Noleh cerpen pemenang lomba cerpen LMCR): Puisi Bernyawa


PUISI BERNYAWA

penulis: Azmi Farah Fairuzya (pemenang 1 kategori B, Lomba menulis cerpen remaja (LMCR) 2011)


Dalam kesehariannya, gadis itu hanya diam menatap jendela. Tatapannya kosong, tetapi dalam sirat matanya menggambarkan kepedihan yang teramat dalam. Ia tak pernah mau pergi dari ruangan yang menghadap balkon itu. Tangannya tak pernah lepas menggenggam tirai tipis yang menghiasi jendela. Tubuhnya tampak lebih kurus tak terawat, kulit sawo matangnya tampak kering dan pucat pasi. Mata indahnya dikelilingi lingkaran hitam, dan mulutnya serasa membeku.
Aku mengenalnya cukup baik. Aku sering menjahilinya dan bercanda gurau dengannya. Bagiku dia adalah gadis yang cukup ramah, periang, sedikit pendiam, tidak mudah marah, lucu, dan pencair suasana. Namun ia memiliki satu keburukan: terlalu jadi  seseorang  pemikir. Mungkin ini yang menjadikan alasannya menjadi seperti ini. Rasanya aku iba melihatnya seperti itu. Tingkah lakunya sudah tidak berbeda dengan patung yang biasa digunakan untuk menghiasi rumah. Entah apa yang membuatnya begitu, yang aku tau pasti dia sangatlah tertekan oleh suatu keadaan.
Setiap hari, aku selalu mencoba mengajaknya berbicara. Namun tak pernah ada jawabnya. Aku mencoba menarik perhatiannya dengan membawakan hal-hal yang membuat dirinya selalu bersemangat ketika dia belum seperti ini, namun sedikit lirikan saja tak aku dapati.
“Sudahlah, Nak, kamu pulang saja, sudah petang. Orang tuamu pasti mencarimu.” Ibunya yang sedari tadi menangis di samping pintu memandangi kami akhirnya mengeluarkan suara.
“Tidak, Tante. Saya masih ingin di sini. Tadi sudah pamit. Tante istirahat saja.” Jawabku.
Aku merebahkan diri di atas kursi mencari beribu hal yang dapat menarik perhatiannya. Berbagai macam hal sudah aku coba. Bahkan, memutar lagu dengan sangat keras pun tidak juga membuatnya bergerak. Aku nyaris menyerah, sampai akhirnya aku menemukan sebuah buku harian yang ia genggam dengan erat.
“Boleh aku pinjam buku itu?” Kataku sembari menunjuk buku itu. Namun tetap tak ada jawaban. Hanya saja, ia menggenggam bukunya lebih erat. Aku tersenyum tipis. Paling tidak, aku tahu bahwa ia masih dapat mendengarku, masih dapat memberi respon terhadap pernyataanku, dan dari responnya aku tahu bahwa buku itu adalah rahasianya. Aku memancingnya dengan mencoba menarik buku tersebut. Harapanku ia akan bergerak lebih banyak, kalau perlu berpindah tempat, membentakku, atau paling tidak menatapku. Namun yang terjadi terlalu jauh dari harapanku. Ketika aku mencoba menariknya, hanya tangannya yang berusaha mempertahankan buku itu. Aku merinding. Ketika tanganku bersentuhan dengan tangannya, aku merasa tangannya teramat dingin dan tubuhnya merinding. Aku menjauhkan tanganku lalu mengelus pundaknya. Tepat saat itu, ibunya masuk untuk memberi makanan.
“Makanlah dulu, Mia. Kamu sudah tidak makan seminggu ini. Makan!” Isakan mamanya semakin mengeras. Namun tetap tak ada gerakan. Ketika kucoba menyuapinya, tetap tak mau membuka mulutnya. Setengah jam sampai bubur buatan ibunya dingin, akhirnya ibunya keluar meninggalkan kamar.
Hari itu sangat melelahkan untukku. Aku pun memutuskan untuk pergi.
