anak lelaki dan anak perempuan

Siang ini terik sekali.
Silahkan letakkan sosis dan daging sapi tenderloin di atas kepalaku, mungkin akan kau dapati sosis panggang nan lezat dan daging panggang well done.
Sayang, dokter melarangku mengkonsumsi daging merah.
Dan terik matahari yang menyengat siang ini membuatku malas menuju toko material untuk membeli cat berwarna biru.

Di dalam taman yang berpasir di bawah pancaran matahari yang garang, aku melihat seorang anak lelaki menodongkan pistolnya ke arah seorang anak perempuan.
Sama sekali tidak ada rasa takut di wajah anak perempuan itu.
Senyum diuntainya semanis warna pelangi dan matanya mengerling saja menantang pistol mainan itu.
Mungkin nalurinya sebagai seorang perempuan sudah mulai mengajarkan padanya, bahwa setiap lelaki pada akhirnya akan tekuk lutut di kerling mata perempuan.
Ah.
Kenapa pikiranku melantur kemana-mana? Ini pasti karena sengatan sinar matahari yang begitu terik hingga melelehkan pikiran waras yang biasanya terjalin utuh di dalam kepalaku.
Atau... mungkin ini karena dokter yang tega-teganya melarangku memakan daging berwarna merah hingga pikiranku liar berkeliaran.
Tapi... hei! Anak lelaki itu menurunkan pistol mainannya.
Ajaib sekali jagoan kecil itu bisa luluh begitu saja hanya karena sebuah senyuman.
Padahal beberapa menit sebelumnya, sudah dua orang anak menjadi korban keganasan pistol mainannya.
Bahkan larangan untuk tidak mengganggu teman yang keluar dari mulut ibunya pun tidak dia dengar dan dianggap angin lalu saja.

(seharusnya anakku sudah berhenti bermain setengah jam yang lalu. Tapi, aku masih asyik memperhatikan tingkah polah anak lelaki itu. Anak lelaki pengganggu; Anak lelaki yang ingin dianggap jagoan; Anak lelaki yang petantang petenteng dengan pistol mainan dan menakuti anak-anak lain).

"Ayo, kita main lagi."
"Nggak mau ah, pistolnya dibuang dulu." (lalu pluk... pistol itu dilempar begitu saja ke atas pasir).
"Sekarang sudah bisa main?"
"Boleh, tapi jangan nakal ya mainnya."
"Iya, aku nggak nakal."
"Nggak boleh nangisin yang lain juga ya?"
"Iya, aku nggak. Ayo, main lagi."
"Eh... sudah cukup ya mainnya. Sudah jam dua belas siang nih. Sebentar lagi adzan dzuhur. Besok saja main lagi. Ayo Hawna, kita pulang."
"Eh, aku pulang dulu ya. Bye."

(Lalu aku melihat wajah anak lelaki yang ditinggalkan oleh Hawna itu. Kasihan memang, sudah berkorban tapi akhirnya ditinggalkan juga. Tapi, memang sudah siang sekali sih. Kemudian aku melirik ke arah anak perempuan yang memiliki senyum seindah pelangi di sisiku. Dia masih merajut senyum itu di wajahnya. "Bagus nak, kekuatan seorang perempuan itu memang dengan menjadi seorang perempuan yang seutuhnya jika kamu ingin sama kuat dan sama dihargainya oleh lawan jenismu. Berusaha keras untuk melawan keistimewaan sebagai seorang perempuan selamanya tidak akan membawa kemenangan, pada siapapun dan apapun."). Duh, aku melantur lagi nih. Pasti ini karena sinar matahari yang terik banget dan larangan dokter agar aku tidak lagi mengkonsumsi daging merah. Huh!

----------
Penulis: Ade Anita (pada siang hari yang amat terik di hari rabu, 2 maret 2011).

Tidak ada komentar