Catatan sakit 3: Kecupan Ketika Hujan
Hujan hari itu amat unik bagiku.
Butir airnya turun amat deras, bulirnya besar-besar dan curahnbya banyak. Membuat gaduh suara seng-seng rumah dan pagar. Juga membuat banyak lubang di lumpur sepanjang pinggir jalan. Tak ada seorang pun yang ingin berjalan di bawah hujan yang menderas dan menggila seperti ini. Tapi aku seorang penyuka hujan. Aku melihat debu-debu yang terhampar di seluruh permukaan benda di dalam naungan kota Jakarta tampak terusir pergi dalam sekejap. Dalam hati aku berdoa:
“Ya Allah, terima kasih atas hujan yang telah Engkau turunkan kepada bumi. Tanaman menjadi subur, debu pun tersapu hingga penyakit bisa segera terberangus. Ya Tuhanku, seperti hujan yang menghapus debu-debu di atas daun dan jalanan, hapuslah semua dosa dan kesalahanku dengan kasih dan rahmat-Mu.”
Lalu tiba-tiba hujan sekejap berubah menjadi rintik laksana ingin berhenti. Awan hitam yang menggayut tiba-tiba menyingkir hingga matahari bisa menyapa seluruh permukaan bumi yang menjadi kekasih hati yang harus disambanginya. Semua orang yang berteduh tersenyum lebar. Kaki mereka kembali melangkah memecah genangan air sisa hujan deras beberapa detik yang lalu. Ada semangat yang menggunung hingga kaki-kaki lincah itu bergerak cepat membawa tubuh pergi. Sementara para pedagang kembali memanggul dagangan mereka di pundak dan mulai berjalan dengan riang sambil meneriakkan dagangannya. Kehidupan baru sudah dimulai. Denyutnya terasa mengibarkan bahagia.
“Ya Allah, Terima kasih karena atas kuasa-Mu, Kau hentikan hujan yang menghalangi hamba-Mu berkegiatan. Terima kasih karena cuaca cerah yang Kau limpahkan, telah membuat cerah pula orang-orang yang berwajah muram. Ya Tuhanku, seperti Engkau yang berkuasa membuat semua orang merasa bersyukur, masukkanlah aku ke dalam golongan orang-orang yang pandai bersyukur.”
Hanya tiga menit. Berapa jauh orang bisa berjalan dalam waktu tiga menit? Berapa banyak topik yang bisa diperbincangkan dalam waktu tiga menit? Dan kesempatan hujan reda ternyata hanya terjadi tiga menit saja. Di akhir detik ke lima puluh Sembilan di menit ketiga, dan awal detik pertama di menit keempat, hujan tiba-tiba turun kembali dengan deras. Amat deras disertai angin yang bertiup amat kencang. Semua orang yang berjalan bergegas segera bertedur. Semua pedagang kembali menurunkan dagangannya dan melindunginya dengan plastic penutup.
Aku menatap ke arah langit. Mencoba untuk memahami makna hujan yang turun dengan ritme yang berganti amat cepat. Apakah ini gambaran bahwa sebuah kesempatan terkadang terhampar dalam waktu yang amat singkat? Siapa yang tidak pandai menangkap kesempatan yang tersedia, dia akan selamanya tertahan tak bisa berpindah tempat. Atau mungkin pergantian yang cepat itu adalah gambaran dari kehidupan manusia itu sendiri. Sebentar bisa senang, sebentar bisa susah. Semua yang mengalami keterpurukan, tidak akan pernah terus menerus berada dalam keterpurukan. Pada saatnya nanti, dia akan bertemu dengan sebuah kesuksesan yang menyenangkan hati. Menghadirkan keceriaan di jiwa dan kebahagiaan. Tapi, jangan pernah terlena dengan kesuksesan yang sekarang sedang diraih. Semua yang terlena dalam kenikmatan, akan melupakan sikap waspada. Padahal, sebuah kesuksesan yang diraih selamanya tidak akan pernah bisa digenggam dengan erat. Kesuksesan sekarang, akan menjadi sesuatu yang biasa di hari esok. Dan lusa, sesuatu yang biasa itu mungkin sebuah ketertinggalan yang dapat menenggelamkan mereka yang tidak bersiap.
“Ya Allah, beri aku kesempatan untuk menjadi pribadi yang lebih baik dari hari kemarin dan dari waktu yang lampau. Jangan pernah biarkan aku terlena dengan dunia yang hanya sekejap ini. Ampuni aku, maafkan aku.” (sebuah doa kembali aku panjatkan dalam hati di tengah hujan yang menderas yang aku saksikan dari balik jendela kamar.)
“Ibu… kenapa ibu berdoa terus dari tadi?” Sebuah suara lirih dan imut milik anak bungsuku terdengar. Dia mulai mendekatiku dengan senyum khasnya yang menggemaskan.
“Iya nak. Ada saat dimana doa seseorang insya Allah akan didengar oleh Allah dan insya Allah akan dikabulkan oleh Allah. Pas kita dengar azan, lalu azan berhenti, nah itu saat tepat untuk berdoa. Juga ketika kita sedang sedih, atau ketika malam-malam saat banyak orang sedang pada tertidur pulas. Nah, begitu juga ketika hujan turun dengan deras seperti sekarang. Ini saat yang tepat untuk berdoa, sayang.”
