Warisan Pangan Dari Hutan

[Keluarga] Dusun orang tuaku ketika aku masih kecil dahulu, adalah sebuah dusun yang terletak jauh dari kota Palembang, Sumatra Selatan. Tepatnya, dusunku terletak di Dusun Bumi Ayu, bagian dari kecamatan Sekayu, dan termasuk dalam Kabupaten Musi Banyu Asin. Jaman sekarang, jika berkendaraan roda empat dari kota Palembang, akan memakan waktu sekitar 3 s.d 4 jam. Melewati hutan dan perkebunan kelapa sawit serta perkebunan karet.

gerbang masuk menuju ke dusun orang tuaku, desa Bumi Ayu




Aku ingat ketika masih kecil dahulu.
Kala itu, jalanan belum semulus seperti sekarang. Dan listrik juga belum masuk di beberapa tempat. Perjalanan ke dusun Bumi Ayu adalah perjalanan yang terasa begitu .... luar biasa. Deret pohon yang rapat dan gelap, waktu tempuh yang terasa lebih lama, jalan raya yang tidak mulus dan pemandangan sekitar yang eksotis. Sepanjang jalan, dahulu kita masih bisa menemukan banyak beruk (monyet dengan bulu warna abu-abu), si amang (monyet berbulu hitam yang memiliki leher yang membulat di tengah dan selalu berteriak) dan lutung (monyet kecil dengan wajah yang mungil dan warna kelopak mata yang seperti sedang memakai masker jagoan super).
ini penampakan hewan yang sering aku lihat di sepanjang jalan menuju dusun

Ketiga macam monyet ini lincah dan ramai bergelayut dari dahan satu ke dahan lain di sepanjang hutan yang kami lalui. Jadi, merupakan pemandangan yang menarik tersendiri. Jika beruntung, kita juga bisa melihat hewan lain yang berkelebat berlari seperti kijang, tupai atau aneka burung.

Tapi itu dulu, ketika aku masih kecil. Mungkin usiaku sekitar 10 tahunan kala itu. Sekarang, usiaku sudah hampir 50 tahun. Jarak waktu sudah tergulung begitu banyak dan tentu saja ada banyak perubahan yang terjadi dengan hutan yang kami lalui jika ingin pulang mudik ke kampung halaman orang tuaku.

greeting dari rumah panggung di dusun orang tuaku, Bumi Ayu, Musi Banyu Asin, Sumatra Selatan

Sekarang, eh, terakhir pulang kampung itu tahun 2016, kondisinya sudah ada perubahan. Hutan semakin berkurang, dan berganti dengan perkebunan karet atau perkebunan kelapa sawit.

Di beberapa tempat masih terlihat pepohonan yang merapat seperti hutan, tapi minus aneka macam satwa yang berkeliaran bebas di antara dahan-dahannya. Dan kondisi pepohonannya juga tidak lagi besar-besar. Bahkan, di  beberapa tempat terlihat lahan yang bekas pernah dibakar.

Meski demikian kondisi hutan jaman sekarang di sepanjang jalan menuju ke dusun, aku tetap bercerita pada anak-anakku tentang pengalaman masa kecilku ketika melintasi hutan dan pernah bermalam di dusun yang berasa di tepi hutan. Sungguh, warisan dari hutan untukku, mulai dari hutan sumber makanan, cerita mistis seputar hutan dan satwa yang ada di dalamnya, serta suguhan pemandangan dan pengalamannya. sayang jika tidak diceritakan pada anak-anakku.

Pada anak-anakku aku ceritakan pengalamanku ketika masih kecil dahulu setiap kali pulang kampung ke dusun.

"Di belakang rumah nek nang  (panggilan untuk kakek, yang merupakan kependekan dari nenek lanang, ket) selain kuburan yang tersembunyi, juga ada hutan. Jika ditelusuri, hutan itu lumayan luas. Dan keluarga nek nang kalian, mendapat banyak sekali makanan dari hutan tersebut. Dahulu, jika malam tiba, om (paman) kalian masuk ke dalam hutan untuk mencari madu hutan. Madu hutan itu berbeda dengan madu peternakan meski sama-sama dihasilkan oleh binatang lebah. Karena, madu hutan dihasilkan oleh lebah yang sebelumnya tidak diketahui mengisap sari dari tanaman apa saja. Jika sedang musim durian (duren), maka lebah pekerja penghasil madu sebelumnya telah mengisap sari dari bunga durian. Sedangkan jika musim buah yang lain, lain lagi rasanya. Dibanding dengan madu peternakan lebah, madu hutan tuh berwarna lebih pekat dan lebih kental cairannya. Rasanya juga tidak semanis madu peternakan lebah  memang, tapi khasiatnya dipercaya lebih banyak daripada madu peternakan lebah. Madu ini harganya mahal dan diminati oleh orang-orang dari kota yang mengerti akan khasiat dari madu hutan. Bahkan, ibu pernah makan daging rusa hasil buruan om kalian di tengah hutan."

