Ketika kita secara sadar memasuki sebuah komunitas dan
akhirnya memutuskan untuk terlibat aktifi di dalamnya, secara tidak langsung
kita sudah menunjukkan kecenderungan pilihan subjektif yang kita miliki. Komunitas memang
umumnya terbentuk karena sesuatu yang sama yang dimiliki oleh beberapa
orang. Di daerah tempatku tinggal saat
ini, ada komunitas para penjual sate madura; ada komunitas para pemilik
peternakan sapi di kota Jakarta, dan anakku sulungku bahkan ketika SMA
bergabung dengan komunitas pengguna Bike To School.
Dengan kata lain, sebuah komunitas terbentuk karena adanya
kesamaan dan kebetulan kita memiliki juga kesamaan itu dalam diri kita.
Kesamaan bisa bermacam-macam: bisa hobbi yang sama, pekerjaan yang sama, tempat
tinggal yang sama, kegemaran memakai sesuatu yang sama, punya group band atau
penyanyi idola yang sama, dan lain sebagainya. Tapi, hal ini tidak selalu lalu
menjadi sebuah kesimpulan bahwa komunitas pasti selalu hal-hal yang bersifat
positif saja. Nah, saya pingin cerita tentang komunitas yang saya ketahui
justru terbentuk karena setiap anggotanya memiliki rasa kebencian yang sama
terhadap sesuatu. Ya. Bahkan karena sama-sama membenci sesuatu dan mendapati
ternyata ada orang lain yang juga punya rasa benci yang sama maka bisa
membentuk sebuah komunitas. Lalu, apa saja yang dibicarakan ketika mereka
berkumpul? Tentu saja semua bumbu dan hal-hal yang bisa menyuburkan dan membangkitkan
rasa kebencian itu sendiri agar rasa benci itu terus bertahan.
Saya tidak sengaja mengetahui komunitas tersebut (maaf, tidak akan saya sebutkan nama komunitasnya). Awalnya,
tentu saja karena saya melontarkan sebuah pemikiran tertentu. Kebetulan,
pemikiran tersebut ternyata bertentangan dengan suara mayoritas. Akibatnya
sudah bisa diduga kan? Berdatanganlah beraneka ragam pendapat dan komentar
negatif terhadap saya. Tapi, saya terus bergeming dengan pendapat yang saya
yakini tersebut. Akhirnya, seorang teman mengajak saya untuk bergabung dengan
sebuah komunitas yang isinya adalah orang-orang yang membenci sesuatu yang saya
yakini tersebut. Wah. Ibarat kata, saya diajak masuk ke dalam sarang harimau
padahal saya adalah seekor kelinci yang lucu dan montok. Hehehehe. Akhirnya,
saya pun menyembunyikan diri saya disana. Mengamati dan mendengarkan saja semua
komentar dan berita-berita yang berkembang dalam komunitas dengan hati yang
kebat kebit menahan emosi.
"Tahukah kalian bahwa xxxxx telah melakukan kebohongan
pada publik? Ini beritanya... awalnya xxxx dulu menyatakan bahwa....."
(dan di pojokan saya hanya bengong dan melongo membaca kabar bohong tersebut.)
"Iya benar yang dikatakan oleh saudara xxx, bahwa
beliau memang sudah melakukan itu. Hal ini pernah juga saya dengar dari xxxx
bahwa xxxx bahkan sampai berani melakukan xxxx" (duhai! Saya hanya bisa
mengurut dada! Sambil diam-diam istighfar. Dan begitu seterusnya. Nyaris di setiap kali pertemuan yang
dibicarakan adalah api dan api dan api kebencian. Sedangkan komentar yang
terlontar untuk menanggapi serupa dengan bensin dan bensin yang terus
mengobarkan api kebencian tersebut.
Tidak ada habisnya.
Fiuh.
Huff.
Lalu.... apa yang diperoleh dari pertemuan-pertemuan
tersebut?
Tentu saja hati yang panas, dongkol, keki dan dendam yang
kian menggelembung tak berkesudahan. Dari peristiwa ini, maka saya akan
memberikan sebuah kesimpulan baru bagaimana sebuah komunitas ideal itu
seharusnya, versi saya sendiri. Yaitu:
1. Komunitas ideal itu, hendaknya adalah komunitas yang menggunakan waktu dan energi para anggotanya untuk hal-hal yang bersifat positif saja. Jangan pernah menghabiskan waktumu untuk berkumpul bersama-sama dengan komunitas yang berisi orang-orang yang akan menghancurkan jiwa dan pikiranmu hingga tanpa sadar dirimu sudah berdiri di tepi jurang kesesatan atau kedangkalan seorang manusia.
