Lebih Dewasa

[Catatan Akhir Tahun] kata orang, kedewasaan itu tidak tergantung pada usia. Dan kedewasaan itu juga tidak tergantung pada bentuk fisik seseorang. Kalian percaya inikah?
Waktu aku masih kecil, aku bingung dengan pernyataan ini.
Waktu aku masih, bahkan aku bercita-cita tidak mau jadi orang dewasa.




Hehehe.
Entahlah. Dalam imajinasiku, orang dewasa itu adalah sosok yang ribet dan super membosankan.

Mau pergi, mereka harus melihat cermin dulu, mematut-matut diri di depan cermin baru berangkat.
Padahal dulu aku suka tampil apa adanya dan menganggap cermin itu sesuatu yang bikin kita terhambat untuk pergi.

Menghendaki sesuatu, harus berpikir dan mempertimbangkan macam-macam dulu. Kadang, begitu banyak pertimbangan hingga akhirnya mereka kehilangan moment yang spesial. Jadi sering melakukan sesuatu yang sudah "basi".
Aku dulu inginnya "right here right now' untuk banyak hal.

Lalu aku jatuh cinta pada seseorang.
Dan mulai ingin terlihat cantik di hadapan orang yang ketiban cintaku hingga memandang perlu untuk menatap cermin berlama-lama guna mematut-matut.

Duh. Aku kena penyakit orang dewasa.

Lalu aku menikah dan punya anak.
Dan mulai memiliki aneka macam pertimbangan jika ingin melakukan sesuatu. Berpikir, merenung, mempertimbangkan, baru kemudian memutuskan. Dan hasilnya, "Terlambat bu. Sudah lewat acaranya."

Wah. Aku kena tulah orang dewasa.

Jadi, menjadi orang dewasa itu ternyata bukan sebuah pilihan. Karena semua anak, jika dia tumbuh dan berkembang, maka akan memasuki situasi menjadi seorang remaja. Baik dia suka atau tidak suka. Lalu setelah menjadi remaja, dia terus tumbuh dan berkembang menjadi dewasa muda. dan akhirnya dewasa.

Ah. Kenapa dulu aku bisa begitu naif bercita-cita tidak mau menjadi orang dewasa? Padahal, menjadi orang dewasa itu sudah sunatullah. Sudah sesuatu yang digariskan oleh Allah untuk terjadi karena memang demikianlah alurnya.

Meski demikian, tetap saja sih. Aku menikmati masa-masa dimana aku bisa berkumpul dengan anak-anakku dan tumbuh bersama mereka. Sudah banyak game-game yang aku nikmati bersama dengan anak-anakku.

Yap. Aku adalah ibu yang gemar bermain game. Game apa saja.

Dulu, ketika kami bermukim di Kuala Lumpur Malaysia, ketika suami mencari notebook dengan teknologi terbaru, maka yang aku cari adalah game Sony Playstation terbaru. Suami sibuk mencari software program komputer aku juga sibuk menjadi software game komputer.

Akhirnya, suamiku membelikan aku notebook khusus agar aku bisa bermain game dengan nyaman sekaligus mengetik dengan enak. Dia pikirkan apa saja yang sebaiknya tertanam di notebookku agar game-game yang aku miliki bisa lancar dimainkan.

Ketika akhirnya kami kembali ke Jakarta dan aku hamil anak ke 3 tapi harus menunggui anak ke 2 di sekolah; maka suami membelikan aku gadget yang di dalamnya bisa ditanam aneka macam game.

Jika dia pulang dan melihat aku bad mood, sapaannya adalah, "Kalah ya gamenya?" atau jika melihat aku menyambut dia dengan ceria dia akan menyapa, "Pasti naik level gamenya.".
Ya, demikianlah suami dari seorang istri yang gemar bermain game. 

Terkadang, suami merebahkan kepalanya di pangkuanku dan berkata dengan lembut, "De, usap juga dong kepalaku, daripada mengusap layar hape buat main game aja." Dan jawabanku adalah, "Sebentar mas, aku sisa satu nyawa lagi kok ini. Tanggung. Sebentar lagi juga nyawanya abis nih." Dan usapan mesra pun terpending menunggu sejenak.

Tapi tahukah kalian; di tahun 2018 untuk pertama kalinya aku berhasil mengosongkan semua game dari semua gadget yang aku miliki. Eh... aku cuma punya 3 perangkat bermain game sih aslinya. Yaitu notebook, Samsung Tab S3, dan Samsung Note 8. Tapi ini rekor banget buatku. REKOR BESAR.

Semua karena aku ingin fokus dengan ibadah hajiku.
Yap. Ibadah haji itu adalah ibadah haji yang untuk menjalankannya diperlukan sebuah perjalanan tersendiri. Seperti harus menunggu keberangkatan selama beberapa tahun.

Untuk di DKI Jakarta saja nih, jika klaian ingin melakukan ibadah haji lewat jalur reguler, maka wating list yang harus kalian jalani untuk bisa berangkat haji adalah 15 tahun. Ketika aku mendaftar haji, masa tunggu sebelum berangkat adalah selama 8 tahun. Aku mendaftar tahun 2013.

Wah. 8 tahun itu lama ya. Apa saja bisa terjadi selama kurun waktu 8 tahun.  Apalagi aku orang yang penyakitan. Akhirnya, kami tidak jadi mendaftar di haji reguler. Sebagai gantinya, kami mendaftar haji plus. Dan ternyata, di haji plus pun ada waiting list jika haji plus yang dimaksud adalah haji plus biasa. Dan masa tunggu haji plus itu adalah 3 s.d 5 tahun. Ada sih haji plus yang cepat berangkat, namanya haji plus furodan. Ini adalah haji plus yang memanfaatkan kuota khusus dari Kerajaan Arab Saudi. Tapi, harga haji plus plus ini mahal banget. Lebih mahal daripada haji plus biasa.