“Mi, aku pulang dulu. Besok aku akan datang lagi. Kuharap, besok kamu mau berbagi denganku. Besok pagi  mesti makan!” Kataku lembut sambil memeluk dirinya dari belakang.
Rabu sepulang sekolah, aku datang membesuknya lagi bersama dengan Bu Aini, guru bimbingan konseling di sekolahku. Mungkin, ia  lebih mengetahui tentang sifat manusia akan lebih membantu. Ibu Mia mengantarkan kami ke ruangan tempat Mia berada. Pakaiannya belum berubah, aku rasa ia belum bergerak sedikit pun. Masih sama seperti kemarin.
Aku menyapanya lembut dan membiarkan Bu Aini berbincang dengannya. Aku duduk di sudut ruangan dan memasang headset, sehingga aku tidak dapat mendengar pembicaraan mereka. Tampak jelas bagaimana Bu Aini membujuknya untuk melakukan kegiatan yang sudah beberapa hari ini ia tinggalkan. Satu jam berlalu tetap tak ada perubahan. Bu Aini mengambil kursi dan duduk di sampingnya. Aku terus memandangi mereka berdua, penasaran dengan apa yang di katakan oleh Bu Aini. Sampai akhirnya, Bu Aini berdiri dan mengajakku pulang. Aku ingin berbincang dengan Mia, tetapi Bu Aini melarangku. Akhirnya aku mematuhinya  dan meninggalkan ruangan. Sebelum aku menutup pintu, aku mengintip Mia sebentar. Aku terkejut, sehingga aku memutuskan untuk mengulang mengintipnya. Benar saja apa yang kulihat sebelumnya, Mia sedang mengusap pipinya. Apakah ia menangis? Paling tidak, guruku berhasil membuatnya bergerak.
Dua minggu setelah hari itu, aku dikejutkan dengan kabar masuknya Mia ke rumah sakit akibat dehidrasi parah yang ia alami. Mungkin saja, satu minggu ini dia masih tetap belum menyentuh makanan sedikit pun. Satu minggu ini memang aku tidak sempat membesuknya, karena ada ulangan tengah semester yang harus kulalui. Sehingga tidak ada kesempatan untukku mengetahui perkembangannya.
Aku datang ke rumah sakit tepat ketika Bu Aini turun dari mobilnya. Kami memutuskan untuk pergi bersama. Langkahku berat dan tubuhku gemetar. Berdoa di setiap langkahku supaya Mia baik-baik saja. Memasuki ruangan tempat Mia terbaring tak berdaya, ibu Mia berhambur keluar dan memeluk Bu Aini. Bu Aini terus menenangkan beliau. Aku berjalan menghampiri ranjang Mia. Tubuhnya kelihatan kurus dan pucat. Berbagai macam selang menempel di sekujur tubuhnya. Aku membelainya, mengajaknya berbicara dan dengan sabar menunggu jawabnya.
Tiba-tiba aku teringat akan buku harian Mia. Aku ingin sekali membacanya. Akhirnya aku memutuskan untuk pergi dan meminta izin pada ibunya untuk mengambil barang milik Mia, yang mungkin bisa membantu.
Benar saja, buku harian itu tergeletak  di tempat ia biasanya berdiri. Aku mengambilnya dan merapikan beberapa bagian ruang itu yang berserakan. Kemudian berpamitan pulang.
Sesampaiku di rumah dan berbenah diri, aku merebahkan diri di atas kasur. Memikirkan apa yang harus aku lakukan dengan buku harian itu. Salahkah aku bila ingin membacanya? Apakah aku melanggar hak pribadi seseorang? Tapi aku ingin membacanya, aku ingin membantunya.
“Tuhan, maafkan aku bila ini perbuatan yang salah.” Kataku dalam hati, kemudian mengambil buku harian itu dari dalam tas.
