catatan Ade Anita on Friday, 11 May 2012 at 21:48 ·
Bagian ke empat: ushul fiqih lanjutan
Pada bagian ke tiga sebelumnya, kita sudah membahas tentang Pengertian Ushul Fiqih (yaitu satu ilmu yang dengannya dapat ditentukan sesuatu hukum bagi sesuatu masalah, dan kita dapat mengeluarkan masalah-masalah yang tidak tegas bersama hukumnya, dan dengannya pula dapat didudukkan sesuatu masalah pada tempatnya, dan lain sebagainya), serta pembagiannya dalam beberapa pasal.
Berikutnya, dalam bagian ke empat disini, lebih lanjut akan diterangkan bagaimana proses pengambilan hukum. A. Hassan (yang nama lengkapnya Abdul Qadir Hasan, seorang ulama Persis yang ketika hidup lebih dikenal dengan Hasan Bandung karena lama tinggal di Bandung) dalam bukunya Ââ€Å“Soal Jawab tentang berbagai masalah tentang agama, menulis bagian kedelapan dari ilmu Ushul Fiqih.
8. Cara Mengambil Hukum.Untuk menentukan hukum bagi sesuatu masalah: apakah wajib, sunnat, haram, makruh atau mubah, sedikit banytak perlu dipelajari Ââ€Å“ilmu ushul fiqihÂâ€. Sebagai contoh:
a. Kita dapat satu hadits yang berbunyi:Ââ€Å“Nabi SAW bersabda: berwudhulah sesudah (makan) sesuatu yang disentuh oleh api (=daging).Ââ€b. Kalau hadits itu akan kita jadikan pembicaraan, hendaklah lebih dahulu kita periksa siapa yang meriwayatkannya. Kita dapati bahwa hadits itu diriwayatkan oleh Muslim (I:134). Juga ada diriwayatkan oleh ahli Hadits yang lain, sepreti imam Ahmad dan NasaÂ’i.c. Sesudah itu, kita periksa pula: shahkah hadits itu atau tidak? Terdapat bahwa hadits itu shah, terutama pula dia diriwayatkan oleh Imam Muslim.d. Lalu baru kita perbincangkan tentang Ââ€Å“hukum†yang ada dalam hadits itu. Dalam hadits itu ada Ââ€Å“perintah†berwudluÂâ€. Tiap-tiap perintah agama pada asalnya Ââ€Å“wajibÂâ€, Menurut ketentuan ini, maka wajib berwudlu sesudah makan daging.e. Sesudah itu kita mencari lain keterangan. Terdapat ada riwayat begini:Ââ€Å“Dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi SAW pernah makan daging yang ada pada tulang atau daging, kemudian Nabi SAW shalat dengan tidak berwudlu, atau tidak menyentuh air.†(Shahih riwayat Muslim, I:134)
Di atas tadi diperintah ‘berwudluÂâ€, tetapi dalam hadits ini dikatakan bahwa Nabi SAW Ââ€Å“tidak berwudluÂâ€. Ini menunjukkan bahwa berwudlu sesudah makan daging itu tidak wajib. Kalau Ââ€Å“tidak wajib†berarti Ââ€Å“sunnat†berwudluÂâ€. Maka hadits ini sebagai satu keterangan yang merubah hukum Ââ€Å“wajibÂâ€tersebut dipermulaan, menjadi hukum Ââ€Å“sunnatÂâ€.
f. Kita lanjutkan pemeriksaan. Melihat hadits riwayat Ibnu Abbas yang menyatakan bahwa Nabi SAW tidak berwudlu sesudah makan daging itu, dapatlah kita mengambil ketentuan bahwa Ââ€Å“makan daging†itu, tidak membatalkan wudlu. Berdasarkan kepada ini, maka dalam soal makan daging itu, tidak perlu ada pembicaraan Ââ€Å“wudlu†seperti yang kita ketahui.Maka perintah Ââ€Å“berwudlulah†dalam hadits pertama itu bukanlah dengan arati wudlu yang sudah maklum, yaitu cuci muka, cuci tangan, cuci kaki dan usap kepala, tetapi dengan arti Ââ€Å“cucilah†atau Ââ€Å“basuhlahÂâ€, yakni Ââ€Å“basuhlah kedua tangan dan mulut kamu sesudah makan daging.Ââ€Kita memakai arati Ââ€Å“basuhlah menurut bahasa itu, lebih kena daripada memakai arti Ââ€Å“wudlu†menurut yang terpakai SyaraÂ’.
