Pentingnya Hang Out dengan Anak Remaja

[Parenting] Berapa orang anak kalian? Jika hanya punya anak semata wayang, mungkin tulisan ini menjadi kurang berarti. Tapi jika kalian termasuk orang tua yang memiliki anak lebih dari satu, tulisan ini mungkin bisa lebih berarti. Anakku, kebetulan alhamdulillah ada 3 orang. Dan sekarang mereka sudah bukan anak kecil yang berada di masa berlari-lari sendiri dan kita mengejarnya. Anak-anakku adalah anak-anak remaja. Jadi, bisa dibilang ini adalah parenting untuk anak remaja.

Menurut pengalamanku selama ini, aku merasa amat penting untuk menyisihkan waktu agar bisa hang out dengan anak. Mengapa? Baca terus ya tulisanku ini.

credit photo: pixabay.com





Hang out atau menghabiskan waktu bersama dengan anak remaja itu akan terasa berbeda loh antara jika kita hang out dengan semua anak yang kita miliki atau dengan hanya salah satu saja di antara semua anak tersebut.

Perbedaan Menghabiskan Waktu dengan Semua Anak dan Satu Anak Saja 

credit photo: pixabay.com 

1. Fokus Pembicaraan

Kekurangan: Jika menghabiskan waktu dengan semua anak, maka fokus pembicaraan tidak bisa fokus dan terarah. Pasti melebar dan lompat-lompat temanya. Hal ini terjadi karena ketika satu orang berbicara, maka yang lain ikut berbicara dan yang lainnya juga ikut menimpali dengan kecenderungan untuk menguatkan salah satu pendapat karena merasa senasib. Lalu mulai menambahkan pengalamannya. Nah. Dari pengalaman yang tertutur ini, ternyata tanpa terasa fokusnya jadi teralihkan. Akhirnya, fokus pembicaraan pun teralih atau berpindah. Bisa melebar bisa juga melompat idenya jadi berubah sama sekali.

Akibat pembicaraan yang tidak terfokus ini, kita jadi tidak punya kesempatan untuk menggali lebih lanjut tentang sebuah isi pembicaraan.

Anak 1: "Tahu nggak... rumah teman aku kan mau dijual."
Ibu     :  "Oh ya?"
Anak 2: "Bagus nggak rumahnya?"
Anak 3: "Di daerah mana?"
Ayah  : "Sudahlah, lebih enak tinggal di sini kayaknya. Nggak usah pindah-pindah lagi deh kita."
Anak 1: "Kok nggak ada yang nanya sih kenapa rumah temanku mau dijual?"
Anak 2: Paling juga lama lakunya rumah itu. Jaman sekarang rada susah jual rumah. Karena harga tanah makin tinggi tapi kemampuan masyarakat untuk membeli rumah juga nggak ada."
Anak 2: "Tapi di daerah Tangerang nggak terlalu mahal kok. Masih terjangkau."
Anak 1" Itu Tangerang. Masalahnya, rumah itu... bla... bla.. bla...."
cerita pun berkembang, melebar, dan tidak ada yang bertanya mengapa rumah teman anak 1 mau dijual.


Kelebihannya : Kelebihan pergi bersama dengan semua anak tentu saja akan mudah untuk dirajut kekompakan sebagai kelompok. Antara anak satu dengan anak lain bisa diingatkan sekaligus dikuatkan perasaan saling memiliki dan saling tolong menolongnya agar mereka bisa senantiasa kompak.

2. Fokus Perhatian

Kekurangan: Menghabiskan waktu bersama dengan semua anak, berarti satu hal: kita harus memecah perhatian kita pada semua anak secara merata. Dan secara merata itu berarti tidak satu orang pun dari anak-anak tersebut yang mendapat perhatian penuh.

