[Lifestyle] Jika kalian datang ke rumahku, sepertinya kalian tidak akan mendapati barang koleksi yang cukup berharga untuk dinikmati. Maafkan ya.
Hehehe.
Hal ini karena aku dan suami, sama-sama tidak menyukai koleksi barang pecah belah atau kristal atau sesuatu yang bisa dipajang dan sedap dipandang mata dan memiliki harga yang lumayan. Jika punya uang lebih, aku dan suami lebih suka membeli buku. Begitu juga dengan anak-anak kami. Lebih suka membeli buku daripada membeli barang berharga.
Koleksi buku di rumahku banyak sekali, hingga akhirnya ada satu ruangan sendiri yang diperuntukkan untuk meletakkan tumpukan buku-buku yang ada di rumah. Mau dibilang perpustakaan pribadi, hmm.... masalahnya, bentuk lemarinya tidak seragam. Jadi, belum sedap dipandang mata sebagaimana halnya perpustakaan mini milik orang lain.
Meski begitu, tetap saja sih kami, maksudku tiap-tiap anggota keluargaku memiliki sesuatu yang dijadikan koleksi bagi mereka.
Mengoleksi sesuatu itu, kadang melatih kesabaran juga sih. Pun melatih rasa setia.
Coba bayangkan, kita mencoba untuk tetap bertahan mengumpulkan sesuatu yang bisa jadi di mata orang lain sudah dianggap ketinggalan jaman. Apalagi model-model barang baru yang lebih lucu, lebih bersinar, lebih berharga terus hadir di depan mata. Tapi, kita tetap setia bertahan untuk mengoleksi satu benda tertentu.
Jika anakku ada yang mengoleksi boneka, ada juga yang mengoleksi kertas surat, maka aku sendiri mengoleksi Perahu mini.
Yap. Aku memang mengoleksi perahu mini.
Tuh. Bentuk koleksi perahu miniku sudah banyak.
Beberapa teman yang mengetahui aku mengoleksi perahu mini, jika sedang berlibur ke luar kota atau luar negeri, tidak lupa membawa oleh-oleh berupa perahu mini untukku. Sehingga koleksi terus bertambah.
Bentuk perahu mininya macam-macm. Ada yang terbuat dari kulit pohon, ada yang terbuat dari kulit binatang, ada juga yang dari plastik, karet, hingga seng dan kayu.
Ada perahu mini yang merupakan miniatur perahu nusantara (yaitu perahu yang mewakili daerah tertentu yang ada di seluruh Indonesia, ada juga perahu mini yang merupakan miniatur perahu yang digunakan di luar negeri.
Ada perahu nelayan, ada juga perahu yang digunakan untuk kegiatan militer alias perahu perang. Dan ada juga perahu yang digunakan untuk berpesiar.
Ada perahu serius, ada juga perahu dari film kartun.
Ada perahu yang digambarkan menggunakan mesin bermotor, ada juga perahu yang digambarkan menggunakan tenaga manusia sebagai pendorongnya.
Putriku, pernah bertanya padaku, kenapa aku gemar mengoleksi miniatur perahu?
Jadi, kegiatan mengoleksi perahu ini ada sejarahnya loh.
Jaman dulu, jaman ketika aku baru saja kembali ke Indonesia lagi setelah selama 5 tahun suamiku menuntut ilmu di negeri Kanguru, Australia sana, kami menempati rumah sekarang. Keluarga muda, anak masih kecil-kecil, dan pekerjaan suami masih menyesuaikan diri kembali; maka ceritanya kami melakukan penghematan.
Suamiku mengajar di FISIP UI Depok. Pulang pergi naik kereta api (dulu belum ada Commuter Line). Kondisi kereta listrik jaman dulu tuh jika penuh ya benar-benar penuh hingga ke atap-atap kereta. Tidak ada AC di dalam kereta listrik ini. Sehingga, sirkulasi udara bergantung pada jendela yang bisa dibuka. Pintu kereta listrik juga sering diganjel orang sehingga kondisi pintu kereta listrik ini senantiasa terbuka lebar.
