[Lifestyle] Sebuah undangan untuk hadir di acara Gathering Blogger masuk ke emailku pekan lalu. Acara gathering blogger ini berjudul Forest Cuisine Blogger Gathering.
Dari undangan di atas, terbaca bahwa acara akan diselenggarakan di Almond Zuchini yang terletak di Jl. Brawijaya VII no 6A Pulo Kebayoran Baru, Jakarta. Pada hari Sabtu, 29 Februari 2020 pagi, yaitu di pukul 09.30.
Yang aku lakukan pertama kali adalah, langsung menskrinsut undangan tersebut dan mengirim hasil skrinsut undangan tersebut ke suami guna meminta izin beliau agar bisa menghadiri acara tersebut. Dan salah satu pemantik semangatku untuk mengajukan izin agar dikeluarkan (jadi ini semacam izin yang dianjurkan untuk dikeluarkan. Beda tipis emang minta izin dan merayu izin. hehehe, lol!) karena ada pemberitahuan bahwa tulisanku terpilih sebagai salah satu dari 30 finalis pada Forest Cuisine Blog Competition yang diselenggarakan oleh Blogger Perempuan Network bersama WALHI. yang aku ikuti sebelumnya, dari 234 tulisa yang masuk. Silahkan baca: Warisan Pangan Dari Hutan . Jadi, rayuan agar izin keluarnya juga makin gencar. Dan alhamdulillah izin segera keluar.
Jadi, berangkatlah aku ke acara tersebut dengan hati riang dan tenang. Di tempat acara, senangnya karena bisa bertemu dengan banyak sekali teman-teman blogger yang sudah aku kenal. Banyak di antara mereka adalah para jawara di lomba blog. Tulisan mereka di blog masing-masing tuh ciamik dan bernas. Menginspirasi. Wah. Berada di tengah blogger keren seperti ini tuh bikin makin semangat deh. Eh, ada sih rasa kecil sejenak hadir (jujur). Tapi, aku enyahkan rasa kecil ini dengan melihat sisi yang lain, bahwa aku bisa memberi arti yang lain bagi orang banyak jika memang tidak terpilih sebagai pemenang kelak. Akhirnya, niat ingin memberi arti ini sih yang aku kuatkan di dalam diriku dan ini bisa membuatku auto mengenyahkan rasa kecilku.
Enaknya bertemu dengan teman sesama blogger itu, meski kami sama-sama blogger tapi kami punya latar belakang pendidikan, budaya, daerah tinggal dan pekerjaan yang berbeda-beda. Dengan begitu, obrolan mengalir dengan tema beragam. Tidak melulu tentang hal yang sama. Pertanyaan yang paling aku ingat adalah ketika kami saling sharing mengapa tertarik untuk ikut lomba menulis tentang Pangan Dari Hutan.
Mungkin ingin membaca tulisan dan lihat foto-foto Para Blogger di Forest Cuisine Blogger Gathering , silahkan klik linknya ya.
Jujur saja, aku peduli terhadap hutan indonesia yang terus mengalami deforestasi. Pembakaran hutan yang terjadi setiap tahun dan sama sekali belum terlihat upaya yang serius untuk penanganan masalah pembakaran hutan tersebut.
Di daerah asal orang tuaku, yaitu Propinsi Sumatra Selatan, saudara-saudaraku beberapa kali memberi kabar jika musim kemarau tiba betapa sesaknya nafas mereka dalam beraktifitas karena kepungan asap di kota mereka. Jarak pandang mejadi terlalu dekat karena keberadaan asap tersebut. Otomatis, penyakit yang terkait dengan asap pun bermunculan. Seperti ISPA dan sakit mata serta gatal-gatal di kulit. Rambut menjadi kusam kecoklatan.
Pernah dalam salah satu kunjungan mudik ke kampung halaman orang tuaku tersebut, aku mendapati kondisi dimana banyak perempuan yang "hamil" dengan usia kandungan yang sama. Setelah ngobrol dengan mereka, ternyata, selama kepungan asap yang terjadi akibat pembakaran hutan, banyak warga yang tidak bisa keluar rumah sama sekali. Jarak pandang hanya 3 meter saja, dan bau kebakaran membuat sesak nafas. Akhirnya, warga pun berdiam di rumah. Qadarullah, itulah cara Allah memberi rezeki anak dalam kandungan dalam rangka memperbanyak insan yang kelak akan bertakwa pada Allah SWT. Aamiin.
Tapi, cerita tentang hamil ini sebenarnya hanya lelucon selingan saja. Sarkasme untuk kondisi asap yang luar biasa mengepung warga akibat pembakaran hutan. Dan hal yang lebih menyedihkan adalah, semakin berkurangnya ekosistem hutan yang sesungguhnya akibat dari deforestasi hutan. Ketika melakukan perjalanan mudik ke dusun yang ada di pelosok, tidak ada lagi terdengar suara si amang, pemandangan lutung dan monyet yang bergelantungan di pohon, atau cericit suara burung dan tupai yang saling berkejaran. Meski pemandangan yang kami lewati terlihat hijau dan teduh karena jajaran hutan pohon karet dan kelapa sawit.
Dan ini yang mendorong aku dan teman-teman blogger tertarik untuk ikut menulis tentang warisan pangan dari hutan, yang semakin langka didapat karena kegiatan deforestasi yang semakin gencar dilakukan.
Anak-anakku, adalah penggemar madu asli dari hutan. Benar-benar asli dari hutan. Pekat, kental, dengan rasa manis yang terasa manisnya (tergantung jenis pohonnya; jika dari pohon randu, manisnya sedikit asam; jika dari pohon durian, manisnya segar, jika dari pohon mangga, manisnya harum). Tapi, sejak beberapa tahun ini, aku semakin kesulitan mencari madu asli dari hutan karena hutan yang memang semakin berkurang jumlahnya.
Padahal, madu di rumah tuh ya, tiap pagi, biasanya anak-anak minum 1 sendok makan. Malamnya, sambil makan malam, mereka menyeduh madu dengan air hangat satu mug besar (+/- 600 ML) sehingga madu menggantikan posisi teh manis hangat.
Nah, madu yang aku beli di rumah ternyata madunya tidak semanis dulu. Padahal harganya lumayan.
