lelaki harus memilih 1 saja cewek untuk dijadikan istrinya jika tidak dia akan dipancung setengah jam kemudian jika gak mampu untuk memilih (seram banget ya perumpamaannya?)... nah... coba tebak siapa cewek beruntung (atau sial?) yang akan dia pilih? Otomatis dia akan memilih yang paling cantik dong. Lah... kan mau dijadiin istri dalam hal ini. Kenapa? Karena, kecantikan hati seorang perempuan itu tidak serta merta membuatnya menjadi bersinar terang di tengah kegelapan.... tidak serta merta membuat si perempuan tersorot lampu spotlight di tengah keremangan. Jadi... yang pasti-pasti aja deh: lihat yang fisiknya okeh punya.

Nah. Karena pemikiran yang so simple inilah maka kaum ibu yang menjadi teman-temanku ngobrol sepakat untuk mengatakan : MEMBESARKAN ANAK PEREMPUAN ITU TIDAK MUDAH.

Karena selain harus dihias keimanannya dengan hal-hal yang bisa membawanya ke surga, anak perempuan juga harus dijaga fisiknya agar bisa tetap menawan dan enak dilihat.

"Nak, kalau garuk jangan kayak macan lagi ngasah kuku di pohon. Pelan-pelan saja. Jadi kulitmu gak bocel-bocel."

"Nak, makannya jangan kayak kuli bangunan yang lagi istirahat makan siang. Dikit saja, sekedar menghilangkan lapar. Nanti kamu gemuk, gemuk itu jelek."

"Nak, tertawanya cukup dibuka mulutnya selebar tiga jari saja. Nggak usah terlalu lebar. Ih, isi jeroanmu terlihat semua tuh. Jelek banget."

Nak, pelankan suaramu. Haluskan. Jangan terlalu galak dan kayak lagi marah-marah gitu. Emangnya kamu mau jadi preman?"

Tahu gak? Gara-gara terlalu banyak nasehat dan petuah dan himbauan seperti di atas, dulu waktu jaman aku kecil aku tuh sampai benci kenapa dilahirkan sebagai perempuan.
why...
why...
WHY....?

Nah. EH... ups.. bold-nya belum dimatiin.
Nah... pas aku ngobrol dengan ibu-ibu di sekolah pun demikian adanya. Ada ibu yang merasa anaknya tuh punya kecenderungan untuk gemuk permanen. Jadi bingung gimana caranya agar kegemukan anaknya bisa mengecil.
Ada ibu yang merasa anaknya tuh mukanya rata ditumbuhi oleh jerawat sampai-sampai tidak ada tempat kosong, bahkan untuk seekor lalat berpijak.

"Ah, enakkan ngebesarin anak laki deh. Istilahnya tuh, sejelek-jeleknya anak laki, tetap saja ada perempuan yang bakalan mau sama dia. Tapi kalau perempuan yang jelek.. duh... udah deh. Gak bakalan ada laki yang mau jadi suaminya."

Pernyataan ini, bikin kami semua jadi terdiam. Lalu mengingat anak perempuan masing-masing. Yang namanya orang tua, biar gimana pun tetap deh menginginkan yang terbaik dong buat anaknya.
Hmm... anak perempuanku punya kelemahan apa ya? Masih bisa diperbaiki gak ya kelemahannya itu?

Ketika sedang terdiam dan sibuk dengan renungannya masing-masing, tiba-tiba tercetuslah pernyataan temanku seperti di bagian awal tulisan ini.

"Eh... tapi alhamdulillah loh. Anak lelakiku, yang kelas 3 SMA itu, dia sama sekali tidak menganggap penting loh fisik jelek atau cantik seorang perempuan."