Bungsuku diganggu oleh kakaknya. Bungsuku berteriak. "Ibuuu.... Mas Ibam tuh bu."
Komentarku adalah: "Ibam... jangan." (hehehe, anak sulungku Ibam sering tertawa dengan reaksiku yang selalu hanya mengandalkan dua kata ini. Tapi, si sulungku ini tidak tahu bahwa pada saat yang sama sebenarnya aku sendiri sedang berusaha untuk bersikap adil pada anak bungsu dan anak sulungku. Permainan saling ganggu yang terjadi di depan mataku ini, aku rasakan sebagai bagian dari interaksi mereka sebagai kakak adik. Bisa jadi, si adik tidak tahu bahwa reaksi dia menghadapi kakaknya yang iseng mengganggunya sebenarnya adalah pelajaran kehidupan baginya dalam menghadapi kehidupan nyata di tengah masyarakat. Bahwa jika ada yang mengganggu kita dan kita tidak senang dengan gangguan tersebut, kita harus bereaksi yang memperlihatkan penolakan agar gangguan tersebut kelak berhenti.

Jika diganggu tapi reaksinya pasrah, dampaknya ada 3 dan ketiganya sama buruknya. Yaitu gangguan semakin liar dan berbahaya, atau kita akan ditinggalkan dan dikucilkan oleh orang lain karena dianggap tidak asyik; atau kita akan dimanfaatkan untuk keuntungan atau kesenangan orang lain saja.

Itu sebabnya ketika aku melihat si adik diganggu oleh kakaknya, pada taraf tertentu, aku biarkan saja. Karena aku ingin si adik belajar untuk melakukan perlawanan jika memang tidak suka. Jika gangguan tersebut sudah mengarah pada hal yang berbahaya barulah aku ikut campur untuk menengahi mereka.


"Buuuu.... ini bagaimana ?" Ini contoh lain, yaitu ketika anakku yang lain bertanya satu hal padahal di saat yang sama, aku sedang fokus bersama seorang anak. Karena aku ingin cepat memberi solusi bagi pertanyaan anakku yang lain ini, maka
"Tinggal begini saja kok, Na." Ini jawaban asal cepatku. Menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh anakku memang. Tapi, tidak membuat anakku mengerti tentang proses bagaimana penyelesaian itu bisa muncul. Dan lebih dari itu, aku jadi terlewatkan kesempatan untuk memperhatikan mengapa anakku ini memperoleh kesulitan untuk mendapatkan jawaban dari sesuatu yang menurutku mudah.

Kelebihan : Sekali lagi, bepergian dengan semua anak berarti memberi kesempatan pada anak untuk merasakan kebersamaan. Mereka jadi saling memperhatikan saudaranya dan juga memperhatikan kedua orang tuanya, meski perhatian itu tidak dalam.

3. Fokus pada Proses Komunikasi

Banyak anak berarti banyak mulut yang ingin mengeluarkan suara dan butuh telinga yang ingin mendengar suaranya.

Kelebihan jika kita hang out dengan semua anak bersama-sama, maka kita sebagai orang tua bisa membagi beban tugas menjadi pendengar yang baik pada anggota keluarga lain. Jadi, ketika 1 orang anak sedang cari perhatian dalam interaksi mereka bersama keluarga, maka bukan cuma orang tuanya saja yang bisa memposisikan diri sebagai pendengar celoteh mereka, tapi semua anak yang lain pun bisa menjadi pendengar. Lalu semua juga memiliki kesempatan untuk mengeluarkan aksi berupa pendapat atau saran atau kritik. Dan demikian proses komunikasi terjadi.

Tapi kekurangannya adalah, proses komunikasi ini mungkin tidak bisa berjalan utuh dari awal sampai akhir. Karena, si anak ini harus memberi kesempatan pada anak lain untuk melakukan apa yang dia lakukan, yaitu mengeluarkan pendapat dan mendapatkan respon atas pendapat yang dia keluarkan.

Karena ke 3 kekurangan di atas inilah maka aku menganggap penting bagi kita, selaku orang tua, untuk menyisihkan waktu guna hang out dengan anak remaja.

Pentingnya Hang Out Dengan Anak Remaja:

1. Kita bisa menggali kedalaman sebuah percakapan.

Karena perhatian kita ketika berbicara dengannya, tidak terputus atau terganggu dengan kehadiran anak yang lain. Jadi, kita bisa lebih konsentrasi untuk mendengar secara lebih detail dan bertanya jika sekiranya ada yang tidak mengerti.

Kalian tahu, bahasa remaja itu hidup. Artinya, bahasa yang keluar dari mulut seorang remaja ketika berkomunikasi tidak baku seperti yang ada di buku-buku pegangan parenting. Bahkan tidak sama seperti yang ditulis di novel fiksi remaja. Bahasa remaja berubah seiring dengan perkembangan jaman.

