Perayaan syukuran khitanan di daerahku memang kerap dirayakan seperti layaknya acara pernikahan. Yang dikhitan biasanya disebut Raja Sehari. Dia duduk menempati sebuah kursi pelaminan tunggal. Jadi mirip seperti kursi raja-raja. Di belakang kursi dipasang hiasan seperti layaknya hiasan untuk pelaminan pengantin. Tapi memang tidak seheboh pelaminan pengantin sih.
Di beberapa daerah aku lihat memang acara Khitanan kerap dirayakan besar-besaran. Acara Reog Ponorogo yang terkenal itu, yang dulu pernah diramaikan karena diduga dicaplok dan diakui oleh negara lain, sebenarnya adalah bagian dari perayaan acara Khitanan. Juga acara Kuda Lumping, yaitu pertunjukan akrobat daerah dimana kita bisa menyaksikan seseorang yang bisa makan beling, kebal jika tubuhnya ditusuk-tusuk oleh senjata tajam atau bisa berjalan di atas pecahan kaca dan beling, sebenarnya juga merupakan bagian dari hiburan yang sering diadakan dalam rangka acara Khitanan.
Tapi... aku tidak akan membahas tentang acara Khitanan di Indonesia.
Tujuan dari dikhitannya laki-laki adalah untuk mensucikannya dari najis yang bertumpuk di ujung kemaluan sedangkan tujuan dari dikhitannya wanita adalah menyeimbangkan syahwatnya karena apabila—tidak dikhitan—dan ketika melihat kaum laki-laki maka gejolak syahwatnya akan sangat kuat.
Dalam syariat Islam, khitan bagi lelaki diwajibkan (sebagian mengatakannya sebagai sunnah yang diutamakan) dan mulia untuk dilakukan pada wanita (dikerjakan boleh, tidak dikerjakan tidak mengapa).
Tapi... aku tidak akan membahas tentang syariat Khitan dalam agama Islam di tulisan ini.
Yang aku akan bahas adalah, tentang obrolanku dengan kedua anakku seputar acara Khitanan yang ada di dekat rumah kami.
Oke. Obrolan ini aku lakukan semata karena kedua anak-anakku itu sudah bukan anak-anak lagi.
Obrolan Gak Jelas Seputar Khitanan.
"Jadi... acara dangdutan semalam itu, yang terjadi dari pagi sampai malam itu sebenarnya acara khitanan?" (Putraku tiba-tiba melontarkan komentarnya ketika aku, dia dan putri keduaku yang berusia remaja berjalan bertiga. Kami rencananya akan makan siang di luar rumah. Jadi, ini dalam rangka berjalan kaki menuju ke jalan raya untuk mendapatkan kendaraan umum).
"Iya. Acara khitanan." (aku mengiyakan)
"Rame banget ya." Putra sulungku kembali berkomentar)
"Beuh. Bener. Sudah biasa sepertinya orang-orang sini meramaikan acara khitanan seperti itu. Eh... kamu belum pernah kan diundang ke acara Khitanan seperti itu oleh tetangga sini? Ibu dong sudah sering."
"Terus... kenapa harus bangga?"
"Iya. Harus bangga. Karena, kamu nggak tahu khan, gimana anak yang disunat itu didudukkan di kursi tunggal pelaminan raja seharinya." (kedua anakku kompak melihat ke arahku. Minat untuk tahu lebih jauh).
"Iya, jadi nih. Orang-orang sini, sepertinya ada keharusan untuk mengatakan bahwa perayaan anaknya dikhitan itu bukan hoax. Mungkin karena beberapa kejadian sering tuh, pas datang ke acara khitanan nggak tahunya anaknya sudah tidak memakai sarung lagi. Jadi lagi main saja biasa, lari-larian. Tamu yang mau ngasi amplop jadi ragu, dan kadang-kadang iseng bertanya, loh kok ini yang disunat sudah bisa lari-larian? Mungkin pertanyaan ini dianggap sebuah kecurigaan kali ya. Eh, bener nih acara sunatan, jangan-jangan akal-akalan biar dapat hadiah dari para tamu aja nih? Jadi, kalo ada acara khitanan gitu, si anak yang dikhitan itu sering disuruh duduk di atas kursi singgasana raja seharinya sambil.... DRUM ROLL.... ZEZEZEZEZE.... tidak mengenakan penutup apapun di bagian bawah pusernya."