"Oh ya? Darimana kamu tahu?" wahh.. ini asli angin segar banget kan.
"Iya mbak Ade. Kemarin, kan ceritanya aku, suamiku dan anak lelakiku datang ke kawinan sodara. Disana ada banyak tuh anak-anak perawan teman dan saudara jauh yang datang. Dikenalin dong sama kami. Nah... ada beberapa tuh anak gadis yang menurutku tuh cantikkk banget. Jadi, pas lagi ambil cemilan berdua anakku, aku colek anakku. Eh, tuh liat. Cantik tuh si A atau B. Gimana? Eh... anakku langsung menggeleng sambil nekuk bibirnya. Ah, mami. Menurutku mereka gak cantik. Wah. Aku bingung dong kenapa gadis yang udah cantik banget kok dibilang gak cantik. Aku rada khawatir juga dengan selera anakku. Takutnya dia malah bengkok atau gimana gitu. Jadi aku tanyain, kenapa gak cantik? Itu bukannya cantik banget? Anakku terus bilang... mam, cantik itu jika mereka mengenakan jilbab. Jika mereka masih terbuka auratnya seperti itu, percuma cantik juga. Karena cantiknya diobral ke semua orang. Kriteriaku cantik itu pake jilbab mam. Wah... mbak Ade, aku tuh bangga banget dengan selera anakku seperti itu. Alhamdulillah anakku normal.. alhamdulillah seleranya yang syar'i."

"Terus... jika dia disodorkan seseorang yang pakai jilbab tapi jelek mau gak? Tanya deh. Aku penasaran."

hahahaha... ini PR yang aku titipkan pada temanku untuk ditanyakan pada anaknya.

Keesokan harinya, temanku ngasi laporan: "kata anakku... mam, aku kan masih normal. Kalau bangun tidur, mata masih setengah rapat, kayaknya butuh deh yang segar dan indah dipandang mata. Gitu mbak Ade jawabannya."

Nah....
nah...
hehehehe...
jadi gimana menurut kalian. Jika Cantik VS Jelek, pilih mana?

btw, ini aku nemu video lucu-lucuan di You Tube tentang cewek cantik vs cewek jelek. Tenang.. ini hanya lucu-lucuan kok jangan dimasukin ke hati ya. 



Quality Time ketka Makan bersama keluarga

[Lifestyle : Kuliner; Parenting]: Acara yang paling aku sukai ketika week end tiba adalah: acara dinner di luar rumah. 
Widiww.... rasanya seperti menikmati liburan panjang dari rutinitas keseharian yang berkutat di rumah saja.
Hehehe... aku memang ibu rumah tangga yang senang berdiam di dalam rumah (ya suami juga sih yang meminta demikian dan aku ikhlas menjalankan perintahnya insya Allah). Acara keluar rumah yang aku lakukan dari senin hingga jumat itu cuma ke dua tempat saja biasanya: pasar dan sekolah anak-anak. Selebihnya, aku berdiam di dalam rumah. Melakukan banyak hal di dalam rumah seperti membereskan rumah, memasak, mencuci dan sebagainya. Juga berkegiatan ke banyak tempat yang dilakukan dari dalam rumah lewat berselancar dengan internet. Termasuk nulis blog dan membuat aneka macam tulisan.

Wisuda Iqra? Pentingkah?

Siapa yang anaknya akan mengikuti WISUDA IQRA? Putri bungsuku mengikuti wisuda iqra tahun lalu. Ketika diberitahu oleh sekolah bahwa putriku akan dimasukkan dalam rombongan calon wisudawan dan wisudawati Iqra, aku sempat berpikir, sebenarnya penting nggak sih anakku ikut wisuda iqra itu? Karena, jujur saja, aku termasuk orang tua yang tidak begitu meletakkan pencapaian peringkat atas sebuah prestasi pada anak. Buatku, peringkat untuk menunjukkan prestasi itu hanyalah sebuah cabang saja dalam proses belajar. Yang utama adalah, ilmu yang didapat oleh si anak. Karena prestasi adalah cabang, maka perolehan penghargaan, piala, hadiah, ceremony pengumuman dan pemberian gelar juara, menjadi sesuatu yang bukan utama lagi. Dia adalah bonus. 