Di acara Forest Cuisine Gathering kemarin, Walhi juga memasarkan produk asli dari masyarakat lokal yang tinggal di hutan milik warga. Salah satunya ada madunya. Dan madunya tuh madu hutan asli.
Jika kalian belum pernah merasakan rasa madu hutan asli itu seperti apa, mungkin rasanya mirip seperti madu dari Arab yang mahal dijual di luar sana. Manisnya terasa dan bikin nambah energi. Bangun tidur minum satu sendok teh madu ini. badan terasa fit dan kuat bekerja hingga waktu makan siang tiba. Tidak lesu. Kadar gulanya juga tidak menyebabkan diabetes insya Allah selama dikonsumsi tidak berlebihan. (hahaha, dah kayak jualan ya aku? Hehehe, mungkin karena aku penggemar kurma dan madu ya buat sarapan pagi mengingat aku pengidap gula darah rendah).
Nah, yang mengesalkan, sekarang meski madunya berkurang manisnya tapi harga madu di pasaran terus meningkat jadi lebih mahal. Seukuran botol sirup harganya sudah di atas Rp100.000 semua. Fiuh.
Ada yang menarik dari salah satu makanan yang dijual di atas, yaitu makanan Sagu telur dengan kemasan bertuliskan Produk Bebas Konflik.
Ketika aku tanyakan mengapa ditulis produk bebas konflik, dijelaskan bahwa sagu telur ini, berasal dari hasil olahan masyarakat yang tinggal di Riau. Di sana, lahan untuk menanam sagu, sedang jadi incaran perusahaan kelapa sawit yang menginginkan lahan untuk menanam sagu milik rakyat bisa dialih fungsikan menjadi ladang kelapa sawit.
Tentu saja masyarakat lokal menolaknya. Mereka ingin tetap menanam sagu. Sifat tanaman sagu yang dikelola oleh masyarakat ini punya kekhasan. Yaitu masyarakat menanamnya secara kolektif dan ditanamnya tidak di hanya di satu tempat saja, tapi di beberapa tempat terpisah. Bisa jadi, karena persebaran lahan milik masyarakat untuk menanam sagu yang cukup luas cakupannya ini, membuat perusahaan kelapa sawit ingin mengeksekusi lahan tersebut. Dalam hal ini, Walhi datang untuk mendampingi masyarakat agar punya keberanian untuk mempertahankan tanah mereka, sekaligus mempertahankan budaya menanam sagu di lahan mereka. Untuk itulah, hasil olahan sagu dikembangkan tidak hanya untuk konsumsi rumah tangga sendiri saja, tapi juga dikemas agar bisa dipasarkan ke masyarakat umum. Hasilnya ya ini nih, sereal sagu telur.
Masalahnya dengan perkebunan kelapa sawit itu adalah, usia tanaman kelapa sawit untuk terus berproduksi tidak panjang. Hanya berkisar 10 s.d 15 tahun saja. Setelah lewat usia 15 tahun, tanaman kelapa sawit yang sudah tua, harus disingkirkan dan digantikan dengan tunas tanaman kelapa sawit yang baru. Nah. Bagaimana cara menyingkirkan tanaman kelapa sawit tua ini? Tentu saja dengan cara dibakar.
Kejam.
Semua karena alasan perusahaan tidak mau rugi menggaji tenaga penebang pohon. Jadi ingin main cepat saja. Tidak peduli akan bahaya asap dari kebakaran lahan tersebut.
Padahal ya, efek dari kebakaran hutan dan kebakaran lahan ini banyak sekali. Ekosistem yang ikut rusak terbakar, polusi asap, terhambatnya kegiatan perekonomian karena keberadaan asap, serta masalah penyakit yang harus diatasi dan otomatis memerlukan biaya. Belum lagi pendidikan yang ikut terhenti karena sekolah diliburkan. Bahkan, masalah tumbuh kembang anak-anak yang hidup di sekitar daerah yang terdampak dari pembakaran lahan dan pembakaran hutan ini juga mengalami masalah.
Itu sebabnya, sudah sejak beberapa bulan ini Walhi Nusantara rajin mengkampanyekan program penyelamatan #RimbaTerakhir.
Menurut data kementerian lingkungan hidup & kehutanan (klhk) 2017, luas hutan Indonesia tuh mencapai 120.601.155 hektare. Dari luas hutan yang sedemikian luas tersebut, hingga 2017, hutan berisin dikelola swasta (korporasi) mencapai 40,4 juta hektare (95,76 %). Gede banget kan ya? Luas sekali.
Lalu, seberapa banyak yang dikelola oleh masyarakat? Ternyata hanya 1,7 juta hektare (4,14 %). Nah, gimana nggak kesal jika dari jumlah yang sedikit tersebut masih juga ingin diserobot oleh yang punya hak kelola hutan lebih besar?
Akhirnya, acara pun dimulai. Hadir di depan kami para blogger, 4 orang bintang tamu yaitu:
Mbak Alin dari Walhi (nama lengkapnya Ibu Khalisa Khalid, merupakan Perwakilan Eksekutif Nasional WALHI),
Mbak Tresna (nama lengkapnya Ibu Tresna usman Kamaruddin, Amd, merupakan WALHI CHAMPION di Kelurahan Sakuli, Kolaka Sulawesi Tenggara) yang merupakan aktifis pecinta lingkungan,
serta mbak Windi ((nama lengkapnya Mbak Windy Iwandi, selebgram @fooddirectory) yang merupakan food blogger;
serta ibu Tati (nama lengkapnya Ibu Sri Hartati, seorang WALHI CHAMPION dari Pesisir Selatan, Sumatra Barat)) yang merupakan perwakilan dari masyarakat penjaga hutan masyarakat yang sudah dinobatkan sebagai bundo kanduang oleh masyarakat adat Minang untuk mengemban sosialisasi kesadaran masyarakat untuk menjaga hutan di Indonesia.
Yang dimaksud dengan hutan adalah, menurut ibu Alin, sebuah lahan atau tempat dimana terdapat pohon-pohon rindang yang tumbuh dengan sendirinya, ada hewan-hewan liar dan ada juga manusia adat. Keragaman makhluk hidup itulah yang menjadi ciri khas hutan.