"Hah? Maksud ibu telanjang gitu?"
"Nggak telanjang. Masih pake baju koko, pake topi putih haji juga, cuma bagian bawahnya tuh cuma ditutupi sarung yang bisa disingkap kapan saja. Jadi, siapa pun bisa melihat bukti bahwa dia beneran disunat gitu." (Putra dan putriku langsung meringis... mungkin mereka membayangkannya)
"Eh... malah ada nih yang tanpa penutup sarung apapun. Jadi, benar-benar duduk tanpa celana atau sarung. Beugh.... itu.. nngg... si udin kecil yang lagi diperban dan tampak layu serta meringkuk kecil, ya dikewer-kewer gitu aja. Huff.... ibu paling salah tingkah sebenarnya jika datang ke acara khitanan orang-orang sini. Bingung... Karena begitu kita ngasih salam tempel ke anak atau ke orang tuanya, orang tuanya pasti langsung dengan gerak cepat menyingkap dan memperlihatkan keberadaan si udin kecil yang lagi diperban dan meringkuk kesakitan." (Putra dan putriku tersenyum kecil).
"Coba deh kalau kamu jadi ibu, kamu ngapain coba?" (aku melempar pertanyaan ke anak-anakku ini. Putra sulungku sudah berusia 21 tahun, dan putri keduaku sudah berusia 16 tahun, jadi sudah bisa dong diajak diskusi soal beginian)
"Ya salam biasa saja sih. Terus memalingkan pandangan secepatnya deh." (ini jawaban putra sulungku)
"Ah, aku nggak mau datang ke acara khitanan kalo gitu. Aku nunggu di luar saja deh, di tempat makannya. Nggak usah salaman." (ini jawaban putri keduaku)
"Iya bener. Eh... kalian tahu nggak, sebenarnya ada loh aturan tidak tertulis tentang hal-hal yang tidak boleh dilakukan ketika datang ke acara sunatan seseorang." (Putra sulungku langsung tertarik. "Oke, apa saja?" Dia memancing tanya padaku)
"Nih. Pertama, dilarang untuk foto welfi bersama si burung kecil yang sedang diperban dan meringkuk kesakitan di atas jok kursi. Duh... ini sama sekali nggak boleh. Apalagi kalau sampai habis foto welfi terus dishare ke akun instagram yang didirect ke facebook atau twitter... waaa... ini big no banget. Bisa kena undang-undang anti pornografi."
"Kedua nggak boleh juga, sambil ngasih duit salam tempel terus duitnya dikepret-kepret ke burung kecil yang lagi diperban. Ya ampun, itu mah cuma berlaku buat dagangan aja kali ya. Bahkan meski kita tamu pertama yang datang paling pagi. Tetap nggak boleh. Apalagi kalau sambil ngomong, penglaris-penglaris sambil ngepret-ngepret itu duit. Beugh." (Putraku langsung tersedak dan batuk-batuk kecil)
"Ketiga, nggak boleh juga nih. Sok asyik lalu sok akrab dan sok dekat main colek-colek itu si burung kecil yang lagi diperban. Bahkan meski sambil bilang kalimat bijak, cepet sembuh ya. cepet besar. Jangan nakal kalau sudah besar. Wuaaa.... kebayang kan."
"Keempat. Nggak boleh, dan ini derajat nggak bolehnya tuh paling tinggi, iseng nyentil si burung kecil yang lagi diperban lalu kabur pulang. Waaaa.... itu iseng yang asli kurang ajar banget." (Kedua anakku langsung tersedak dan batuk-batuk mendengar 4 hal yang aku utarakan ini. Jadi kami terpaksa menghentikan langkah kami. Dan tertawa bersama dulu).
"Dah.... segitu dulu deh. Sebenarnya masih ada seribu dua ratus lima puluh tiga lagi. Tapi, buat kalian empat dulu aja yang penting."
Kedua anakku langsung terhenti langkahnya dan tertawa sambil menunduk.
Dulu, waktu aku masih kecil, karena aku adalah keluarga Sumatra Selatan yang gemar bersenandung lagu-lagu melayu tempo dulu, jika hari raya tiba, sering keluarga besarku memanggil pengamen yang kebetulan mampir agar mereka mau mengiringi kami bernyanyi dengan gitar.
