Rumah Masa Kecil #3: Si Gemuk Lucu

Ibuku senang berkebun. Halaman rumahku memang luas. Ada pohon mangga, belimbing, rambutan, jambu air, nangka, serta kecapi. Belum lagi tanaman pendek-pendeknya yang senantiasa terawat sempurna seperti aneka perdu, aneka pakis dan tanaman bunga-bungaan. Tanah yang terhampar pun tidak dibiarkan oleh ibuku begitu saja. Selalu ada rumput hijau yang dibentangkan diatasnya. Hijau royo-royo mungkin amat tepat untuk halaman rumah tempatku dibesarkan itu.


Saban beberapa minggu, semua tanaman di halaman rumahku berbunga. Wanginya terbawa angin hingga jauh. Begitu juga dengan serbuk sari dan daun keringnya. Khusus untuk daun kering, rasanya tidak usah menunggu musim bunga tiba. Hampir setiap hari ada saja daun kering yang rontok dan mengotori halaman kebunku itu. Kebetulan, aku mendapat tugas untuk menyapu halaman rumahku ini setiap pagi sebelum berangkat sekolah. Daun-daun kering yang rontok dan berhasil kukumpulkan dengan sapu, bisa membentuk sebuah piramida gunung kecil yang lumayan muncungnya.

Lelah? Itu pasti,

Sudah tidak usah ditanyakan lagi. Biasanya, untuk menghilangkan lelah, aku sering menghayal menyusun dialog-dialog drama dalam kepalaku. Biasanya, dialog yang tersusun adalah dialog antara pangeran dan putri yang saling jatuh cinta. Tentang pangeran yang harus mencari cincin putri cantik yang dicintainya sehingga harus terbungkuk-bungkuk menyusuri tanah karena cincin itu begitu mungil, seperti halnya jemari tuan Putri yang juga mungil. Persis seperti bungkuknya aku yang sedang menyapu daun-daun kering. Jadi aku sambil menyapu daun-daun kering itu sambil menghayal sedang menolong Pangeran untuk mencari cincin Putri yang hilang.

Atau tentang putri cantik yang harus diuji dulu kesetiaannya dengan menjalani hidup susah sebagaimana rakyat jelata. Memasak, mencari kayu bakar dan menyapu daun-daun kering di tepi hutan di tempat dimana gubuk reyot permaisuri yang menyamar mencari calon istri yang memiliki cinta sejati bagi putra mahkota kesayangannya. Tapi sayangnya, dimusim hujan, angin nakal sering merusak piramida kecil yang sudah kususun dengan susah payah. Itu artinya merusak juga semua khayalan yang telah kususun dalam kepalaku.
Meski halaman kebun rumahku selalu penuh dengan tanaman, ibuku yang merawat sendiri tamannya ini, paling takut sama ulat yang menghampiri dedaunan tanamannya. Ya. Ibuku memang paling takut dengan cacing dan ulat. Ah, sebenarnya bukan hanya ibu tapi juga hampir sebagian besar kaum perempuan takut dengan makhluk kecil menjijikkan ini. Termasuk aku. Tak peduli jika suatu hari nanti si ulat mungkin akan berubah jadi kupu-kupu yang amat indah, bagiku ulat tetap ulat. Menjijikkan.

Aku tidak pernah tahu darimana sebenarnya ulat itu berasal. Apakah dari kupu-kupu yang bertelur ketika dia datang bermain-main dengan sayapnya yang indah itu ketika menghampiri bunga? Tapi, bagaimana jika tidak ada bunga dan sebuah pohon melulu hanya terdiri dari daun dan batang serta ranting saja? Apakah itu berarti dia tidak akan dihampiri ulat? Ah. Memikirkannya saja aku enggan. Aku tidak suka ulat.
Hingga suatu hari, seekor ulat mampir ke atas tempat tidurku. Warnanya abu-abu, gemuk dan mungil sekali. Dia tampak tidak berdaya sama sekali. Terasing di atas hamparan sprei putihku yang terbentang kencang. Aku tidak suka ulat. Benci malah. Terlebih jika dia berdiam diatas sprei putih yang baru beberapa hari aku pasang di tempat tidurku, yang masih wangi dan masih kencang pula tarikannya. Spontan aku langsung berteriak memanggil ayahku dengan suara histeris. Seketika ayahku datang.

“Kenapa?”

“Ada ulat di atas sprei ade. Itu.” Aku tunjuk ulat yang sedang kebingungan tersebut. Ayah hanya tersenyum dan menghampiri ulat tersebut lalu mengangkatnya hati-hati untuk ditaruh di atas kertas.

“Mau diapakan yah?”

“Dibuang saja keluar. Dia kebingungan begini.”