9. Kaidah-Kaidah Fiqih.Untuk menentukan kedudukan dan hukum bagi sesuatu masalah secara umum, selain dari ilmu ushul fiqih, perlu juga kita mengetahui beberapa kaidah yang disebut kaidah-kaidah fiqhiyah.
Ulama mengadakan kaidah-kaidah fiqhiyah ini, sebagian besarnya didasarkan kepada keterangan-keterangan agama dari ayat-ayat Quran dan hadits-hadits Nabi SAW.
DI antara kaidah-kaidah itu, umpamanya yang berbunyi:a. Hukum asal pada tiap-tiap benda, adalah halal.b. Hukum asal pada tiap-tiap ibadat, adlah haram dilakukan.c. Hal yang boleh jadi begini, boleh jadi begitu, tidak dapat dipakai sebagai alasan.d. Orang yang menetapkan sesuatu yang pada asalnya tidak ada, dituntut dalilnya.e. Sesuatu yang sudah yakin, tidak boleh dikalahkan dengan ragu-ragu.
10. Sifat darurat.
Dalam agama kita, ada dikatakan, bahwa barangsiapa Ââ€Å“darurat†berbuat sesuatu yang asalnya haram, maka tidaklah berdosa kalau ia mengerjakannya.
Orang sering mempermudah pengertian Ââ€Å“darurat†itu. Kalau ditanya: Ââ€Å“mengapa saudara mengerjakan itu?Ââ€, sering kita mendapat jawaban: Ââ€Å“Saya terpaksa (=darurat) berbuat demikian.Ââ€; padahal setelah diketahui ternyata bahwa soalnya itu, hanya soal Ââ€Å“malu†saja. Kalau ada orang Islam megnerjakan sesuatu pelanggaran agama, lalu kita bertanya: Ââ€Å“Mengapa saudara berbuat demikian?†jawabnya: Ââ€Å“Saya terpaksa berbuat demikian.Ââ€, padahal dasarnya karena ketakutan yang terbayang dalam fikirannya. Dan lain-lain lagi.
Seolah-olah hal Ââ€Å“darurat†atau Ââ€Å“terpaksa†itu menurut ukuran dan kehendak masing-masing.
Hendaklah diketahui bahwa kata-kata Ââ€Å“terpaksa†itu salinan dari kataÂ’kata Ââ€Å“udl-thur-ra†yang ada dalam Quran.
Ââ€Å“udl-thur-ra†itu, asal dari kata-kata Ââ€Å“dlaratÂâ€.Di antara arti-artinya adalah: berlindung, berpegang kepada sesuatu, menyandarkan diri kepada sesuatu. Dalam bahasa Indonesia kata-kata Ââ€Å“dlarat†itu mempunyai arti: Ââ€Å“MembahayakanÂâ€. Ââ€Å“menyusahkanÂâ€, dan sebagainya.
Maka soal Ââ€Å“maluÂâ€, Ââ€Å“seganÂâ€, Ââ€Å“takutÂâ€, Ââ€Å“khawatir ejekanÂâ€, Ââ€Å“khawatir boikotÂâ€, Ââ€Å“khawatir dipenjaraÂâ€, Ââ€Å“khawatir diasingkan†dan sebagainya itu, bukanlah dlarat yang ditujukan oleh agama, karena hal-hal tersebut, bukan hal-hal yang sebenarnya membahayakan kita.
Karena itu janganlah hendaknya kita permudah soal Ââ€Å“daruratÂâ€.