Fungsi hutan itu aslinya banyak loh (masih kata Mbak Alin). Dia bisa menjadi apotik hidup bagi masyarakat, bisa menjadi warung hidup, bisa juga sebagai penjaga masyarakat dari bencana alam seperti terhindar dari tanah longsor, sebagai tempat untuk menampung air tanah, sebagai pengendali iklim secara keseluruhan (climate exchange), sebagai pengendali ekosistem (hubungan harmonis antara manusia, hewan, tumbuhan, alam sekitar). Bahkan lebih dari itu, hutan juga merupakan sumber dari sebuah kebudayaan.
Yang dimaksud dengan kebudayaan ini adalah, dimana masyarakat memiliki dan menjalankan sebuah kebudayaan tertentu yang khas dimiliki oleh masyarakat di tempat ini saja dan itu terpengaruh oleh keberadaan dari hutan yang ada di dekat mereka.
Di tulisanku tentang Warisan Pangan dari Hutan, aku putarkan video bagaimana sebuah hutan memiliki fungsi yang banyak sekali karena keberagaman pepohonan yang mereka miliki, lengkap dengan tinggi dari pepohonan yang berbeda. Klik link judul tulisanku itu jika ingin melihat video yang aku share dan penjelasannya ya.
Di acara ini, juga diputarkan film pendek tentang "Kita masih di Planet Bumi".
Sedangkan penggiat sosial sekaligus survivor kanker, Mbak Tresna, adalah pembicara yang bercerita tentang kiprah dia di Sulawesi sana dalam hal pemberdayaan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan di Sulawesi.
Jadi, untuk mempertahankan keberadaan hutan di Indonesia, WALHI mengadakan program WALHI Champion, yaitu penghargaan bagi orang-orang yang sukses memberikan kontribusi nyata dalam melestarikan hutan di daerahnya masing-masing. Penghargaan ini sendiri merupakan salah satu dari rangkaian program besar WALHI dalam penyelamatan hutan yang diberi hashtag #RIMBATERAKHIR. Pemenangnya disebut sebagai pejuang rimba terakhir untuk Indonesia. Nah, Mbak Tresna dan Ibu Tati ini adalah salah dua yang mewakili pemenang alias merupakan pejuang rimba terakhir.
Dan acara berakhir dengan acara demo memasak olahan bahan pangan dari hutan. Dalam hal ini mengolah jamur menjadi makanan mewah yang praktis, penuh nutrisi sekaligus nikmat.
Kalian bisa melihat tulisanku di Resep Fettucinni Mushroom Ragu.
Apa yang membuatku terkesan dengan acara ini adalah; ketika datang ke acara ini di pagi hari, aku datang dengan isi kepala tidak dapat gambaran sebenarnya Walhi itu "ngapain aja sih" ? Apa bedanya dengan kelompok Green Peace? Kenapa nggak jadi satu aja? Apa bedanya dengan pecinta lingkungan biasa?
Setelah selesai acara, isi kepalaku sudah dapat muatan baru. Yaitu informasi gambaran tentang apa yang dilakukan oleh Walhi Nasional selama ini kepada masyarakat.
Jadi tuh begini. Alam sekitar kita tuh harus dijaga kelestariannya. Pantainya harus dijaga, hutannya harus dijaga. Lautnya harus dijaga. Bahkan, udara yang kita hirup pun harus dijaga kebersihannya.
Kenapa harus dijaga? Karena memang keseimbangan alam raya lah yang membuat kita sebagai manusia merasakan kenyamanan, kenikmatan, kemerdekaan, kebebasan hidup di atas muka bumi selama ini. Ketika alam tidak lagi seimbang, maka bencana pun datang silih berganti. Banjir, tanah longsor, kebakaran, kekeringan, polusi, bahaya serangan limbah serta ancaman kepunahan.
Dijaga disini bukan hanya sekedar dipagari lalu tidak boleh dimasuki.
Tidak.
Bukan itu caranya menjaga alam.
Menjaga alam itu dengan cara menjaga kemanfaatan alam agar manfaat itu bisa terus dirasakan oleh generasi ke generasi. Jadi dijaga dengan penuh cinta karena memang ada hubungan simbiosis mutualisme di dalamnya.
Masalahnya, tidak semua hal mudah dilakukan. Terutama, ketika berhadapan dengan pihak-pihak yang memiliki kekuasaan yang lebih banyak karena berbagai macam hal. Entah kekuasaan itu dimiliki karena posisi dan jabatan tertentu, atau karena kelebihan materi sehingga bisa membeli apa saja.
Dalam hal ini, masyarakat kecil akan selalu menjadi bulan-bulanan incaran para pemilik kekuasaan sehingga masyarakat kecil rentan kehilangan hak mereka atas kepemilikan lahan. Padahal, pada masyarakat kecil ini, kehidupan rimba bisa terus berlangsung. Itulah masyarakat yang memperlakukan hutan sebagai tempat untuk menghidupkan ekosistem tersendiri; dimana di dalamnya ada apotik hidup, ada warung hidup, ada etika bermasyarakat, ada pusat kebudayaan, dan ada keserasian hubungan antara manusia dan alam.
Lalu, bagaimana caranya Walhi bisa hadir dan memberi arti dalam hal ini? Yaitu dengan cara, selain menjaga lingkungan dengan cara mempertahankan kelestarian alam agar tidak direbut dan diubah oleh pihak-pihak yang ingin melakukan forestasi hutan (menjadikan hutan yang multi culture menjadi hutan yang mono culture), juga mendampingi masyarakat yang terdampak agar bisa terus tegar sekaligus memandirikan masyarakat tersebut dengan berbagai usaha dengan tujuan mandiri secara ekonomi.
Seperti cerita bu Tati, yang menjadi didaulat menjadi bundo kanduang dalam rangka perwakilan masyarakat hutan di Riau dan Sumatra Barat. Beliau bercerita bagaimana Walhi mendampingi masyarakat hutan dalam mempertahankan hutan mereka dan lebih dari itu Walhi juga berusaha untuk memberdayakan masyarakat hutan agar bisa mengambil manfaat yang bijaksana dari hutan yang mereka miliki. Seperti memberi pelatihan mengolah hasil hutan berupa tanaman pala, bukan hanya sebagai bumbu masakan saja, tapi juga dijadikan sirup buah pala. Lalu, memberikan pelatihan bagaimana pengemasan sirup tersebut agar bisa dijual ke masyarakat umum dimana keuntungannya kembali ke masyarakat kembali. Dari sana, rasa cinta masyarakat akan hutan mereka semakin tumbuh. Dan karena ada rasa memiliki ini maka mereka otomatis berusaha untuk menjaga hutan mereka secara bersama-sama.
