Behind the Story: Setangkai Anggrek Bulan (dari kumcer keduaku selamat malam kabutku sayang)

[Lifesyle] Behind The Story nomor (#1): Setangkai Anggrek Bulan



Di buku kedua saya yang terbit tahun 2005, “Selamat Malam Kabutku Sayang” (penerbit: Gema Insani Press), ada sebuah cerita yang amat sangat saya suka. JUdulnya Setangkai Anggrek Bulan. Mungkin waktu itu gaya menulis saya tidak begitu bagus (sampai sekarang sih sebenarnya..hehehe, maaf deh…) tapi saya amat suka ceritanya. Hampir seluruh isi cerita pendek dalam buku-buku saya diambil dari kisah nyata. Baik yang saya alami sendiri maupun yang saya dengar sendiri dari penuturan pelakunya sendiri. Kebetulan, saya termasuk orang yang suka usil mau tahu masalah orang lain.

Cerita ini diangkat dari cerita ibu saya almarhumah dahulu. Suatu hari dia menelepon saya meminta agar saya datang ke rumah beliau.





“De, datang ke rumah ya. Ibu lagi sedih banget nih.”

Suara ibu bergetar menahan tangis. Ibu tidak ingin menjawab pertanyaan saya ada apa gerangan. Akhirnya saya segera meluncur ke rumahnya (hehehe… kesannya euy). Di rumah, ibu belum salin baju. Beliau masih mengenakan pakaian pergi lengkap dengan sisa make up yang masih tersisa di wajahnya yang lelah. Sisa? Ya… saya tahu semula di wajah ibu pasti ada taburan bedak dan lipstick tapi semuanya terlihat tinggal borehan tak teratur di wajahnya. Terhapus begitu saja karena ibu baru saja menangis.

Ternyata, ibu saya baru saja pulang dari menjenguk sahabatnya. Sahabat ketika masih sekolah dahulu sedang sakit keras. Harapan hidupnya kata dokter tinggal lima puluh persen. Kanker stadium empat. Di sisa harapan kesembuhan sahabatnya itulah ibu saya bercerita tentang kisah persahabatan dia dengan sahabatnya itu ketika masih sekolah dahulu.
Akhirnya saya pun duduk mendengar ibu bercerita. Sebenarnya lucu juga sih. Pada semua manusia, rasanya ada sebuah ritme yang hampir serupa pada tiap-tiap diri mereka. Yaitu, bahwa kita baru menyadari sesuatu itu amat sangat berharga ketika sudah diberitahu bahwa ada batas waktu memilikinya dan batas waktunya itu akan segera berakhir. Alias deadline.

Saya sering bermain-main dengan deadline sebuah event tulisan. Rasanya semua andrenalin imajinasi langsung pop up keluar dari kepala ketika deadline sudah di depan mata. Tapi ini kan deadline sebuah proyek pekerjaan. Berbeda kondisinya dengan deadline sebuah kehidupan…. Hmm.. semula saya pikir yang namanya deadline itu aromanya disini akan berbeda. Tapi ternyata sama saja.

Seseorang yang diberitahu bahwa deadline kehidupannya sudah dekat, akan langsung tersadar bahwa ternyata ada banyak sekali ide di kepalanya yang belum dia laksanakan. Ada 1001 rencana yang akan diwujudkan.
Sedangkah pada orang-orang yang mengetahui bahwa orang yang dikenalnya akan bertemu dengan batas akhir tidak lama lagi, baru menyadari betapa berharganya kebersamaan mereka yang selama ini bahkan mungkin tidak terpikirkan berharga. Ingatan kita memutar kembali kejadian-kejadian lama ketika bersama dengannya. Biasanya, kenangan yang muncul adalah kenangan indah. Hingga bertambahlah rasa sayang kita dan kian sedihlah mengingat perpisahan yang sebentar lagi akan berakhir. Dan itulah yang terjadi pada ingatan ibu akan sahabatnya yang sedang sakit keras tersebut.

Akhirnya, selang setahun kemudian setelah ibu bercerita tentanga nostalgia indah bersama sahabatnya tersebut, sahabat ibu tersebut meninggal dunia. Innalillahi wa innailaihi rajiun. Hanya saja, ada sebuah kisah yang menurut saya amat sangat mengharukan. Ini terkait dengan kesetiaan suami sahabat ibu tersebut ketika sedang menunggui istrinya yang sedang sakit.