11. Dalil Sesudah BerÂ’amal.
Banyak terdapat ulama atau orang yang mengerjakan sesuatu Ââ€Å“amal†atau Ââ€Å“ibadat†yang mereka dasarkan kepada pendapat yang dianggapnya benar. Setelah ada yang bertanya atau menegurnya, baru mereka mencarikan keterangannya. Kalau tidak dapat, dicari-carinya dari beberapa keterangan agama yang lain, lalu dicock-cocokkan dengan paksa, sehingga seolah-olah ada alasannya dari agama.
Umpamanya, dengan dasar hadits lemah, orang melakukan Ââ€Å“talqienÂâ€, yaitu mengajar orang yang sudah mati menjawab pertanyaan malaikat dalam kubur. Perbuatan itu berlaku dari masa ke masa sampai sekarang. Terkadang mereka tidak hiraukan teguran atau orang-orang yang menunjukkan kepada mereka bawa perbuatan itu Ââ€Å“tidak benar†, Ââ€Å“salah†atau Ââ€Å“bidÂ’ahÂâ€.
Kemudian setelah betul-betul terdesak, maka karena hendak mempertahankan perbuatan itu, dan boleh jadi juga karena hendak menjaga pengaruhnya kepada umat, maka dengan tenaga dan kepandaian yang ada pada mereka, mereka cari-carilah alasannya, sedapat-dapatnya, sekalipun bukan pada tempatnya.
Kemudian setelah betul-betul terdesak, maka karena hendak mempertahankan perbuatan itu, dan boleh jadi juga karena hendak menjaga pengaruhnya kepada umat, maka dengan tenaga dan kepandaian yang ada pada mereka. Mereka cari-carilah alasannya, sedapat-dapatnya, sekalipun bukan pada tempatnya.
Di antara alasan-alasan yang mereka kemukakan, adalahÂâ€a. Bahwa orang yang sudah mati itu, mendengar dalam kubur. Maksud mereka, karena mayit mendengar, maka ia dapat menerima pelajaran. Padahal maksud ayat Quran yang mereka bawakan itu, bahwa mereka yang sudah mati itu, tidak dapat menerima pelajaran.b. Ada beberapa hadits yang berhubung dengan membacakan surat yasin atas orang mati, mereka masukkan dalam bagian fadla-I-lul-aÂ’-maal, lalu mereka memboleihkan Ââ€Å“talqien†itu. Padahal hadits-hadits itu semua lemah dan mereka pun mengakui kelemahannya itu.c. Mereka beralasan dengan pendapat ulama yang berkata: Ââ€Å“aku lebih suka kepada hadits lemah daripada pikiran manusiaÂâ€. Karena itu, mereka pakai hadits-hadits yang lemah.d. Mereka melakukan Ââ€Å“talqien†dengan alasan untung-untungan kalau-kalau diterima oleh Allah SWT..e. Dan sebagainya.
Alasan-alasan yang mereka bawakan itu, tidak ada satupun yang kena. Dari cara-cara demikian itu, timbullah kerusakan dalam agama, timbul bidÂ’ah-bidÂ’ah, sehingga agama yang bersih murni diselubung dengan kotor-kotor. Mudah-mudahan Allah memelihara agama-Nya dari kotor-kotor yang diada-adakan oleh manusia.
Seharusnya, orang yang insaf dan sadar, sebelum mengerjakan sesuatu amal lebih dahulu ia mencari dalilnya. Kalau belum dapat, janganlah ia mengerjakannya.
12. Mah-Shur dan yang bukan Mah-Shur.
Di antara ayat-ayat Quran dan hadits-hadits Nabi saw ada yang memakai lafazh Ââ€Å“in-na-maa†atau an-na-maaÂâ€. Susunannya yang memakai lafazh tersebut, dikatakan Ââ€Å“mahshur†artinya: terbatas. Yakni : isi atau ketentuan yang ada dalam susunan itu, terbatas menurut apa yang ada disitu, tidak boleh ditambah atau dikurangi. Begitu juga susunan yang diawalnya ada kata-kata Ââ€Å“il-maaÂâ€. Susunan yang ada ‘maa†dan ilaa†itu disebut, Ââ€Å“mustats-naaÂâ€, tetapi termasuk dalam bagian Ââ€Å“mahshurÂâ€.