Itulah yang aku dapat sepulang dari acara ini. Alhamdulillah. Senangnya jika sudah bisa belajar hal baru itu buatku luar biasa nikmatnya.
undangan resmi acara Blogger |
Dari undangan di atas, terbaca bahwa acara akan diselenggarakan di Almond Zuchini yang terletak di Jl. Brawijaya VII no 6A Pulo Kebayoran Baru, Jakarta. Pada hari Sabtu, 29 Februari 2020 pagi, yaitu di pukul 09.30.
Yang aku lakukan pertama kali adalah, langsung menskrinsut undangan tersebut dan mengirim hasil skrinsut undangan tersebut ke suami guna meminta izin beliau agar bisa menghadiri acara tersebut. Dan salah satu pemantik semangatku untuk mengajukan izin agar dikeluarkan (jadi ini semacam izin yang dianjurkan untuk dikeluarkan. Beda tipis emang minta izin dan merayu izin. hehehe, lol!) karena ada pemberitahuan bahwa tulisanku terpilih sebagai salah satu dari 30 finalis pada Forest Cuisine Blog Competition yang diselenggarakan oleh Blogger Perempuan Network bersama WALHI. yang aku ikuti sebelumnya, dari 234 tulisa yang masuk. Silahkan baca: Warisan Pangan Dari Hutan . Jadi, rayuan agar izin keluarnya juga makin gencar. Dan alhamdulillah izin segera keluar.
Jadi, berangkatlah aku ke acara tersebut dengan hati riang dan tenang. Di tempat acara, senangnya karena bisa bertemu dengan banyak sekali teman-teman blogger yang sudah aku kenal. Banyak di antara mereka adalah para jawara di lomba blog. Tulisan mereka di blog masing-masing tuh ciamik dan bernas. Menginspirasi. Wah. Berada di tengah blogger keren seperti ini tuh bikin makin semangat deh. Eh, ada sih rasa kecil sejenak hadir (jujur). Tapi, aku enyahkan rasa kecil ini dengan melihat sisi yang lain, bahwa aku bisa memberi arti yang lain bagi orang banyak jika memang tidak terpilih sebagai pemenang kelak. Akhirnya, niat ingin memberi arti ini sih yang aku kuatkan di dalam diriku dan ini bisa membuatku auto mengenyahkan rasa kecilku.
bersama dengan para blogger |
Mungkin ingin membaca tulisan dan lihat foto-foto Para Blogger di Forest Cuisine Blogger Gathering , silahkan klik linknya ya.
Jujur saja, aku peduli terhadap hutan indonesia yang terus mengalami deforestasi. Pembakaran hutan yang terjadi setiap tahun dan sama sekali belum terlihat upaya yang serius untuk penanganan masalah pembakaran hutan tersebut.
Di daerah asal orang tuaku, yaitu Propinsi Sumatra Selatan, saudara-saudaraku beberapa kali memberi kabar jika musim kemarau tiba betapa sesaknya nafas mereka dalam beraktifitas karena kepungan asap di kota mereka. Jarak pandang mejadi terlalu dekat karena keberadaan asap tersebut. Otomatis, penyakit yang terkait dengan asap pun bermunculan. Seperti ISPA dan sakit mata serta gatal-gatal di kulit. Rambut menjadi kusam kecoklatan.
Pernah dalam salah satu kunjungan mudik ke kampung halaman orang tuaku tersebut, aku mendapati kondisi dimana banyak perempuan yang "hamil" dengan usia kandungan yang sama. Setelah ngobrol dengan mereka, ternyata, selama kepungan asap yang terjadi akibat pembakaran hutan, banyak warga yang tidak bisa keluar rumah sama sekali. Jarak pandang hanya 3 meter saja, dan bau kebakaran membuat sesak nafas. Akhirnya, warga pun berdiam di rumah. Qadarullah, itulah cara Allah memberi rezeki anak dalam kandungan dalam rangka memperbanyak insan yang kelak akan bertakwa pada Allah SWT. Aamiin.
Tapi, cerita tentang hamil ini sebenarnya hanya lelucon selingan saja. Sarkasme untuk kondisi asap yang luar biasa mengepung warga akibat pembakaran hutan. Dan hal yang lebih menyedihkan adalah, semakin berkurangnya ekosistem hutan yang sesungguhnya akibat dari deforestasi hutan. Ketika melakukan perjalanan mudik ke dusun yang ada di pelosok, tidak ada lagi terdengar suara si amang, pemandangan lutung dan monyet yang bergelantungan di pohon, atau cericit suara burung dan tupai yang saling berkejaran. Meski pemandangan yang kami lewati terlihat hijau dan teduh karena jajaran hutan pohon karet dan kelapa sawit.
Dan ini yang mendorong aku dan teman-teman blogger tertarik untuk ikut menulis tentang warisan pangan dari hutan, yang semakin langka didapat karena kegiatan deforestasi yang semakin gencar dilakukan.
Madu yang Tidak Semanis Dulu
Anak-anakku, adalah penggemar madu asli dari hutan. Benar-benar asli dari hutan. Pekat, kental, dengan rasa manis yang terasa manisnya (tergantung jenis pohonnya; jika dari pohon randu, manisnya sedikit asam; jika dari pohon durian, manisnya segar, jika dari pohon mangga, manisnya harum). Tapi, sejak beberapa tahun ini, aku semakin kesulitan mencari madu asli dari hutan karena hutan yang memang semakin berkurang jumlahnya.
Padahal, madu di rumah tuh ya, tiap pagi, biasanya anak-anak minum 1 sendok makan. Malamnya, sambil makan malam, mereka menyeduh madu dengan air hangat satu mug besar (+/- 600 ML) sehingga madu menggantikan posisi teh manis hangat.
madu di rumahku, katanya sih madu asli baduy. Tapi, rasanya berbeda dengan madu hutan yang biasa aku konsumsi, yang ini lebih cair dan kurang manis |
Di acara Forest Cuisine Gathering kemarin, Walhi juga memasarkan produk asli dari masyarakat lokal yang tinggal di hutan milik warga. Salah satunya ada madunya. Dan madunya tuh madu hutan asli.
botol kecil memang tapi ini madu hutan asli |
Nah, yang mengesalkan, sekarang meski madunya berkurang manisnya tapi harga madu di pasaran terus meningkat jadi lebih mahal. Seukuran botol sirup harganya sudah di atas Rp100.000 semua. Fiuh.