Anak-anakku, karena mereka adalah anak milenial yang lahir di daerah perkotaan, bisa jadi belum begitu mengerti tentang perbedaan ini. Bagi mereka, madu ya madu. Darimanapun mereka berasal, tetap saja sama saja.

"Berbeda, nak. Jika semua madu sama, maka tentu harga madu disamakan saja sekalian. Tapi kalian lihat sendiri kan, ada madu yang harganya puluhan ribu, tapi ada juga madu yang harganya bisa mencapai jutaan. Kenapa bisa berbeda harga? Karena kualitas madu memang berbeda-beda. Biasanya, madu yang dihasilkan oleh alam liar dipercaya merupakan madu yang lebih baik daripada madu yang dihasilkan oleh peternakan lebah. Mengapa demikian? Kata nek nang ibu dahulu, lebah yang mencari makan dari pohon yang jauh, akan menahan lebih lama sari makanan yang diisapnya di dalam perut mereka. Perjalanan kembali ke sarang mereka yang jauh, membuat apa yang mereka simpan di dalam perut dan mulut mereka, tercampur sempurna dengan ludah mereka dan itu otomatis memperoleh lebih banyak enzim dari si lebah tersebut. Sesampai di sarang, barulah mereka mengeluarkannya lagi dari dalam tubuh mereka, dan terbentuklah madu dengan kualitas yang lebih baik. Hal ini yang tidak bisa dihasilkan oleh madu dari peternakan lebah. Karena, si lebah pekerja sudah diberi makanan jadi enzim yang tercampur dengan madu yang mereka hasilkan tidak terlalu banyak.  Itu kata nek nang ibu dulu  ketika ibu masih kecil."

aneka macam madu yang berbeda kekentalan dan warnanya karena tergantung apa yang dimakan oleh lebah pekerjanya (credit foto: pixabay.com)


Lalu, madu hutan ini untuk apa saja? Banyak. Bisa untuk campuran minuman, campuran makanan, atau diminum begitu saja. Saat ini, keluargaku tuh paling sering menggunakan madu ini sebagai campuran infused water. Mengapa? Karena tambahan madu dalam infused water bisa menambah kalori yang berguna untuk menambah energi bagi mereka yang meminumnya. Anak-anakku punya banyak sekali kegiatan yang harus mereka lakukan, jadi, tambahan kalori lewat tetesan madu amat penting bagi mereka.

salah satu infused water yang rutin aku buat setiap 2 x sepekan. Kali ini campurannya adalah buah jeruk lemon, terong belanda, apel hijau, apel merah dan jeruk mandarin serta madu. 


Sedangkan daging kijang (di dusun orang tuaku, kami menyebutnya rusa) tentu saja disembelih, dibersihkan lalu dimasak. Biasanya menjadi Malabi.

Malbi ini tuh sejenis dengan Rendang dari daerah Padang atau Semur daging jika di Jakarta. Malbi berada di tengah-tengah. Dia tidak sepedas Rendang tapi juga tidak semanis Semur. Aku senang sekali Malbi ini. Rasanya manis pedas, dengan bumbu yang kental setengah basah. Biasanya, Malbi hadir menjadi salah satu hidangan yang disajikan di hari raya atau di acara kenduri. Jika tidak ada Rusa, maka daging yang digunakan untuk hidangan Malbi adalah daging kerbau. Kenapa tidak menggunakan daging sapi? Karena kata saudaraku yang ada di Palembang, daging sapi cepat hancur. Lebih enak menggunakan daging kerbau. Dan jika kebetulan di hutan bisa mendapatkan rusa, maka hidangan Malbi benar-benar terasa sempurna.

ini penampakan hidangan Malbi daging yang khas dari Sumatra Selatan

Sekali lagi, karena anak-anakku adalah anak-anak "kota", maka mereka tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya rasa daging rusa yang diburu di hutan. Di Jakarta, sulit menemukan jenis daging ini. Tapi alhamdulillah ketika kami berlibur ke Malaysia, negara bagian Johor, kami bertemu dengan penjual burger daging rusa. Langsung deh anak-anakku mampir dan suka cita mencicipi rasa daging rusa seperti apa.



Daging rusa (atau kijang) memang memiliki tekstur daging yang berbeda dengan hewan kaki empat lain yang sering dimasak seperti jika dibandingkan dengan daging kelinci, sapi, kerbau, domba dan yang lainnya. Rusa dikaruniai 4 kaki langsing yang bisa membuatnya lincah berlari ke sana ke mari di tengah hutan. Makanannya tumbuhan. Di hutan, makanan rusa banyak sekali ragamnya. Tidak hanya sejenis seperti halnya makanan yang dimakan oleh hewan yang dipelihara di peternakan. Udara bebas yang dihirup, gerakan lincah yang dilakukan setiap waktu, dan sumber makanan yang kaya raya di tengah hutan, membuat rusa hutan memiliki tektur daging yang kenyal tapi tidak keras. Pokoknya, enak deh.

