Isbandiono Subadi

[Catatan akhir tahun] Melepas tahun 2017, rasanya tidak lengkap jika aku tidak menulis tentang cerita tentang kakak iparku yang satu ini, Isbandiono Subadi. Kakak ipar yang baik hati, dan kakak ipar pertama yang aku kenal sejak aku mengenal suamiku.

Mas Isbandiono Subadi

Suatu hari, beberapa saat sebelum aku diajak menikah oleh suamiku.

"De, kita antar ini yuk ke tempat kakakku di kantornya." Kata suamiku yang saat itu belum jadi suami.
"Sekalian aku mau memperkenalkan kamu sama kakak aku."

Jadilah aku pulang kuliah bersama suami ke kantor kakaknya ini. Tiba di sana, aku menunggu. Tidak berapa lama, sekretaris kakaknya ini mempersilahkan aku dan suami untuk menemui kakaknya suamiku ini di ruang tamu kantornya. Inilah kali pertama aku bertemu dengan salah satu anggota keluarga calon suamiku.

Kesan pertama? Wajahnya mirip sekali dengan suamiku. hehehe. Tapi perbedaan usia mereka cukup jauh ternyata.

Sejak awal mengenal calon suamiku ini, sebenarnya aku sempat ciut ketika mendengar dia  10 orang saudara. Dalam hati aku bergumam:

"Wah... bakalan punya 9 orang ipar dong?"

Jujur saja, aku dibesarkan di lingkungan keluarga besar di Sumatra. Nenekku punya anak banyak dan aku melihat ibuku cukup kerepotan menghadapi saudara-saudara ayahku yang menjadi ipar ibu. Hingga terbetik di hatiku jika menikah nanti, kalau bisa tidak mau bersuamikan seseorang yang punya banyak saudara.

Tapi, itu kan harapan remaja ingusan. Kenyataannya, ketika cinta datang semua harapan bisa terbang terlupakan. Aku jatuh cinta pada calon suamiku dan mengabaikan fakta bahwa dia memiliki saudara. Dia berasal dari keluarga besar. 10 orang bersaudara itu kan tidak kecil ya?

Tapi ternyata kakak yang dia perkenalkan padaku pertama kali ini orangnya baik sekali. Calon kakak iparku kala itu ini, memiliki posisi yang lumayan tinggi secara struktural di kantor tempatnya bekerja, tapi orangnya humble sekali. Sama sekali tidak menunjukkan sifat sombong karena punya posisi yang lebih tinggi. Dia juga sopan dan ramah. Murah senyum. Aku menjadi nyaman.

"Okeh. Jika kakaknya seperti ini, aku tidak ragu deh untuk terus bersama calon suamiku ini. Bisa jadi, kakaknya yang lain pun sebaik dia."

Jadi, aku pun menepis keraguan yang semula tumbuh karena pengalaman masa kecil seorang remaja ingusan.

Setelah aku resmi dilamar, lalu menikah ternyata benar. Kakaknya suamiku ini, Mas Isbandiono (kemudian aku memanggilnya Mas Baban karena ternyata di keluarga suamiku, semua anak-anaknya memiliki nama depan yang serupa semua, yaitu Isbandi) adalah kakak yang paling baik dan paling dekat dengan suamiku.

"Buatku, Mas Baban itu bukan hanya sekedar kakak. Tapi dia juga seperti ayah. Mungkin karena bapak meninggal ketika aku baru mulai kuliah ya. Jadi, Mas Baban menggantikan posisi ayah di keluargaku selain sebagai kakak terbesar saat itu."

Jika suamiku sedang menceritakan tentang kakaknya yang satu ini, mata suamiku terlihat melembut secara otomatis. Aku menangkap fenonema ini sebagai cerminan rasa sayang dia terhadap kakaknya tersebut.

Ketika kami akan pindah rumah sehubungan dengan rencana suamiku yang akan meneruskan pendidikannya di Australia, aku membereskan barang-barang kami di rumah Bojong Gede, Bogor (ini rumah pertamaku setelah kami menikah). Kala itu, aku mendapati bahwa ternyata suamiku masih menyimpan kartu pos yang dikirim oleh kakaknya dari Amerika untuk suamiku. Isinya adalah memberikan kabar sekaligus semangat pada suamiku yang saat itu masih menyelesaikan studi sarjana strata satunya di FISIP UI.

Ketika berangkat ke Sydney, aku menetap di Jakarta dan melakukan LDR dengan suamiku karena sedang bersiap untuk melahirkan. Setelah lahir, kembali kakak iparku ini menawarkan bantuan untuk mengambil posisi suamiku di acara syukuran kelahiran anakku yang digabung dengan syukuran kelahiran anak kakakku. Kakak iparku ini menggendong Ibam kecil untuk memutari orang-orang yang bergantian akan mencukur rambut Ibam kecil.