Keretanya penuh sesak. Karena jaman dulu, siapa saja boleh naik kereta listrik. Entah itu karyawan, atau pedagang. Bukan hanya manusia saja, tapi juga sepeda, keranjang dagangan pedagang kelilng yang memikul daganganya, pedagang asongan, kambing, ayam, tumpukan hasil kebun, pengemis, pencopet, pengamen. Pokoknya penuh sesak deh kondisi kereta listrik jaman awal tahun 2000-an itu.
Jaman dulu, yang namanya berlangganan tiket kereta listrik sudah ada. Namanya abudemen. Bentuknya berupa selembar karcis dimana tertera nama bulan, tahun, dan besaran harganya. Jadi, meski hanya selembar karcis sederhana, tapi karcis ini tidak boleh hilang karena berlaku untuk sebulan penuh.
Nah. Suamiku, naik kereta listrik ini untuk pergi dan pulang ke kampusnya unutk mengajar. Pulangnya, dia berjalan kaki ke rumah. Setiap akhir bulan, hal pertama yang diberikan padaku ketika aku menyambutnya pulang ke rumah adalah perahu mini yang dia lipat dari karcis abudemen kereta listriknya.
Berarti, karcis itu sudah tidak berlaku lagi besok karena besok sudah berganti bulan yang baru.
Aku menerima perahu mini yang merupakan origami dari karcis kereta listrik ini dengan gembira. Lalu menyimpannya dengan baik.
Hehehe. Bahagiaku memang sederhana kok.
Melihat dia pulang ke rumah dan memberiku hadiah berupa origami perahu mini dari karcis abudemen bekas pun aku sudah bahagia.
Lama-lama, origami perahu mini ini menjadi banyak. Jadi, aku tidak lagi menyimpannya di dalam laciku. Tapi aku pajang di dalam lemari kaca.
Origami perahu mini ini jadi tampak menyedihkan dalam kesendirian mereka di tengah lemari kaca yang sepi.
Akhirnya, aku mencoba untuk mencari teman yang bisa dipakai untuk menemani si origami perahu mini dari karcis abudemen bekas ini. Aku menyandingkannya dengan perahu mini.
Lalu, aku mulai menabung. Perlahan, setelah uangnya terkumpul, aku membeli lagi perahu mini lain. Begitu terus hingga tiba-tiba saja koleksiku sudah amat sangat banyak.
Dan itulah sejarah kenapa aku mengoleksi perahu mini.
Usia perahu mini buatan suamiku ini, sudah amat tua loh. Sekarang, kereta listrik yang dia naiki sudah tidak lagi menggunakan karcis abudemen. Tapi menggunakan kartu tapcash dimana satu kartu berlaku selamanya asalkan ada isinya.
Kalian, punya koleksi apa?
Hehehe.
Hal ini karena aku dan suami, sama-sama tidak menyukai koleksi barang pecah belah atau kristal atau sesuatu yang bisa dipajang dan sedap dipandang mata dan memiliki harga yang lumayan. Jika punya uang lebih, aku dan suami lebih suka membeli buku. Begitu juga dengan anak-anak kami. Lebih suka membeli buku daripada membeli barang berharga.
Koleksi buku di rumahku banyak sekali, hingga akhirnya ada satu ruangan sendiri yang diperuntukkan untuk meletakkan tumpukan buku-buku yang ada di rumah. Mau dibilang perpustakaan pribadi, hmm.... masalahnya, bentuk lemarinya tidak seragam. Jadi, belum sedap dipandang mata sebagaimana halnya perpustakaan mini milik orang lain.
Meski begitu, tetap saja sih kami, maksudku tiap-tiap anggota keluargaku memiliki sesuatu yang dijadikan koleksi bagi mereka.
Mengoleksi sesuatu itu, kadang melatih kesabaran juga sih. Pun melatih rasa setia.
Coba bayangkan, kita mencoba untuk tetap bertahan mengumpulkan sesuatu yang bisa jadi di mata orang lain sudah dianggap ketinggalan jaman. Apalagi model-model barang baru yang lebih lucu, lebih bersinar, lebih berharga terus hadir di depan mata. Tapi, kita tetap setia bertahan untuk mengoleksi satu benda tertentu.
Jika anakku ada yang mengoleksi boneka, ada juga yang mengoleksi kertas surat, maka aku sendiri mengoleksi Perahu mini.
Yap. Aku memang mengoleksi perahu mini.
Barang yang aku koleksi di Rumah adalah Perahu Mini
Tuh. Bentuk koleksi perahu miniku sudah banyak.
