Wajah Seorang Penipu


 Wajah seorang penipu itu seperti apa? Ada yang bisa mendeskripsikannyakah di antara kalian seperti apa wajah seorang penipu itu? Jika tidak, mungkin ceritaku berikut ini tentang seraut wajah yang menipuku karena punya dua sisi yang penampilang yang berbeda insya Allah bisa memudahkan kalian jika ternyata bertemu dengan seorang penipu. Dan  Tulisan ini diikutkan pada 8 Minggu Ngeblog bersama Anging Mammiri, minggu keenam. 


Cerita ini kejadiannya sudah lama, yaitu di tahun 2009, ketika suatu siang anakku memanggilku.



“Bu... itu ada tamu.” Aku segera membenahi pakaianku. Siapa orangnya yang ingin bertemu tanpa ada janji terlebih dahulu di waktu menjelang maghrib seperti ini?  Sepuluh menit lagi azan akan berkumandang. Artinya, waktu buka akan segera tiba. Di bulan Ramadhan tahun 2009 ini, seluruh anggota keluargaku sudah ikut berpuasa. Termasuk anakku yang bungsu, Alhamdulillah. Itu sebabnya menjelang waktu berbuka ini aku sudah sibuk di dapur mempersiapkan panganan untuk berbuka agar keluargaku, termasuk si bungsu yang sedang belajar berpuasa, bisa tetap bersemangat.

Gegas aku menjumpainya tapi hatiku langsung kecewa. Ternyata yang datang  perempuan itu. Wajahnya yang dekil terlihat sumringah begitu melihat hadirku.  Tapi hanya sesaat karena sedetik kemudian, wajah itu kembali terlihat sendu ("Aih, pandainya dikau menyetel romanmu perempuan." Dalam hati, aku berkata sendiri.).

ini gambar buatanku sendiri untuk mendeskripsikan wajah seorang penipu


Aku mendengus membuang muakku karena melihat wajah palsunya. Wajah perempuan di hadapanku inilah wajah seorang penipu yang sesungguhnya! Aku sudah hafal wajahnya, dan aku muak melihat wajahnya!

Muak itu lalu aku lempar ke  dalam keranjang sampah di dalam hatiku. Cis, mau apa sih dia? Sementara perempuan itu langsung terbungkuk-bungkuk member hormat dan bersiap-siap ingin mencium punggung tanganku. Diam sekaligus tegas, aku sembunyikan punggung tanganku ke dalam saku. Perempuan itu mengurungkan niatnya untuk mencium punggung tanganku dan berdiri canggung di depan pintu rumahku. Matanya liar menatap ke dalam rumah. Pintu rumahpun kurapatkan sedikit. Aku tidak rela perempuan ini mengintip situasi di dalam rumahku. Sisa celah yang terbuka antara ruang dalam rumahku dan ruang di luar rumah, kututupi dengan tubuhku sendiri. Aku tahu perempuan itu sedikit kecewa karena tidak berhasil mengintip ke dalam rumah, tapi dia segera melihatku sambil memamerkan cengirnya.

“Bu. Saya senang melihat ibu sehat-sehat saja. Saya selalu berdoa kepada Allah subhanahu wata'ala agar ibu baik-baik saja. Ibu beruntung banget dibanding saya yang terus menerus menderita.”  Aku terdiam mendengar ceracaunya. Aku tidak mau memperlihatkan reaksi apapun di hadapannya. Kupasang ekspressi wajah kakuku terang-terangan di hadapannya.

Tahun lalu, perempuan ini pernah datang ke rumah.  Waktu itu suamiku sedang berada di luar kota dan matahari yang berada tepat di atas kepala bersinar amat garang. Perempuan ini datang sambil membawa tiga buah gelas belimbing, serta dua buah mangkuk ukuran sedang.


gelas dan piring koleksi pribadiku

Tapi bukan apa yang dibawanya itu yang membuatku dengan segera membuka pintu dan mempersilakannya duduk. Yang membuatku segera mempersilakannya duduk adalah air mata yang mengalir deras di pipinya yang kotor. Sedu sedannya begitu menyayat hati.