Memang sih, ada beberapa kata atau istilah yang merupakan pengulangan dari masa lalu (bahasa gaul jaman orang tuanya masih muda); tapi ada kekhasan yang tidak sama antara masa remaja jaman sekarang dan masa remaja jaman 5 tahun yang silam.

Nah. Perkembangan gaya berbahasa remaja ini tidak akan bisa kita pahami jika kita tidak berkomunikasi dengan para remaja.
Kita bisa bertanya apa arti sebuah kata pada cerita remaja yang sedang disampaikan oleh anak remaja kita.

Seperti:
Anak remajaku di tahun 2018: "Bu.... kan aku ngobrol random nih sama temanku tentang drama korea yang disukain apaan. Terus, masa ya, temanku nggak suka sama Lee Jong Suk. Oh Em Ji, aku baru tahu loh bahwa ternyata ada cewek yang nggak suka dengan Lee Jong Suk. Weird kan bu?

(Kalian tahu apa yang menarik dari sepenggal percakapan di atas? Percakapan yang aku lakukan dengan anak remajaku? Jika diperhatikan, beberapa tahun silam, yaitu ketika anakku belum remaja, dia mungkin tidak akan mengeluarkan istilah random, Oh Em Ji, Weird. Mungkin kalimat yang keluar akan tersusun seperti ini :

Anak remajaku di tahun 2013: "Bu... kan aku ngobrol iseng nih sama temanku tentang drama korea yang disukain apaan. Terus, masa ya, temanku nggak suka sama Lee Jong Suk. Ya ampun, aku baru tahu loh bahwa ternyata ada anak yang nggak suka dengan Lee Jong Suk. Aneh ya bu?"

Dan ketika aku masih remaja dulu, mungkin kalimat yang aku keluarkan dulu seperti ini:

Aku ketika remaja di tahun 1988 : "Bu... kan aku ngobrol ngalor-ngidul sama temanku tentang drama Indonesia yang disukai apa aja. Terus, temanku masa ya nggak suka sama Ongky Alexander. Ya ampun, aku baru tahu deh bahwa ternyata ada anak yang nggak suka sama Ongky Alexander. Nggak habis pikir aku bu."

Tuh... lihat gaya bahasanya? Tidak sama kan? Meski isi (content) pembicaraannya sama sebenarnya).

Nah. Dari isi pembicaraan ini, kita bisa lebih fokus jika ingin menggali pembicaraan. Tanya istilah-istilah baru yang berlaku di jaman anak kita tumbuh sebagai remaja. Tanya juga arti sebuah kata tersebut apa. Pokoknya, tidak ada lagi perbedaan usia. Saat itu, kita dan anak kita adalah 2 sahabat yang sedang berkomunikasi.

2. Kita bisa mengetahui pemikiran dan pendapat anak yang sesungguhnya.


Ini juga kebaikan dari pentingnya hang out dengan anak remaja berdua saja (tanpa diikuti oleh anak yang lain). Dari cerita yang si anak tuturkan, kita bisa mengetahui pemikiran dan pendapat anak yang sesungguhnya.

Sebuah kalimat yang meluncur keluar dari mulut anak, sesungguhnya bukan hanya sekedar rangkaian kata-kata tak bermakna apa-apa. Tapi merupakan rangkaian pemikiran dan pendapat si anak yang boleh jadi mencerminkan seperti apa anak tersebut.

Aku punya contoh untuk poin mengetahui pemikiran dan pendapat anak yang sesungguhnya:

