[Keluarga] Hamil di usia 51 tahun? Ah. Kamu bercanda pasti. Hahahaha.
Tapi, kemarin, setelah seharian membenahi ruang perpustakaan yang super duper berantakan karena semua buku diturunin dari lemari dan dibersihkan satu persatu, sorenya perutku mual, kepala pusing, bawaannya mau muntah, eneg. Uwek. Sudah gitu, pundak dan tengkuk pegalnya luar biasa.
"Mas, aku nggak enak badan. Badanku nggak karuan." aduku pada suami. Dan suami hanya memandang dengan wajah prihatin.
Lalu meminta anakku yang saat ini sedang jadi coas untuk memeriksa kondisi kesehatanku.
Putriku membawa tensimeter dan steteskopnya, lalu mulai memeriksaku. Sambil memeriksaku, putriku ini bertanya.
"Emang gimana rasanya, bu?"
"Duh, nggak karuan, nak. Kayak lagi hamil muda. Tapi, masa sih ibu hamil lagi?" Putriku langsung cemberut mendengar jawabanku. Bibirnya maju tanda tidak senang. Putriku ini memang sangat tidak setuju jika aku hamil lagi karena menurutnya, aku termasuk perempuan dengan resiko kematian tinggi jika sampai hamil lagi. Ada sederetan penyakit yang aku miliki disamping kondisi tubuh yang tidak lagi sekuat saat muda dulu. Itu sebabnya putriku ini melarangku untuk hamil lagi. Lagipula, "Bu... ingat umur ngapa! Ibu dah tua."
Aku hanya nyengir melihat putriku cemberut. Lalu sambil tertawa separuh meringis, aku melanjutkan keteranganku.
"Semua keluhan waktu ibu hamil kalian, terasa semua. Pusing, mual, eneg, mau muntah, penciuman sensitif, sakit pinggang, sakit tengkuk, pegel pundak. Bahkan tadi tuh, Hawna kan duduk di sebelah ibu makan makaroni skotel. Biasanya, ibu selalu suka bau keju di makaroni skotel. Tapi tadi ibu malah nutup hidung karena benar-benar pingin muntah nyium bau makaroni skotel. Tumben kan? Makanya ibu langsung curiga, jangan-jangan ibu hamil."
"Duh, udah deh. Ibu kan udah menopause."
"Hmm, iya juga ya. Tapi pusing dan eneg ini luar biasa. Sama pegel pundak dan tengkuk. Aduh, ibu sampai streaching daerah pundak dan leher tadi. Tapi tetap rasa pusing dan rasa nggak enak di wilayah tengkuk dan leher nggak hilang-hilang. Jika saja boleh nggak makan, ibu nggak pingin makan. Mual dan eneg banget soalnya. Tapi ibu takut kurang asupan gara-gara nurutin rasa sakit. Jadi ibu tetap makan dan ngikutin rasa hati yang pingin rebahan aja bawaannya. Nggak mau makan."
"Bagus bu. Emang harus gitu. Rasa malas dan manja karena sakit tuh harus dilawan. Apalagi musim pandemi kayak gini. Kalau diturutin rasa malas makan dan maunya rebahan doang tanpa usaha apapun buat sembuh, sakitnya jadi makin parah nanti."
Lalu Putriku mulai memompa tensimeternya. Lalu menghitung kecepatan denyut nadiku. Memeriksa nafasku dengan steteskopnya, lalu hasilnnya.
"Bu... kapan ibu terakhir minum air putih? Berapa banyak?"
Aku mulai ingat-ingat. Setelah lelah bekerja membereskan ruang perpustakaan, aku minum segelas air putih lalu karena merasa lemas, aku rebahan di atas tempat tidur. Mulai selesai shalat ashar hingga waktu maghrib tiba. Lalu shalat maghrib dan makan malam baru tambah minum segelas air putih lagi. Ditambah dengan minum air putih ketika bangun tidur tadi pagi segelas, dan segelas lagi setelah sarapan... berarti hari ini aku baru minum 4 gelas air putih.
"Fix. Ibu dehidrasi karena kurang minum air putih, ditambah kurang istirahat. Tekanan darah ibu tinggi nih. 120 per 90. Biasanya ibu nggak pernah lebih dari 70 kan? Ini 90. Denyut nadinya juga lemah banget ini, nggak nyampe 60. Minum air putih yang banyak bu. Sama jalan kaki coba, keliling meja makan dan naik turun tangga sebentar biar denyut jantungnya rajin dikit. Ini kerja jantungnya juga malas banget."
Akhirnya, aku pun minum air putih banyak-banyak. Segelas sebelum jalan kaki keliling meja makan. Segelas lagi selesai keliling meja makan. Lalu naik tangga ke lantai dua, turun tangga ke lantai satu, lalu naik lagi ke lantai dua menuju kamar tidurku. Di sana, aku minum lagi segelas. Lalu ngobrol di atas tempat tidur sambil melakukan streaching ringan untuk daerah lengan, pundak, leher, dan pinggang. Lalu minum air putih lagi. Lalu ngobrol lagi. Lalu minum lagi.
Pukul 21.00, rasa pusing, mual, eneg, sakit tengkuk dan leher, berangsur-angsur menipis lalu hilang. Di tengah-tengah waktunya, aku bolak balik ke kamar mandi untuk buang air kecil. Selesai buang air kecil, aku minum air putih lagi segelas. Begitu saja. Lewat pukul 23.00, putriku berpesan padaku.
"Sudah bu, jangan tidur terlalu malam. Jadi istirahat yang benar dan kuantitasnya banyak. "
Alhamdulillah pagi harinya ketika bangun tidur untuk shalat shubuh, tubuhku sudah benar-benar pulih dan segar. Alhamdulillah.
Masya Allah, alhamdulillah wa syukurillah. Rasanya bangun tidur dalam kondisi sehat dan masih bisa melihat orang-orang yang kita sayangi tersenyum pada kita tuh luar biasa rasanya. Nikmat terbesar buatku.
Jadi, ketika muncul tema untuk #harike5 #challengemyself yang berisi:
Aku tahu harus jawab apa: KESEHATAN.
Masya Allah, nikmat sehat itu luar biasa. Tak terhingga rasanya dan tak tergantikan. Semoga kita semua tetap dikaruniai kesehatan dan kemampuan untuk bisa mensyukuri kesehatan yang kita miliki tersebut.
Hemm ternyata itu ga hanya gejala hamil, ya, Mbak. Bisa jadi dehidrasi dan kurang tidur, jaga kesehatan Mbak.
BalasHapusInsya Allah.makasih ya
BalasHapus