“Tolong saya bu. Saya nggak tahu mesti minta tolong sama siapa lagi. Tetangga sudah bosan memberi bantuan pada saya. Tapi memang bukan kehendak saya yang terus menerus tertimpa kemalangan.”  Aku mengangsurkan sehelai tissue untuknya menghapus sungai yang mengalir deras di pipinya tersebut. Coreng kelabu di wajahnya mulai terhapus oleh air mata itu. Tapi itu malah membuat wajahnya terlihat semakin memelas. Menggelitik rasa iba yang semula tertidur pulas. Perempuan itu bercerita bahwa suaminya sakit keras. Tidak dapat berdiri dan hanya dapat tertidur saja di atas tempat tidur. Stroke datang tanpa permisi. Sudah lama penyakit darah tinggi dan diabetes menggerogoti suaminya. Tapi  tidak adanya biaya membuat perempuan itu tidak dapat membawa suaminya pergi ke dokter. Sementara anak-anaknya, yang berjumlah tiga orang,  hari itu tidak mau pergi sekolah karena malu sudah dua bulan terlambat bayar SPP.

Dunia memang terkadang amat kejam pada beberapa orang, tapi amat sangat manis dan empuk bagi beberapa orang yang lain. Kebetulan, perempuan di depanku ini merasakan sisi yang serba tidak enak dan Alhamdulillah aku ada di seberangnya, sisi yang enaknya. Itu sebabnya aku tekun mendengar keluhannya.

“Ibu, belilah gelas dan mangkuk saya ini. Berapa saja ibu menebusnya saya akan terima. Saya benar-benar butuh uang untuk beli obat suami saya dan bayar SPP anak-anak saya. Kasihan suami saya bu. Dia tidak bisa makan apa-apa jika belum menebus obatnya, karena obat itu bisa membantunya menetralkan penyakitnya. Kasihani suami saya bu.”  Perempuan itu lalu bersimpuh di kakiku. Membuatku risih dan memintanya untuk kembali duduk di bangku. Aku punya uang. Masih ada sisa uang belanja yang semula aku sisihkan untuk membeli baju renang bagi putriku. Baju renang muslimah agar aurat putriku tertutup jika dia ingin bermain-main di dalam kolam renang umum. Putriku kesulitan untuk berenang karena banyak kolam renang yang melarang penggunanya memakai pakaian lengkap di dalam air. Harus memakai pakaian renang. Padahal, sebentar lagi putriku harus melalui pengambilan nilai untuk kemampuan renangnya di sekolah.

“Ibu tinggal dimana?” Mulutku mencoba untuk mengulur waktu. Sementara otakku terus menyusun prioritas mana yang lebih utama, membantunya atau  memenuhi kebutuhan putriku. Keduanya sama pentingnya.  Perempuan itu lalu menyebutkan sebuah alamat. Ternyata alamat yang disebutnya tidak jauh dari tempatku tinggal. Aku tanya lagi, siapa nama suaminya. Perempuan itu lalu menyebut nama suaminya, lengkap dengan nama tetangga rumahnya di kiri dan di kanan. Aku tahu mereka semua. Aku sering bertemu mereka di pengajian kampung. Lalu  dengan Bismillah uang seratus ribupun lolos ke tangannya dan menolak semua gelas dan mangkuk yang dia tawarkan.

