Jangan Lupa Berbahagia

[Catatan Akhir Tahun] Di sepanjang tahun 2017, aku ikut kajian rutin di sebuah komunitas. Pada salah satu ustad pengisi materi kajian, aku sempat termenung setelah mendengar isi ceramahnya. Ustad .... yang sering berbicara ceplas-ceplos itu, mengatakan: "Hati-hati loh ibu-ibu. Di akherat nanti, dosa dan kekhilafan itu ditanggung oleh individu. Bukan kolektif dan nggak bisa saling bantu. Jadi, jika waktu muda sibuk dengan anak-anak hingga lupa beribadah. Lalu sudah tua sibuk dengan cucu lalu tetap lupa beribadah, yang rugi di akherat nanti itu ibu-ibu sendiri."



Selanjutnya, Ustad itu mengatakan :
" Kesalahan orang tua itu satu. Tapi parahnya, karena kesalahan itu dianggap sudah umum dilakukan oleh banyak orang maka tidak lagi dianggap kesalahan. Yaitu membiarkan anak menjadi majikan. Coba... berapa banyak sekarang ibu yang saking sayangnya dengan anak lalu bersedia melakukan berbagai tugas termasuk melakukan pekerjaan seperti seorang pembantu saja bagi anaknya. Anaknya kerja di kantor, lalu cucunya dititip di neneknya. Nenek yang membersihkan ompol cucunya, membersihkan kotoran cucunya, ngasi makan, ngeloni, mandiin, nyuapi, terusss...hingga menjelang sore sibuk mempersiapkan agar cucunya bisa rapi dan wangi sebelum anaknya pulang kantor. Waktu yang harusnya dipakai untuk mengaji dan mengkaji Al Quran habis untuk cucu. Habis untuk bekerja keras mirip seorang pembantu. Ini sebenarnya salah loh. Jika saja kalian ingat, adaa banyak sekali tanda-tanda kiamat sudah dekat. Nah...salah satunya itu adalah ketika anak menjadi majikan bagi ibunya. Anak menjadi tuan dan ibu menjadi hambanya. Hamba disini apa? Pembantunya."

Mendengar tausiyah ini, aku sedikit tersentil. Lalu mengenang apakah aku sudah melakukan hal itu pada orang tuaku dulu?

Agak sedih sih, karena sepertinya aku melakukan hal itu pada orang tuaku dulu. Tapi, setelah dipikir-pikir (masih sedih saja sempat-sempatnya mikir) aku jadi mengingat-ingat lagi kenapa dulu aku jadi seperti memperlakukan orang tuaku seperti .... ya begitulah.

Hmm.
Nih, setiap kali aku ingin membantu pekerjaan di rumah, ibu selalu mengambil alih pekerjaan yang aku ingin kerjakan.
"Sudah. Biar mbak saja yang melakukannya. Kamu kalau mau belajar, belajar sana. Kalau mau main, main. Biar masa kecilnya bahagia."

Jadilah aku kebanyakan main saja akhirnya sepanjang hari (hehehe, anaknya memang malas belajar). Karena kebanyakan main, aku jadi betul sih, merasa puas dengan waktu yang aku miliki. Akibatnya, aku tidak pernah memiliki rasa iri pada orang lain. Pun tidak pernah memiliki rasa khawatir orang lain akan mengungguliku. Jadi, semua dibawa santai.

"Yang penting bahagia."

Dan memang alhamdulillah masa mudaku bahagia banget.
Bahagia versi generasi 80-an ya. Jadi, meski harus duduk berjam-jam di atas kursi dekat meja telepon yang pakai kabel, tetap bahagia. Setelahnya baru terasa bahwa pantat jadi tepos.
Atau bahagia karena bisa ngeliatin genteng rumah cowok yang disukai. Genteng doang ya, karena jaman dulu tidak ada internet atau media sosial yang bisa dikepoin.
Atau bahagia karena bisa menonton acara "mana suka siaran niaga". Hahaha, ini acara yang isinya 2 jam full iklan doang. Ya ampun, sekarang lihat tv beriklan dikit langsung ambil remote dan pindah channel.
Atau bahagia karena bisa melihat kemunculan Paramitha Rusady dan Nieke Ardilla di TVRI di acara Kamera Ria. Hehehe, jaman dulu belum ada You Tube, jadi buat lihat acara musik itu harus menunggu ditayangin di TVRI di program acara musik mereka.

Ya. Begitulah. Receh banget memang rasa bahagia itu.

Karena memperoleh rasa bahagia yang mudah, maka sayangku pun bertambah pada kedua orang tuaku. Dan aku menunjukkannya dengan cara mempersembahkan prestasi demi prestasi yang bisa aku raih semampuku.