Berbagai Produk panganan dari Hutan yang dijual
Di acara Forest Cuisine Blogger Gathering ini, tidak hanya madu saja yang dijual. Tapi ada banyak produk lainnya. Di bagian depan sebelum ruang pertemuan, Walhi memajang produk-produk olahan yang merupakan hasil dari hutan di meja mereka. Semuanya dijual.produk olahan dari hutan Indonesia |
Ada yang menarik dari salah satu makanan yang dijual di atas, yaitu makanan Sagu telur dengan kemasan bertuliskan Produk Bebas Konflik.
ini nih, bungkusnya bikin orang kepo nggak sih caption di bungkusnya itu? |
bulir sagu telur, mirip sukro atau kacang pilus tapi tengahnya kosong. Bisa dikudap dengan susu sebagai pengganti cereal |
Ketika aku tanyakan mengapa ditulis produk bebas konflik, dijelaskan bahwa sagu telur ini, berasal dari hasil olahan masyarakat yang tinggal di Riau. Di sana, lahan untuk menanam sagu, sedang jadi incaran perusahaan kelapa sawit yang menginginkan lahan untuk menanam sagu milik rakyat bisa dialih fungsikan menjadi ladang kelapa sawit.
Tentu saja masyarakat lokal menolaknya. Mereka ingin tetap menanam sagu. Sifat tanaman sagu yang dikelola oleh masyarakat ini punya kekhasan. Yaitu masyarakat menanamnya secara kolektif dan ditanamnya tidak di hanya di satu tempat saja, tapi di beberapa tempat terpisah. Bisa jadi, karena persebaran lahan milik masyarakat untuk menanam sagu yang cukup luas cakupannya ini, membuat perusahaan kelapa sawit ingin mengeksekusi lahan tersebut. Dalam hal ini, Walhi datang untuk mendampingi masyarakat agar punya keberanian untuk mempertahankan tanah mereka, sekaligus mempertahankan budaya menanam sagu di lahan mereka. Untuk itulah, hasil olahan sagu dikembangkan tidak hanya untuk konsumsi rumah tangga sendiri saja, tapi juga dikemas agar bisa dipasarkan ke masyarakat umum. Hasilnya ya ini nih, sereal sagu telur.
Hutan Indonesia yang semakin berkurang
Gemas memang jika melihat keserakahan para pemilik perkebunan kelapa sawit itu. Hutan dibabat lalu dialih fungsikan menjadi perkebunan kelapa sawit.Masalahnya dengan perkebunan kelapa sawit itu adalah, usia tanaman kelapa sawit untuk terus berproduksi tidak panjang. Hanya berkisar 10 s.d 15 tahun saja. Setelah lewat usia 15 tahun, tanaman kelapa sawit yang sudah tua, harus disingkirkan dan digantikan dengan tunas tanaman kelapa sawit yang baru. Nah. Bagaimana cara menyingkirkan tanaman kelapa sawit tua ini? Tentu saja dengan cara dibakar.
Kejam.
Semua karena alasan perusahaan tidak mau rugi menggaji tenaga penebang pohon. Jadi ingin main cepat saja. Tidak peduli akan bahaya asap dari kebakaran lahan tersebut.
Padahal ya, efek dari kebakaran hutan dan kebakaran lahan ini banyak sekali. Ekosistem yang ikut rusak terbakar, polusi asap, terhambatnya kegiatan perekonomian karena keberadaan asap, serta masalah penyakit yang harus diatasi dan otomatis memerlukan biaya. Belum lagi pendidikan yang ikut terhenti karena sekolah diliburkan. Bahkan, masalah tumbuh kembang anak-anak yang hidup di sekitar daerah yang terdampak dari pembakaran lahan dan pembakaran hutan ini juga mengalami masalah.
Itu sebabnya, sudah sejak beberapa bulan ini Walhi Nusantara rajin mengkampanyekan program penyelamatan #RimbaTerakhir.
Menurut data kementerian lingkungan hidup & kehutanan (klhk) 2017, luas hutan Indonesia tuh mencapai 120.601.155 hektare. Dari luas hutan yang sedemikian luas tersebut, hingga 2017, hutan berisin dikelola swasta (korporasi) mencapai 40,4 juta hektare (95,76 %). Gede banget kan ya? Luas sekali.
Lalu, seberapa banyak yang dikelola oleh masyarakat? Ternyata hanya 1,7 juta hektare (4,14 %). Nah, gimana nggak kesal jika dari jumlah yang sedikit tersebut masih juga ingin diserobot oleh yang punya hak kelola hutan lebih besar?
ayo bantu Walhi untuk mendampingi masyarakat yang ingin mempertahankan hutan mereka |
Acara Forest Cuisine Blogger Gathering
Akhirnya, acara pun dimulai. Hadir di depan kami para blogger, 4 orang bintang tamu yaitu:
Mbak Alin dari Walhi (nama lengkapnya Ibu Khalisa Khalid, merupakan Perwakilan Eksekutif Nasional WALHI),
Mbak Tresna (nama lengkapnya Ibu Tresna usman Kamaruddin, Amd, merupakan WALHI CHAMPION di Kelurahan Sakuli, Kolaka Sulawesi Tenggara) yang merupakan aktifis pecinta lingkungan,
serta mbak Windi ((nama lengkapnya Mbak Windy Iwandi, selebgram @fooddirectory) yang merupakan food blogger;
serta ibu Tati (nama lengkapnya Ibu Sri Hartati, seorang WALHI CHAMPION dari Pesisir Selatan, Sumatra Barat)) yang merupakan perwakilan dari masyarakat penjaga hutan masyarakat yang sudah dinobatkan sebagai bundo kanduang oleh masyarakat adat Minang untuk mengemban sosialisasi kesadaran masyarakat untuk menjaga hutan di Indonesia.