Aku mengunci kamar dan menyalakan lampu belajar di meja belajarku. Perlahan-lahan aku buka buku harian itu. Tampak beberapa foto Mia di halaman pertamanya. Foto yang penuh dengan coretan di berbagai bagian tubuhnya yang dahulu sedikit berisi. Kemudian di sambut dengan tulisan mungilnya,“Hei! My name is Mia. I’m not beautiful, I’m not slim, I’m not even smart, any problems? This is me,  no one said that you have to like me”
Aku tersenyum sedih, aku sering sekali mendengar anak ini mengeluh akan bentuk tubuhnya. Aku semakin penasaran. Aku membalik-balik setiap halaman, dan menemukan puisi pertamanya.
Bila saja penantianku bukanlah agama tanpa Tuhan,
Bila  saja aku melangkah tanpa kedua kakiku yang terpasang
Getar-getar hati mengamuk menyeruak
Menggemparkan, berharap berbuah melodi
Kalau saja Tuhan memberikanku kemudahan bersila,
Kalau saja Tuhan mempersilakan aku menyentuh bintang,
Lalu bergaun putri salju..
Akankah engkau diam dan berhenti menatapku?
Atau kau akan berbalik memujiku?
Yang tiada berharga, tiada bernilai
Aku hanya bungkam,
Terlawan oleh anak panah yang tersesat
Dan ketika aku berdiri ingin membanggakan diriku,
Aku tahu..
Bahwa sedikitpun tak ada yang bisa dibanggakan dariku…
Apa itu salahku?
            Aku berkali-kali membaca puisi ini untuk memahami maksudnya, tetapi sulit untuk kudapati.  Mungkinkah maksud puisi ini untuk seseorang yang sering menghinanya? Aku mengutuk diriku sendiri karena kebodohanku. Kenapa harus puisi? Kenapa bukan curahan hati saja yang biasanya diawali dengan “dear diary”? Lagi aku membaliknya, dan kudapati puisi berikutnya.
Diam!
Tak usah kau jawab lonceng gereja itu,
Tetaplah bergeming..
Suara itu menyakitkanku,
Mengingatkan aku pada anugerah yang tak pernah aku syukuri
Aku tak mau lisanku nanti menyangsi diriku karena berdosa,
Aku tak mau tanganku ini membawaku pada kobaran api
Karena kecerobohanku memegang hatiku
Aku tak ingin sejarah hatiku terus kau nodai,
Pergilah untuk menapaki sebuah jembatan pelangi yang rapuh
Carilah sebuah benang halus di deruan ombak
Dan tangkaplah satu saja asap dari cerobong disana..
Bila kau dapati, teruslah pecahkan benteng air mataku!
            Aku semakin yakin bahwa yang membuat ia tertekan adalah bentuk tubuhnya. Ia tersiksa dengan setiap hinaan yang dilontarkan oleh teman-teman.
Setelah berhenti berpikir dan menguap, aku melirik puisi berikutnya. “Sepertinya ini berbeda,” gumamku.

aku yang menatap lembut kegelapan hatiku ,
berhembus lesu menghancurkan anganku
tanpa apa aku meletakkan sebuah asa ,
bahkan untuk mengucapkannya , aku tak mampu ..
dan kini lenyap terbawa cinta ..
cinta yang entah apa aku tak mampu untuk mengeja

oh Tuhan,
siapakah aku dalam keputus asaan ini?
aku yang benar benar kehilangan separuh jiwaku
yang kini berlari bersama merpati yang tak tau arahnya
meratapi sang surya yang menggarang dan tak berprasaan , seperti mereka
oh Tuhan,
siapakah aku dalam kebisuan ini?
yang hilang bersembunyi dengan airmata yang mendanau
oh Tuhan,
siapkah aku menghadapi hari esok ?
bahkan kini untuk memanggil diriku aku tak mampu ?
oh Tuhan,
Murkakah Engkau bila aku ingin mendahului kehendakMu ketika kehendaMu atas kehendakku tak mampu kuraih ?
oh Tuhan,
hancurkah aku mengatakan diriMu jahat ?
oh Tuhan,
Terkutukkah aku mengatakan aku tak suka bahkan benci diriMu ,
oh Tuhan,
Nerakakah tempatku kelak bila mengutuk ‘ia yang tak mengerti aku, yang jahat padaku, namun yang mengadakan aku’?
oh Tuhan, siapakah aku dalam petanyaan bodoh ini?
membisu, mengeluarkan air mata, dan sendiri menutup diri ..