Pertanyaannya, penting gak kita memberitahu sebuah bonus yang kita dapatkan pada banyak orang?

Akhirnya, aku pun mencari sumber-sumber informasi. Dimulai dari apa itu wisuda. Karena, dalam sebuah ceremony wisuda, semua wisudawan dan wisudawati akan mengenakan toga dan mengikuti rangkaian acara tertentu. Kebanyakan di dalamnya terdapat banyak acara simbolik. Yaitu, acara yang disisipkan karena mengandung filosofi tertentu.

Dimulai dari Toganya.

Lihat deh baju yang dikenakan oleh Hawna. Ini namanya baju dan topi toga wisudawan (i)
Sejarah Toga berasal dari berasal dari tego, yang dalam bahasa latin bermakna penutup. Biarpun umumnya dikaitkan dengan bangsa romawi, toga sesungguhnya berasal dari sejenis jubah yang dikenakan oleh pribumi italia, yaitu bangsa etruskan yang hidup di italia sejak 1200 sm. Kala itu, bentuk toga belum berbentuk jubah, namun sebatas kain sepanjang 6 meter yg cara menggunakannya sebatas dililitkan ke tubuh. Walau tak praktis, toga adalah satu-satunya pakaian yg dianggap pantas waktu seseorang berada diluar ruangan untuk menutupi tubuh mereka.

Sejarah toga sesudah itu berkembang di Romawi waktu toga dijadikan busana orang-orang Romawi. Waktu itu toga adalah pakaian berupa sehelai mantel wol tebal yang dikenakan sesudah mengenakan cawat atau celemek. Toga diyakini telah ada sejak era Numapompilius, raja roma yang kedua. Toga ditanggalkan bila pemakainya berada di dalam ruangan, atau bila melakukan pekerjaan berat di ladang, tetapi toga dianggap satu-satunya busana yang pantas bila berada di luar ruangan.




Seiring berjalannya waktu, pemakaian toga untuk busana sehari-hari perlahan mulai ditinggalkan. Namun tidak bermakna toga hilang begitu saja. Sebab sesudah itu bentuknya dimodifikasi menjadi sejenis jubah. Akhirnya modifikasi itu mengangkat derajat toga dari pakaian sehari-hari menjadi pakaian resmi seremonial yang mana diantaranya yakni seremonial wisuda.

Bukan hanya asal muasal Toga yang bisa kita lacak. Pemilihan warna dari baju toga pun ternyata memiliki simbolisasi yang tertentu. 

Pemilihan warna hitam gelap pada toga adalah simbolisasi yaitu misteri serta kegelapan telah berhasil dikalahkan sarjana waktu mereka menempuh pendidikan di bangku kuliahan. Tak hanya itu sarjana pun diharapkan mampu menyibak kegelapan dengan ilmu pengetahuan yang selama ini didapat olehnya. Warna hitam  melambangkan keagungan. Sebab itu, tak hanya sarjana, ada hakim serta separuh pemuka agama pun memakai warna hitam pada jubahnya.

Tapi, khusus untuk SD islam tempat putriku bersekolah, tentu saja ada modifikasi tentang arti warna. Islam, sebenarnya tidak mengagungkan warna tertentu. Semua warna sebenarnya sama saja. Tapi, warna hijau menempati tempat yang mungkin bisa dikatakan lebih istimewa karena dalam banyak literatur keislaman, warna hijau sering digambarkan sebagai warna yang ada di dalam surga kelak. Itu sebabnya, dalam pakaian Toga di SD putriku, Muhammadiyah, ada aksen warna hijau. Dan karena Muhammadiyah memakai lambang matahari terbit (nanti deh aku tulis tersendiri ya arti dari lambang muhammadiyah ini), maka pakaian toga para wisudawan dan wisudawati Iqra pun menjadi warna kuning cerah.