mbak Ocha )pembawa acara), ibu Tati (yang pakai baju minang), Mbak Alin, Mbak Tresna, Mbak Windi |
ini cerita lengkapnya ada di instagram storyku https://www.instagram.com/s/aGlnaGxpZ2h0OjE3ODk4Mjg3NTkzNDQyNDkz?igshid=75zwxxvkd9zd&story_media_id=2254245195728091406_290995018 |
Fungsi hutan itu aslinya banyak loh (masih kata Mbak Alin). Dia bisa menjadi apotik hidup bagi masyarakat, bisa menjadi warung hidup, bisa juga sebagai penjaga masyarakat dari bencana alam seperti terhindar dari tanah longsor, sebagai tempat untuk menampung air tanah, sebagai pengendali iklim secara keseluruhan (climate exchange), sebagai pengendali ekosistem (hubungan harmonis antara manusia, hewan, tumbuhan, alam sekitar). Bahkan lebih dari itu, hutan juga merupakan sumber dari sebuah kebudayaan.
Yang dimaksud dengan kebudayaan ini adalah, dimana masyarakat memiliki dan menjalankan sebuah kebudayaan tertentu yang khas dimiliki oleh masyarakat di tempat ini saja dan itu terpengaruh oleh keberadaan dari hutan yang ada di dekat mereka.
Di tulisanku tentang Warisan Pangan dari Hutan, aku putarkan video bagaimana sebuah hutan memiliki fungsi yang banyak sekali karena keberagaman pepohonan yang mereka miliki, lengkap dengan tinggi dari pepohonan yang berbeda. Klik link judul tulisanku itu jika ingin melihat video yang aku share dan penjelasannya ya.
Di acara ini, juga diputarkan film pendek tentang "Kita masih di Planet Bumi".
Sedangkan penggiat sosial sekaligus survivor kanker, Mbak Tresna, adalah pembicara yang bercerita tentang kiprah dia di Sulawesi sana dalam hal pemberdayaan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan di Sulawesi.
Jadi, untuk mempertahankan keberadaan hutan di Indonesia, WALHI mengadakan program WALHI Champion, yaitu penghargaan bagi orang-orang yang sukses memberikan kontribusi nyata dalam melestarikan hutan di daerahnya masing-masing. Penghargaan ini sendiri merupakan salah satu dari rangkaian program besar WALHI dalam penyelamatan hutan yang diberi hashtag #RIMBATERAKHIR. Pemenangnya disebut sebagai pejuang rimba terakhir untuk Indonesia. Nah, Mbak Tresna dan Ibu Tati ini adalah salah dua yang mewakili pemenang alias merupakan pejuang rimba terakhir.
mbak Tresna |
Dan acara berakhir dengan acara demo memasak olahan bahan pangan dari hutan. Dalam hal ini mengolah jamur menjadi makanan mewah yang praktis, penuh nutrisi sekaligus nikmat.
Kalian bisa melihat tulisanku di Resep Fettucinni Mushroom Ragu.
lokasi Rimba Terakhir di Indonesia |
kelompok 5 cooking demo |
kelompok 5 cooking demo, bikin Fettucinni Mushroom Ragu, resep lengkapnya ada di tulisanku yang lain dengan judul resepnya ya |
Apa yang membuatku terkesan dengan acara Forest Cuisine Blogger Gathering ini?
Akhirnya, tanpa terasa acara pun berakhir setelah kami semua santap siang dengan suguhan masakan yang enak.Apa yang membuatku terkesan dengan acara ini adalah; ketika datang ke acara ini di pagi hari, aku datang dengan isi kepala tidak dapat gambaran sebenarnya Walhi itu "ngapain aja sih" ? Apa bedanya dengan kelompok Green Peace? Kenapa nggak jadi satu aja? Apa bedanya dengan pecinta lingkungan biasa?
Setelah selesai acara, isi kepalaku sudah dapat muatan baru. Yaitu informasi gambaran tentang apa yang dilakukan oleh Walhi Nasional selama ini kepada masyarakat.
Jadi tuh begini. Alam sekitar kita tuh harus dijaga kelestariannya. Pantainya harus dijaga, hutannya harus dijaga. Lautnya harus dijaga. Bahkan, udara yang kita hirup pun harus dijaga kebersihannya.
Kenapa harus dijaga? Karena memang keseimbangan alam raya lah yang membuat kita sebagai manusia merasakan kenyamanan, kenikmatan, kemerdekaan, kebebasan hidup di atas muka bumi selama ini. Ketika alam tidak lagi seimbang, maka bencana pun datang silih berganti. Banjir, tanah longsor, kebakaran, kekeringan, polusi, bahaya serangan limbah serta ancaman kepunahan.
Dijaga disini bukan hanya sekedar dipagari lalu tidak boleh dimasuki.
Tidak.
Bukan itu caranya menjaga alam.
Menjaga alam itu dengan cara menjaga kemanfaatan alam agar manfaat itu bisa terus dirasakan oleh generasi ke generasi. Jadi dijaga dengan penuh cinta karena memang ada hubungan simbiosis mutualisme di dalamnya.
Masalahnya, tidak semua hal mudah dilakukan. Terutama, ketika berhadapan dengan pihak-pihak yang memiliki kekuasaan yang lebih banyak karena berbagai macam hal. Entah kekuasaan itu dimiliki karena posisi dan jabatan tertentu, atau karena kelebihan materi sehingga bisa membeli apa saja.
Dalam hal ini, masyarakat kecil akan selalu menjadi bulan-bulanan incaran para pemilik kekuasaan sehingga masyarakat kecil rentan kehilangan hak mereka atas kepemilikan lahan. Padahal, pada masyarakat kecil ini, kehidupan rimba bisa terus berlangsung. Itulah masyarakat yang memperlakukan hutan sebagai tempat untuk menghidupkan ekosistem tersendiri; dimana di dalamnya ada apotik hidup, ada warung hidup, ada etika bermasyarakat, ada pusat kebudayaan, dan ada keserasian hubungan antara manusia dan alam.
Lalu, bagaimana caranya Walhi bisa hadir dan memberi arti dalam hal ini? Yaitu dengan cara, selain menjaga lingkungan dengan cara mempertahankan kelestarian alam agar tidak direbut dan diubah oleh pihak-pihak yang ingin melakukan forestasi hutan (menjadikan hutan yang multi culture menjadi hutan yang mono culture), juga mendampingi masyarakat yang terdampak agar bisa terus tegar sekaligus memandirikan masyarakat tersebut dengan berbagai usaha dengan tujuan mandiri secara ekonomi.