Oh ya. Jaman aku kecil dulu, tidak ada kulkas di rumah nenekku. Akibatnya, segala sesuatunya diolah dengan cara diawetkan secara tradsional. Seperti ikan yang difermentasi dengan beras lalu berubah jadi sejenis makanan bernama rusib; atau durian yang difermentasi hingga berubah jadi tempoyak. Bisa jadi, ini termasuk kearifan dan kreatifitas budaya lokal ya dalam mengolah panganan mereka.

Mengapa kearifan budaya memunculkan kreatifitas budaya dalam mengolah panganan? Karena, di Sumatra Selatan, sumber bahan makanan sehari-hari mereka masih menggantungkan diri pada musim yang bergilir sepanjang tahun. Di musim hujan, ada hewan dan tanaman tertentu yang muncul, di musim kemarau hewan dan tanaman yang munculnya berbeda lagi. Dan musim kemarau yang berkepanjangan, di daerah Sumatra sana terasa sekali. Bisa jadi karena di banding dengan Pulau Jawa, Pulau Sumatra lebih dekat dengan peredaran garis khatulistiwa. Jadi, cuaca panasnya terasa lebih panas dan lebih kering ketimbang di Pulau Jawa. Ditambah dengan daerahnya yang banyak rawa-rawa, sehingga di musim kemarau debu terasa lebih banyak ketimbang di Pulau Jawa. Begitu juga dengan air, menjadi salah satu yang cukup sulit didapat di musim kemarau.

Itu sebabnya kreatifitas budaya dalam mengolah makanan tumbuh dengan cara mengawetkan beberapa jenis makanan.

Beberapa cara Pengawetan makanan di Sumatra Selatan:


1. Dengan cara mengasapinya. 

Umumnya, ikan-ikan yang diperoleh ketika musim hujan, adalah ikan-ikan yang ukurannya cukup besar. Ikan-ikan ini lalu dibuang isi perutnya, dibersihkan, lalu ditusuk dengan bilah kayu mulai dari bagian kepala hingga ekor, dan mulai diasapi di atas kayu bakar.

2. Dengan cara mengasinkannya

Ini juga umumnya diperlakukan untuk ikan yang diperoleh di sungai. Ikan-ikan tersebut setelah dibersihkan dan dibuang isi perutnya, lalu digarami dan mulai dijemur di bawah matahari. Ikan-ikan ini bukan ikan laut, tapi ikan sungai. Ciri khas dari ikan asin di daerah Sumatra Selatan, ikan asinnya tidak terlalu asin. Bisa jadi karena laut letaknya jauh sehingga tidak bisa jor-joran menggunakan garam. Tapi aku suka dengan ikan asin dari Sumatra Selatan. Ketika pertama kali berumah tangga dan harus belanja sendiri, aku pernah rindu makan ikan asin. Karena aku tinggal di Jakarta, maka aku pun membeli ikan asin yang dijual di pasar. Lalu kaget sendiri. Ikan asin yang dijual di pasar di pulau Jawa, terasa sangat asin. Beberapa kali aku cuci ikannya, rasa asinnya tetap dominan. Itu sebabnya, aku amat sangat jarang membeli ikan asin di pasar-pasar yang ada di Pulau Jawa. Jika ingin makan ikan asin, aku lebih senang memesan langsung ke saudara yang ada di Palembang.

3. Dengan cara mengeringkannya.

Yaitu setelah dibersihkan, lalu dijemur hingga kering. Hal ini karena memang ada banyak jenis pangan yang hanya muncul di musim tertentu saja. Seperti jamur grigit atau dikenal dengan sebutan tenawan. Jamur ini hanya muncul di musim hujan saja. Itu pun hanya di awal musim hujan, yaitu ketika kayu basah tapi belum terlalu basah. Ketika hujan semakin banyak curahnya, jamur ini malah tidak bisa hidup lagi.

4. Dengan cara mem-fermentasikannya


Ini juga kerap ditemui di olahan makanan dari Sumatra Selatan. Yaitu memfermentasi bahan makanan agar bisa awet. Salah satunya, tempoyak. Ada yang pernah merasakan Gulai Tempoyakkah?

gulai tempoyak yang berbahan dasar durian yang difermentasi

(btw, aku pernah menulis tentang aneka ragam hidangan yang muncul di hari raya di blogku ini. Sebagian gambar yang aku tampilkan di tulisanku ini berasal dari tulisan tersebut:
30 Jenis Makanan Yang Sering Ditemui Di Hari Raya Iedul Fitri versi Ade Anita )
Ah. Tempoyak itu ya, sebenarnya merupakan pangan dari hutan loh. Yaitu berasal dari pohon durian yang menghasilkan buah durian tentu saja.