"Bu. Kemarin aku UTS-nya dicampur dengan anak kelas 3. Jadi nih, kita duduknya cewek-cowok-cewek-cowok. Selang seling. Jadi di sebelah aku anak cowok kelas 3. Pokoknya, 1 deretan tuh dari depan sampai ke belakang anak kelas 3, sedangkan 1 deret sebelahnya dari depan sampai ke belakang anak kelas 1. Seru deh bu. Kakak kelas aku nih bu, dia orangnya jujur banget deh bu. Aku baru lihat orang yang berani berbuat jujur secara terang-terangan seperti ini. Padahal dia kakak kelasku loh bu."
Jika saja aku tidak pernah memulai percakapan dengan anak remajaku ini aku mungkin selamanya tidak tahu bahwa arti kejujuran yang dia maksud tersebut ternyata mengalami sebuah penyimpangan.
"Kenapa kamu merasa begitu, dik?"
"Iya bu. Karena, dia bisik-bisik bilang sama aku. Kan kebetulan aku sudah selesai tuh ngerjain soalnya. Tapi, sama bu guru nggak boleh keluar kelas karena masih ada banyak waktu. Jadi kata guruku, aku disuruh membaca lagi soal dan jawabanku. Siapa tahu ada yang salah tulis atau ada yang ketukar jawabannya. Jadi ya sudah, aku baca lagi soal pertanyanan ujianku. Terus aku periksa jawabannya. Aku mikir lagi. Ya begitu deh."
"Iya. Soal kakak kelasmu yang jujur itu jadi gimana?"
"Oh iya. Nah. Kakak kelasku ini, mungkin karena dia ngelihat aku banyak diemnya karena nggak ada kerjaan lagi, jadi dia bisik-bisik bilang sama aku. Dia ngasih tahu,... katanya, jujur nih, semalam aku nggak belajar. Jadi aku nggak tahu jawaban untuk pertanyaan ulangan ini. Kamu tahu nggak? Aku baca saja kertas ulangan dia. Aku baca semua pertanyaannya. Beberapa aku tahu sih jawabannya. Tapi, kalau aku kasih tahu dia, nanti dia nggak mau berusaha. Jadi aku diem saja. Terus aku kembaliin soal ulangannya ke dia lagi. Dia bisik-bisik ke aku lagi. Katanya, jujur nih, aku asli nggak tahu mau ngisi jawaban apa. Kalau kamu tahu jawabannya, kamu jujur saja kasih tahu aku. Gitu katanya. Tapi aku kan bingung bu, gimana ngasih tahunya? Jadi aku diem saja karena bingung. Nah, dia kayaknya nggak sabar ya karena aku diem saja. Jadi dia akhirnya nanya ke teman sesama kelas 3 yang duduk di depan dia. Terus sama temannya, baik banget deh bu temannya, dia mau membantu temannya. Dikasih tahu jawabannya jadi dia tinggal nulis."
Itu cerita anakku ketika dia baru saja merasakan jadi anak SMP (Sekolah Menengah Pertama).
Sebelumnya, anakku ini bersekolah di Sekolah Dasar (SD) Islam Muhammadiyah; dimana memang diajarkan untuk tidak berbuat curang sejak mereka masih kelas 1 SD. Dan entah bagaimana cara gurunya mendidik anak-anaknya, hingga lulus dari SD, anakku ini tidak tahu bahwa saling bekerja sama dalam ujian itu adalah sebuah bentuk kecurangan. Jadi kerjasama dalam sebuah keburukan, bukan kerjasama dalam kebaikan. Meski ada kata jujur tersemat di dalam kerja sama tersebut. 
"Nak.... apa yang kakak kelasmu lakukan itu bukan sebuah kejujuran. Tapi ajakan untuk saling memberi contekan. Jadi, jika saja kamu memberi tahu dia jawaban, maka itu berarti kamu memberi dia contekan."
"Tapi bu, dia kan sudah jujur memberitahu bahwa dia memang tidak bisa? Tidak belajar? Kita nggak boleh bantuin dia emangnya? Kan dia lagi mengalami kesulitan?"
"Nggak nak. Ada kerjasama yang harus dilakukan, yaitu kerjasama dalam kebaikan. Kebaikan itu artinya, memberi manfaat bukan hanya di dunia tapi juga di akherat kita. Nggak boleh dicampur yang perbuatan jahat sama yang perbuatan baiknya. Jadi, kakak kelas kamu emang sih jujur, tapi dia pingin memanfaatkan kamu sebenarnya. Dia malas, dan kamu rajin. Nah, dia pingin memanfaatkan kerajinan kamu itu. Kalau kamu bantu dia, nanti orang yang malas dan orang yang rajin sama-sama dapat nilai bagus. Nah. Terus, nanti yang malas sebenarnya bodoh nih, tapi dia bakalan dianggap pintar sama orang lain yang nggak tahu bahwa dia bodoh karena malas. Nih... kamu mau nggak. Kamu sudah ibu suruh sikat kamar mandi, ngepel, nyapu, ngelap-ngelap, buang sampah. Sedangkan Mbak Arna misalnya kerjanya seharian cuma tidur-tiduran nonton you tube, makan cemilan, nyampah di kamarnya. Tapi pas sore hari, ibu ngasih hadiah buat kalian. Anak-anak, ini ibu kasih hadiah karena kalian sudah membuat rumah kita bersih kinclong. Kamu ibu kasih 50.000 dan buat Mbak Arna ibu kasih juga 50.000. Tuh... menurut kamu, ibu adil nggak dalam hal ini?"
"Ya nggak lah. Enak banget mbak Arna. Aku yang capek-capek ngepel, nyapu, nyikat, masa aku dikasih hadiahnya sama ama Mbak Arna."
"Nah. Disitulah makanya kita nggak boleh membantu orang yang mau enaknya saja. Mau dapat  nilai bagus tapi nggak belajar. Terus dia minta jawaban dari orang yang belajar. Dia jujur waktu menceritakan kondisi dia nggak belajar semalaman. Tapi dia nggak jujur karena dia minta bantuan orang lain agar nilai dia bagus tanpa usaha tertentu. Sampai disini ngerti, nak?"