Demikian juga halnya dengan topi yang dipakai oleh para Wisudawan/wisudawati. Topi kotak yang sama sekali tidak nyaman dipakai itu, ternyata punya sejarah tersendiri yang memiliki arti simbolik.

Arti filosofis dari bentuk persegi pada topi toga. Sudut-sudut persegi pada topi toga menyimbolkan yaitu seorang sarjana dituntut untuk berpikir rasional serta memandang segala sesuatu hal dari beraneka sudut pandang. Sedangkan  arti dari seremoni kuncir tali di topi toga dipindah dari kiri ke kanan juga memiliki makna simbolik.  Seremoni memindahkan kuncir tali toga yang semula berada di kiri menjadi ke kanan ternyata berarti yaitu  jika ketika selama masa perkuliahan lebih banyak otak kiri yang digunakan, diharapkan sesudah lulus, sarjana tak sebatas memakai otak kiri (hardskills) semata, tetapi pula dapat menggunakan otak kanan yang berhubungan dengan aspek kreativitas, imajinasi, serta inovasi, dan aspek softskills lainnya (sumber informasi ini diambil dari sini)

Wah.... ternyata lumayan dalam juga seremonial acara wisuda ya. Selanjutnya, kenapa mereka yang tamat IQRA perlu diwisuda sih? Pentingkah?

Seperti kita ketahui bersama, sejak jaman dahulu hingga sekarang ada banyak sekali metode pembelajaran AL Quran. Salah satunya, yang paling banyak diterapkan di banyak tempat dan sekolahan adalah metode Qira'ati.

Qira’ati adalah salah satu metode pembelajaran membaca al­Qur’an yang kehadirannya bertujuan untuk menyebarkan ilmu baca al­Qur’an yang benar sesuai dengan kaidah tajwid (definisi ini diambil dari hasil penelitian disini). Metode Qira'ati banyak dipilih oleh banyak sekolah Islam atau lembaga belajar membaca Al Quran karena dengan metode ini siswa bukan hanya bisa membaca Al Quran tapi juga mengerti bagaimana menerapkan Tajwid ketika mereka membaca setiap huruf dalam Al Quran tersebut.

Ada 6 tingkatan yang harus dilewati oleh siswa ketika belajar mengenal huruf Al Quran dengan metode Qira"ati. 6 tingkatan ini dikenal dengan istilah Iqra 1, Iqra 2, Iqra 3, Iqra 4, Iqra 5, dan terakhir Iqra 6. Setelah seorang siswa menyelesaikan Iqra 6 maka siswa akan masuk ke Al Quran. 

Nah.... mereka yang lulus Iqra 6 dan akan masuk ke jenjang Al Quran inilah yang berhak mengikuti wisuda Iqra.

Waktu putri keduaku TK dahulu, kebetulan agar cara mengajarkan anak di rumah dan di sekolah sama, maka sekolah mewajibkan para orang tua yang bertugas mengajarkan anak di rumah untuk mengikuti pelajaran Iqra di sebuah tempat belajar Iqra gratis. Jadi, ceritanya aku sempat mengikuti pelajaran Iqra tersebut. Belajar metode Qira'ati ini ternyata memang tidak mudah. Memerlukan kesabaran, ketelatenan, dan ketekunan. Karena proses yang cukup panjang ini (menyelesaikan 6 tingkatan) maka keberhasilan mereka yang sudah menyelesaikannya tentu saja harus disyukuri.