Tuh kan. Perjalanan untuk naik haji itu tidak mudah kan?
Itu sebabnya, ketika nomor kursiku sudah dipastikan oleh Departemen Agama bisa berangkat di tahun 2018, maka aku langsung bersiap-siap. Mempersiapkan kesehatan. mempersiapkan bekal ilmu, mempersiapkan segalanya. Dan itu artiya: HARUS MEREMOVE SEMUA GAME DARI PERANGKAT GADGET AGAR BISA FOKUS.

Sepulang dari haji, perlahan, aku mulai merasa rindu dengan game-gameku.
Berusaha keras untuk terus bertahan tidak mendownloadnya itu susaaaaaahhhh sekali. Aku takut kecanduan lagi. Padahal, aku mulai nyaman dengan diriku yang baru. Diriku yang terbebas dari kecanduan game.

"Nggak papah bu, asal jangan banyak-banyak dan gamenya pilih yang ada pembatasan kuota main." Ini saran anakku. Hehehe. Anakku tahu bahwa ibunya gemar main game sejak dulu. Dan anakku juga tahu bahwa aku berjuang untuk bisa terbebas dari ketagihan main game. Dan dia juga tahu bahwa itu semua tidak mudah.

Tidak selamanya memang orang tua lebih tahu dari anak. Kadang, orang tua harus mengakui bahwa anak mereka bisa lebih pandai dan lebih mengetahui untuk beberapa hal. Dan itu bukan berarti kegagalan kita sebagai orang tua. Tidak. Menjadi orang tua itu bukan berarti kita harus selalu unggul dan serba tahu dibanding anak kita. Karena kita tetap manusia biasa yang tidak sempurna.
Aku, belajar banyak dari anak-anakku. Kami memberi dan menerima lalu bersama-sama tumbuh dan berkembang. Aku tumbuh dan berkembang sebagai orang tua mereka, dan mereka tumbuh dan berkembang sebagai seorang anak.
Merasa diri kita lebih pandai sesungguhnya hanya membuat kita membangun sebuah dinding untuk masuknya sebuah gagasan dan informasi yang baru yang bisa jadi gagasan dan informasi itu bisa meningkatkan kemampuan kita sendiri. Itu sebabnya mereka yang merasa pandai, pada akhirnya berhenti tumbuh berkembang. 
Akhirnya, aku pun mendownload Candy Crush lagi di gadgetku. Hehehe.
Cinta lama balik kembali.


Dan mulai bermain.
Asyiknya Candy Crush yang sekarang adalah, kita bermain dibatasi hanya dengan 5 kali kesempatan saja setiap kali main. Setelah itu, kita baru bisa bermain lagi jika sudah 1 jam lebih.
Beberes rumah.
Masak.
Jemur.
Nonton drama korea.
Akhirnya, aku lupa bahwa jatah mainku sudah bisa dimainkan.

Aku tetap main game, tapi karena batasan kesempatan itu jadi, aku tidak berlama-lama mainnya. CIHUY kan?

Jadi, setiap hari tetap main game. Hingga tidak terasa, aku bisa mencapai level yang dulu terasa amat sulit untuk aku raih.


Level 160 !!!
Coba beri aku tepuk tangan dan bungkuk hormat.

Bahkan, aku berhasil meraih peringkat pertama untuk perolehan jumlah skor.


WOW. Ini prestasi banget rasanya.
Jadi tidak heran kan jika prestasiku ini aku pamerkan pada anak-anakku.

"Dik... dik... ibu heran deh kenapa sekarang ibu merasa jago main candy crushnya. Dan kamu lihat nggak perbedaan cara ibu main dulu dan sekarang? Karena ibu ngerasa banget sih ada perbedaan gaya ibu main game dulu dan sekarang." Ini pertanyaan yang aku ajukan pada putri bungsuku yang baru berusia 12 tahun dan duduk di kelas 2 SMP.

"Iya. Ibu sekarang lebih tenang mainnya. Nggak rame kayak dulu."

"Iyaaa... benerrrr.... ibu juga heran ama diri ibu sendiri. Dulu, kalau kalah ibu langsung marah-marahin gadget ibu. Terus bawaannya jadi kesel. Sekarang, mau kalah kek, mau menang kek, kok nggak ngaruh banyak ya ke ibu. Ibu tenang aja. Santai."

"Iya... karena ibu sekarang lebih dewasa dibanding dulu. Makanya ibu lebih tenang."

DEG. Komentar anakku ini awalnya asli bikin aku ngakak terpingkal-pingkal.

"Ibu kan ibu kamu, nak. Ya jelas aja ibu lebih dewasa. Kalau ibu sekarang menurut kamu lebih dewasa, terus selama ini ibu kayak apaaaa?" 😀😀😀

Hingga suamiku nyeletuk, "Mikir, De. Bukan ketawa."
Barulah aku berhenti tertawa.
Hmm.
Iya ya. Berarti aku sekarang sudah lebih dewasa sepertinya.
Lebih tenang. Tidak stabil. Tidak labil.
Lebih sabar. Tidak mudah emosi. Dan mau menerima kekurangan diri sendiri tapi juga tidak merasa jumawa dengan kelebihan yang dimiliki diri sendiri.

Wah.
Aku sepertinya sudah lebih dewasa di tahun 2018 ini. Alhamdulillah. Semoga selanjutnya juga demikian di tahun-tahun yang akan datang. Menjadi dewasa itu ternyata menyenangkan. Sama sekali tidak membosankan. Bahkan bisa meraih banyak hal, termasuk terus naik level dengan mudah jika sedang main game. Sekali lagi, alhamdulillah. 

Tidak ada komentar