Sekali lagi, prestasi yang aku maksud disini pun bukan prestasi tingkat nasional, apalagi tingkat internasional. Sejak dahulu, orang tuaku tidak pernah menuntut lebih pada anak-anaknya.

"Yang penting kalian bahagia dan tahu batasan apa yang tidak boleh."

Ada batasan yang selalu diulang-ulang pemberitahuannya pada kami dari orang tuaku. 

Yaitu:

1. Tidak boleh murtad. 

Artinya, keluar dari agama Islam. Hal ini amat tegas dikatakan oleh kedua orang tuaku bahkan sejak kami masih kecil-kecil, imut dan innocent. 👧👦

"Kalian. Pokoknya, apapun yang terjadi kalian tidak boleh keluar dari agama Islam. Tidak boleh murtad. Apapun yang terjadi itu adalah ujian dari Allah. Jadi, harus berusaha untuk tetap bertahan dengan agama Islam kalian. Jika nanti suatu hari kalian sampai keluar dari agama Islam, naudzubillah min dzaliik, maka hari itu kalian menyatakan keluar dari agama Islam besoknya ibu dan ayah akan memuat berita bahwa anak kami sudah meninggal dunia. Lalu nanti digundukkan tanah di pojok pekarangan rumah. Beri nisan nama kalian. Karena keluar dari Islam itu berarti putus semua hubungan di dunia ini. Itu sama saja dengan kematian."

Jadilah, meski kami keluarga Pansasilais (hehehe, ayahku seorang penatar P 4; kependekan dari Pedoman Penghayatan, Pengamalan Pancasila), meski tidak ada satu pun yang mengenakan hijab tempo dulu, meski jika tertawa terbahak-bahak tanpa menutup mulut, bahkan meski shalat kadang bolong-bolong, tapi kami sekeluarga punya komitment untuk terus ber-Islam hingga akhir hayat.

2. Tidak boleh jadi HOMO.

Terserah deh pendapat orang lain dan sikap orang lain, tapi orang tuaku mengharamkan kami untuk menjadi HOMO alias homoseksual.

Orang tuaku cukup toleran untuk berbagai hal. Tapi tidak yang satu ini.
Kami boleh berpacaran dulu. Atau didekati oleh lawan jenis meski usia kami masih piyik, yaitu SMP.
Ya... gimana ya? Kita kan tidak bisa melarang orang lain untuk jatuh cinta pada kita kan? Itu sebabnya, ketika anak-anak gadis orang tuaku mulai didatangi oleh lawan jenis padahal mereka masih pada duduk di bangku sekolah (bahkan tingkat pertama), orang tuaku tidak melarangnya. Hanya saja memang diberi batasan tertentu.

Tapi, dengan tegas orang tuaku melarang kami untuk menginap di rumah orang lain; meski orang lain itu sahabat sesama jenis. Jadi misalnya aku nih, karena kemalaman jadi ingin menginap di rumahnya Rita. Cewek kan dia? Sahabat akrab pula. Nah. Ini dilarang.

"Karena syetan bisa menyelusup dalam berbagai macam wujud."

Jadi, jika menginap di teman sesama jenis dan cuma 1 atau 2 orang, orang tuaku akan menolaknya. Meski sudah malam sekali, tidak mengapa pulang saja ke rumah. Kalau perlu dijemput.
Tapi kalau menginap bersama teman-teman 1 rombongan, meski rombongan itu campur cewek-cowok, dibolehkan.

3. Jangan Hamil di luar nikah.

Ini menyangkut pendidikan seks sejak usia dini nih. Jadi, sejak kecil aku dan saudara-saudaraku sudah diajarkan apa yang harus dihindari oleh kami ketika kami berteman dengan lawan jenis. Karena, jika salah langkah nanti bisa "hamil di luar nikah." Maksudnya melakukan seks bebas hingga menyebabkan kehamilan.

Ayah dan ibu amat tegas untuk yang satu ini.
"Sekali kamu hamil di luar nikah; secantik apapun kamu, sepopuler apapun dirimu, tetap akhirnya akan dipandang orang sebagai sampah."

Ucapan orang tuaku memang terdengar kasar untuk ukuran ilmu parenting zaman sekarang. Tapi, ketegasan ini yang justru nyantol banget di benak kami.

Jadilah, meski ada yang PDKT, ada yang pacaran, ada yang gonta-ganti pacar, tapi kami tahu batasan yang harus dijaga ketika melakukan hubungan keakraban dengan lawan jenis.

