[Lifestyle] Perbaiki tulisan Tanganmu, mungkin merupakan kalimat yang
paling sering didengar oleh anak-anak saya. Nyaris setiap tahun, ketika
pengambilan raport diadakan, semua guru di sekolah anak-anak saya pasti meminta
pada saya agar membantu memperbaiki tulisan tangan anak-anak saya. Tulisan ini diikutkan pada 8 Minggu Ngeblog bersama Anging Mammiri, minggu keenam.
Jika sudah begitu, saya hanya tersenyum saja menanggapi
permintaan para guru tersebut.
Jujur saja, tulisan tangan saya memang tidak cantik.
Entahlah mengapa bisa begitu. Tapi sejak kecil, tulisan tangan saya memang
selalu setia dengan bentuk ceker ayamnya. Urek-urek melingkar dan tidak semua
orang bisa membacanya. Dulu, ayah selalu membela saya dengan mengatakan bahwa
tulisan tangan saya seperti tulisan seorang dokter. Tulisan tangan seorang
dokter itu kan terkenal jelek-jelek ya. Hahaha.. saya juga bingung kenapa
tulisan tangan dokter terkenal jelek-jelek tidak hingga tidak semua orang bisa
membacanya. Dan demikian juga dengan tulisan tangan saya.
Lalu, ketika anak-anak saya lahir dan saya didik sendiri di
rumah mulai dari belajar membaca hingga belajar menulis, maka tanpa sadar saya
menularkan tulisan tangan saya yang jelek tersebut kepada anak-anak saya (eh,
sebenarnya tulisan tangan suami saya bagus. Tapi, kan gak mungkin saya meminta
dia untuk mengajarkan anak-anak menulis di rumah setiap hari padahal dia sudah
lelah bekerja seharian penuh di luar rumah). Itu sebabnya, pernah suatu hari
saya akhirnya berkata pada seorang guru yang sengaja menyediakan waktu khusus
untuk berbicara dengan saya di depan kelas ketika pengambilan raport anak saya
dilakukan (judulnya sih empat mata bicaranya, tapi karena dilakukan di depan
kelas jadi, di depan kami memang bicara empat mata, tapi para orang tua murid
yang lain duduk manis memperhatikan kami yang sedang bicara...hahahaha).
"Bu, di rumah sepertinya anak ibu harus dilatih untuk
menulis yang bagus deh. Tulisan tangannya itu ... aduuhh... jelek sekali. Saya kesulitan
untuk membacanya."
Saya mesem-mesem mendengarnya dan dalam hati berkata
sendiri, "Elu belum liat tulisan tangan gue." Tapi, gak mungkin kan
saya berkata seperti itu pada guru anak saya. Jadi, dengan sopan saya pun
berkata,
"Saya usahakan ya bu. Tapi, kalau ternyata tulisan
tangannya tidak berubah jadi cantik, gak papah ya bu. Yang penting kan dia
mengerti pelajaran dan bukan sama sekali tidak bisa dibaca tulisannya."
"Masih.... masih bisa dibaca kok tulisannya. Tapi
buruk. Mungkin bisa dilatih setiap hari satu halaman deh ketika liburan nanti.
Siapa tahu jika sudah berlatih setiap hari untuk menulis indah maka tulisannya
jadi berubah jadi indah."
Saya yang semula mesem-mesem mulai tersenyum kecut.
"Nggak selalu yang sudah berlatih bisa berubah sih bu. Jujur
saja, tulisan tangan saya juga jelek sih bu aslinya. Nah, sejak kecil saya
selalu rajin menulis tapi tetap saja tidak pernah berubah. Itu sebabnya saya
tidak terlalu menekankan pada anak saya untuk memiliki tulisan indah karena
saya pikir toh kelak ketika dia besar nanti ada penggunaan komputer untuk
mengetik dan menggantikan posisi tulisan tangan. "
"Iya, tapi kan dia perempuan bu. Masa sih ada perempuan
yang tulisan tangannya jelek. Bisa kok dilatih untuk jadi cantik." Senyum
saya kian kecut.