            Aku terus mengulangi dan terus mengulangi puisinya pada bagian ‘ia yang tak mengerti aku , yang jahat padaku namun yang mengadakan aku’, mungkinkah yang dimaksud adalah sang ibu? Aku teringat ia pernah menuliskan di akun jejaring sosialnya, bahwa ia kesal dengan ibunya. Aku jadi semakin bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi. Semakin ke belakang, puisinya semakin berubah.
            “Gadis misterius.” Kataku lirih. Kemudian ku lanjutkan membaca puisinya.
Bila saja ada suatu tempat untukku dapat bersembunyi,
Bila saja ada sebuah kata untukku dapat melukiskannya,
Dan bila saja ada sepenggal nada untukku dapat menyanyikannya
Ingin kuteriakkan goresan lukanya
Ingin kuhempaskan perihnya
Lalu ingin kusuguhkan tiap tetes air mata yang terjatuh
Ketika kebisuan ini menggangguku menikmati jalan ceritaku,
Dan ketika ketakutan ini menghancurkanku untuk menikmati tiap langkahku..
Bukankah terlalu pedih untukku terus merasakannya?
Ingin ku tinggalkan saja mimpi burukku, kututup mataku, kutinggalkan lukaku,
Lalu kupergikan semua rasa…
Biar semua hilang,
Pergi…
Karena solusi hanya dapat menjadi ilusi,
Dan karena gurauan hanya dapat menjadi gangguan,
Tak dapat lagi yang dapat kuarungi…..
Sampai pada akhirnya tak ada lagi kekuatan,
Tak ada lagi pengharapan,
Tak ada lagi yang tersisa selain kenangan,
Dan sampai pada akhirnya,
Semua akan kutinggalkan.
            “Aku mau kali nerima tiap tetes air matamu, tapi kamu aja yang terlalu nutup diri. Bukan, kamu aja yang terlalu takut untuk berbicara dengan orang lain. Udah berapa kali aku bilang ke kamu, untuk belajar berbicara dengan orang lain? Ceritakan apa yang kamu rasakan, kalau memang kamu tidak bisa dekat dengan ibumu, bisa dengan temanmu. Dasar gadis kelas kepala!” Kataku menjawab puisinya.
Kalau ada yang bisa kau rasakan
Di sini, dalam sebuah garis yang membentangkan lara
Perhatikanlah sebuah rajutan nada,
Apakah kau temukan keistimewaan?
Rasakanlah luka ini!
Adakah sebuah obat tukku hilangkan rasa ini?
Sentuhlah hati ini..
Tampak rapuh serapuh kapas
Bolehkah aku menahannya?
Demi pertengahan rasa yang ku genggam erat
Bolehkah aku memeluknya?
Luka yang teriris sepi, terpeluk dalam belenggu air mata
Atau, perkenankan aku untuk melepasnya..
Meninggalkan semua beban,
Meninggalkan penyesalan
Bersembunyi dalam kebahagiaan,
Dan mengepakkan sayap seakan aku tak pernah hidup
            Dua puisi terakhir yang kubaca, sepertinya mengisyaratkan ia sudah lelah dengan kehidupan ini. Aku menerka-nerka banyak hal. Mungkin, inikah yang membuatnya bungkam? Membunuh dirinya secara perlahan? Aku tidak tahu, tapi aku ingin memastikannya. Aku akan ke rumah sakit esok.
Di sinilah aku berada, koridor rumah sakit tempat Mia dirawat. Aku mendengar pembicaraan Ibu Mia dengan dokter yang mengatakan seharusnya Mia sudah bangun. Tetapi, ia belum juga bangun. Aku menyimpulkan ia hanya berpura-pura belum sadar. Aku beranjak memasuki ruangannya, mendekati ranjangnya, dan mengajaknya berbicara.