Apakah kalian pernah mendengar pepatah yang mengatakan bagai mendapat durian runtuh?  Hmm. Di hutan di belakang rumah neknangku dulu, pohon durian asli yang tumbuh di dalam hutan memiliki batang yang tinggi-tinggi sekali. Hanya mereka yang mahir memanjat pohon sajalah yang bisa mengambil buah durian yang mulai ranum. Perlahan buah durian itu diikat dengan tali, lalu diturunkan satu satu seperti halnya sedang menurunkan ember kosong ke dalam sumur. Hati-hati agar air sumur tidak menjadi keruh. Buah durian pun diturunkan perlahan agar tidak rusak terbanting. Dari sini, barulah kemudian buah durian dijual.

Nah, jika ada buah durian yang turun sendiri karena sudah matang pohon, tanpa harus mengikat dengan tali, tentu saja itu sebuah keberuntungan tersendiri. Buah durian yang manis agak asam khas buah durian dari Palembang, dagingnya bisa dimakan begitu saja. Dan jika pun dagingnya sudah terlalu matang hingga terlalu lembek untuk dipegang dengan jari tangan, maka, daging buah durian ini akan disisihkan untuk dijadikan tempoyak.

Di Kota Palembang, tempoyak dijual di pasar dalam hitungan kilo. Untuk menghasilkan gulai tempoyak, gampang sekali caranya dan ini termasuk gulai kesukaanku sebenarnya.

Resep Gulai Tempoyak

credit foto: wikipedia

Bahan yang diperlukan:

- 5 butir Bawang merah, 5 butir bawang putih, 2 ruas jari lengkuas, 1 ruas jari jahe, 4 lembar daun salam, cabe rawit atau cabe keriting (banyaknya tergantung selera). Batang serai yang bagian putihnya.
- Ikan (lebih enak jika menggunakan ikan patin)
- Tempoyak (2 sendok makan saja)
- garam, gula
- Nanas (ini tidak harus, tergantung selera).

Cara membuatnya:

1. Tumbuk kasar bawang merah, bawang putih, lengkuas, jahe. Sisihkan.
2. Iris serong besar-besar cabe keriting. Cabe rawit biarkan saja tetap utuh. Sisihkan.
3. Bersihkan ikan, rendam dalam air asam garam agar tidak amis selama 10 menit.
4. Dalam panci, masukkan tumbukan kasar bawang merah, bawang, lengkuas, jahe, irisan cabe keriting dan cabe rawit utuh. Dasar pancinya tidak perlu diberi minyak. Jadi, kita akan memanggang bumbu kasar ini terlebih dahulu hingga warnanya sedikit berubah dan bau wangi panggangan tercium harum. Biarkan hingga tercium bau bumbu yang dipanggang. Baru kemudian masukkan minyak sedikit dan bumbu ditumis selama 5 menit. Lalu, air sebanyak 1 liter.
5. Setelah air mulai bergolak, masukkan ikan yang telah ditiriskan dari air asam garam. Biarkan hingga air mendidih.
6. Setelah air mendidih, masukkan tempoyak. Aduk agar rata dan kuah berubah jadi berwarna kuning cerah. Setelah itu, baru tambahkan garam dan gula. Cicipi agar terasa enak. Jangan lupa masukkan daun salam yang sudah disobek, serta bagian putih batang serai yang sudah digeprek.
7. Terakhir, tambahkn nanas jika suka. Nanas Palembang itu ciri khasnya punya rasa asam dan manis. Penambahan nanas bisa memberi rasa segar pada gulai tempoyak.
8. Setelah matang, hidangkan.

Tuh. Mudah banget kan ya?

Resep lain dari Tempoyak selain dibuat gulai, bisa juga dibuat sambal tempoyak. Jika mau lebih mantap, dalam sambal tempoyak ini tambahkan udang. Yummy.



Oh ya, Gulai malbi juga termasuk jenis makanan yang tahan lama jika disimpan dengan baik. Dia mirip seperti rendang di Padang yang bisa disimpan cukup lama.

Sebenarnya, ada dua  lagi jenis makanan dari hutan yang aku suka; yaitu ketupat sayur daun pakis dan gulai jamur grigit. Masalahnya, aku kurang jago mengolahnya jadi nggak terlalu pede untuk berbagi resep disini. Hehehe. *peace.
Berbagi gambar saja ya, biar kalian tahu seperti apa 2 makanan yang berasal dari tanaman yang hidup di hutan ini.

ini dia nih, ketupat sayur daun pakis. Sebenarnya ini sama dengan gulai biasa, hanya saja dimasukkan daun pakis dan itu memberi cita rasa yang unik atas gulai tersebut

dikudap bersama dengan potongan ketupat
ini kiriman jamur grigit  alias tenawan tunu dari saudaraku dari Palembang. 
Jamur grigit ini, di Sumatra Selatan sana disebut dengan nama Tenawan Tunu. Tenawan itu artinya cendawan, atau disebut juga jamur ya. Tunu karena jamur ini diolah dengan cara setelah disemai, lalu dikeringkan di bawah matahari dengan cara dijemur hingga kering. Setelah kering, bisa disimpan agar bisa dipakai nanti jika diperlukan tanpa khawatir basi karena memang sudah diawetkan.

ini dia bentuk asli jamur grigit atau tenawan sebelum dipetik lalu dikeringkan (credit foto: google)

jamur grigit hanya muncul di musim hujan saja, yaitu ketika kayu lebih basah karena hujan. Karena hanya muncul di musim hujan sajalah maka masyarakat mengawetkannya agar bisa dimakan di musim lainnya (credit foto: google)

Sesungguhnya, ada banyak sekali ragam pangan dari hutan. Mungkin, aku bisa sedikit menguraikannya berdasarkan pengetahuan yang aku peroleh dari pengalaman masa kecilku.