Sebagai contoh, nabi saw bersabda:Ââ€Å“Hanya aku diperintah berwudlu, apabila aku hendak mengerjakan shalat.†(HR NasaÂ’I).
Jadi Ââ€Å“wudlu†itu hanya untuk shalat tidak untuk yang lainnya.Maka ‘yang bukan mahshur†itu ialah, yang tidak memakai kata-kata tersebut di atas atau seumpamanya.Susunan yang tidak mahshur itu, boleh menerima tambahan atau pengecualian.Misalnya: Firman Allah SWT:Ââ€Å“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina hendaklah kamu dera tiap-tiap seroang dari mereka, seratus deraan.†(An-Nur:2)
Ayat ini tidak mahshur, karena itu, ia boleh menerima tambahan. Dalma hadits ada tambahan Ââ€Å“rejam†bagi orang yang berzina yang sudah kawin.
13. Lafazh-lafazh istilah.
Dalam agama kita terdapat beberapa perkataan yang ada kalanya terpakai menurut arti bahasa, dan sering terpakai menurut arti istilah agama. Umpamanya: lafazh-lafazh najis, taqlid, haram, wudlu, shalat dan lain-lain lagi yang terkadang menimbulkan kekeliruan pengertian, sehingga perlainan pendapat.
Tetapi kalau kita pandai menempatkan akat-kata tersebut dimana harus dipakai dengan arti bahasa dan dimana harus dengan arati istilah, insya Allah akan terjadi persesuaian faham antara kita.
Umpamanya:a. Nabi SAW bersabda: Ââ€Å“tiap-tiap bidÂ’ah itu sesat.†(HR Muslim).Kata-kata ‘bidÂ’ah dalam hadits ini kalau kita pakai dengan arati bahasaa, yaitu dengan arti ‘sesuatu yang baru yang tidak pernah ada di zaman nabi SAWÂâ€, maka memakai sepeda, memakai motor, kereta api, radio…Â… itu semua sesat (=berdosa), karena barang-barang itu tidak ada di zaman Rasulullah saw. Tak usahlah kita sampai begitu gila mengartikan sabda Nabi SAW tersebut. Nabi tahu bahwa dunia ini akan berubah. Nabi mengerti akan kebutuhan-kebutuhan manusia. Karena itu, tidak mungkin kata-kata Ââ€Å“bidÂ’ah†itu ditujukan kepad benda-benda tersebut. Mesti ditujukan kepada tugas pokok yang diperintah Nabi saw menyampakan kepada umatnya, yaitu: soalÂ’soal agamaÂâ€.
Jadi bidÂ’ah itu, ialah yang berhubung denganperbuatan yang menyerupai agama yang tidak ada pada masa Nabi saw dan tidak pernah dibenarkan oleh Nabi saw serta tidak dapat dimasukkan dalam salah satu hal atau perbuatan yang dibenarkan oleh Nabi saw.
Maka disini kita gunakan arati istilah, bukan arti menurut bahasa.Demikian dengan perkataan-perkataan yang lain.
Demikian yang ditulis oleh Abdul Qadir Hassan, dalam bukunya Ââ€Å“Soal Jawab tentang berbagai macam Masalah AgamaÂâ€. Tulisan ini ditaruhnya di bab-bab awal, sebagai landasan dari cara kita berpikir dalam memahami berbagai persoalan tentang agama. Sesungguhnya, berbagai persoalan agama tidak bisa dipisahkan dari peri kehidupan kita sehari-hari. Sekian. Semoga Bermanfaat.00000
Penyadur: Ade AnitaSumber: A. Hassan, Ââ€Å“Soal Jawab tentang berbagai macam Masalah AgamaÂâ€, penerbit : CV. Diponegoro, Bandung.
Tidak ada komentar