“Pakai saja. Di sini masih banyak gelas dan mangkuk. Ibu lebih membutuhkannya.”  Bibir perempuan itu langsung gemetar mendengar penolakanku. Sekali lagi dia langsung duduk bersimpuh ingin mencium kakiku. Aku menolaknya dengan risih. Hatiku masih menangis membayangkan penderitaan yang harus dia pikul. Seorang istri yang tiba-tiba harus merawat suaminya yang tidak bisa apa-apa, dan rengekan anak-anaknya yang merongrong. Tanpa pekerjaan, tanpa penghasilan, dia masih berusaha untuk bertahan di atas bumi yang keras seperti cadas.  Pasti apa yang harus dilaluinya terasa amat sangat keras. Ya, dia lebih membutuhkan semua perlengkapan itu ketimbang aku.

Akhirnya perempuan itu pun pergi pulang. Dan aku kembali ke pekerjaan yang semua aku tinggalkan, kembali menyelesaikan masakanku. Selesai masak, aku jadi terpikir untuk mengirim masakanku sebagian ke rumahnya. Bukankah Rasulullah SAW mengajarkan kita untuk berbuat  baik pada tetangga? Toh masakanku juga aku lebihkan jaga-jaga siapa tahu anak-anak makan lahap dan ingin nambah. Biarlah anak-anakku kali ini tidak usah nambah makannya. Maka dengan berjalan kaki dan membawa rantang berisi masakan serta beberapa keperluan sembako yang aku kumpulkan dari lemari persediaan makananku, aku berjalan kaki mencari alamat. Alamat lengkap yang dikatakan perempuan itu masih tersimpan rapi dalam memory otakku.

Sayangnya, hingga satu jam aku berputar-putar tidak ada seorang pun yang tahu perempuan dan suaminya tersebut. Dia seperti hilang ditelan bumi. Atau menyerupai hantu siluman, yang tidak seorang pun yang pernah melihatnya. Bahkan Pak RT setempatpun tidak tahu jika ada warganya yang memiliki nama itu. Aku mulai merasa tidak enak. Rasa sesak mulai menyerang. Sesak karena marah yang tiba-tiba naik ke atas kepala. Aku tahu satu hal telah terjadi padaku.
AKU TELAH DITIPU DI SIANG BOLONG!!!
aarrggg!

Lalu terbayang  wajah anak perempuanku yang harus bersabar tidak dapat berenang karena uang untuk membeli baju renangnya aku pakai untuk disedekahkan pada orang yang salah. Kurang ajar! Darah amarahku sudah benar-benar naik hingga satu jengkal di atas kepala.

Keesokannya Pak RW (atasan Pak RT yang kemarin aku datangi)  datang ke kediamanku dan menanyakan perihal kabar yang beredar di wilayahnya. Kabar aku kena tipu memang langsung cepat beredar. Terpaksa dengan hati yang masih mendongkol aku ceritakan pada beliau. Akhirnya terungkap. Benar saja, ada beberapa orang yang juga mengadukan hal yang sama. Perempuan itu ternyata bukan siluman yang bisa begitu saja menghilang.

“Ibu benar, perempuan dengan ciri-ciri yang ibu ceritakan itu memang pernah menjadi warga di daerah kami tapi akhirnya kami usir karena sering menipu kiri kanan. Masih gadis tapi mengaku sudah bersuami. Belum pernah punya anak tapi mengaku anak-anaknya banyak dan merongrong. Yang lebih parah lagi, semua uang yang diperolehnya itu sebenarnya dipakainya untuk main judi.”

Aku mendengarnya dengan tekun dan separuh kesal.

“Dia juga sudah agak gila sebenarnya bu. Gila judi asalnya, tapi akhirnya jadi nekad dan putus semua urat malu dan urat sadarnya. Orang tuanya sendiri ditipunya, dan akhirnya dia diusir dari rumahnya.”

 ARFGHHH….Astaghfirullah Al adziim.

Lalu bulan Ramadhan di tahun 2009  lalu itu, perempuan itu datang lagi di depan pintuku. Masih dengan wajah memelas dan  dandanan bedak  debu yang cukup tebal. Dia pasti sudah lupa denganku, karena sudah terlalu banyak yang ditipunya hingga dia lupa aku adalah calon korban yang seharusnya tidak dia datangi.   Tampaknya, dia sudah melupakan peraturan dasar seorang penipu :  jangan pernah menipu pada orang yang sama, dua kali.
AHA!!!