“Katakanlah padaku, tak usah kau tutupi lagi. Aku sudah membacanya. Sudah menelitinya.” Kataku memulai. Tetap tak ada jawaban.
“Kamu kenapa? Masih malu dengan bentuk tubuhmu? Kamu masih kesal dengan orang tuamu? Kamu kesal dengan teman-temanmu? Bangunlah! Jangan seperti ini. Tidakkah kamu merasakan air mata ibumu?” Ia tetap bergeming, kali ini aku menyerah.
Tiba-tiba aku mendapatkan ide. Aku membuka buku hariannya di halaman terakhir, dan membacakan puisi terakhirnya.
Aku bermain misteri dalam hentakan detik-detikku, memikirkan setiap khayalan dan mimpi-mimpiku. Bertanya pada setiap hembusan angin. Dapatkah aku menggapainya? Atau justru mataku ini keburu terpejam?”
Mia pun terbangun dan menghadapku. Kemudian berusaha mengambil buku hariannya yang kubawa.
“Apa yang kamu lakukan? Lancang banget kamu baca buku harianku!” Katanya lirih namun terdengar sangat kesal.
“Aku hanya ingin tahu apa yang terjadi padamu.” Kataku tegas.
“Lalu?” Tanyanya dengan mata berkaca-kaca.
“Lalu aku tau kau tak suka dengan tubuhmu. Hei! My name is Mia. I’m not beautiful, I’m not slim, I’m not even smart, any problems? This is me,  no one said that you have to like me sudah cukup membuktikkan kamu marah dengan bentuk tubuhmu sendiri. Iya kan?”
            “Bukan itu masalah utamanya.” Air matanya pecah.
            “Ibumu? ‘ia yang tak mengerti aku , yang jahat padaku namun yang mengadakan aku’ kah?” Kataku mengulangi sebaris puisinya. Ia menggeleng. Aku mengusap air matanya.
            “Lalu apa? Katakan padaku. Aku tak akan marah, apa pun itu.” Kataku lembut. Kemudian ia memintaku untuk mendekatkan diri padanya.
            “Aku ingin mati.” Katanya lirih.
            “Aku tahu kau ingin mati. Aku membacanya. Puisi-puisi terakhirmu mengisyaratkannya. Tapi bukan itu yang kutanya. Tak ada orang ingin mati cepat bila tanpa alasan yang kuat. Alasan itu yang ingin aku ketahui.”
            “Aku nggak masalah tubuhku tidak seindah kamu, Bunga. Aku tak masalah. Aku tak masalah tidak langsing, tidak putih, tidak cantik, tidak populer, tidak anak olimpiade, aku tak masalah. Sungguh.” Air matanya semakin deras. Aku menggenggam tangannya.
“Lalu?” Tanyaku tak sabar dengan lanjutan ceritanya.
“Memang sebelumnya tidak masalah. Sebelumnya. Tapi kini menjadi masalah yang besar. Aku malu. Sangat malu. Kamu tau bagaimana orang-orang menghinaku? Bagaimana orang memperlakukanku? Seharusnya kamu tau. Kamu sering bermain bersamaku. Rasanya, di sini sakit.” Ia menyentuh dadanya.
“Kamu jangan gitu, Mia. Kamu itu..” Belum selesai aku bicara, Mia memotongku.
“Mudah saja kamu mengatakan, Bunga. Aku tau apa yang akan  kamu katakan. Seperti biasanya. Tetapi tidak bisa. Tetap saja sakit. Terlebih Ibu tidak mau mendengarkan ini. Ibu tidak tau apa yang aku rasakan. Ia tetap memaksaku memakai pakaian yang aku merasa tak pantas. Ibu tak mau membantuku supaya langsing. Ketika aku ingin alat untuk membantuku mengecilkan alat, Ibu tak mau membelikanku. Rasanya… Ibuku seperti menginginkanku tetap dicemooh oleh teman-temanku. Kamu tidak tau bagaimana rasanya? Mungkin terdengar tidak masuk akal. Tapi, aku merasa sangat tertekan akan itu. Bukan aku yang meminta untuk bertubuh seperti ini. Kalau boleh meminta, aku ingin sepertimu. Langsing, tinggi, putih, cantik, dan pintar. Tapi, beginilah aku.” Katanya sambil terisak. Aku memeluknya. Pertahananku pecah, aku menangis.