Nah... itulah 3 besar yang selalu diulang-ulang pesannya oleh orang tuaku (oh ya, khusus untuk anak cowok, orang tuaku menambahkan 1 poin lagi sih: "Jangan jadi pengangguran.". Meski cuma jadi tukang sekalipun, tetap saja harus bekerja; tidak boleh jadi pengangguran). Selebihnya, kami diberi kebebasan untuk berbahagia. Terserah mau ngapain saja. Mereka percaya lah nggak bakal macam-macam.

Jika Kalian Sudah Berumah Tangga Kelak


Itu masa kecilku. Dan sebelum kami, anak-anak ayah dan ibu, menikah, orang tuaku juga menitipkan pesan lagi.

"Jalani hidup kalian, dan jangan lupa untuk berbahagia. Nggak usah mikirin, nanti orang tua kalian harus diberi apa; harus diapakan, dan sebagainya. Pokoknya jalani saja kehidupan rumah tangga kalian dan berbahagialah. Karena kami insya Allah akan berusaha untuk tidak membebani kehidupan rumah tangga kalian."

Dulu, aku selalu bersungut-sungut jika kedua orang tuaku berkata seperti ini. Dalam hati bergumam, "ih, sombong."
Belakangan, aku baru sadar bahwa ternyata orang tuaku berusaha keras untuk melakukan apa yang mereka resolusikan tersebut. Mereka menabung untuk hari tua mereka, dan mereka juga berusaha untuk menabung dana cadangan yang bisa dipakai oleh anak-anaknya tanpa setahu anak-anaknya. Bahkan ketika kedua orang tuaku jatuh sakit, mereka sakitnya tidak berkepanjangan. Sehingga tidak sempat merepotkan banyak orang. Alhamdulillah.

Peran sebagai orang tua itu memang tidak berhenti meski anak sudah menikah ya ternyata.
Cita-cita orang tua, sering terselip di antara nasehat-nasehat mereka. Dan karena cita-cita itulah maka ada usaha untuk mewujudkannya. Dan ada doa yang dipanjatkan agar diberi kemudahan jalan untuk melaluinya.

Jangan Memperlakukan Orang Tuamu Seperti Pembantumu


Setelah aku mengenakan jilbab di tahun 1999, aku mulai bergerak untuk membuat diriku pintar dalam ber-Islam. Aku aktif datang dari satu tempat pengajian ke tempat pengajian yang lain. Dari sini aku mendapat pencerahan bahwa kita sebagai anak seharusnya "jangan memperlakukan orang tua kita seperti pembantu kita".

Apa yang dimaksud dengan jangan memperlakukan orang tuamu seperti pembantumu?

- Yaitu dengan memintanya berjalan di belakangmu sambil membawa barang-barangmu.
- Atau mengasuh anak-anakmu hingga tersita waktu untuk dirinya sendiri.
- Atau lelah kesana kemari memenuhi semua kebutuhanmu yang tidak terpenuhi sementara dirimu sendiri tenang-tenang saja menunggu tinggal beres.
- Atau menyuruhnya mengerjakan sesuatu dengan suara tinggi
- Terakhir tidak mempedulikan penampilannya ketika dia sedang membantumu; sehingga terlihat ketimpangan yang membuat orang berprasangka bahwa dia adalah pembantumu.

hmm. Seperti kisah sinetron banget nggak sih?
Iya, semua memang terbaca seperti kisah sinetron. Tapi, itu benar adanya. Semua hal itu sering tanpa sadar dilakukan oleh anak pada orang tuanya.

Pernah lihat kan di mall, ada sepasang suami istri keren, lalu di belakangnya ada ibu-ibu tua yang menggendong anak dengan kain jarik, bajunya sederhana, sendalnya sederhana, wajahnya juga tanpa make up. Pasangan suami istri keren itu tertawa-tawa mengomentari isi etalase pajangan yang lucu, si ibu bergoyang-goyang ke kiri dan ke kanan menidurkan anak mereka. Nah. Ternyata, si ibu tua ini adalah ibu kandungnya salah satu pasangan keren ini.

Atau di food court, ada seorang wanita muda yang membentak perempuan setengah baya yang tidak bisa menyuapi anaknya. Eh, ternyata itu ibu kandungnya sendiri.

Karena pemandangan seperti ini, ditambah dengan mendengar kajian dari ceramah ke ceramah yang isinya pentingnya menghormati orang tua, aku akhirnya mengambil sebuah sikap. Tidak mau menyerahkan pengasuhan anakku pada kedua orang tuaku karena aku takut aku akan menyusahkan mereka. Dan aku juga berusaha agar jika kedua orang tuaku ke rumah, tidak meminta mereka untuk bekerja membantuku.

