3 Tips Agar Tidak Jadi Toxic Parent

 [Parenting] Sebelum kalian membaca lebih lanjut tulisanku ini, mungkin ada baiknya aku menulis apa yang dimaksud dengan toxic parent.

Toxic parent adalah orang tua yang cara mereka mendidik dan membesarkan anak-anak mereka justru malah meracuni anak-anak mereka secara psikologis. Toxic parent juga adalah orang tua yang selalu bersikap destruktif, kasar, dan membahayakan keselamatan anak mereka sendiri. 

Kenapa bisa begitu? Bukankah orang tua adalah sosok yang ditiru dan dipatuhi oleh anak-anak? Bukankah orang tua lebih dahulu mencicipi asam garam kehidupan daripada anak-anak mereka, lalu mengapa mereka malah meracuni tumbuh kembang anaknya sendiri?



POLA ASUH TOXIC PARENT

Akhir-akhir ini, pola asuh toxic parent sedang ramai dibicarakan seiring semakin seringnya terjadi berita tentang tindak kekerasan terhadap anak-anak yang dilakukan di dalam rumah mereka. Selain itu juga, muncul aneka pemberitaan kejahatan dimana setelah ditelusuri ternyata pelaku kejahatan tersebut melakukannya karena si pelaku mengalami perlakuan pola asuh yang salah selama ini dari orang tuanya. 

Pola asuh toxic parent memang dianggap bisa mempengaruhi kepribadian seseorang. Seorang anak yang sejak kecil diasuh dengan pola asuh toxic parent, setelah mereka dewasa ternyata tumbuh menjadi pribadi yang juga salah dalam memberikan respon terhadap orang lain dan lingkungannya. 

Itu sebabnya, pola asuh toxic parent harus dihentikan untuk dilakukan oleh keluarga muda yang baru membina keluarga. Dan bagi orang-orang yang terlanjur dibesarkan dengan pola asuh toxic parent, diberikan therapy agar bisa kembali menjadi sosok pribadi yang lebih baik.

Pola asuh toxic parent itu seperti apa saja? Ada banyak contohnya. Seperti, orang tua yang senantiasa melemparkan seloroh yang mempermalukan anak di muka umum; orang tua yang senantiasa mendikte anaknya agar melakukan apa yang si orang tua itu kehendaki dan mengecilkan pendapat dan kehendak anaknya; orang tua yang gemar melakukan tindakan kasar secara fisik seperti memukul, cubit, tendang, mencambuk, dan aneka hukuman fisik yang bisa melukai anaknya. Atau orang tua yang tidak pernah mau mendengar saran atau pendapat anaknya karena menganggap pendapatnyalah yang benar dan selalu benar. Pola asuh toxic parent juga bisa berupa membuat anak terus tergantung pada bantuan yang orang tua berikan. Seakan-akan jika anak tidak dibantu oleh orang tuanya maka anak tidak akan pernah bisa mandiri selamanya. Masih banyak contoh pola asuh toxic parent lainnya. Sepertinya, aku akan membuat tulisan khusus tentang apa itu toxic parent ya, biar kita semua bisa membayangkan seperti apa sih toxic parent itu.

3 Tips Agar Tidak Jadi Toxic Parent

Nah, sebelum aku menulis lebih jauh tentang toxic parent itu seperti apa saja, aku akan menulis tentang tips agar tidak jadi toxic parent. Kenapa menulis tips agar terhindar dahulu sebelum menulis tentang apa saja pola asuh yang dianggap toxic parent? Karena, aku ingin kita semua mencoba untuk berpikir positif dan terus bersemangat bahwa kita menjadi lebih baik dulu.

Menurutku, pemikiran untuk tetap positif dan semangat untuk menghindari sesuatu yang negatif itu penting sih. Terutama di masa pandemi seperti sekarang ini. Konon, sebuah semangat dan pemikiran positif bisa menambah sistem imunitas dalam tubuh kita.

Dan inilah, 3 Tips agar tidak jadi toxic parent:

1. Jangan malu untuk belajar dari kesalahan dan segera memperbaikinya.

Belajar bisa dari mana saja, bahkan belajar dari anak-anak kita sendiri pun tidak ada salahnya. Tidak selamanya orang tua itu menjadi orang yang harus selalu dituruti karena lebih tua jadi lebih duluan hidup. Tidak selamanya juga orang tua itu pasti benar karena lebih dahulu merasakan asam garam kehidupan. 

Selama kehidupan terus berlangsung, maka akan terjadi hal-hal baru yang harus dihadapi dan butuh penyesuaian. Untuk bisa menyesuaikan diri maka kita, sebagai orang tua, harus mempelajarinya. Bisa jadi, apa yang kita anggap paling benar saat ini, ternyata di masa depan justru dianggap sesuatu yang salah dan harus ditinggalkan.

Eh. Emang ada sesuatu yang dianggap benar tapi akhirnya berubah di masa depan dan harus ditinggalkan? Jawabannya ada.