Pernah nih, ada pengamen yang ketiban apes. Pas dia nyanyi, salah satu omku memilih lagu "Burung Dalam Sangkar." (lagu yang pertama kali dinyanyikan oleh Eddy Lumataw dari Casino Group, Surabaya)
Tahu nggak lagu ini? Nanti aku beri videonya deh.
Nah oleh omku, kalimat syair di lagu tersebut diporak porandakan. Jadi syair lagunya menjadi seperti ini nih (dan asal tahu saja, om-ku itu menyanyikannya sambil mengenakan sarung yang tidak diikat dengan rapi di pinggangnya. Tapi digenggam seakan-akan baru saja habis dikhitan. Dan setiap kali tiba di kata "burung" omku akan melihat ke bawah dan ke dalam sarungnya dengan wajah diprihatin-prihatinin gitu deh. Keluargaku memang juara untuk membuat lelucon yang menjurus).
Lagu ini, spesial diperuntukkan untuk membully para jomblo yang belum menikah jadi di hari raya Idul Fitri itu datang sendirian (hahahahaha, bahkan ternyata sejak dulu jomblo memang sering dibully ternyata ya).
Wahai kau burung dalam sarung
Sungguh nasibmu malang benar
Tak seorang pun ambil tahu
Luka dan lara di hatimu
Wahai kau burung dalam sarung
Dapatkah kau menahan siksa
dari kekejaman dunia
yang tak tahu menimbang rasa
dan seterusnya....
Kedua anakku langsung terhenti langkahnya dan tertawa sambil menunduk.
Dulu, waktu aku masih kecil, karena aku adalah keluarga Sumatra Selatan yang gemar bersenandung lagu-lagu melayu tempo dulu, jika hari raya tiba, sering keluarga besarku memanggil pengamen yang kebetulan mampir agar mereka mau mengiringi kami bernyanyi dengan gitar.
Pernah nih, ada pengamen yang ketiban apes. Pas dia nyanyi, salah satu omku memilih lagu "Burung Dalam Sangkar." (lagu yang pertama kali dinyanyikan oleh Eddy Lumataw dari Casino Group, Surabaya)
Tahu nggak lagu ini? Nanti aku beri videonya deh.
Nah oleh omku, kalimat syair di lagu tersebut diporak porandakan. Jadi syair lagunya menjadi seperti ini nih (dan asal tahu saja, om-ku itu menyanyikannya sambil mengenakan sarung yang tidak diikat dengan rapi di pinggangnya. Tapi digenggam seakan-akan baru saja habis dikhitan. Dan setiap kali tiba di kata "burung" omku akan melihat ke bawah dan ke dalam sarungnya dengan wajah diprihatin-prihatinin gitu deh. Keluargaku memang juara untuk membuat lelucon yang menjurus).
Lagu ini, spesial diperuntukkan untuk membully para jomblo yang belum menikah jadi di hari raya Idul Fitri itu datang sendirian (hahahahaha, bahkan ternyata sejak dulu jomblo memang sering dibully ternyata ya).
Wahai kau burung dalam sarung
Sungguh nasibmu malang benar
Tak seorang pun ambil tahu
Luka dan lara di hatimu
Wahai kau burung dalam sarung
Dapatkah kau menahan siksa
dari kekejaman dunia
yang tak tahu menimbang rasa
dan seterusnya....
aku masih punya kewajiban satu lagi nih, mengkhitan Alvin
BalasHapusnah.. kapan nih?
HapusWkakakakkkk...mba Ade nih bisa aja, bikin ngakak, mules perutku. Eh tapi bener ya, si burung dipamerin? Waduh, aku mending niru jejak putrinya aja, titip salam tempel dan duduk manis sambil makan suguhan :D
BalasHapusiya tu asli dipamerin.. jadi begitu ada tamu dan tamu ngasi amplop, sarung langsung disingkap sama ortunya. anaknya pasrah
Hapushahaha...seperti burung dalam sangkar ya...didaerahku juga perayaan khitan mewah banget...siap2 menangis melihat ank dikhitan ntr diriku...nggak tega...