"Saya perempuan bu guru, tapi tulisan saya juga tidak
indah. Ibu mau lihat tulisan saya?" Lalu saya mengambil sebuah kertas
kosong dan mulai menyalin sebuah tulisan di buku. Bu guru akhirnya terbelalak
dan terdiam (mungkin stress?? Entahlah).
"Ya sudah, coba saja dilatih di rumah bu anaknya. Siapa
tahu tulisan tangannya bisa berubah jadi lebih indah."
Dan akhirnya, saya jadi kian rajin menyuruh anak saya untuk
berlatih menulis tapi setelah melihat kenyataan tidak ada perubahan yang
berarti, saya berhenti memintanya berlatih. Kasihan juga nanti dia stress
sendiri. Yang penting dia bisa mengikuti semua pelajaran yang dia terima. Itu sudah
cukup.
Sayangnya, harapan semua guru sepertinya selalu sama
dimanapun anak saya sekolah. Tiga anak, tiga sekolah, tiga guru, keluhannya
sama semua. "PERBAIKI TULISAN TANGANMU".
Akhirnya, ketika hal ini terjadi lagi anak bungsu saya, saya
sebenarnya sudah mulai agak kebal dengan teguran tersebut. Tapi , masih
berusaha untuk mengingatkan anak bungsu saya agar mau berhati-hati menulis
tangan agar tulisan tangannya indah.
"Hati-hati nulisnya nak. Ingat, mana yang harus di atas
garis, mana yang harus di bawah garis."
Begitu terus nasehat saya dan itu membuat anak saya menulis
amat hati-hati. Dia baru kelas satu SD, lalu naik ke kelas dua SD, tapi selalu
berusaha untuk menuruti nasehat saya untuk hati-hati menulis. Hasilnya, karena
hati-hati itu dia selalu keluar kelas paling belakang dibanding teman-temannya.
Akibatnya, setiap hari dibanding dengan teman-teman sesama ibu-ibu yang lain,
saya termasuk ibu yang paling belakang keluar dari sekolah karena harus
menunggu anak bungsu saya yang menulis lamaaaaa sekali.
Tapi saya tidak pernah marah. Saya insya Allah sabar
menungguinya. Hanya saja, kesabaran saya rupanya selalu digoda oleh sentilan
omongan dari ibu-ibu yang lain.
"Bu, anaknya belum keluar kelas? Lama ya? Nggak bisa
nangkep pelajaran atau gimana sih?"
"Ah, nggak. Anak saya pandai kok. Dia mudah menerima
pelajarannya. Tapi memang nulisnya lama. Karena saya minta dia untuk menulis
yang indah dan bagus."
Penjelasan saya tetap saja terdengar mengada-ada sepertinya
di telinga para ibu-ibu tersebut. Jadi, mereka bertanya lagi, dan lagi.
"Apakah anaknya suka ngobrol di kelas jadi akhirnya
terlambat mengerjakan tugas dari bu guru?"
"Apakah anaknya tidak kelelahan keluar kelas paling
belakangan terus?"
"Anaknya masih kemudaan sih kali ya umurnya masuk SD? Jadi
masih suka berkhayal sendiri."
"Eh, saya tadi lihat anak ibu ditegur oleh bu guru
karena belum selesai menulis loh."
Arggh. Akhirnya kesabaran saya tergoda juga. Hingga saya pun
akhirnya menegur anak saya,
"Dik, kenapa sih kamu keluar kelas belakangan terus.
Kenapa sih nggak mau nulis yang cepat gitu, jadi bisa pulang sama-sama waktunya
dengan teman-teman kamu yang lain."
Mendengar teguran ini, anak saya hanya menatap saya dengan
pandangan protesnya.
"Jadi ibu maunya aku nulis cepat atau nulis lama
nih?"