Mungkin nih, jika aku tidak menyimak percakapan anakku ini secara seksama, aku tidak pernah mengetahui bahwa saat itu, anakku ternyata belum mengerti apa itu konsep jujur dan curang.

3. Kita bisa mengarahkan ke arah mana sebaiknya anak kita memilih 

Poin ketiga ini adalah kelanjutan dari poin kedua.
Yaitu, setelah kita mengetahui pemikiran dan pendapat anak yang sesungguhnya, maka ada baiknya kita memberikan masukan pada anak kita. Biar bagaimana pun juga, dari sisi usia dan pengalaman, dibanding dengan anak remaja kita, kita punya kelebihan.

Jika ternyata pendapat dan pemikiran anak kita salah, maka mulailah kita luruskan kembali sebelum kesalahan itu semakin jauh terjadi dan mengakar di dalam benak anak kita.

Dari kasus-kasus yang dulu pernah aku tangani di dalam rubrik uneg-uneg kafemuslimah.com, sulitnya mengubah apa yang dianggap penting oleh seorang remaja lahir karena orang tua tidak ada ketika pemikiran dan pendapat itu pertama kali muncul dalam benak remaja. Remaja yang nol pengalaman, mencari sendiri jawaban atas kebingungan situasi yang dia alami. Dan setelah mendapatkan jawaban, dia merasa bahwa itulah kebenaran. Tentu saja, setelah dianggap kebenaran menjadi sulit untuk diubah. Artinya, perlu usaha-usaha tertentu untuk mengubahnya agar menjadi kebenaran yang benar-benar benar.

Jadi... yuk hang out dengan anak remaja.


7 komentar

  1. Mbak Ade, nih bisa jadi role model untuk jadi orangtua dambaan *_*
    TFs ya Mbak Ade untuk sharingnya
    'N'nya kurang di bagian sub judulnya mbak Ade ^_^

    BalasHapus
  2. Seru kalau punya anak remaja bisa diajak hang out dan sharing bareng. :D

    BalasHapus
  3. Wah makasih mbak sharingnya... saya juga punya anak remaja nih 13 tahun... mulai sering terkaget2 lah lihat perubahan2 tingkah lakunya yg kadang suka 'ajaib'

    BalasHapus
  4. TFS Mbak, anakku emang baru satu dan masih balita, tapi aku punya adek yang masih remaja...

    BalasHapus
  5. hihihi.. aku ketawa lho mba baca cerita tentang kejujuran itu. dan aku langsung bayangin putriku yang baru lima tahun ini jadi beranjak dewasa hehe

    BalasHapus
  6. Setuju, Mbak. Kalau sama Nai udah cukup sering dilakukan. Tapi, sama Keke baru akhir-akhir ini. Jadi lebih akrab kalau hang out dengan salah satu anak

    BalasHapus
  7. Aku malah biasanya pergi bareng ketiga anakku, rame2. Sekali-kali pergi berdua dengan salah satu anak asyik juga sepertinya ya mba Ade. Tinggal ngatur waktunya aja, anak2 sekarang sibuk banget dengan sekolah dan malah sering hang out dengan teman-temannya :D

    BalasHapus