BalasHapusalhamdulillah ya cuma sekali (eh, maksud lo? abis dong kalo berkali-kali)
HapusHehe mbk ade gokil, walo yg dikhitan masih kecil tetep aja risih kalo gk pke sarung ya
BalasHapustapi tu beneran dipamerin... diablak ablak gitu
HapusBanyak yg bilang kalo habis khitan itu baru badan dan tinggi anak laki itu tambah tinggi. Bener apa mitos aja sih?
BalasHapuskayaknya bener deh.. soalnya aku sering lihat anak yang setelah disunat jadi cepet tinggi dan lalu puber.. eh.. tapi nggak berlaku untuk anak yang dikhitan pas bayi ya
HapusXixixi. Mbak Ade gaya ceritanya lucu.
BalasHapusahahahahaahaa aku mau ngakak liat peraturan nomor 2 :))
BalasHapushehehehe
Hapusahahahahaahaa aku mau ngakak liat peraturan nomor 2 :))
BalasHapuswuah,,kalo nyentil b**ung yang masih diperban,,,bisa kaget tuch yang punya b**ung, apalagi kalo b**ung nya sampe terbang gara-gara disental sentil he he
BalasHapuskeep happy blogging always..salam dari makassar-banjarbaru :-)
mhahahahhhaha anak saya cowok masih 3,5 tahun! Baca ini jadi gimana yak, kocak abiiisss! gimana sama anak saya ntar wkwkwkwk
BalasHapushahahahahha
HapusAku masih dua lagi yg blm dikhitan. Pengen ngadain acara begitu tp gak ada uangnya hehe. Biayanya sama kayak orang kawinan.
BalasHapuswaktu aku meng-khitankan anakku, nggak pake resepsi sih.. ke dokter, pulang dari dokter dkasi pilihan mau dibeliin apa? buku apa PS? dia pilih PS...
Hapusdi desa saya juga acara khitan pasti besar2an mbaa.. malah ada yg sampe nyewa wayang atau orkesan hehe
BalasHapusiya benerrr... di daerah itu bener-bener kayak pengantin.. mungkin itu sebabnya disebut pengantin sunat ya
HapusAku ngikik Mak baca lirik lagunya hahahaha
BalasHapuslagu jadulll
Hapusduh aq geli bacanya mba. najong banget kalau sampai ada yang melakukan hal2 dilarang itu. dari dulu kepengenanku kalau dikasih anak cowok dan harus khitan, gak ada yang namanya kursi singgasana atau reramean buat acaranya. gak usah juga undang2 orang kayaknya kalau bisa. just syukuran keluarga aja. btw salam kenal mba :)
BalasHapushahahaha ya mana ada lah (eh)
Hapusha, ha, ha, mbak Ade unik nih ceritanya.Tapi sekarang mah di koat2 besar dah gak jaman ay kalau dikhitan di bikin acara seperti itu, malah malu. Anakku dulu juga gak mau . jadi cukup ngasih nasi kotak ke tetangga saja
BalasHapusiya, ya... beberapa keluarga anaknya malah malu kalo dipamerin
Hapusanak laki-laki saya 2, dan meskipun mereka msh balita tp saya udh pusing mikirin khitanannya. kayaknya mending kirim nasi box aja deh, ga usah macem2...
BalasHapuskalo di daerah saya di Purworejo, lumrah aja anak laki-laki dikhitan kelas 5 atau kelas 6. biasanya hajatan khitanan itu sekalian sm khatam qur'an di masjid gitu. habis khataman, mereka diarak keliling kampung pake kuda, baru deh malamnya dikhitan.
Hahaha, Mbak Ade ada-ada aja. Diskusinya asyik banget, nggak dibawa serius. :D
BalasHapusSy jg ga dirayain zaidan..cuma pas mudik ortu yg syukuran
BalasHapusiya, sama aku juga. syukurannya sekeluarga inti aja sih
HapusAnak yg kedua laki2 blm disunat susah masih balum mau :(
BalasHapusnah itu kadang aku bingung... nunggu mau atau gimana sih?
HapusWah mau angaponya hehe di kampung halaman saya juga suka pada dirayain kaya nikahan kalo ada yg disunat :)
BalasHapusiya aku juga kerap nemunin udah kayak pengantin kalo nyunatin anak. pake pelaminan, sewa tenda, katering, dan seragam panitia
Hapus