Jadi.... kesimpulanku adalah: wisuda Iqra itu, penting buat anak. Karena ini adalah wujud dari rasa bersyukur semua orang dan apresiasi atas segala yang telah dilewati oleh anak yang telah berhasil melewati proses belajar yang panjang. Proses yang panjang tanpa sebuah apresiasi penghargaan yang tinggi akan membuat rasa putus asa dan menghilangkan semangat tentu saja. Dan wisuda adalah wujud dari apresiasi yang tinggi tersebut. Sekaligus sebagai pengingat bahwa ilmu yang sulit dipelajari itu belum sempurna jika belum diterapkan pada hal yang sebenarnya: MEMBACA AL QURAN DENGAN BAIK DAN BENAR. Jadi, apresiasi disini bukan hanya sekedar pemberian penghargaan atas prestasi selama ini saja. Tapi, berfungsi untuk mengingatkan anak bahwa tugasnya belum selesai jadi MARI TETAP SEMANGAT.








======================================
Disarikan dari berbagai sumber:
PEMBELAJARAN MEMBACA AL-QUR’AN DENGAN METODE QIRA’ATI DI TPQ HIDAYATUL MUBTADI’IN DESA NGANTRU KECAMATAN NGANTANG KABUPATEN MALANG - ResearchGate. Available from: http://www.researchgate.net/publication/50389129_PEMBELAJARAN_MEMBACA_AL-QURAN_DENGAN_METODE_QIRAATI_DI_TPQ_HIDAYATUL_MUBTADIIN_DESA_NGANTRU_KECAMATAN_NGANTANG_KABUPATEN_MALANG

- http://kabarnesia.com/2195/asal-usul-filosofi-toga-wisuda/

Model Meja Minum Teh Yang Cantik

Memori hapeku penuh. Jadi, ada penolakan jika aku harus mengambil gambar. Terpaksalah aku memilih mana foto yang harus dihapus dan mana yang bisa dipertahankan. Ketika sedang memilih tersebut, aku menemukan foto sebuah meja yang dulu pernah aku abadikan modelnya karena memang antik sekali.

Ini adalah model meja minum teh yang cantik.
Ada di gerai Teh 66 yang ada di mall Kota Casablanca.
Fungsi meja ini mirip seperti bar-bar tempat para barista membuat kopi atau para bartender meracik minuman cocktail mereka. Hanya saja, meja ini  diperuntukkan khusus untuk penikmat teh meracik teh mereka.

Ada sebuah kompor kecil untuk merebus air, dan cangkir kecil serta saringan teh. Benar-benar unik dan cantik.

Jika dilihat dari belakang... ada bangku untuk peracik tehnya. 


Lihat detilnya deh. Ada ruang untuk meletakkan cangkir, dan ada tempat untuk menghubungkan kompor listrik dengan stop kontak yang menyatu dengan meja tersebut

Ini tampak depannya. Ada ukirannya dan seperti meja lipat biasa. Yang membuat istimewa karena ada fasilitas untuk merebus air di meja tersebut.
Nah.... berhubung aku bukan penikmat teh, jadi aku malah berpikir jika saja meja ini dimodifikasi menjadi meja untuk menjahit.
Sudah ada bangkunya, ada ruang untuk meletakkan benang, dan ada stop kontak di dalamnya. Bisa didorong lagi karena ada roda di bawah meja. Dan jika dilipat, bentuknya bisa tetap dipajang di ruang manapun. Cantik dan unik kan?
Aku naksir meja minum teh ini.

Sayang... harganya mihillllll (ya iyalah.. dari kayu Jati soalnya, full ukiran pula).

Minadh-Dhulumaati ilan Nuur (dari gelap menuju cahaya)

RA Kartini pernah punya pengalaman tidak menyenangkan saat mempelajari Islam. Guru ngajinya memarahinya karena dia bertanya tentang arti sebuah ayat Al-Qur’an. Ketika mengikuti pengajian Kiai Soleh Darat di pendopo Kabupaten Demak yang bupatinya adalah pamannya sendiri, RA Kartini sangat tertarik dengan Kiai Soleh Darat.  Saat itu beliau sedang mengajarkan tafsir Surat Al-Fatihah.

