Melatih Kesabaran dalam Shalat Jamaah

[Parenting]: Enaknya punya anak yang masih kecil (usia kurang dari 12 tahun) itu satu, mereka masih enak untuk dijadiin teman dalam shalat berjamaah.

Maklum, di rumah waktu kepulangan orang-orang tidak ada yang sama. Ada yang baru pulang selepas jam sembilan malam, ada yang pulang setelah maghrib, ada juga yang pulang setelah waktu shalat isya (lalu langsung masuk kamar dan tidur. Biar nanti malam bisa bangun untuk shalat malam lalu lanjut belajar).

Jadilah sebagai seorang ibu, aku sering melakukan shalat sendirian saja di rumah. Sisi enaknya, shalat jadi lebih khusyuk. Tapi sisi nggak enaknya, huff... aku kangen dengan anak-anakku.

Dulu, ketika mereka masih kecil-kecil, senang saja jika ada yang bisa digodain setelah waktu shalat selesai dan kami melipat dan membenahi perlengkapan shalat. Ngobrol ngalor-ngidul sambil melontarkan canda ria.

Waktu anak-anak masih lebih kecil-kecil lagi, aku pernah shalat dalam kondisi berupaya menahan tawa karena anakku yang baru bisa berjalan, berjalan memutar tubuhku tanpa mengenal rasa pusing. Sambil mulutnya ngoceh dan air liur yang belum bisa dikendalikannya menetes hingga meninggalkan jejak berputar di sekeliling tubuh.


Sekali waktu, suamiku yang sedang menjadi imam, tangannya reflek memegang puncak kepala si anak yang sedang asyik berjalan berputar-putar.
TAP.
Anakku langsung berhenti melangkah dan berhenti bubling. Lalu dengan tatapan super polosnya menatap ke atas dan memandang lurus ke arah ayahnya. Seakan bertanya "apa salahku? Kenapa aku harus berhenti?".
Mukanya lucuuuuuuuuu banget. Belum lagi bibir basahnya yang dimajuin. Dan air liurnya yang tertahan bersiap menetes. Kontan suamiku tertawa dan menghentikan shalatnya. Memeluk si kecil dulu.

"Ayah shalat dulu ya. Kamu ngapain muter-muter terus? Emang nggak pusing?"

Itu kenangan dulu.
Dulu sekali.
Sekarang, anak-anak sudah pada besar. Jadi, mereka shalat di luar semua. Mungkin hanya di shalat shubuh saja kami bisa shalat berjamaah sekeluarga.

Dan, disitulah enaknya masih punya anak kecil. Maksudku, anak yang berusia kurang dari 15 tahun. Kita jadi punya teman untuk melakukan shalat berjamaah di rumah.


Tentu saja aku yang menjadi imamnya dan anak bungsuku yang menjadi makmum. Tapi, karena gaya membaca suratku di dalam shalat mungkin terasa kurang cepat, maka anakku sering mendahulu gerakanku ketika terjadi pergerakan shalat.

Jadi, ketika akan rukuk, aku baru bilang Allahu Akbar, dia sudah membungkuk rukuk.
Ketika aku baru mengucapkan Allahu Akbar dan bersiap-siap untuk sujud, anakku sudah ada di bawah sedang sujud.

Gerakannya cepat sekali. Mungkin karena dia masih muda sedangkan aku mulai tidak semuda dia (nggak mau bilang lamban dan tua ah.. heheheh).

Akhirnya selesai shalat, aku pun mengajak anakku untuk ngobrol.

"Nak, jika shalat jangan bergerak mendahului imam. Tunggu dulu hingga gerakan imam sempurna, baru kita mengikuti gerakan imam."
"Eh... abis lama sih nungguinnya. Harusnya imamnya juga lebih cepat dikit dong."
"Nggak, sayang. Memang begitu ketika kita sedang shalat berjamaah. Kita harus berlatih sabar. Sabar menunggu gerakan imam yang akan kita ikuti, sabar juga dengan apapun keputusan surat yang akan dibaca oleh imam. Dan sabar mengikuti gaya memimpin dan membaca imam."

Anakku cemberut. Tidak suka sepertinya dengan penjelasanku.

"Tunggu sebentar nggak apa-apa. Kan orang sabar nanti dapat banyak pahala. Sabar itu harus dilatih, lagi."
"Kenapa sih kita harus nungguin imam?"
"Karena, kita sudah setuju dan mempercayakan dia untuk memimpin kita dalam shalat. Itu sebabnya kita harus konsekuen dong dengan pilihan kita itu. Jika dia lamban, ya apa boleh buat. Kita harus ikut dia tetap. Jika dia ngebut, ya udah. Kita juga kebawa ngebut. Imam itu pemimpin dalam shalat. Makmum itu anak buahnya pemimpin itu. Sebagai anak buah, ya kita harus patuh pada pemimpin yang sudah kita pilih itu."

Anakku masih masyghul. Sepertinya dia belum sepenuhnya setuju dan masih punya ganjalan di hatinya. Jadi, buru-buru aku menambahkan.