Ragam pangan dari hutan:

1. Hewani : kijang (rusa), kelinci, burung, ayam, kambing, kerbau.
Jika kijang (rusa) dan kelinci adalah hewan liar yang memang hidup di tengah hutan. Maka, ayam, kambing, dan kerbau sedikit berbeda. Mereka sebenarnya adalah hewan ternak, hanya saja oleh pemiliknya dilepas agar mencari makan sendiri di tepi hutan. Menjelang petang, mereka kembali digiring untuk masuk ke dalam kandang kembali.

Jaman sekarang, beberapa ekor kambing dan ayam mulai dimasukkan ke dalam kandang mengingat jumlah penduduk yang makin bertambah sehingga mencegah klaim kepemilikan. Yang unik adalah, selain ayam, kambing dan kerbau di dusunku bisa berenang. Hal ini terjadi karena di musim hujan, air sungai Musi sering meluap hingga masuk ke tengah dusun. Itu sebabnya rumah penduduk kebanyakan adalah rumah panggung. Luapan sungai musi, membuat ada genangan banjir di bawah rumah panggung. Dan kemampuan berenang pun dimiliki oleh kambing dan kerbau karena seleksi alam tersebut.

2. Nabati: durian, nanas, pakis, pepaya, pisang, mangga, bacang, kelapa, umbi-umbian, kopi, jamur, dan sebagainya.

Terlepas dari perkebunan yang diupayakan oleh manusia, sesungguhnya, hutan lebih banyak memberikan sumber pangan bagi manusia. Ekosistem hutan memiliki mekanisme sistem tersendiri.

Ekosistem Hutan yang menghasilkan Pangan bagi manusia


Ketika aku kecil dahulu, dusun tempat orang tuaku berasal dulu, sempat mengalami sebuah goncangan perubahan budaya. Waktu itu, pemerintah sedang giat lahan transmigrasi seluas-luasnya bagi masyarakat. Dan arus gelombang transmigrasi pun terjadi di mana-mana. Bukan hanya transmigrasi yang ditawarkan pada masyarakat yang tinggal di Pulau Jawa jika ingin berusaha ke Pulau Sumatra saja, tapi Transmigrasi yang juga ditawarkan pada masyarakat lokal di sekitar wilayah yang dibuka. Penduduk lokal, umumnya kaum muda, menyambut baik kesempatan untuk ikut dalam program transmigrasi ini. Mereka meninggalkan dusun dan memilih untuk menetap di wilayah transmigrasi, berbaur dengan para transmigrasi pendatang.

Tawaran untuk menjadi transmigrasi memang lumayan menggiurkan. Karena, mereka diberi rumah serta sejumlah ruas wilayah untuk diolah menjadi sawah atau kebun. Di tahun-tahun awal, yaitu sebelum hasil kebun menghasilkan sesuatu, mereka diberi uang saku plus bibir dan pupuk tanaman gratis oleh pemerintah saat itu.

Meski penawaran ini terlihat menggiurkan, tapi sesungguhnya ketika dijalani tidak mudah. Perlu mental baja untuk mengolah tanah gambut yang amat tergantung pada datangnya curah hujan seperti di wilayah Sumatra Selatan sana. Banyak kaum transmigrasi pendatang dari Pulau Jawa yang menyerah lalu menjual lahan dan rumah yang mereka dapat dari pemerintah pada transmigrasi penduduk lokal. Setelah menjualnya, mereka lalu pindah ke kota dan entah bagaimana kehidupan seterusnya. Penduduk lokal, menerapkan pola bercocok tanam yang telah mereka pelajari dari nenek moyang sebelumnya. Yaitu mengosongkan lahan dengan cara membakarnya, setelah lahan selesai dibakar, barulah kemudian lahan diairi, tanah dibalik, lalu ditanami. Penyuluhan pertanian diberikan oleh pemerintah dan setelah diikuti banyak transmigrasi yang berhasil. Lalu, keberhasilan ini membuat semakin banyak orang-orang dusun yang berpindah ke daerah transmigrasi dan mengadu nasib di wilayah transmigrasi. Dusun orang tuaku pun sepi. Isinya hanya orang-orang tua saja.