Seperti cerita bu Tati, yang menjadi didaulat menjadi bundo kanduang dalam rangka perwakilan masyarakat hutan di Riau dan Sumatra Barat. Beliau bercerita bagaimana Walhi mendampingi masyarakat hutan dalam mempertahankan hutan mereka dan lebih dari itu Walhi juga berusaha untuk memberdayakan masyarakat hutan agar bisa mengambil manfaat yang bijaksana dari hutan yang mereka miliki. Seperti memberi pelatihan mengolah hasil hutan berupa tanaman pala, bukan hanya sebagai bumbu masakan saja, tapi juga dijadikan sirup buah pala. Lalu, memberikan pelatihan bagaimana pengemasan sirup tersebut agar bisa dijual ke masyarakat umum dimana keuntungannya kembali ke masyarakat kembali. Dari sana, rasa cinta masyarakat akan hutan mereka semakin tumbuh. Dan karena ada rasa memiliki ini maka mereka otomatis berusaha untuk menjaga hutan mereka secara bersama-sama.
Itulah yang aku dapat sepulang dari acara ini. Alhamdulillah. Senangnya jika sudah bisa belajar hal baru itu buatku luar biasa nikmatnya.
sampai bertemu di acara bermanfaat lainnya ya.. byeee |
Aku baru tahu mbak rasa madu hutan yang dihasilkan berbeda tergantung dari pohon mana, ada rasa asam, manis, bahkan lebih pekat dan sebagainya. Tulisannya menarik, btw selamat buat jadi finalis 30 besar tulisannya di forest cuisine blogger gathering 🥰
BalasHapusiya, rasa madu tuh beda-beda tergantung dari jenis pohon si lebah itu mengisap madu dan sejauh apa si lebah terbang untuk mencapai pohon tersebut. Semakin jauh dia terbang berarti air liurnya makin banyak tercampur dengan sari madu yang dia simpan di dalma mulut dan perutnya itu.
HapusSemoga upaya walhi diberkahiNya...dan didukung oleh kita semua. Hutan kita udah makin berkurang. Padahal dulunya hutan2 kita salah satu paru2 bumi
BalasHapusaamiin
HapusKenapa bisa ya hutan dikelola sama yang bukan jadi hak pengelolaan hutan? ini nih yang harus ditindak, hukum juga harus ditegakkan, karena hutan kita sangat luas dan kaya akan hasil hutan, semoga Walhi sedikit demi sedikit dapat menyelesaikan masalah pengelolaan hutan kita ya mbak
BalasHapuseh..gimana gimana? jadi tuh gini, ada tanah yang dimiliki oleh masyarakat, ada yang dimiliki oleh korporasi. nah, jika masyarakat menjual tanah mereka ke korporasi maka milik korporasi jadi makin besar. Terus gimana caranya kok bisa terjadi? Karena yang satu ngebujuk yang lain tergiur pulus atau terdesak kebutuhan uang.
Hapusnah ini yang lagi diusahakan agar tidak mudah melepas hak, berarti harud berdaya secara ekonomi kan?
ngomong ngomong soal madu ya, saya dulu suka menyepelekan masa iya minum madu bisa mencegah sakit ringan seperti batpil. sekarang saya udah buktiin berkali kali ke anak, sekarang madu ibarat sahabat yang selalu ada di kotak p3k, kalau udah habis dan nggak ada langsung panik semoga hutan kita selalu aman jadi bisa senantiasa menikmati hasil alamnya
BalasHapusiya emang, di rumah juga gitu, selalu nyetok. Kalau habis beli lagi.
HapusMBa, gimana beli madu asli yang diproduski oleh petani lokal rekanan walhi ya ? Soalnya kadang binggung juga mau belinya mba
BalasHapusbisa hubungi akun media sosial Walhi atau ke Jln. Tegal Parang Utara No 14, Jakarta Selatan 12790. INDONESIA
Hapusinformasi@walhi.or.id
+62-21-79193363
+62-21-7941673
Hutan kita kaya dan produktif yang bisa menambah penghasilan keluarga dan kesehatan jadi bertambah sehat.
BalasHapusForest cuisine membangun rasa cinta pada olahan produk hutan.
Banyak banget ya bahan pangan dari hutan yang kaya manfaat dan aku tertarik banget sama madu hutan, katanya lebih bagus sih soale dari alam gt ga dari lebah ternak.
BalasHapusAlhamdulillah terpilih mbak, seneng banget bisa ikut demo masaknya mba
BalasHapusAcaranya seru banget ya mba, plus ada bazaar hasil olahan pangan lokal daari hutan-hutan di Indonesia. Itu tagline yang sagu telur memang menggelitik bikin penasaran yaaa, bebas konflik. Tapi, sedih sih memang lihat wajah hutan Indonesia yang semakin menipis karena banyak faktor. Yuk ah, support pulihkan hutan Indonesia
BalasHapusWah senangnya terpilih masuk 30 tulisan terbaik bs ikut gathering jg... Selamat ya Mba..sudah lama saya ga ikut gathering nih.. Jd pengen juga
BalasHapusHutan memang menyediakan teramat banyak bahan pangan untuk manusia ya mba. Manusianya aja yang sering kurang bisa menjaga kelestariannya. Hanya kepikiran untuk mengeksplor tanpa ingat bahwa nantinya anak cucu bakalan kehabisan sumber pangan dari hutan karena hutannya udah dibabat habis.
BalasHapusSedih kalau melihat permasalahan hutan Indonesia. Udahlah semakin terkikis. Masih juga ada yang mau merebut. Padahal hutan itu ibarat paru-paru. Ngeri banget kalau paru-paru sampai rusak
BalasHapusMbak Ade aku pengen banget nyobain sagu telurnya. Penasaran banget. Udah lama banget ga nyobain sagu asli yang enak.
BalasHapusAcaranya meriah banget mbak, aku jadi terhanyut kayak ada di sana..banyak ilmu berharga yang dibagikan agar kita makin cinta lingkungan..
BalasHapusFaktanya, secara fisik, madu asli dan madu palsu memang sulit dibedakan!