“Ibu, terima kasih atas bantuannya waktu itu. Di bulan ramadhan ini bu, saya jadi terpikir, mungkin enak kali ya kalau dagang kolak. Kalau nggak habis, ada anak-anak saya yang bisa ngabisinnya.”  Aku tidak tersenyum juga tidak menyapa. Tapi aku melihat kesumringahan di wajahnya. Apa yang ada di pikirannya? Aku sudah hilang sabar dan tidak ingin lagi menunggunya berceracau lebih banyak lagi.

“Bu… ingat tidak  tahun lalu ibu datang ke rumah saya dan bilang suami ibu sakit parah?”

Dengan suara tegas, aku langsung menanyakan perihal kedoknya yang sudah aku ketahui. Kena kau perempuan!!!

“Iya… iya, ingat. Sekarang suami saya sudah baikan bu. Sudah bisa tertawa lagi, tapi tetap nggak bisa bangun dari tempat tidur. Ya cuma itu saja kebisaannya, tertawa saja. Terima kasih banyak bu atas bantuannya. Cuma yang namanya hidup, saya tetap harus cari uang. Makanya, bantuin saya dong bu buat dagang kolak.”

Aku mendengus tapi mencoba untuk bersabar. (Sebentar lagi buka, sebentar lagi buka, sabar ade, jangan pernah murka, ade; jangan rusak puasamu. Dalam hati aku menasehati diriku sendiri).

Sebelum dia berkata lebih lanjut, aku segera melanjutkan kalimatku dengan tergesa. Tidak ingin memberi jeda padanya untuk mengarang lebih banyak lagi.

“Bu, tahu tidak. Tahun lalu, setelah ibu pulang, saya menyusul ke rumah ibu. Ternyata ibu penipu. Ibu belum pernah menikah dan belum pernah punya anak. Suami yang sakit itu tidak pernah ada dan anak-anak yang mogok sekolah karena tidak pernah bayar SPP juga tidak pernah ada. Saya nggak tahu gelas dan mangkuk siapa yang ibu bawa. Tapi jelas  ibu sudah menipu saya.”

Luka lama di hatiku tahun lalu itu terbuka lagi. Kali ini aku amat sangat ingin menangis, bukan karena perih tapi karena berusaha keras untuk menahan sabar karena sedang berpuasa. Aku tidak mau kesal dan marah bisa merusak puasaku.  Dadaku sesak menahan bendungan tangis yang aku tahan.  Bayangan detik detik azan maghrib yang sebentar lagi mengalun menguatkan pertahanan dinding beton yang terus kupertebal, pertebal.

Perempuan itu terperangah menatapku yang menegurnya dengan suara bergetar. Ya, pertahananku menahan tangis telah membuat suara yang keluar dari mulutku bergetar bunyinya.Tidak lama, perempuan penipu itu mendesis mengucapkan sebuah kalimat dengan suara yang tajam seperti belati.

“Kok, rajin banget sih pake nyamperin segala?”

Lalu dengan seringai yang tidak jelas separuh sinis dia langsung membalikkan tubuhnya dan berjalan santai menuju pagar rumahku. Pergi begitu saja. Tanpa permisi,  tanpa keluar kata maaf satu potong pun.  Sementara aku terus menerus harus mengaduk campuran semen dan batu-batu kali, agar  beton-beton kesabaranku tidak runtuh.  Agar dinding-dinding bangunan bendunganku tidak kalah oleh volume tangis yang benar-benar sudah ingin membludak memenuhi rongga dada (“tidak boleh marah ade, tidak boleh kesal. Sabar ade, kamu harus bisa bersabar.”.. suara itu terus menerus memberi semangat di dalam hatiku).