Dan tahun-tahun berlalu, pemerintahan pun menerapkan kebijakan yang beragam. Kebijakan beragam, kebijakan berubah, dan hal ini berpengaruh terhadap berubahnya cara masyarakat mengolah hasil perkebunan mereka. Kita akhirnya bertemu dengan era dimana lahan-lahan hutan dibuka untuk perkebunan karet dan kelapa sawit. Keberhasilan dari perkebunan karet dan kelapa sawit, telah membuat sebagian masyarakat merasa diuntungkan. Pundi-pundi uang bertambah. Dan akhirnya, pola pertanian konvensional ditinggal orang. Sekarang, orang-orang ingin ikut dalam bisnis perkebunan kelapa sawit dan karet.

Ada 2 cara untuk ikut dalam bisnis perkebunan kelapa sawit dan karet. 

1. Ikut membeli lahan yang diperuntukkan bagi perkebunan kelapa sawit dan karet.
2. Ikut menjadi petani pengelola perkebunan kelapa sawit dan karet, dimana lahan yang dikelola dimiliki oleh perusahaan pemilik hak atas perkebunan kepala sawit dan karet tersebut.

Cara pertama dan cara kedua sama-sama menghasilkan uang hanya saja prosentase pembagian keuntunganya berjenjang. Cara pertama jelas lebih banyak prosentase pembagian keuntungannya.

Satu masa, perkebunan kelapa sawit dan perkebunan karet mencapai masa emas. Saat itu, mulai muncul fenomena orang kaya baru dimana-mana. Penghasilan saudaraku yang ikut di bisnis perkebunan kelapa sawit dan karet, pernah mendapat bruto 150 juta rupiah setiap bulannya. Jangan heran jika hanya menjadi petani saja, tapi mereka bisa melakukan perjalanan shopping satu hari di luar negeri. Sarapan di Singapura, makan siang di Kuala Lumpur, petang pulang ke rumah lagi.

Tapi, semakin lama, bisnis ini mulai menemukan kesulitan. Khususnya saat-saat ini. Saudara-saudaraku yang memang berkecimpung di bisnis perkebunan karet dan kelapa sawit, bercerita bahwa harga karet dan kelapa sawit sekarang mulai terjun bebas. Era penghasilan 150 juta rupiah per bulan sudah berakhir. Sekarang penghasilan hanya berkisar kurang dari 50 juta rupiah per bulan, kadang lebih rendah lagi; hanya jutaan saja.

Jujur saja, sejak awal, ketika saudara-saudaraku gencar mengajak aku dan saudara-saudaraku untuk ikut ambil bagian dalam bisnis perkebunan kelapa sawit dan karet, suamiku melarangku untuk ikut serta. Alasannya, karena menurut pendapat suamiku, bisnis perkebunan kelapa sawit dan karet, adalah bisnis sesaat saja. Belum bisa diprediksi akan bertahan lama. Memang awalnya manis, tapi kelanjutannya belum jelas. Pertama, karena kepemilikan lahan atas perkebunan tersebut memang tidak jelas. Hak kepemilikan lahan tidak pernah diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat. Meski kita terlihat membeli lahan kavling perkebunan, tapi haknya hanya sebatas hak pengelola atas lahan saja. Bukan hak kepemilikan atas lahan. Jadi, statusnya masih tahan negara.  Kedua, pembagian prosentase keuntungannya pun, meski terlihat adil, sebenarnya rawan terhadap penelantaran di kemudian hari. Karena, prosentase keuntungan terbesar tetap berada di tangan korporasi pemilik lahan perkebunan kelapa sawit dan karet. Mereka bisa sewaktu-waktu memutuskan hubungan dengan masyarakat petani pengelola.

Lebih dari itu, kami (aku, suami dan anak-anakku) berdiskusi, dan kami sepakat bahwa sudah saatnya bagi kami untuk mulai peduli pada kondisi hutan di Indonesia. Menurut kami, kita sudah terlalu serakah dalam merambah hutan dan mengubahnya menjadi perkebunan kelapa sawit dan karet. Hutan menjadi hilang. Dan otomatis, warisan pangan dari hutan pun ikut hilang.

Sesungguhnya, hutan memberi kepada kita pangan yang mencukupi karena sistem ekosistem yang dibangun oleh hutan itu sendiri. Dan hal ini tidak bisa disediakan oleh perkebunan karet dan kelapa sawit, meski mereka sekilas terlihat sama-sama terdapat pepohonan yang tumbuh di atas tanahnya.

ekosistem hutan yang berlapis-lapis dan menghasilkan pangan bagi manusia


Di bawah naungan pepohonan kepala sawit atau karet, tidak terdapat ekosistem seperti yang terdapat dalam lapisan hutan alami. Dan otomatis, di bawah naungan pepohonan perkebunan kelapa sawit dan perkebunan karet, tidak ada warisan pangan dari hutan. Untuk jelasnya, mungkin video di bawah ini bisa memberi gambaran bagaimana hutan memberi manfaat yang amat besar bagi manusia.