"Makanya, di Islam, yang diangkat jadi Imam untuk shalat itu tidak harus mereka yang paling tua. Atau yang paling ganteng. Atau yang paling mirip artis korea. Eh... nggak ada hubunganya sih ya."
(sebersit senyuman mulai hadir di wajah manis anakku....)... "Yang pantas diangkat jadi imam itu adalah mereka yang lebih pandai dalam ilmu agamanya atau yang lebih bagus bacaan surat Al Qurannya. Nah... hari ini, ibu sama kamu... alhamdulillah menang ibu kan. Ibu lebih pandai sedikit ilmu agamanya dibanding kamu, juga lebih bagus dikit bacaan surat Al Quran-nya dibanding kamu. Tapi, beberapa tahun lagi... mungkin kamu yang akan jadi imam ibu dan ibu yang akan jadi makmum kamu. Begitu."

"Ugh... nanti kalau aku jadi imam, aku mau milih surat yang pendek-pendek aja deh. Sama bacanya cepat saja. Biar bisa main lagi."

Aku tertawa mendengar rencana masa depannya. Anak kecil itu selalu deh. Membayangkan bahwa di masa depan dengan semua perkembangan yang ada, mereka masih memiliki semua keceriaan dan kebebasan masa kecil yang indah.

"Tapi, mungkin beberapa tahun lagi, ibu sudah lebih tua dari sekarang. Jika gerakanmu serba cepat dan kilat, ibu yang sudah tua mungkin tidak bisa mengikuti gerakan kamu nanti. Nanti  kalau pinggang ibu kecetit gimana?"

"Oh iya...."
Akhirnya, aku peluk anakku.
"Itu sebabnya. kita harus melatih kesabaran dalam shalat jamaah. Yang imam harus mengerti kondisi makmumnya, yang makmum harus mengerti kondisi  imamnya. Lalu sama-sama bersabar."
Dan senyuman anakku dalam obrolan kali ini adalah senyuman terindah sepanjang masa.
(selamanya, anak adalah quratta ayyun In Sya Allah).

32 komentar

  1. setuju mak...kalau anaknya di bawah 7 tahun harus sabar ya kalau mereka bisik-bisik sama adiknya dan gak tumaninah (pad aga mau diam)

    BalasHapus
  2. Fira sedang senang sekali ngikutin gerakanku sembari bilang Alloh Alloh, kalau Faiz seusia Fira, malah naik-naik gak keruaaaan, beda anak beda sikap yaa...tentunya ibu harus lebih mengajari yaaa...

    BalasHapus
  3. Heheee, kalau pinggang ibu kecetit, mengajari ketika anak masih kecil dan mengajari nanti kalau ibunya sudah renta ya...benar-benar seorang ibu tiada tara yak

    BalasHapus
  4. mengajari anak kecil emang perlu kesabaran ya mak..ntar kalo dah punya anak bener2 deh merasakan..hehehe :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya..kita jadi dididik utk berlatih kesabaran

      Hapus
  5. Anak-anak tuh paling pinter aja cari alasan ya mbak, dan kita harus lebih pintar lagi memberikan alasan yang masuk akal.

    BalasHapus
  6. Wah, aku nunggu Aisyah gede deh, kalo Faris Fatih udah diajak ke masjid. seru ya kompak ama anak cewek sholat berjamah :)

    BalasHapus
  7. Jadi inget polemik di masjid, ketika para emak2 pada protes kenapa yg imam sholat subuh pada baca surat panjang :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aku sepertinya ngerti keresahan para emak... krn mereka masih harus nyiapin sarapan pulang dari shalat shubuh

      Hapus
  8. Hehe...sama dengan anak-anakku mba....mereka kadang protes ke ayah nya karena kalo sholat bacaan suratnya panjang-panjang. Pas sholat...udah klisak-klisik...pengen cepet selesai...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iyaa...krn anak2 pingin buru2 bisa main lagi. Bagi mereka waktu rasanya sedikit buat main

      Hapus
  9. Anak jg perlu di ajari sejak dini ya bu

    BalasHapus
  10. Anak jg perlu di ajari sejak dini ya bu

    BalasHapus
  11. Anak jg perlu di ajari sejak dini ya bu

    BalasHapus
  12. Salat dan mengaji akan menjadi gerakan dan suara pertama yang akan berkesan untuk anak-anak kita. Semoga kita dimudahkan untuk menegakkan agama Allah.

    BalasHapus
  13. Yang pulang abis Isya trus langsung ke kamar pasti Kaka yang ganteng ituuh. . . :D

    Hawna yg sabar, ya. Krn, Ibu dikit2 suka encok. Jadi, shalatnya pelan2 saja. :D

    BalasHapus
  14. harus sabar emang ngajarin anak kecil tuh.. bagus tapi dari kecil sudah ditanami nilai-nilai islami :D

    BalasHapus
  15. harus lebih berhati2 thdp pergaulan anak jaman skrg

    BalasHapus
  16. shalat jamaah wajib hukumnya untuk kaum pria

    BalasHapus