Beberapa teman yang mengetahui aku mengoleksi perahu mini, jika sedang berlibur ke luar kota atau luar negeri, tidak lupa membawa oleh-oleh berupa perahu mini untukku. Sehingga koleksi terus bertambah.
Bentuk perahu mininya macam-macm. Ada yang terbuat dari kulit pohon, ada yang terbuat dari kulit binatang, ada juga yang dari plastik, karet, hingga seng dan kayu.
Ada perahu mini yang merupakan miniatur perahu nusantara (yaitu perahu yang mewakili daerah tertentu yang ada di seluruh Indonesia, ada juga perahu mini yang merupakan miniatur perahu yang digunakan di luar negeri.
Ada perahu nelayan, ada juga perahu yang digunakan untuk kegiatan militer alias perahu perang. Dan ada juga perahu yang digunakan untuk berpesiar.
Ada perahu serius, ada juga perahu dari film kartun.
Ada perahu yang digambarkan menggunakan mesin bermotor, ada juga perahu yang digambarkan menggunakan tenaga manusia sebagai pendorongnya.
Kenapa Aku Mulai Mengoleksi Perahu Mini?
Putriku, pernah bertanya padaku, kenapa aku gemar mengoleksi miniatur perahu?
Jadi, kegiatan mengoleksi perahu ini ada sejarahnya loh.
Jaman dulu, jaman ketika aku baru saja kembali ke Indonesia lagi setelah selama 5 tahun suamiku menuntut ilmu di negeri Kanguru, Australia sana, kami menempati rumah sekarang. Keluarga muda, anak masih kecil-kecil, dan pekerjaan suami masih menyesuaikan diri kembali; maka ceritanya kami melakukan penghematan.
Suamiku mengajar di FISIP UI Depok. Pulang pergi naik kereta api (dulu belum ada Commuter Line). Kondisi kereta listrik jaman dulu tuh jika penuh ya benar-benar penuh hingga ke atap-atap kereta. Tidak ada AC di dalam kereta listrik ini. Sehingga, sirkulasi udara bergantung pada jendela yang bisa dibuka. Pintu kereta listrik juga sering diganjel orang sehingga kondisi pintu kereta listrik ini senantiasa terbuka lebar.
Keretanya penuh sesak. Karena jaman dulu, siapa saja boleh naik kereta listrik. Entah itu karyawan, atau pedagang. Bukan hanya manusia saja, tapi juga sepeda, keranjang dagangan pedagang kelilng yang memikul daganganya, pedagang asongan, kambing, ayam, tumpukan hasil kebun, pengemis, pencopet, pengamen. Pokoknya penuh sesak deh kondisi kereta listrik jaman awal tahun 2000-an itu.
Jaman dulu, yang namanya berlangganan tiket kereta listrik sudah ada. Namanya abudemen. Bentuknya berupa selembar karcis dimana tertera nama bulan, tahun, dan besaran harganya. Jadi, meski hanya selembar karcis sederhana, tapi karcis ini tidak boleh hilang karena berlaku untuk sebulan penuh.
Nah. Suamiku, naik kereta listrik ini untuk pergi dan pulang ke kampusnya unutk mengajar. Pulangnya, dia berjalan kaki ke rumah. Setiap akhir bulan, hal pertama yang diberikan padaku ketika aku menyambutnya pulang ke rumah adalah perahu mini yang dia lipat dari karcis abudemen kereta listriknya.
Berarti, karcis itu sudah tidak berlaku lagi besok karena besok sudah berganti bulan yang baru.
Aku menerima perahu mini yang merupakan origami dari karcis kereta listrik ini dengan gembira. Lalu menyimpannya dengan baik.
Hehehe. Bahagiaku memang sederhana kok.
Melihat dia pulang ke rumah dan memberiku hadiah berupa origami perahu mini dari karcis abudemen bekas pun aku sudah bahagia.
Lama-lama, origami perahu mini ini menjadi banyak. Jadi, aku tidak lagi menyimpannya di dalam laciku. Tapi aku pajang di dalam lemari kaca.
Origami perahu mini ini jadi tampak menyedihkan dalam kesendirian mereka di tengah lemari kaca yang sepi.