Dan itulah ujian kesabaran yang paling berat yang harus aku hadapi di bulan ramadhan 1430 H  lalu (Agustus 2009), yaitu bertemu dengan seorang perempuan berwajah penipu.

-------------------selesai---------------
kosakata:
- nyamperin: dari kata samperin, artinya mendatangi (bahasa betawi)

Penulis: Ade Anita.

 “Postingan ini disertakan dalam #8MingguNgeblog Anging Mammiri”


21 komentar

  1. ya Allah yg sabar ya mba...untung dah lewat..
    aku bacanya sampe menahan nafas :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya, dan tau gak, ternyata pas lagi ngumpul2 satu RT, ada banyak sekali ibu2 yang tertipu dengan dia!! Akhirnya, dia diusir dari kampungku

      Hapus
    2. BTW mba..di blog mba yg satu lagi yg MFF aku gak bisa koment.soalnya settingan komentnya belum diubah buat semua :D

      Hapus
    3. oooo... pantas. bentar aku kesana deh (hehe aku gaptek)

      Hapus
  2. ya ampuun mba ade, ada yah penipu kayak gitu. semoga dia segera insyaf ya mba. waduh berarti harus hati2 yah sama ornag ngga dikenal. tapi gpp mba, kan sedekahnya tetap dihitung amal untuk mba ade ;D

    BalasHapus
  3. Wow pemaparannya dan gaya bahasanya keren, top markotop!

    BalasHapus
  4. Ya alloh bener bacanya tahan nafas. yang sabar ya mba

    BalasHapus
    Balasan
    1. Insya Alllah sabar..sudah lama berlalu kok

      Hapus
  5. awalnya saya pikir, ih... gambarnya gitu amat.. ternyata setelah baca ceritanya... hahaha.. emang pantas si penipu itu digambar seperti itu. Kelihatan banget sakit hatinya mbak Ade...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehehe...itu gambarnya aku buat sendiri dan bikin ekspresi wajah jahat itu ternyata sulit banget..lebih mudah gambar wajah bahagia dan tersenyum

      Hapus
  6. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  7. dulu aku pernah ketemu yg model begini di kampus UI salemba, dengan alasan suami sakit kecelakaan baru 2 hari lalu masuk RSCM, nah 2 bulan kmd ketemu lagi sama ibu itu lagi dan beralasan yg sama ... istighfar aja dan ketemu lagi bbrp bulan kmd masi dg alasan yg sama oalahhh

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jadi dia tuh udah tertanam dalam kepalanya skenario penipuannya. Tapi dia jadi lupa siapa aja korbannya. Jadilah dia selalu mengulang saja tapi bukan simpati didapat tapi kebencian

      Hapus
  8. Ck ck ck ada orang kayak gini. Jadi pingin tahu bagaimana nasibnya sekarang. Ada juga keluarga sendiri kayak gini, nipu2 di keluarga2. Mau ditulis, masih belum tega ...

    BalasHapus
    Balasan
    1. nasibnya: dia masih menipu di sana sini. MOdusnya sama: bawa tiga gelas dan dua mangkok, suaminya kena stroke, anaknya tiga gak bisa sekolah karena belum bayar SPP. dia sudah diusir dari kampungku tapi adikku yang ada di RW lain didatanginya dengan modus yang sama. Sepertinya gelas dan mangkuk itu emang bagian dari properti buat menipunya deh.

      Hapus
  9. Sabar mak...ikhlasin aja...drpd dihati ngeganjel

    BalasHapus
    Balasan
    1. insya Allah sudah ikhlas kok tapi waspada sepertinya harus terus

      Hapus
  10. Demikianlah hidup, kadang nasib dan keadaan tertekan memaksa orang untuk berbuat hal negatif. Yang penting, kita sellau mawas diri, di mana dan dalam kedaan apapun..:)

    BalasHapus
  11. waduh, mba Ade, belum pernah ketemu penipu, tp semoga si penipu disadarkan deh....

    BalasHapus