Contoh:

- Masih ingat nggak cara orang tua jaman dahulu merawat anak-anak mereka seusai para bayi dimandikan? Dulu, setelah dimandikan, anak-anak langsung dibalur dengan minyak telon, lalu dibedaki sekujur tubuhnya dengan  bedak tabur bayi. Itu sebabnya para bayi wangi-wangi dan dikenal dengan istilah "wangi bayi". Produk bedak tabur, minyak telon, dan sebagainya pun ramai dicari orang. 

Sekarang, dunia kedokteran menemukan bahwa ternyata taburan bedak bayi yang dibaluri di sekujur tubuh anak ini ternyata menimbulkan reaksi alergi. Dan ini yang diduga menjadi sumber dari berbagai penyakit bayi seperti biang keringat, sesak nafas, flu, kulit kering, dan sebagainya. Katanya, karena kulit bayi yang seharusnya "bernafas" dengan baik, lubang pori-porinya tertutup sehingga justru menimbulkan penyakit baru pada bayi. Itu sebabnya sekarang para dokter menyarankan agar para bayi seusai mandi tidak boleh diberi apa-apa. Baik itu minyaka telon, minyak kayu putih, atau bedak. Apalagi cologne.  Big No lah. 

- Masih ingat nggak bagaimana jaman dulu orang tua meminta anak untuk menghafal kali-kalian agar masalah berhitung anak-anak mereka bisa terbantu? Jaman sekarang, cara menghafal ini justru dilarang oleh para pakar pendidikan karena dianggap membuat anak tidak bisa memahami cara kerja matematika. 

- Masih ingat nggak  bagaimana jaman dulu para guru Taman Kanak-Kanak mengajarkan cara mewarnai dengan memberi arahan warna pada murid-muridnya. Bahwa langit itu biru, gajah itu abu-abu, pohon itu daunnya hijau, genteng rumah warnanya coklat. Jaman sekarang, cara mengajar guru taman kanak-kanak seperti ini dianggap merusak daya imajinasi murid. Anak-anak harus dibebaskan untuk menginterpretasikan dan berimajinasi dalam memberikan warna apapun pada gambar mereka. 


-Dan masih banyak lagi contoh dari apa yang dianggap benar jaman dulu dianggap salah jaman sekarang dan harus segera ditinggalkan. 




2. Jangan memantau  semua gerak gerik anak terus-menerus. Mereka bukan buronan dan kita bukan polisi.

Sebagai orang tua, memang sudah menjadi kewajiban bagi kita untuk mengawasi dan mendampingi tumbuh dan kembang anak-anak kita. Tapi, bukan berarti mereka harus diawasi terus menerus hingga menghabiskan seluruh energi kita sebagai orang tua. Hal ini justru malah membuat kita sebagai orang tua jadi terlihat seperti seorang polisi yang harus mengawasi terus-menerus anak-anak kita. 

Jangan memata-matai anak kita sendiri. Ketika dia mandi, buru-buru diperiksa isi chat media sosialnya, ditelusuri satu-satu siapa saja teman-teman anak-anak kita, dan sebagainya. Anak pergi diikuti diam-diam untuk memastikan apakah dia benar menuju ke tujuan yang diucapkannya. 

Waspada penting tapi bukan berarti kita jadi serba curigaan dan tidak mempercayai anak kita sendiri

Memang betul selama dia anak-anak kita maka tanggung jawab kitalah segala sepak terjang anak kita di luar sana. Jadi, jika terjadi sesuatu maka orang tualah harus ikut bertanggung jawab, tidak hanya anak saja yang terkena hukuman. Betul juga bahwa kewajiban kita sebagai orang tua untuk menjaga anak-anak agar tidak terjerumus ke dalam hal-hal yang dilarang oleh "agama" atau melakukan hal-hal yang melanggar aturan hukum positif sebuah negara. 

Yang harus diingat adalah, bahwa nilai dan sistem budaya yang ada dalam diri seorang anak itu, tertanam sejam dia masih usia dini. Jadi, seharusnya sejak anak masih kecil dululah diajarkan apa yang boleh dan tidak boleh sesuai syariat agama dan aturan hukum positif. Seperti jangan berzina, jangan membunuh, jangan memfitnah orang lain, jangan minum minuman keras, jangan makan makanan tidak halal, jangan menghina orang lain, jangan berbuat keji pada makhluk hidup lain, jangan berbuat curang untuk meraih sesuatu, jangan menipu orang lain, jangan menipu TUHAN, dan sebagainya. Caranya tentu dengan banyak cara; seperti lewat pengajaran agama atau lewat parenting sehari-hari. Semua pengajaran nilai-nilai ini, insya Allah akan membentuk anak-anak ketika mereka mencapai usia remaja dan jelang dewasa mana saja rambu--rambu nilai dalam kehidupan yang harus dipatuhi. 