2. Komunitas ideal itu, adalah komunitas yang terbentuk karena keinginan dari dalam diri tiap-tiap orang untuk memperoleh kemudahan bagi terbukanya jalan menuju kebaikan para anggotanya. Jadi, jika anggota mulai merasa bahwa selama bergabung dengan komunitas itu dia sama sekali tidak memperoleh nilai-nilai kebaikan, jangan pernah ragu untuk segera keluar dari komunitas.
3. Komunitas ideal itu, pada akhirnya hanyalah sebuah kumpulan individu dan individu yang merupakan manusia biasa. Maksudnya, manusia biasa yang bisa berbuat salah, tidak pernah bisa menjadi sempurna, dan akhirnya akan berakhir dengan kematian. Setelah bertemu dengan kematian, maka tiap-tiap individu akan membawa serta dosa masing-masing. Allah tidak pernah mengenal adanya dosa kolektif; apalagi dosa komunitas. Jadi, jangan pernah memiliki pemikiran, "Ah, kenapa harus takut sih? Kan kita ngelakuinnya ramai-ramai?" Coba bengkokkan dan patahkan himpunan sapu lidi. Keseluruhan sapu lidi itu memang tidak serta merta rusak tapi pasti ada beberapa yang patah dan terpaksa harus ditarik keluar. Dan ketika satu persatu ditarik keluar, himpunan sapu lidi itupun akhirnya luruh dan tidak bisa lagi dipakai. Nah, apakah kalian yakin bahwa kalian akan menjadi batang lidi terakhir yang luruh dan bukan batang lidi pertama yang patah dan harus dibuang keluar?
Jadi. Komunitas ideal? Ya tentu saja komunitas yang tidak
bertentangan dengan keyakinan agama kita. Itu yang utama. Berikutnya, tidak
lain dan tidak bukan adalah komunitas yang tidak membuat para anggotanya
menjadi tersesat (dan lalu tidak tahu arah jalan pulang... aih, jadi mirip
lagu).
Bersambung lagi ya ke bagian ketiga. Masih bicara tentang komunitas Ideal, tapi dari perspektif yang berbeda lagi.
--------------
Penulis: Ade Anita
Tulisan ini diikut sertakan dalam #8 minggu ngeblog bersama angin mamiri
Jadi penasaran komunitas apaan sih yang dimaksud Mbak? :D
BalasHapusOya baru-baru ini Saya jg dimasukkan entah oleh siapa ke sebuah grup yang membenci agama tertentu. Dan habislah tuhan dari agama tersebut dicaci-maki. Walaupun agama tersebut bukan agama Saya rasanya mengumpat mencaci-maki menghina habis-habisan, menghujat, tetap saja membuat hati Saya gundah dan tidak nyaman. Akhirnya Saya keluar dari grup itu. Betul bgt Mbak komunitas ideal itu adalah komunitas yang membuat kita menginput dan output energi positif.
mirip dengan itu sepertinya lina. cuma bedanya mereka menamakan diri sebagai "masyarakat..." dan punya lambang komunitasnya, punya kaos yang bisa dipakai anggotanya, punya ikat kepala dan ada email adminnya. heran. padahal kalo gak pake begituan pun malaikat gak bakal ketuker sih menurutku. malaikat tetap bisa nyatet amal buruk mereka.
HapusIh... serem..ada ya ternyata komunitas seperti itu...
BalasHapusBetul mbak yang namanya komunitas, pasti tempat berkumpulnya orang2 yang memiliki minat dan hobi yang sama.. Seperti gamer, penyuka binatang, sampai yang isinya cuma curhat2an.
BalasHapusTapi kalau isi komunitasnya sudah berupa keyakinan atau ideologi, pasti kita sulit untuk masuk dan bertahan lama, apalagi kalau dari segi keyakinan sudah berbeda jauh, sama seperti tingkatan dalam kebudayaan, dimana unsur yang bersifat material seperti teknologi, dan seni pasti mudah untuk diterima oleh kalangan siapa saja tanpa memandang statusnya.. Tapi kalau sudah sampai pada dimensi non-material seperti keyakinan dan ideologi, hanya kalangan2 tertentu saja yang bisa masuk, karena sudah mengandung unsur2 nilai dan tradisi