“Bunuh saja. Ini, ade sudah menyiapkan alat pembunuhnya.” Aku menyodorkan gagang sapu. Sekali tekan pasti ulat itu hancur terlumatkan. Isi perutnya akan terburai, bercampur dengan isi kepalanya. Lalu getah seperti nanah yang merupakan darahnya akan muncrat ke kanan dan ke kiri. Mungkin akan ada geliat menahan sakit sesaat sebelum nyawa ulat itu melayang. Liukan tubuhnya akan meronta mencoba untuk bertahan hidup, tapi dengan kepala dan tubuh yang hancur terburai, hiduppun tentu akan membawa petaka baginya di masa depan. Mati berkalang tanah adalah lebih baik.

“Hush! Jangan. Kejam banget sih saranmu. Kasihan, lihat tuh, dia juga sudah tidak ada dayanya kok. Ini namanya nyasar, sayang. Seharusnya, mungkin dia ada di salah satu daun di pohon-pohon yang ada dirumah kita. Tapi karena tubuhnya kecil, dia tidak berdaya hingga terbawa angin lalu terjatuh tanpa sengaja di sprei tempat tidurmu. Sudah. Kita kembalikan saja dia ke alam. Perkara dia mau mati atau terus bertahan, itu tergantung takdirnya nanti.”

 Aku hanya memandang geram pada makhluk kecil, gemuk, yang tidak memiliki kaki atau tangan untuk melakukan perlawanan itu dengan pandangan geram. Huh, awas jika kamu datang lagi ke tempatku. Aku akan membunuhmu. Janjiku kejam dalam hati.

Lalu musim hujan datang membawa kesejukan. Bunga-bunga pohon rambutan yang semula putih kini telah mengandung benih buah. Sebentar lagi musim buah akan datang. Biasanya, aku dan saudara-saudara kandungku akan mengundang teman-teman sekolah kami untuk mampir ke rumah dan lalu kami mengadakan pesta buah-buahan alias rujakan. Berkantung-kantung buah itu dipanen dan dibawa pulang oleh siapa saja yang ingin mencicipinya. Ayah dan ibu tidak pernah pelit untuk berbagi. Siapa saja boleh memetik. Baik yang dikenal maupun yang tidak dikenalnya. Tak jarang, ada saja orang yang kebetulan lewat depan rumah dan melihat koleksi buah-buahan di kebun kami yang ranum turut mengidamkan koleksi buah-buahan kami. Jika sudah begitu, mereka harus pandai memanjat pohon karena kedua orang tuaku memang tidak pandai memanjat tapi hanya pandai memelihara pohon buahnya saja.

“Heran. Dibanding tahun lalu, tahun ini pohon Rambutan kita tidak berbuah selebat tahun lalu ya?” Suatu sore kulihat ayah berkacak pinggang memandang pohon rambutan kami. Aku ikut memandang pohon Rambutan tersebut sambil memeluk pinggang ayah hangat. Pohon  Rambutan itu terletak persis di sebelah kamar tidurku. Mungkin, jika ada seorang pangeran tampan dari sebuah kerajaan kaya raya yang jatuh cinta padaku dan ingin membawaku pergi, pohon Rambutan inilah jalan keluar tempat sang pangeran membawaku pergi (aih.. menghayal, kan ada teralis di jendela-jendela kamarmu?... kupandang ayah yang sedang ada dalam pelukanku. Jangan-jangan ayah pernah terpikir tentang kisah sang pangeran ini lalu mengantisipasinya duluan dengan memasang teralis di jendela kamarku?).

“Nggak apa-apa yah. Makan Rambutan kebanyakan juga bisa bikin batuk kok. “ Aku spontan menghibur kekecewaan ayahku karena gagal panen rambutan.

Karena memang tidak untuk dikomersialkan, panen buah-buahan dirumahku seperti tidak ada habisnya. Buah yang sudah ranum dipetik untuk dikonsumsi, tapi sementara yang ranum belum habis, putik sudah kembali terlihat. Angin kencang menerbangkan putik itu kesana kemari. Putik yang bertahan akan kembali mengandung buah. Putik yang rapuh, terbang terbawa angin, salah satunya mengotori sprei tempat tidurku. Huh. Aku menyapu sprei kembali dengan kesal hingga kulihat sesuatu yang gemuk dan menggeliat terdapat di atas sprei. Ulat lagi tapi kali bukan cuma satu, tapi ada beberapa. Kembali kupanggil ayah dengan teriakanku yang kencang. Ayah kembali datang dengan tergopoh-gopoh. Tanpa kata kutunjuk sekumpulan ulat itu dengan kesal. Ayah terlihat bingung.

“Hah? Banyak banget. Darimana asalnya.” Aku menggeleng. Ayah tidak langsung memungut ulat-ulat itu seperti ketika pertama kali aku menemukan makhluk tidak berdaya itu dahulu pertama kali di atas tempat tidurku. Ayah berjalan menuju jendela berteralis yang langsung bertetangga dengan pohon Rambutan. Mengamati dengan seksama untuk kemudian mundur dengan kaget dan terhenyak.

“Gawat.”

