Komunitas pertama
yang benar-benar pertama banget yang saya ikuti itu adalah komunitas
yang terbentuk karena masing-masing anggotanya berasal dari daerah yang sama.
Ya, ini memang mirip komunitas masyarakat perantauan yang ada di DKI Jakarta
dan sekitarnya. Ini adalah komunitas masyarakat Musi Banyuasin.
Musi Banyuasin ini, adalah sebuah daerah kabupaten di
wilayah Sumatra Selatan sana. Terletak memanjang di sepanjang Sungai Musi.
Terdiri dari beberapa dusun dan beribukota di Sekayu. Berbeda dengan wilayah
Kabupaten di Pulau Jawa yang penduduknya terbilang banyak, meski ini adalah
kumpulan masyarakat perantauan yang berasal dari Musi Banyuasin, tapi jumlah
kami tidak banyak.
Tiap pekan pertama di awal bulan, kami berkumpul di satu
rumah sesepuh yang dituakan (saya memanggilnya Uwak Polonia). Ketika berkumpul
tersebut, masing-masing bisa bebas melepas penat dan kejenuhan bekerja dengan
mengobrol menggunakan bahasa Sekayu (salah satu bahasa daerah di Sumatra
Selatan); mengudap makanan khas dari Palembang (Pempek dan tekwan serta
tempoyak itu sepertinya merupakan menu wajib); dan saling bertukar kabar.
Dalam perkembangannya, karena anak-anak dari masing-masing
keluarga semakin bertambah baik dari segi usia maupun jumlah, maka mulailah
dipikirkan untuk melakukan sebuah kegiatan dimana kegiatan itu bisa membuat
para orang tua bisa dengan bebas dan leluasa melakukan kegiatan ngobrol dan
bertukar kabar antar mereka dengan baik tapi sekaligus anak-anak tidak merasa
bosan karena kegiatan pertemuan yang diadakan setiap bulan tersebut. Akhirnya,
mulailah dihimpun apa yang bisa dilakukan. Dimulai dengan menginventarisir
bakat dan kemampuan tiap-tiap anggota yang ada. Dari sini, barulah diketahui
beberapa bakat terpendam dari para anggotanya. Ada yang jago memasak, pandai
menari, cekatan di bidang meracik sesuatu, pintar akting, bisa menyanyi, pandai
menulis, dan bahkan jago melakukan relasi dengan banyak orang. Wah. Lengkap.
Tentu saja, sayang sekali bukan jika semua bakat-bakat terpendam ini hilang dan
terlupakan begitu saja.
Akhirnya, para sesepuh pun mengambil kebijakan untuk
melakukan kegiatan pertemuan yang rutin dua minggu sekali dan di tiap-tiap
pertemuan itu ada kegiatan bagi para orang muda dan orang tuanya. Yaitu:
- - Kegiatan menari tarian daerah Sumatra Selatan
- - Menyanyi lagu daerah Sumatra Selatan
- - Bermain drama dengan naskah yang berasal dari cerita khas daerah Sumatra Selatan
- - Kegiatan belajar memasak
- - kegiatan meracik bahan kimia untuk membuat sabun sendiri (sabun colek untuk mencuci baju, atau sabun mandi)
Hasilnya, sambutannya sungguh luar biasa. Setiap anggota
mulai merasakan manfaat yang maksimal dari pertemuan yang diadakan meski
pertemuan tersebut terjadi saban dua pekan sekali. Lalu, hasil lobi yang
dilakukan oleh mereka yang memilki bakat menjalin relasi dengan siapa saja,
terhimpun pula dana yang lumayan sehingga komunitas bisa membeli perlengkapan
guna kelancaran semua kegiatan tersebut di atas.
Tanpa terasa, komunitas ini menjadi berkembang dengan pesat.
