Rumah Masa Kecil #5: Jangan Melakukan sesuatu yang merugikan dirimu sendiri

Apa yang paling aku sukai sejak kecil? Memandang langit yang luas terhampar. Nggak tahu kenapa sejak kecil aku senang sekali memandang langit. Begitu suka sehingga aku sering memanjat pohon yang tinggi sekali di rumah masa kecilku.
Salah satunya adalah pohon jambu air yang ada di depan rumah. Di halaman belakang sebenarnya ada pohon rambutan tapi ada banyak genteng orang lain yang menghalangi penglihatanku ketika sedang berada di atas jadi aku lebih senang memanjat pohon jambu air yang ada di halaman depan rumahku.

dulu, di belakang parabola itu ada sebuah pohon jambu air yang tumbuh tinggi sekali, melebihi tinggi tiang listrik
Suatu hari, setelah makan siang dan minum susu (oh ya, aku seorang penggemar susu sejak kecil hingga dewasa; sekarang tidak lagi karena lagi diet..hehehe), aku berganti pakaian dan segera menuju teras depan untuk  memanjat pohon. 
tap
tap
tap
Lalu, setelah tiba di dahan yang  cukup tebal, aku duduk disana dan... membaca buku.
Ya. Memang mirip tarsan kelakuanku ketika masih kecil dahulu. Membaca buku saja senangnya di atas pohon. Hal ini terjadi jika musim jambu sedang tidak berbuah. Itu sebabnya ibu sering marah dan memintaku untuk turun dari pohon.

Tapi, terkadang aku tidak membaca buku di atas pohon itu. Aku memanjat pohon lalu mencoba terus ke pucuk tertingginya hanya sekedar untuk bisa memandang langit. Senang saja melihat awan-awan yang berarak dengan bentuknya yang berubah-ubah. Terkadang, aku senang berkhayal dengan membayangkan bentuk awan-awan itu menyerupai sesuatu. 

Suatu hari, setelah mengerjakan PR, aku ke teras depan seperti biasa dan kembali memanjat pohon. 
Tap
Tap
Tap
Penasaran dengan bentuk awan yang hari itu terasa indah bergelombang, aku memanjat hingga ke pucuk tertingginya. Tinggi sekali sehingga kepalaku bisa menyembul di atas pohon. ada sebuah dahan kecil yang cukup tebal untuk dipijak. Lalu berdiri disana. Ketika sedang berdiri seperti itulah tiba-tiba angin kencang bertiup.
SWUTT.
SWUTT
Wah. Untuk pertama kalinya aku merasa bahwa tubuhku oleng ke kiri dan ke kanan tertiup oleh  angin yang bertiup kencang. Seketika aku merasa ketakutan. Dan karena gugup maka dahan tempatku berpijak patah karena aku menginjaknya terlalu ke arah luar. Jadilah telapak kakiku hanya megninjak bagian pangkalnya saja, itupun harus dimiringkan agar muat.

Lalu, aku pun mulai memanggil pembantuku.
Tapi, rumahku adalah rumah besar yang berdiri di atas areal tanah 530 meter persegi. Suara anak kecil seperti suaraku tidak terdengar hingga ke kamar belakang tempat pembantuku berada. Sementara saudara-saudaraku yang lain pasti sedang berada di kamarnya masing-masing untuk tidur siang. Ibu sedang pergi arisan.
Aduh.
Panik.
Sementara angin terus berhembus kencang. Langit yang aku sukai kini bahkan sudah membayang berwarna kelam.
Aku memandang langit.
Berharap tidak turun hujan.
Juga berharap arak-arakan awan hitam itu tidak memuat aliran listrik yang bisa menimbulkan petir atau kilat.
Aku takut.
ini foto awan yang aku ambil dengan menggunakan kamera handphone samsung s 3-ku di pertengahan Mei 2013. Langit yang sedang bersiap untuk mendung

Tapi, tidak ada yang bisa aku lakukan. Untuk turun dari pohon aku tidak berani. Tubuh kurusku terus dipermainkan oleh angin hingga terus menerus oleng padahal aku sedang berada di pucuk pohon tertinggi.
Akhirnya, aku pun menangis. Lalu berdoa. 
Sejak kecil, aku selalu percaya bahwa jika kita mengiringi doa kita dengan membaca basmallah sebanyak-banyaknya terlebih dahulu maka doa kita akan dikabulkan Allah. Aku berdoa agar ayahku cepat pulang dari kantornya.

Menjelang sore, tapi tidak sesore seperti biasanya ayah pulang kantor, ayahku benar pulang. Hari itu ayah memutuskan untuk pulang kantor lebih cepat entah kenapa. Dan ketika ayah membuka pintu garasi untuk memasukkan mobilnya, aku pun berteriak sekencang mungkin memanggilnya.

"AYAHHH."

Ayah menoleh. Binguung, darimana suara itu berasal. Jadi panggilan berikutnya aku menambahi keberadaanku yang sedang ada di atas pohon. Gerimis mulai turun satu satu.
Ayah mendekati pohon jambu dan melihat ke atas. Dan aku pun yang sudah setengah menangis karena mulai merasa kelelahan terus bergantung mulai meminta pertolongan.

"Ayah, ade gak bisa turun. Anginnya kencang banget, dahannya patah, gak bisa turun.."

Dan ayahku langsung membuka dasinya, menyingsingkan lengan kemeja lengan panjangnya lalu memanjat pohon menghampiriku. Tapi, tubuh dewasanya terlalu besar untuk menggapaiku. Jadi, dia hanya bisa menggapai kakiku saja. Lalu memintaku untuk turun.

"Gak mau. Ade takut."
"Ayah pegang."
"Gak mau."
"Dipegang. Ayah gak mungkin ngelepas kamu, ayah jaga. Ayah kan juga sayang sama kamu. Cepat. Ini sudah mulai gerimis."

Akhirnya, aku berusaha untuk merunduk dan hingga ayah bisa memegang pinggangku. Lalu menuntunku turun. Akhirnya, ayah berhasil mendapatku dan bersama kami turun ke bawah. Sesampai di bawah aku lemas. 

Keesokannya aku jatuh sakit.
Ketika sakit itu, ayah datang padaku dan memberi nasehat.
"Ayah sudah pernah bilang kan ke kamu. Jangan melakukan sesuatu yang merugikan dirimu sendiri. Tapi kamu gak pernah mau percaya. Mulai sekarang, jangan diulang lagi ya."

Dan itulah saat terakhir aku mulai mengalihkan hobi memanjatku menjadi kegiatan yang lain.
--------------------------
Penulis; Ade anita

Tidak ada komentar