Itu sebabnya, sudah saatnya bagi kita semua untuk peduli dan mengupayakan untuk mengembalikan fungsi hutan kembali seperti sedia kala. Hutan Indonesia itu adalah pinjaman dari generasi masa depan loh. Pada saatnya kelak, pinjaman itu harus dikembalikan. Karena, biar bagaimanapun juga, generasi masa depan tetap ingin menikmati hutan tropis yang menjadi paru-paru dunia, yang terdapat di Indonesia. Dalam hal ini, aku setuju dengan sepak terjang Walhi yang tetap peduli akan hutan Indonesia. Bumi sudah mulai protes akibat keserakahan manusia. Perubahan iklim terus terjadi. Pemanasan global terjadi dimana-mana. Belum lagi kondisi semakin langkanya air bersih, dan semakin berkurangnya kadar udara bersih dimana-mana. Harus ada yang bersuara untuk menyadarkan orang lain agar mau mendengar rintihan alam. Sebelum alam protes dan marah. Jika alam sudah marah, manusia juga yang rugi. Dan kelak, siap-siap dimaki oleh generasi masa depan yang menerima warisan hutan tidak lagi utuh dari nenek moyangnya. Itu: kita.

35 komentar

  1. Walopun kita beda dusun tp kulinernya sm semua ya mba, nama2nya pun sama �� karena emg masih satu daerah yah, Sumatera Selatan ��

    BalasHapus
  2. Pengen coba gulai tempoyak, pastinya enak ya mbak.

    BalasHapus
  3. Masya Alloh...tulisannya panjang dan menghanyutkan.

    Jadi dulu seperti itu ya cara mengkonsumsi makanan. Berdasar musim.

    Saya ingat pernah baca di satu majalah terbitan kedubes jepang. Orang jepang terbiasa makan sesuai musim.

    Yang tumbuh di musim itu, ya itu yang dimakan sehingga selaras dengan alam.

    Mereka juga mengawetkan bahan pangan musiman dengan bermacam cara.

    BalasHapus
  4. Masya Allah... Kayanya ya hutan Sumatera Selatan. Sekarang kalo mau nyicip ketupat sayur daun pakis dan gulai jamur grid gimana caranya, Mbak?

    BalasHapus
    Balasan
    1. minta kirimin bahan dasarnya dari dusun... hehehe.. nggak ada pilihan lagi. di Jakarta susah nyarinya

      Hapus
    2. Hoo begitu ya. Masih suka masak ketupat sayur daun pakis dan gulai jamur grid ya di kampus, Mbak? Kalo Malbi, masih banyak yang masak? Eh sudah susah ya kayaknya.

      Hapus
  5. Makanan khas palembang mirip jambi ya, kampung ayahku. Pempek kuah cuko, juga gulai tempoyak. Tapi aku nggak familier dengan tempoyak. Lebih suka makan duren langsung

    BalasHapus
  6. Wah mba. Lihat gambar-gambar di atas dari hasil hutan bikin aku laper ikh. Apalagi malbi. Aku baru denger namanya. Jadi penasaran ama rasanya

    BalasHapus
  7. gulai tempoyaknya mantul banget, tapi aku belum pernah coba. Dulu pas kuliah ada temenku yang suka bawa tempoyak, dia asal Jambi. btw Madu itu emang beda ya, yang madu hutan asli mahal harganya, tapi rasanya enak bgt

    BalasHapus
  8. Nano nano bacanya, antara pingin nangis baca deforestasi
    Dan olahan pangan yang menggiurkan

    BalasHapus
  9. Kak,saya dr Lampung, rusip, tempoyak, jamur grigit, ahhh sering banget makannya tp dulu huhu

    BalasHapus
  10. Tempoyak favorit suamiku. Tapi aku ngga bs masaknya huhuuue.. :,(

    Hasil hutannya kaya banget mb. Sejak kecil tinggal di Jawa yg notabene lebih minim hutan, saya takjub bacanya. Di daerah saya, hutan biasanya dikelola untuk kayunya. Misal sengon, jati. Hasil hutan yg bisa diolah sebagai sumber pangan kebanyakan buah-buahan saja.

    BalasHapus
  11. Ternyata tempoyak bisa dijadikan variasi bermacam jenis makanan ya mba, soalnya satu-satunya yang pernah aku coba mengenai tempoyak adalah sambalnya..

    BalasHapus
  12. Aku belum pernah makan tempoyak bun, semua yang dihasilkan dari hutan menggiurkan
    tugas kita banget untu melindungi dan menjaga semoga kesadaran masyarakat kita lekas dibukakan pintu hatinya.

    BalasHapus
  13. Wow banyak banget ragamnya ya..dulu aku suka banget daging rusa hehe krn memang dibhutan banyak

    BalasHapus
  14. Panjang nian tulisan Mbak Ade ini. Selesai baca, langsung laparlah perut. Sayang malbinya nggak bisa didonlod dari gadget dan langsung dimakan ya😀

    BalasHapus
  15. Baca ini jadi ingat jaman kecil dulu,keluyuran keluar masuk hutan. Walau tak selebat hutan di Sumatra.