Akhirnya, aku mencoba untuk mencari teman yang bisa dipakai untuk menemani si origami perahu mini dari karcis abudemen bekas ini. Aku menyandingkannya dengan perahu mini.
Lalu, aku mulai menabung. Perlahan, setelah uangnya terkumpul, aku membeli lagi perahu mini lain. Begitu terus hingga tiba-tiba saja koleksiku sudah amat sangat banyak.
ini dia origami perahu mini buatan suamiku . Usianya bahkan lebih tua dari usia putri bungsku loh. |
Dan itulah sejarah kenapa aku mengoleksi perahu mini.
Usia perahu mini buatan suamiku ini, sudah amat tua loh. Sekarang, kereta listrik yang dia naiki sudah tidak lagi menggunakan karcis abudemen. Tapi menggunakan kartu tapcash dimana satu kartu berlaku selamanya asalkan ada isinya.
Kalian, punya koleksi apa?
entah kenapa kalau baca cerita mba Ade menarik selalu, kisah perahu mini karena origami karcis kereta dari sang suami :) agak baper bacanya hehehe
BalasHapushahaaha... coba bayangkan, karena ingin berhemat jadi dia berjalan kaki dari stasiun ke rumahku. lalu untuk menghibur dirinya sendiri, dia bikin origami perahu mini. Aku menghargai ini. Amat menghargai ini. Makanya semua perahu mini dari karcis bekas yang dia berikan padaku selalu aku simpan. Tidak aku buang.
HapusAiih...romantis.. koleksi perahu mininya bagus2 lho mba Ade.. apalagi perahu2 mini bersejarah itu ya.. sangat berharga..
BalasHapusiya, aku menghargai keputusan usaha dia membuang lelah dengan cara bikin origami perahu mini ini. Itu sebabnya oleh2 dia ketika pulang ke rumah, meski hanya berupa origami perahu mini dari karcis bekas, aku simpan dengan baik dan aku tempatkan di dalam lemari kaca.
HapusMashaAllah~
BalasHapusTerharu aku mbaa...
Perjuangan suami kemudian bersambut dengan istri yang menghargai.
Membuatku mengenang kembali...apa yang sudah dibuat suami untuk membuat kami tersenyum?
Ini... ini... so sweet banget!
BalasHapusAku suka dan terharu.
Begitulah, mungkin hal seperti ini receh bagi orang, tapi bisa menjadi 'segalanya' bagi kita ya, mba.
I feel you, mba...
Duh, romantis banget sih mba....Itu kapal mininya kelihatan lucu dan bagus. Tapi kalau saya nggak berani deh koleksi kayak gitu, yang ada sama bocil di amburadulin buat mainan deh. Kalau saya sih hobi koleksi buku. Tapi sekarang udah stop berhenti buku dulu. Soalnya sudah nggak punya tempat buat nyimpan buku baru. Selain itu, ada buku baru yang belum terbaca juga.
BalasHapusAku juga lebih suka koleksi buku daripada barang pecah belah. Cakep deh perahu mini-nya. Kalau aku suka banget bikin perahu kertas terus aku ke Sungai dekat rumah lalu bermain perahu kertas di Sungai deh.
BalasHapusAawh so sweet, karcis abunemen jadi saksi perjuangan suami menjemput rezeki yaa mba, layak banget disimpan :)
BalasHapusRomantissss dibuatin perahu kertas! Aku pas kerja di showroom furniture jual kapal kecil2 juga. Buanyak jenisnya sampai kadang kudu hapalin jumlah layar
BalasHapuskoleksiku struk-struk belanjaan yang teronggok tak berdaya di dompet kadang sampai tintanya sudah hilang trus gak tau deh itu struk apa saking sudah tidak terlihat bahahahha...
BalasHapusMasya Allah...so sweet. Romantisnya. Cantik ya perahu mininya. Btw, sama, Mbak, saya lebih suka koleksi buku sih daripada keramik or pecah belah
BalasHapusKalau lihat perahu mini jadi ingat dlu sempat punya beberapa. Tapi nggak sempat dirawat dengan baik. Rusak deh :(
BalasHapusPak Bandi bisa aja bikin isteri bahagia, ya. :D Setelah sekian lama berteman, aku baru tahu kalau mbak ade suka koleksi perahu mini ini. Bagus2 koleksi perahunyaaa.