RA Kartini lantas meminta romo gurunya itu agar Al-Qur'an diterjemahkan. Karena menurutnya tidak ada gunanya membaca kitab suci yang tidak diketahui artinya. Pada waktu itu penjajah Belanda secara resmi melarang orang menerjemahkan Al-Qur’an. Dan para ulama waktu juga mengharamkannya. Mbah Shaleh Darat menentang larangan ini. Karena permintaan Kartini itu, dan panggilan untuk berdakwah, beliau menerjemahkan Qur’an dengan ditulis dalam huruf  Arab pegon sehingga tak dicurigai penjajah.

Kitab tafsir dan terjemahan Al-Qur’an itu diberi nama Faidh al-Rahman fi Tafsir Al-Qur’an. Tafsir pertama di Nusantara dalam bahasa Jawa dengan aksara Arab. Jilid pertama yang terdiri dari 13 juz. Mulai dari surat Al-Fatihah sampai surat Ibrahim.

Kitab itu dihadiahkannya kepada RA Kartini sebagai kado pernikahannya dengan RM Joyodiningrat, Bupati Rembang. Mulailah Kartini mempelajari Islam dalam arti yang sesungguhnya.

Kartini amat menyukai hadiah itu dan mengatakan: “Selama ini al-Fatihah gelap bagi saya. Saya tak mengerti sedikitpun maknanya. Tetapi sejak hari ini ia menjadi terang-benderang sampai kepada makna tersiratnya, sebab Romo Kyai telah menerangkannya dalam bahasa Jawa yang saya pahami.”

Melalui kitab itu pula Kartini menemukan ayat yang amat menyentuh nuraninya. Yaitu Surat Al-Baqarah ayat 257 yang mencantumkan, bahwa Allah-lah yang telah membimbing orang-orang beriman dari gelap kepada cahaya (Minadh-Dhulumaati ilan Nuur).

Kartini terkesan dengan kalimat Minadh-Dhulumaati ilan Nuur yang berarti dari gelap kepada cahaya karena ia merasakan sendiri proses perubahan dirinya. 

Kisah ini sahih, dinukil dari Prof KH Musa al-Mahfudz Yogyakarta, dari Kiai Muhammad Demak, menantu sekaligus staf ahli Kiai Soleh Darat.

Dalam surat-suratnya kepada sahabat Belanda-nya, JH Abendanon, Kartini banyak sekali mengulang-ulang kalimat “Dari Gelap Kepada Cahaya” ini. Sayangnya, istilah “Dari Gelap Kepada Cahaya” yang dalam Bahasa Belanda “Door Duisternis Tot Licht” menjadi kehilangan maknanya setelah diterjemahkan Armijn Pane dengan kalimat “Habis Gelap Terbitlah Terang”.

Mr. Abendanon yang mengumpulkan surat-surat Kartini menjadikan kata-kata tersebut sebagai judul dari kumpulan surat Kartini.
Tentu saja ia tidak menyadari bahwa kata-kata tersebut sebenarnya dipetik dari Al-Qur’an. Kata “Minazh-Zhulumaati ilan-Nuur“ dalam bahasa Arab tersebut, tidak lain, merupakan inti dari dakwah Islam yang artinya: membawa manusia dari kegelapan (jahiliyyah atau kebodohan) ke tempat yang terang benderang (petunjuk, hidayah atau kebenaran).
Selamat Hari Kartini

Selfi untuk Mengusir Sepi

[Keluarga] Yang paling aku rindukan ketika terpaksa harus diopname di rumah sakit itu satu: anak-anak dan suami. Mereka satu paket yang tak terpisahkan.

Rasanya, rindu di dalam hati ini terus bertumpuk tinggi menjulang mencakar langit. Ketika akhirnya, hanya bisa memandang mereka saja, itu nikmatnya luar biasa. Lalu kenikmatan terus bertambah ketika bisa mendengar suara mereka, melihat mereka tertawa, berceloteh tentang apa saja, dan puncak kenikmatan ketika akhirnya bisa menyentuh mereka.