    Karena punya suami orang bengkulu, saya akhirnya kenal dengan sambal tempoyak.

    BalasHapus
  16. Senangnya bisa membaca banyak pengalaman berada di daerah lain. Meskipun saya belum pernah ke sumsel, tapi ud sedikit taulah ya..makanan seperti gulai tempoyak hehe

    BalasHapus
  17. Nah, klo tadi baca dengan holat, sekarang ada malbi. Belum pernah coba akyu. Duh, main ku kurang jauh ternyata

    BalasHapus
  18. Masya allah Indonesia ini kaya sekali, banyak makanan yang belum saya cicip nih huhuhu. Jadi ingin cobain dan ingin juga main ke daerah hutan gini .

    BalasHapus
  19. Mba ade, saya jadi rindu Palembang saat membaca artikel ini. Saya benar2 suka kuliner Palembang, terutama pindang ikan, tempoyak dan pempek tentunya. Saya penasaran banget pengen coba Malbi. Enak banget kayaknya ��

    Oya hasil hutannya banyak yg belum saya tau bisa diolah jadi makanan, salah satunya jamur grigit itu. Penasaran pgn coba

    BalasHapus
  20. Hasil hutannya sangat banyak ya, mbak. Aku baru tau loh kalau terong Belanda bisa dijadikan infus water. Itu bagaimana rasanya, mbak?

    BalasHapus
  21. Saya baru tau kuliner bernama malbi. Googling ah biar dipratekin di rumah. Kalau daging rusa, saya juga penasaran sama rasanya. Pernah datang ke salah satu retso yang menjual daging ini, tapi kehabisan menu daging rusa

    BalasHapus
  22. Terus terang baru tahu jenis makananan ini, gulai tempoyak. Dari fotonya kelihatan maknyus, weiss langsung ngiler ini hahaha...

    BalasHapus
  23. KUliner Indonesia sangat beragam yaa...
    Dan semuanya aku belum prnah kecuali Pakis. Memang sudah jarang juga bahan pangan dari hutan yang bisa rutin di konsumsi.
    Hiiks~

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aku terinspirasindengan infused water dengan madunya, mbak. InsyaAllah mau nyoba juga. Terima kasih ya.

      Hapus
  24. Banyak banget ya sumber bahan pangan yang kita dapatkan dari hutan. Dari mulai sumber karbohdrat, sumber protein, sumber vitamin, sumber mineral, hingga sumber lemak ada. Jadinya sangat disayangkan jika hutan semakin tergusur. :(

    BalasHapus
  25. Kaya sekali hutan kitw ini ya aku penasaran banget sama Pakie nih ga nyangka bs dimakan hehe

    BalasHapus
  26. Alhamdulillah ya, Mbak, negara kita banyak hutan-nya. Sehingga banyak juga sumber pangan dari sana. Tidak hanya tumbuhan, hewan hutan pun bisa jadi sumber pangan

    BalasHapus
  27. Kekentalan gulai tempoyaknya bikin ngiler
    diadu sama nasi hangat enak banget ini ya bun
    Barokallah Indonesia punya kekayaan hutan yang melimpah, tugas kita wajib menjaganya agar tak punah

    BalasHapus
  28. Wah tulisannya bagus banget mba, jadi kebayang deh, gimana ya rasanya makan daging rusa dan cara mengawetkan makanan di Sumatera Selatan itu banyak banget yaa caranya jadi penasaran pengen liat sendiri cara mengasapi, dan lainnya. Makasih sharingnya mba.

    BalasHapus
  29. Aku percaya, di hutan Sumatera ada banyak sumber daya alam yang bisa diolah menjadi bahan pangan. Buktinya nenek moyang kita bisa bertahan dengan hidup di kampung-kampung nun jauh di tengah belantara. Ada banyak sumber pangan yang sebenarnya bisa diolah lebih dalam lagi dari hutan Sumsel.

    BalasHapus
  30. Masya Allah tulisan Mbk Ade bikin kangen masakan Ibuku, ya tempoyak, ya jamur huhu... Jadi nostalgia baca tulisan Mbk Ade. Pantas menang!

    BalasHapus
  31. Hutan Sumatera memang masih kaya akan keanekaragamannya. Pemaparan mbak ade udah lengkap banget. :) aku sukaaa

    BalasHapus
  32. Dusun kita tetanggaan, Mba Ade. Orangtua saya berasal dari dusun Ulak Paceh. Kalau mau ke dusun saya harus melewati dusun Bumi Ayu. Dulu waktu masih kecil saya sering ikut orangtua mudik. Kenangan masa kecil sering diajak Uwak ke kebunnya. Utk menuju kebun kita harus melalui hutan2 kecil. Seru banget deh pokoknya. Anak2 sekarang mungkin gak pernah lagi diajak keluar masuk hutan karena hutan sudah mulai tergerus. Kebun Uwak dahulu sudah dijual dan sudah menjadi pemukiman baru lagi.

    BalasHapus