“Kenapa?” Aku bertanya dan ikut mengamati pohon Rambutan yang bersebelahan dengan kamar tidurku.
“Pohon kita terserang hama ulat.”

Hah!

Aku kaget tapi rasa kagetku justru mendesakku untuk kian seksama memperhatikan pohon Rambutan kami. Benar juga. Di atas dahan pohon rambutan, telah berjajar ribuan ekor ulat bulu. Bukan cuma di atas dahan, tapi juga puluhan ribu lagi diatas dedaunannya. Bercampur baur dengan buah-buahan yang ranum. Perutku langsung mual. Kulitku linu seperti tersayat-sayat melihat jumlah mereka yang jutaan tersebut. Terlebih ketika pasukan ulat itu ternyata bisa kami temui di bawah karpet mushalla keluarga, di pinggir meja makan, di atas sofa dan bahkan di atas keset rumah. Tidurku jadi tidak nyenyak karena khawatir ulat itu masuk ke dalam mulut atau hidung ketika aku sedang tidur. Makanpun terburu-buru karena khawatir dia masuk ke dalam hidangan karena ulah angin yang sudah sepakat untuk berkonspirasi dengan ulat tersebut. Hah! Seharusnya makhluk kecil yang tidak memiliki tangan dan kaki untuk berkelahi, atau tanduk untuk menusuk itu aku bunuh dahulu. Bahkan meski dia tidak memiliki wajah sangar seorang penjahat, atau badan kekar seperti algojo sekalipun. Siapa yang pernah menyangka bahwa makhluk yang terlihat begitu lemah, kecil dan tidak berdaya, pada akhirnya justru bisa menjadi monster yang amat sangat kuat. Habis seluruh daun, buah dan bahkan kami sekeluarga telah dihantuinya juga karena dia merambah hingga ke dalam rumah.

Akhirnya, dua buah pohon rambutan di rumahku ditebang ayahku, lalu dimusnahkan hingga ke akar-akarnya. Tepat satu tahun sebelum pernikahanku.

nah, disanalah dulu tempat dua buah pohon rambutan di halaman dalam  rumahku  berada. Setelah ditebang,  karena terik maka ibu menanam pohon Ceri, setelah pohon Ceri tidak ada lalu ditanamkan pohon mangga apel. Terakhir sebelum rumah ini dijual, disana masih tumbuh pohon mangga apel.

Sedangkan ini adalah bekas kamarku ketika masih kecil dahulu. Di bawah jendela inilah ada tempat tidurku. Ulat itu masuk dari kaca nako yang ada di atasnya.

Jadi... jangan pernah meremehkan hal kecil yang tampaknya lemah, tidak berdaya dan tidak punya kekuatan. Karena bisa jadi, apa yang kita remehkan itu, suatu hari nanti ternyata menampilkan kekuatannya dan kitapun terperangah tak berdaya menghadapinya. 

Ini kamarku tampak dari teras luar. Ada dua buah pohon rambutan dimana salah satunya berdiri cukup dekat dengan kamarku berada sehingga ranting dan daunnya bersebelahan dengan jendelaku.

==================
Penulis: Ade Anita

4 komentar

  1. Hih? Serem amat mbak. Waktu nebang gimana caranya? Apa gak pada berjatuhan tuh ulet-ulet bulunya? hiyyy.. *merinding

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kita akhirnya minta tolong perum perhutani untuk ngatasinyanya. jadi, pertama mereka ngasi obor dengna api yang menyala mendekati ranting ranting pohon rambutan. Beberapa berjatuhan (gak bisa diceritain gak enaknya dan menjijikkannya "gerimis ulat bulu" itu). Pemanasan ini berfungsi untuk menghancurkan telur mereka yang ada di daun dan ranting atau dahan. Setelah itu baru disemprot dengan obat hama. Nah, berjatuhan lagi deh tuh. Setelah itu, mereka menebang pohonnya. jadi dipangkas hingga tersisa batang besar dan dahan besarnya saja. Ada beberapa daunnya di ujung dahan besar itu. Tapi, rupanya telur ulat itu sudah ada yang terselip di tengah-tengah serat kayu, jadi sebulan kemudian setelah pemangkasan pohon, terjadi serangan ulat bulu jilid kedua. Ya sudah, oleh perum perhutani ditebang habis pohonnya. Ibuku lalu meminta ayah untuk membakar akar pohon rambutan agar pohon rambutan itu benar-benar tidak ada lagi. Kami rada2 trauma untuk punya pohon rambutan lagi.

      Hapus
  2. beneran gitu jutaan mbak: ==' hiiiii

    BalasHapus
    Balasan
    1. Beneran. Jutaan gitu. kecil-kecil dia, tapi buanyak buanget. Asli seram. Tadinya di mushalla kan ada karpet tuh, nah, shalat tuh asli gak khusyuk karena dia terlihat jalan di atas karpet. Buat yang berani emang tinggal dikibas aja, tapi buat yang takut.. iihh... geli banget.

      Hapus