“Oh… gitu.” Kepala mungil itu mengangguk. Entahlah apakah dia mengerti apa tidak dengan apa yang aku sampaikan padanya.
“Kamu… nggak mau berdoa? Selagi ada kesempatan nih. Yuk.” Lalu, meluncurlah dari bibir mungilnya selantun doa yang terbiasa aku dengar setiap malam. (sstt, jangan ditertawakan, ini adalah doa mau tidur yang merupakan doa yang paling dihapal luar kepala oleh buah hatiku ini).
“Bismikallahumma ahya wa amutu. Dengan nama-Mu ya Allah aku hidup dan mati. Allahumma, lindungilah ayah, ibu, mas…, mbak… dan aku. Allahumma, sembuhkanlah penyakit ayah, ibu, mas…, mbak.. dan aku dari penyakitnya. Ammiin.”
Aku tersenyum mendengar dia menyelesaikan doa singkatnya. Doa yang tulus dari mulut yang polos dan pikiran yang jernih seorang bocah.
“Terima kasih ya nak.”
“Iya… aku sayang sama ibu.” Lalu cup…. Dia mendaratkan sebuah kecupan di pipiku dengan bibirnya yang selalu basah itu. Sementara hujan yang deras dan ribut di luar jendela, kulihat mulai turun dengan perlahan kembali. Memberi kesempatan pada siapa saja untuk memanfaatkan kesempatan jika memang ingin bergerak merubah tempat berpijak. (tapi hujan mau mengerti kok, pada siapa saja yang tidak ingin berpindah tempat. Hidup adalah pilihan).
-------------bersambung lagi…jika sempat tapinya..
Penulis: Ade Anita, catatan kenangan Februari 2011 (sabar ya).
sekali lagi, ini adlah komentar dari teman2 facebook yang penuh perhatian:
Angelini Sollistifani, Elvinawati Nugroho, Tyas Amalia Yahya and 10 others like this.
Sari Viciawati Subhanallah... Allahu Akbar...
12 February at 13:23 · Like
Cepi Sabre saya jadi ingat ibu kartini. 'tempuh badai hingga reda, tempuh gelap hingga terang,' katanya.
ingatan lain membawa saya pada anak tetangga. 'om, bapak olohuabal,' katanya melihat bapaknya berpeci. saya yang non-muslim dengan susah payah mengajarkannya 'allahu akbar' azan maghrib dan 'allahu ma laka suntu' buka puasa. maaf kalau nulisnya salah ya.
sampai sekarang, setiap ketemu saya, dia akan bilang, 'om, ikum.' saya susah menjawabnya. hehehe ...
12 February at 13:23 · Unlike · 1 person
Ade Anita @cepi: hehe, gpp cepi.. pada anak-anak,toleransi masih bersifat murni. Tapi kamu hebat bisa ngajarin kalimat itu.
12 February at 13:36 · Like
Indria Auliani Hehehehe.. Bagian doa tidurnya lucu bgt mbk
12 February at 16:07 · Like
Ade Anita iya indri, begitu itu doa yg hawna hapal
12 February at 17:14 · Like
Astrid Septyanti Fuyuharuaki hiks...
kenapa Astrid jd sedih y mbak, baca catatan ini...
ah, jadi speechless...
jangan lupa tag astrid untuk berikutnya, dan berikutnya, dan seterusnya y mbak....
12 February at 17:36 · Like
Qonita Musa subhanallah.... menyentuh, speechless.
12 February at 17:39 · Like
Rika Risnawati Hatiku tersentuh mbak, subhanalloh....ditunggu lg slnjutnya-:)
12 February at 18:02 · Like
Nur Rahma Hanifah Subhanallah...
mbak adeeee, hugggs :*
12 February at 21:29 · Like
Anne Adzkia Indriani Dari catatan pertama baru komen disini: sungguh,membacanya membuat hati dan mata ini gerimis.
Sabar ya,Mbak. Innallaaha ma ashshabiriin...sesungguhnya Allah bersama org2 sabar. Sabar kala mendapat kemudahan dan kesulitan. I know u'll be the winner when u've passed all of these. InsyaAllah. Big love and hug,mbak Ade...
13 February at 03:54 · Like · 1 person
Hairi Yanti mbak.... terima kasih sudah berbagi...
13 February at 20:13 · Like
KembaRa Gelungan Hitam ora et labora kata pepatah lama
sementara sebuah buku berkata lupa mengeja sejarahnya dengan rapalan doa menuju surga, hujan selalu meninggalkan genang sebagai kenangan kusam di antara galian dan lubang
touching sekali mbak ade
13 February at 21:44 · Like
Nurul Asmayani T_T gak bisa komen
14 February at 13:38 · Like
Tyas Amalia Yahya berkaca2.. speechless *nunggu sambungannya*
14 February at 20:52 · Like · 1 person
Tidak ada komentar