BalasHapusPerbedaanya apa pada banyak faktor, seperti kekentalan, rasa maupun warna.
Fakta lain lagi, ternyata secara kasat mata, madu asli dan palsu juga tidak bisa dibedakan!
Warna dan rasa madu dipengaruhi;
- sumber nektar tanaman
- kandungan mineral
- iklim dan cuaca geografis
Selengkapnya ada di blog aku, mba.
Seach saja pakai "madu"
Modus ini, hihihi :)
Aku bawa pulang banyak wawasan baru sepulang dari acara ini. Seriusan kita mesti bahu-membahu menyelamatkan hutan karena manfaat yang dimiliki. Diantaranya tentu dengan mendukung program-program WALHI
BalasHapusJahat bener orang-orang perkebunan kelapa sawit ini. Mereka kepingin nyerobot tanah buat ditanemin sawit, lalu mereka memaksa petani sagu untuk mengalihfungsikan hutan. Untung ada LSM begini yang mau mendidik petani sagu jadi lebih mandiri dan berani. Perusahaan tajir memang begitu, maunya menekan pengusaha kecil.
BalasHapusSelamat ya sudah masuk finalis. Semoga jadi salah satu pemenang. Aamiin.
BalasHapusHutan yang mulai hilang memang seharusnya kita pertahankan. Kita dukung WALHI sehingga hutan kita tetap lestari
Walhi turut memasarkan produk asli dari penduduk lokal ya Mbak, kayak madu itu. Wuihh jd mupeng ngerasain madu hutan itu gimana manis alaminya...
BalasHapusDulu di kampungku madu hutan ini termasuk mudah didaptkan oleh mereka yg mencarinya ke hutan dan kemudian menjual sebagiannya.
BalasHapusAkan tetapi sekarang, boleh dibilang jarang yang menemukan madu hutan asli, mba.
Semoga hutan yg masih tersisa terjaga keberadaannya, dan bisa dimanfaatkan hasilnya tanpa mengganggu ekosistim di dalamnya.
Wahhh beruntung banget bisa terpilih blogger gathering WALHI kak...
BalasHapusSelamat sekali lagi. 👍
Senangnya bisa hadir di acara blogger Gatheringnm WALHI, tentunya banyak ilmu yang didapat sehingga bisa bermanfaat untuk diri kita
BalasHapusAda perbedaan besar antara Greenpeace dan Walhi
BalasHapusWalhi organisasi didirikan bangsa Indonesia (Emil Salim dkk)
Greenpeace buatan luar.
Kalo bank, seperti BRI dan HSBC, beda banget kan?
Semoga terus Ada yg bisa mnjaga hutan y mba Dan ternyata bnyak pngolahan hasil dari hutan bukan kayu saja yg bisa d manfaatkan itk perekonomian
BalasHapusAcara ini juga membuka mata kita bahwa ternyata ada pihak-pihak tertentu yang bertindak untuk kepentingan diri dan kelompoknya. Untunglah masyarakat dapat tegas menolak hal tersebut. Hutan harus dikembalikan sebagai fungsinya yang membawa manfaat bagi ekosistem termasuk masyarakat sekitar tentunya
BalasHapusAkhirnya aku bisa datang untuk berkunjung dan menikmati tulisan mba Ade lagi. Senang sekali kemarin akhirnya kita bisa ketemu ya Mba. Semoga kita bisa berjumpa lagi di lain kesempatan.
BalasHapusWah, Acha nggak sempat nyobain Sagu Telur itu. Kemarin malah kepo kepo sama yang lain. Terima kasih banyak mba Ade, sempat ingatin untuk lebih awal berpenasaran penasaran di tempat pamer pangannya Walhi.
Aku baru tahu loh mba, ada produk bebas konflik. Ternyata karena sagu telur itu berasal dari hasil olahan masyarakat yang tinggal di Riau ya. WALHI keren ya bareng Blogger Perempuan ngadain gathering gini
BalasHapusMadu sebagai pengganti teh manis, terimakasih idenya mbak Ade. lebih bagus buat kesehatan ya mbak, masalahnya cari madu asli nih susah banget mbak (saya di Balikpapan, dan harusnya banyak madu hutan) tapi gitulah kadang dicurangin jadi sebel udah mahal palsu pula 😂😂😂
BalasHapusAcaranya seru yaaa, saya bpm bruntung terpilih
BalasHapusMoga kelak ada cara Forest Cuisine Blogger Gathering dan bisa terpilih hehe
Masya Alloh.
BalasHapusSelamat ya masuk.
Acaranya seru banget keknya. Mudah2an saya nyusul menang lomba juga.
Suka seneng deh dgn acara yang mengulik tentang hasil hutan, btw saya termasuk yang susah mba membedakan madu asli dengan yang tidak makanya suka bingung kalau beli madu
BalasHapusKalo jadi pemenang enak ya mbak, acaranya keren dan bermanfaat.
BalasHapusBetapa sedih kalau mendengar kisah tentang hutan Indonesia yang selalu me jadi konflik antar masyarakat dan swasta. Apakah pemerintah masih belum bisa melindungi aset penting ini ya? Karena yang dipikirkan hanya keuntungan jangka pendek saja, lalai dengan konsekuensi untuk jangka panjang
Senang yaa mbak bisa ikutan acara Walhi dan ketemu temen-temen blogger lain. Di rumah juga terbiasa minum madu.. Diseduh air hangat atau dicampur jus tiap pagi. Belum yakin juga madu yang sy pakai asli atau nggak.. Hihi. Bismillah aja karena susah nyari yang asli memang.
BalasHapusKeren mbak. Aku juga dapat undangan, tapi qadarullah blm diizinkan suami. Sukses terus ya mbak. Salam kenal. :)
BalasHapusKeren mbak. Aku juga dapat undangan, tapi qadarullah blm diizinkan suami. Sukses terus ya mbak. Salam kenal. :)
BalasHapusWah selamat ya, mbak udah menang di lomba blog walhi. Terinspirasi deh, tentang minta ijin dan merayu ijinnya. Hehehe. Sukses terus
BalasHapusmemang enak sih ini madu hutan, saya suka sekali madu hutan rasanya lebih enak aja. jadi ingin tahu lebih banyak deh
BalasHapus