Itu sebabnya, serepot apapun keadaanku, bahkan meski sakit sekalipun, aku tidak pernah menitipkan anak-anakku pada kedua orang tuaku. Jika anak-anak ingin bermain ke rumah orang tuaku, aku ikut menemani mereka. Anak-anak butuh apa, aku usahakan untuk memenuhinya tanpa harus meminta pada kedua orang tuaku.
Dan serepot apapun keadaanku, atau sesempit apapun keadaan ekonomiku, aku berusaha untuk tidak menadahkan tangan meminta bantuan pada kedua orang tuaku.

Rupanya, sikapku ini lama-kelamaan mendapat respon tertentu dari kedua orang tuaku.
Awalnya, mereka menuduh aku sombong dan tidak mempercayai mereka.

"Nggak percaya banget sih De kamu sama ayah dan ibu. Dulu kamu kan kami asuh dan kami didik. Masa sekarang nggak mau banget nitip anak-anak pada kami?"

Akhirnya aku jelaskan perlahan pada mereka sikapku ini
"Nggak. Ade nggak mau menyusahkan kalian. Kan ibu dan ayah selalu bilang bahwa nanti jika kalian sudah tua kalian akan berusaha untuk tidak mau menyusahkan kami. Nah. Sekarang kan kalian sudah tua, jadi Ade juga berusaha agar tidak menyusahkan kalian juga."

Akhirnya orang tuaku mengerti mengapa aku dan suami mengambil sikap seperti itu. Akhirnya, hubungan kami jadi manis sih alhamdulillah. Tidak ada gerutuan atau omongan keluhan  di belakang masing-masing.
Dan inilah rasa bahagia yang aku kecap dalam hubunganku dengan kedua orang tuaku.

Paling sesekali, ibu menelepon, "Hallo.... ibu kesepian nih. Ke rumah dong." atau "Hei. Kamu nggak kangen sama ibu? Ke rumahlah."
Atau dalam sebuah acara, ibuku berkomentar, "Ibu dapat tugas apa? Masa cuma bengong saja? Kasih tugas dong."
Aku bahkan sering salah tingkah ketika ayahku berkata, "Jadi ayah bisa ngasih bantuan apa? Masa nggak ada sama sekali yang bisa ayah bantu? Ayah kan ingin ambil bagian juga."
Atau diam-diam menangis ketika ibuku berkeluh kesah di telepon, "De, memang ibu sudah tua. Tapi dulu ibu pernah juga kok mengerjakan banyak hal dan hasilnya lumayan. Masa sekarang kamu nggak ngasi ibu kesempatan buat nyuci piring kamu yang bertumpuk di dapur rumah kamu. Ibu pingin bantuin kamu juga, De. Karena ibu takut kamu sakit. Ibu tersinggung kamu melarang ibu cuci piring di dapurmu. Memangnya cucian ibu nggak bersih ya? Kamu waktu masih kecil sering makan dari piring yang ibu cuci sendiri loh dan kamu nggak sakit kan? Jadi biarlah sesekali ibu bantuin kamu cuci piring di dapurmu."
(duh, jika ingat ini aku sedih. Sedih karena sudah membuat ibuku salah sangka dan merasa tersakiti padahal aku saat itu sedang berusaha menjalankan apa yang baru aku dengar di pengajian yang aku ikuti). 

Dari sini, aku mengambil kesimpulan bahwa isi nasehat "jangan memperlakukan kedua orang tuamu seperti pembantumu" itu berlaku jika kita memberi orang tua kita porsi pekerjaan yang menyita waktu, energi dan rasa lelah mereka, tanpa bertanya apakah mereka ikhlas mengerjakan pekerjaan yang kita berikan tersebut. 

Sedangkan ketika orang tua kita meminta pekerjaan karena mereka ingin membantu kita, maka kita boleh memberi mereka pekerjaan yang diminta. Karena kadang, bisa mengerjakan sesuatu dan hasilnya dilihat oleh orang lain itu memberikan semangat tersendiri bagi para orang tua yang sebenarnya masih tetap ingin dianggap mampu dan kuat tapi apa daya fisik sudah tidak memungkinkan.

Tidak selalu kok, anak yang meminta bantuan pada orang tuanya berarti si anak ingin memanfaatkan orang tuanya. Bisa jadi, justru itulah cara anak untuk memperpanjang hubungan silaturahmi nya dengan orang tuanya. Karena dengan minta tolong dijagain sebentar anaknya, maka otomatis si anak jadi mengunjungi orang tuanya. Lalu orang tuanya bertemu dengan cucunya. Atau karena minta diajarkan memasak sebuah resep (meski sekarang semua bisa saja gugling), si anak memperlihatkan pada orang tuanya bahwa dia masih membutuhkan orang tuanya. Jadi, orang tuanya harus tetap semangat untuk tetap sehat.