"Kenapa kok kamu malah nanya ibu?"
"Iya, karena kalau aku nulisnya cepet, tulisanku jadi
jelek. Kalau tulisanku jelek, nanti aku ditegur sama bu guru. Ibu juga kan
ditegur sama bu guru aku? Nah, kalau mau tulisanku bagus, itu berarti aku pasti
nulisnya jadi lama. Sekarang, ibu maunya aku nulis cepat atau nulis bagus
jadinya? Bingung aku."
Hahahaha. Saya tertegun sejenak tapi langsung tersenyum
sendiri mendengar protesnya. Rupanya saya lupa bahwa dalam proses belajar
selalu ada dua sisi yang terjadi, berlatih pelan-pelan agar kualitasnya terjaga
baik; atau mengerjakan dengan cepat demi mengejar target kuantitas. Dalam hal
ini, anak saya dengan kesederhanaannya telah mengajarkan saya akan hal
tersebut.
"Ibu maunya kamu menulis yang baik deh. Bagus, rapi dan
bisa dibaca. Gak papah nulisnya lama, yang penting hasilnya bagus. Ya udah, ibu
akan sabar nungguin kamu lagi."
anak saya yang tertinggal sendirian di kelas karena teman-temannya sudah pada pulang semua |
Sejak itu, telinga saya menjadi tertutup terhadap omongan ibu-ibu lain yang iseng gak ada kerjaan selain memberi komentar terhadap kondisi orang lain yang tidak dia ketahui.
Ah. Tulisan tangan.. tulisan tangan.
===============
Penulis: Ade Anita
Postingan ini disertakan dalam #8MingguNgeblog Anging Mammiri”
Hahaha itu Hawna ya, diplomatis seperti ibunya :D
BalasHapusAda teman saya, perempuan, cerdas tapi tulisan tangannya paling jelek di antara teman2 sekelas. Entah, apa genetika ya mbak? :D
Bukan genetika, tapi yang ngajari dia nulis pertama kali mungkin seperti aku orangnya,mpunya tulisan tangan yang buruk
HapusHehhe.... Sy sering negur anak yg tulisannya kurang bagus sambil bercanda... Menyemangati agar lebih memperbaikinya.
BalasHapusParahnya, sy yg prnah d tegur Fatur, salah seorang siswa kls 3 SD. "Bu, tolong dibaguskan tulisannya", katanya sambil memicingkan mata melihat whiteboard. Saya menjawab sambil terbahak "Maaf Nak, tulisan Bu Isma ini sudah yg paling maksimal".
Masalah tulisan tangan ya Mba Ade? hehehe...
BalasHapusmenikmati proses, biarkan si bungsu belajar dengan berlahan ;-) semoga kelak tulisannya bisa lebih "bagus" dari sang bunda;-)
Anak saya yang masih di TK belakangan ini kerapkali diberi PR oleh ibu gurunya, sebenarnya hanya PR menulis ulang sebuah kata dan penjumlahan atau pengurangan di bawah 10.
Nah yang jadi masalah tulisan ibu guru yang akan dicontoh anak,berubah-ubah kemungkinan guru yang menuliskan PR berbeda-beda misal pada huruf a, m, n, r, g, dll. Kadang ada huruf-huruf yang yang tidak jelas dan susah untuk ditiru anak yang baru belajar.
"Ini huruf apa sih Mi?" tanya putra saya sambil bergantian melihat bukunya dan daftar abjad yang tertempel di dinding, ternyata dari tadi dia mencocokkan dan tak menemukan persamaan dengan daftar huruf yang ada. ketika saya perhatikan, tulisan bu guru memang agak sedikit asal-asalan, wajar saja jika anak bingung ;-)
baru baca, lucu banget mbak..
BalasHapusdimana-mana emak-emak itu "usil" ngomongin anak orang lain ya..
noted deh, biar bisa badak klo mengalami kejadian serupa tapi tak sama lainnya di sekolah anak :D