Pengajaran dan pola asuh yang membekali anak-anak dengan nilai agama, ditambah dengan penguatannya lewat suri tauladan yang baik dalam keseharian. bisa menjadi alat monitor yang tertanam dengan baik dalam diri anak dan ini akan terus ada hingga akhir hayat si anak kelak setelah dia menjadi manusia dewasa. 

Contohnya:
- Aku dan suami, selalu mengajarkan pada anak-anak kami bahwa tidak melihat adegan syur itu lebih baik untuk kesehatan mereka dalam berinteraksi dengan orang lain. Alasannya kami beritahu anak-anak, karena adegan syur membuat kita yang semula tidak tahu jadi tahu. Setelah tahu jadi penasaran. Masalahnya, ketika penasaran, kita juga nggak bisa melakukan apapun selain sesuatu yang justru malah merusak kehidupan kita selanjutnya. Karena manusia itu sulit ketika berhadapan dengan rasa penasaran. Jadi, tidak melihat adalah lebih baik. Tidak tahu itu tidak selamanya buruk, justru malah bisa menyelamatkan di beberapa situasi.

Akhirnya, ketika anak-anak kami tumbuh lebih besar seperti jadi remaja, mereka akan otomatis menghindari semua tayangan atau tontonan syur. Termasuk ketika putriku duduk di bangku kelas 9 (3 SMP) dan dapat tugas untuk membuat makalah tentang aneka penyakit kelamin, putriku menutup sebagian monitor laptopnya dengan buku karena tidak ingin melihat gambar yang muncul disana. Yang dia baca hanya tulisan yang harus dikutipnya saja. 

Atau ketika putriku menonton You Tube, dia akan otomatis memalingkan wajah ketika melihat adegan syur, bahkan meski hanya adegan berciuman saja. Menunggu beberapa saat dengan perhitungan bahwa adegan itu akan selesai baru kemudian lanjut menyimak You Tube. 

 Ketimbang melakukan berbagai cara atau menggunakan alat bantu  yang terbaik untuk memantau apa yang anak-anak lihat dan dengar,  lebih baik mengajari anak-anak apa yang harus dilakukan dengan sesuatu yang seharusnya tidak mereka lihat atau dengar. 

3. Perbaiki akhlak kita maka insya Allah akhlak anak-anak kita akan ikut menjadi lebih baik.

Agama itu luar biasa.

Jika ditelusuri semua isi kajian agama (agama manapun), isinya sebenarnya itu-itu saja. Tentang aturan yang harus dilakukan sebagai penganut kepercayaannya. Tentang apa saja yang  terlarang dan apa yang dibolehkan. Tentang cara melakukan apa yang lebih baik dilakukan. Tentang cara memperbaiki hubungan spiritual dengan Tuhan dan memperbaiki hubungan dengan sesama manusia dan alam sekitar agar hidup bisa lebih baik. 

Biar bagaimanapun, agama itu menguatkan diri kita ketika ingin meraih apapun yang kita inginkan. 

Di negara-negara maju dimana agama disepelekan atau ditinggalkan karena dianggap sesuatu yang imajinatif, kasus bunuh diri kerap terjadi. Dan ini justru terjadi pada mereka yang dianggap sudah mencapai tangga kesukesan yang tertinggi. Mengapa hal ini bisa terjadi? Karena meski semua sudah berhasil diraih dan didapat, tapi perasaan kosong dan kesepian di dalam diri tidak kunjung terobati. Rasa kosong dan kesepian ini, bisa diisi dengan baik oleh agama. 

Gimana caranya?

Yaitu dengan keyakinan, dimana keyakinan ini diajarkan oleh agama bahwa ternyata dunia ini seperti air laut. Semakin diminum malah bikin semakin terasa haus dan ketika dipaksa untuk meminumnya kita sendiri yang akhirnya akan kesakitan dan akhirnya mati sengsara. 

Dengan keyakinan seperti ini maka kita tidak lagi menjadi manusia yang tidak pernah puas. Kita jadi bersyukur ketika sudah mencapai titik tertinggi yang kita dapat, dan bisa bertahan karena rasa sabar yang hadir ketika ternyata tidak berhasil meraih titik tertinggi yang kita ingin raih.

Dan aturan yang ada dalam sebuah agama, otomatis akan menjaga kita agar tidak melakukan hal-hal yang merusak diri kita sendiri dan juga diri orang lain. Lebih dari itu, ketika kita memutuskan untuk memperbaiki akhlak kita agar sesuai dengan aturan agama yang kita yakini, secara otomatis imbasnya akan terpantul pada anggota keluarga kita yang lain. Mereka jadi menghormati dan menyayangi kita, lalu tanpa sadar terinspirasi untuk melakukan hal yang sama. Dan akhirnya, tanpa sadar bersama-sama meniti jalan kebaikan.

Demkian 3 tips agar tidak jadi toxic parent.

Semoga bermanfaat. 

Tidak ada komentar