Dengan sabar dan amat sangat telaten, suami sahabat ibu saya itu merawat istrinya yang sedang sakit. Pagi-pagi, dia sudah berangkat ke rumah sakit karena ingin segera membersihkan tubuh istrinya yang terbaring sakit. Ingin menyuapinya lalu mengajak istrinya berbincang-bincang dengan tema apa saja agar istrinya tersebut bersemangat untuk sembuh. Bahkan ketika akhirnya istrinya mengalami kebutaan karena penyakit yang kian ganas; suaminya dengan sabar menuntun istrinya untuk merabai semua hal yang biasa mereka temui setiap waktu.

“Lihat sayang; temanmu membawakanmu apel. Coba pegang ini, ini apelnya.”

Dengan sabar tangan tua bapak itu menuntun tangan tua istrinya untuk menjamah sebutir buah apel. Lalu pelan-pelan meraba buah apel itu dan mengajak istrinya membayangkan buah itu dengan mata hatinya.

“Apel ini ranum sekali. Lihat, kulitnya halus, dagingnya juga empuk. Kamu bisa merasakan tidak kesegarannya sayang? Kita coba ya? Buka mulutmu sayang.. biar aku suapi kamu.”

Ah. Hati siapa yang tidak dapat menahan haru melihat adegan kemesraan dan kesabaran serta kesetiaan seperti ini?
Setiap hari, setiap pagi, suami teman ibu itu berangkat ke rumah sakit dengan kendaraan umum tanpa kenal lelah. Ketika sore hari, dia selalu meninggalkan istrinya di rumah sakit dengan langkah berat. Seakan tidak ingin berpisah walau sekejap. Tapi anak-anaknya mengharuskan dia untuk pulang ke rumah agar dia juga bisa istirahat. Di rumah, si bapak ini juga tidak tenang istirahatnya. Separuh jiwanya sedang terbaring di rumah sakit, lalu bagaimana mungkin jiwa yang tertinggal bisa tidur nyenyak? Hingga suatu hari…. Si bapak ini terpeleset di kamar mandi. Usia tuanya segera menghantarkannya pada kematian.

Ah. Hidup memang sering tidak adil ya. Saya berkali-kali bertanya dalam hati ketika mendengar kematian suami teman ibu saya ini. Mengapa Tuhan tidak mencabut saja nyawa para lelaki yang sedang berselingkuh di ranjang-ranjang temaram wanita nakal? Mengapa Tuhan harus mencabut nyawa laki-laki yang penuh kesetiaan dan kesabaran lelaki yang mulia tersebut? Mengapa Tuhan harus mengambil lelaki paling berharga bagi seorang perempuan buta yang sedang sekarat?

Dalam kondisi perasaan yang tercabik-cabik dengan emosi dan pertanyaan akan keadilan Tuhan inilah saya lalu menulis cerita Setangkai Anggrek Bulan. Ibu dulu bercerita, ketika masih gadis dahulu, dia dan sahabatnya itu sering menyanyikan lagu ini dengan diiringi gitar di asramanya di Bandung sana. Itu sebabnya saya menangis ketika mendengar lagu Setangkai Anggrek Bulan; dan lahirlah cerita tersebut.

--------
Penulis: Ade Anita (tulisan ini dibuat awal tahun 2011, ketika saya sedang berniatt untuk menawarkan kembali buku lama saya yang terbit di awal ketika saya ingin menjadi penulis. Penerbit memberi tahu bahwa masih tersisa sekitar 1500 eksemplar lagi dari 6000 eksemplar semula. Catat ya: ini bukan promosi loh… tapi cuma pingin nulis aja. Sudah terlalu lama saya tidak menulis; anggap ini usaha saya untuk olah jemari. Dan saya ingin memulainya dengan menulis kisah di balik pembuatan tulisan-tulisan saya. Karena kebanyakan tulisan saya memang dibuat berdasarkan kisah nyata semua. Tapi kalau ada yang mau beli.. waah.... boleh banget.).

Tidak ada komentar