Dan sebagai orang tua, juga jangan langsung berburuk sangka jika anak datang sesekali meminta bantuan. Yang penting mereka ikhlas membantu. Dan tidak merasa direpotkan. Jika merasa sudah direpotkan, jangan sungkan untuk memberitahu pada anak. Karena batas toleransi kerepotan seseorang itu berbeda pada tiap-tiap orang.

Jika ada yang tidak berkenan, jangan lupa untuk menolak.
Jika ada yang terasa kurang, jangan lupa untuk meminta.
Jika ternyata ditolak, jangan langsung marah atau tersinggung.

Kuncinya adalah, jangan lupa berbahagia.
Bahagia sebagai anak yang masih memiliki orang tua.
Bahagia sebagai orang tua yang masih dianggap sebagai orang tua oleh anak.
Bahagia menjadi diri sendiri.
Dan bahagia karena bisa membahagiakan orang lain. 


ayoo...semangat, semangat, bahagia sudah di depan mata insya Allah


===========
Cuma yang jadi masalahku ketika mencoba untuk memilih bahagia adalah, menghindari komentar orang lain sih. Hehehe. Kalau sudah begitu, mending tutup kuping dan cuek saja deh. Toh yang tahu parameter kebahagiaan itu adalah diri kita sendiri, bukan orang lain yang berkomentar tersebut. Iya apa iya?

10 komentar

  1. Ho oh mba, kadang ortu malah yang pengin dititipin cucu..

    Pokoknya jangan lupa bahagia ya, jangan bandingin dengan kehidupan orang lain ������

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya bener... yang penting tidak memaksa hingga di luar batas. karena kalau memaksa di luar batas kemampuan yang hadir bukan bahagia tapi kesal

      Hapus
  2. Aku sering diingatkan suami supaya tidak seolah menjadi majikan orang tua. Tapi orang tua suka mengambil alih pekerjaan, seperti nyuapin si kecil, mandiin, dll. Kalau diambil alih balik jadi ngga enak dikira ngelarang dekat-dekat cucu. Dan justru dengan membiarkan mereka 'mengerjakannya' itu yang membuat mereka bahagia.

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya... aku inget ibuku juga dulu begitu. malah tersinggung pas aku kasih "kebebasan untuk punya me-time". karena ternyata me-time nya nenek itu adalah tetap dilibatkan dalam kesibukan anak dan cucunya

      Hapus
  3. Setelah ngelahirin, utk sementara saya daftar jemputan buat antar-jemput anak ke sekolah supaya ga ngerepotin kakeknya, eh kakeknya malah jadi kangen antar-jemput cucunya

    BalasHapus
    Balasan
    1. nah kan. Iya, karena kadang orang tua jika cuma diajak bantu dikit-dikit malah senang mereka. karena merasa ada alasan untuk keluar dari rumah dan punya kesibukan. dan mereka juga jadi punya semangat untuk tetap sehat karena "pingin lihat cucu tumbuh".

      Hapus
  4. Aku jadi ingat alm ibu. Ibu dengan jujur ngomong kalau beliau tidak mau dibebani dengan pekerjaan momong cucu. Jadi saya tidak mau menitipkan anak-anak kecuali jika beliau yang meminta sendiri. Biasanya karena sudah kangen sama cucu barulah saya membawa anak untuk main-main di rumah. Itupun tidak pernah lama.

    BalasHapus
  5. Makasih rwmindernya mba. Jadi inget bapa yg mulai sakit :(

    BalasHapus
  6. Nice sharing Mbak. PR banget buat saya yg serumah sama bapak ibu mertua dan harus merawat bapak ibu sendiri. Nasihatnya nampol banget, jangankan memperlakukan sebagai pembantu, berkata "ah" saja ga boleh

    BalasHapus
  7. Salam kenal, mbak. Jadi keinget ibu mertua yg hampir jatuh karena begadang demi cucunya, sementara saya masi babyblues habis operasi �� Qadarullah, anak kedua lahir berdekatan, jadi mau tak mau mesti resign. Kebetulan saya dan suami nikahnya terakhir dr masing2 keluarga, jadi kedua ibu sdh cukup sepuh. Maunya tak merepotkan, tapi ya namanya nenek ke cucunya ya, begitulah ☺ Tq remindernya.

    BalasHapus