BalasHapusMba, so sweet banget sih kalian... Perahu kertas aja bisa bikin baper gini. Cocok banget dibikin drakor nih mba, hahahha. Romantis banget kalian berdua. :)))
BalasHapusSisi romantis suamimu yang bikin hati mba Ade jadi klepek-klepek yaaa. So sweet banget sih. Perahu dari kertas abunemen patut diawetkan tuh mba.
BalasHapusKalo aku, buku itu jadi koleksi yang aku sayangi. Tanaman koleksi masih rela aku bagi2. Tapi kalo buku, ada yang minjem dan gak balik, gak akan aku pinjami lagi
Wah ada kisah dibalik perahu nya.
BalasHapusDulu aku punya perahu dan muat aku naikin, suka buat mainan pura2 banjir jd naik perahunya
Wow, Mba Ade koleksinya unik ya. Baru tau lho kalo Mba Ade suka koleksi perahu mini. Ternyata setelah aku baca ada kenangan tersendiri ya. So sweet deeh :)
BalasHapusjaman kecil aku suka banget bikin perahu dari kertas, ga cuma kecil sih, sekarang juga masih suka. salah satu barang yag aku koleksi itu boneka dari mantan wkwkkwk
BalasHapusWah aku baru tau kalau mbak ade koleksi perahu mini, nanti kalau pas ada aku beliin ya. Btw Pascal baru aja bikin prakarya dari stik es krim bentuknya perahu juga mbak
BalasHapusDibalik perahu mini ada cerita yang bikin meleleh. So sweet banget mba. Dari perahu kertas sampai sekarang jadi perahu-perahu cantik ya
BalasHapusRomantis ini mbak judulnya haha...salut dengan idenya suami mbak Ade, perahu-perahu mini dari tiket itu jadi kenangan ya mbak hadiah kalau abang pulang kerja :)
BalasHapusHow sweet your husband kak, kebayang deh pas pertama di bawain perahu origami senam senyum sendiri ��
BalasHapusPerahu phinisi udah ada belum mba?
OMG so sweet banget ya kak suaminya aku mungkin juga sama ngerasa bahagia sama hal kecil kaya gini.
BalasHapusBaru tau Mbak Ade koleksi perahu mini :D
BalasHapusOoo jd ceritanya berawal dari origami gtu ya mbak, lalu menambah koleksi jadi banyak perahu mini :D
Koleksinya bikin happy yaaaa
Aku kayaknya gk ngoleksi apa2 deh, hehe. Eh, skrg nah ngoleksi props foto ding pelan2. Suamiku justru yg buanyak bgt koleksinya, rubik dg berbagai macam jenis
BalasHapusYa ampun banyak amat itu koleksinya mba Ade. udah kayak jualan aja ya ditaruh di etalase.
BalasHapusMb Ade dulu suamiku suka ngumpulin miniatur dr kayu setelah punya anak miniaturnya jadi mainan bocah2 hahahahaha
BalasHapusSama dong mba. Aku juga ngga suka mengoleksi barang pecah belah. Rasanya rugi ya kalau pecah huhuhu. Itu koleksi perahunya sudah banyak juga ya mba.
BalasHapusWah, kisah di balik koleksi perahu minimu bagus banget tuh mba. Dinovelin dooonkk... ;)
BalasHapusBaru tau nih soal koleksi Mba Ade ini, belum pernah cerita2 ya sebelumnya.
hyaampun mbakk.. unik banget koleksinya..apalagi kisah romantis di baliknyaa.. suka suka suka, aku jadi terinspirasi. apakah aku juga harus mengoleksi lipetan lipetan struk indomaret yang sering dibentuk bentuk suamiku? hahahhaha
BalasHapusIh, ceritanya bikin terharu, lho.. segitunya Mbak Ade menyimpan pemberian suami, meski kelihatannya "hanya" perahu kertas kecil. Eh, jadi ingat lagu "Perahu Kertas". Hehe..
BalasHapusBetewe, saya pernah mengalami juga naik turun ngejar KRL. Wkwkwk.. dadi Bogor-Pasar Minggu kalau ngga salah ingat abudemennya masih 55.000 waktu itu. Xixixi.. alhamdulillah sekarang sudah lebih baik ya layanannya. Kalau dulu kan rebutan tempat sama pedagang, sama pengemis juga.