Mereka yang berminat untuk mendaftar bukan hanya berasal dari para perantau
yang tinggal di wilayah Jakarta dan sekitarnya saja, tapi juga datang dari
Bandung, Yogyakarta dan daerah lain. Begitu banyak anggota yang terdaftar
sehingga akhirnya setiap tahun, mulailah dilakukan acara halal bihalal. Dan
karena semangat para anggotanya, dana yang terkumpul dalam komunitas juga
berkembang dengan amat baik. Setelah melakukan dua kali halal bihalal, pada
halal bihalal ketiga berikutnya,
mulailah diluncurkan sebuah program pemberian penghargaan bagi anak anggota
komunitas yang berprestasi. Kebetulan, waktu itu saya terpilih sebagai salah
satu anak yang dianggap berprestasi karena mencapai nilai tertinggi di
komunitas tersebut (padahal, di sekolah prestasi saya masuk kategori
biasa-biasa banget...huuhuhuhu malu deh jadi ke-ge-er-an sehari). Nah,
penghargaan dan perhatian dari komunitas di atas ini merupakan gambaran
komunitas ideal sebenarnya.
Dengan kata lain, bisa saya simpulkan bahwa komunitas Ideal
menurut saya adalah:
1. Komunitas yang tidak hanya memikirkan pemenuhan kebutuhan para anggotanya saja. Karena, suatu hari nanti, para anggotanya ini pasti akan berkeluarga dan punya istri serta anak. Kasihan juga jika anak dan pasangan mereka tidak diikut sertakan. Tidak seru rasanya sebuah komunitas yang menganggap tidak-ada anggota keluarga para anggotanya (hehehe, ini mah curhat colongan pribadi kali ya; tapi jujur deh, saya kadang bingung dengan undangan sebuah komunitas yang ditulis: harap tidak membawa pasangan dan anak dalam pertemuan nanti. Waduh). Jika ini dimaksudkan untuk ketertiban acara (maklum yang namanya anak-anak emang suka ribut ya), bisa dimengerti jika pertemuan ini sesekali saja. Tapi jika sudah rutin, mungkin ada baiknya mulai dipikirkan sesekali melakukan semacam acara Family Gathering atau kegiatan lain yang bisa dinikmati oleh anak-anak dan pasangan kita. Dan memang komunitas yang melibatkan seluruh keluarga para anggotanya ternyata usianya bisa lebih panjang. Karena yang merasa memiliki komunitas itu tidak berhenti di anggota tetapnya saja. Tapi juga generasi penerus para anggotanya.
2. Komunitas ideal itu, bukan hanya menghimpun orang-orang karena berdasarkan kesamaan saja, tapi juga mampu menggali kemampuan dan bakat tiap-tiap anggotanya agar bisa terus berkembang dengan cara memberinya dukungan, pengetahuan tambahan dan hal-hal yang menunjang hingga bakat dan kemampuan itu semakin terasah dan berkilau. Saya mengikuti sebuah komunitas penulis dan luar biasa saya memperoleh banyak masukan dan pelajaran dari komunitas tersebut. Saya jadi belajar lagi apa kekurangan saya dalam menulis dan bagaimana cara memperbaikinya dan apa kelebihan saya dalam menulis lalu bagaimana cara mencuatkannya.
3. Komunitas ideal juga merupakan komunitas yang membuat rasa nyaman bukan hanya para anggotanya saja, tapi juga lingkungan di sekitar komunitas itu berada. Jadi, jangan sampai masyarakat sekitar menjadi terganggu pada komunitas tersebut jika komunitas tersebut sedang melakukan pertemuan. Atau keluarga para anggotanya malah jadi dongkol jika anggota keluarga mereka minta izin untuk datang ke pertemuan komunitas yang dia ikuti. Jika dua tanda-tanda ini muncul, bisa jadi, ini merupakan komunitas yang sebaiknya tidak usah ditekuni lagi karena merupakan KTMD (komunitas tanpa masa depan).
Wah. Tanpa terasa, tulisan saya yang membahas tentang komunitas ternyata sampai tiga bagian ya. hehehe. Gak papah ya, semoga bermanfaat dan mohon maaf jika ada tulisan saya yang menyinggung perasaan.
-------------------------------
Penulis: Ade Anita
Tulisan ini diikut sertakan dalam event #8 MInggu ngeblog bersama anging mamiri
Tidak ada komentar