“Maaf, maaf, maaf. Aku tidak tahu bagaimana di posisimu. Tidak pernah tau yang kamu rasakan. Aku busuk, maaf. Apa yang kamu ingin untukku lakukan?”
Stay close to me. And help me.” Katanya menatap mataku dalam.
I will.” Kataku sekali lagi memeluknya. Aku menghadap ke arah pintu, melihat ke arah Ibu Mia dan Bu Aini yang tersenyum kepadaku sambil berlinang air mata.
Satu minggu aku terus menemani Mia yang harus mendapati perawatan khusus di rumah sakit untuk menggantikan cairan yang hilang pada dirinya. Mia mulai kembali mau bercerita, bercanda, dan bermain. Aku juga memberikan figura berisi fotonya dan tanda tangan dari teman-teman satu kelas.
            “Kamu tahu? Teman – teman sangat merindukanmu. Mereka minta maaf bila mereka sering menyakitimu. Namun,           mereka melakukannya karena mereka menyayangimu. Mereka memperhatikanmu.” Kataku padanya.
            “Mia?” Tanya seseorang yang tiba-tiba datang sambil mengulurkan tangan.
            “Iya, Om siapa?” Tanya Mia sambil mengulurkan tangan.
“Om Andi dari sebuah penerbit. Omnya Bunga. Om suka dengan puisi kamu yang dikirim oleh Bunga. Boleh Om bukukan?” Katanya langsung pada sasaran.
“Hah?” Mia tak percaya. Mia menatapku tajam, aku hanya tertawa.
“Kamu bisa menjadi penyair hebat bila rajin menulis. Om akan menyatukan puisi kamu dengan puisi-puisi penulis hebat. Kamu juga bisa mendapatkan uang dari hasil penjualan buku ini. Boleh?”
“Hah? Silahkan om.” Katanya dengan sedikit tak percaya.
“Baiklah. Om pamit dulu. Ini ada sedikit buah untuk Mia. Cepat sembuh ya.”
Setelah pamanku pergi,  Mia masih tetap saja melongo menghadap ke pintu. Kemudian ia menatapku tajam.
“Kau membaca rahasiaku tanpa izinku. Kemudian, puisi kau berikan pada orang lain tanpa izinku pula?” Katanya keras sambil memukulku.
Hello! This is your dream.” Kataku semangat.
But that is a secret!”
“Ini yang mau aku bilang kemarin sebelum kau putuskan perkataanku. Kamu itu hebat. Nulis buku harian aja pake puisi, lebay! Tapi dari sini aku tau, kamu memang penulis sejati. Siapa yang tau itu rahasia? Itu tampak bukan seperti rahasia, tapi itu seperti puisi yang memiliki nyawa.” Jawabku dengan sedikit bercanda.
            “Berlebihan kamu!” Katanya menjitakku.
            “Tapi kamu suka kan?”
            “Iya, makasih ya.” Katanya.
            “Sama-sama.” Jawabku.
            “Terima kasih, kamu adalah sahabat terbaik. Kamu membukakan jalan impianku. Kamu udahbanyak bantu aku waktu aku tertekan. Terlebih, kamu udah nyadarin apa yang aku enggak sadar. Sebuah puisi yang tampak bernyawa, sepertinya lucu juga.” Katanya tersenyum.
Kami  pun berpelukan.*
Azmi Farah Fairuzya, saat ini duduk di bangku kelas XII IPA -   SMAN 3 Semarang

Tidak ada komentar