Kakak iparku ini juga yang membantuku mengurus pembelian tiket ketika tiba saatnya bagiku untuk berangkat menyusul suamiku ke Sydney, Australia.

Lalu, ketika kami ingin kembali ke Indonesia karena suamiku telah selesai pendidikannya, kakak iparku ini pula yang membantuku membuat surprise untuk ibu. Diam-diam, kakak menjemput kami di bandara lalu meluncur pulang ke rumah. Ibu terkejut campur bahagia hingga menangis ketika melihat kami pulang ke rumah tanpa memberitahu dia sebelumnya.

Dan puncak bantuan yang kakak iparku berikan ini, yang tak terlupakan, adalah ketika anak ketigaku lahir.
Jadi ceritanya, ketika memasuki usia kandungan 29 minggu, aku berencana untuk melakukan USG ke rumah sakit. Sejak sore sudah antri hingga akhirnya masuk ke ruang dokter untuk melakukan USG. Tapi, ternyata dari hasil USG, dokter mendapati sebuah kondisi darurat. Bayi dalam kandunganku berada dalam posisi terlilit tali pusar sehingga detak jantungnya mulai melemah karena si bayi dalam kandungan gagal melepaskan diri dari lilitan tali pusarnya sendiri.

Karena kondisi darurat tersebut maka dokter menyarankan agar sesegera mungkin dilakukan operasi Caesar untuk mengeluarkan bayi. Paling lambat besok pagi operasi harus dilakukan. Akhirnya, malam itu juga aku masuk ruang opname agar besok pagi bisa bersiap untuk dioperasi.

Tapi, karena mendadak maka aku dan suamiku belum siap dari segi keuangan. Kebetulan, uang tabungan kami baru saja terpakai untuk keperluan lain. Ditambah lagi, kondisi bayi yang kurang bulan dan kurang juga berat badannya, membuat bayi mungilku harus dipindahkan ke rumah sakit yang memiliki fasilitas perinantologi. Dan karena bayiku juga mengalami kondisi sepsis karena terminum air ketuban selama dia mencoba meloloskan diri dari lilitan tali pusar di dalam perut, membuat seluruh tubuh bayiku berwarna pucat kebiruan.

Pendek kata harus segera mungkin dipindahkan ke rumah sakit lain yang lebih besar dan dipindahkannya juga harus dengan mobil ambulance khusus yang memiliki selang untuk anak bayi dan tabung oksigen.

Semalaman setelah aku menjalani operasi dan bayi baru lahir di inkubator, suamiku terus berpikir keras bagaimana mengatasi masalah keuangan yang tiba-tiba datang pada kami.

Ini beberapa tagihan yang harus diselesaikan karena masalah bertubi yang muncul:
1. Membayar tagihan rumah sakit untuk operasi caesar.
2. Membayar ambulance.
3. Membayar tagihan penanganan khusus untuk bayi baru lahir yang bermasalah.
4. Membayar DP untuk bisa mendapatkan ruang perawatan Perinantologi. Kala itu, tahun 2006 awal, belum banyak rumah sakit yang memiliki fasilitas perinantologi di lantai perawatan ibu dan anaknya. Hanya beberapa rumah sakit saja. Karenanya, antrian untuk bisa mendapatkan ruang perawatan ini sedikit berebutan. Akhirnya, pihak rumah sakit menerapkan peraturan harus membayar Down Payment terlebih dahulu karena fasilitas yang digunakan di ruang perawatan perinantologi memang umumnya berbiaya tinggi semua.

Akhirnya, setelah berpikir keras, suamiku pun menghubungi kakaknya, Mas Baban, untuk meminjam uang. Alhamdulillah masalah keuangan kami bisa terselesaikan dan bayiku bisa segera mendapatkan perawatan. Putriku ini dirawat selama 27 hari di ruang perawatan perinantologi dan total biayanya puluhan juta rupiah. Baiknya kakakku ini, kami bisa mencicil pinjamannya tanpa tambahan bunga atau lain-lain.

Buatku pribadi, ini bantuan yang tak terlupakan karena hal ini bisa menyelamatkan bayiku yang sudah berwarna pucat kebiruan kala itu. Alhamdulillah alhamdulillah.

Itu sebabnya, ketika di kemudian hari aku mendengar bahwa ternyata kakak iparku ini memang orangnya baik hati sehingga banyak menolong orang yang kesusahan, aku meminta suamiku agar jangan datang padanya untuk merepotkan kakak iparku lagi. Termasuk ketika gigiku sakit, aku berusaha keras untuk tidak datang pada istrinya yang menjadi dokter gigi.

"Aku tidak mau merepotkan keluarga Mas Baban, mas. Dia orangnya baik, tapi karena baik jadi banyak yang datang minta bantuan. Nah. Aku tidak mau kita jadi seperti memanfaatkan kebaikan dia. Cari tempat lain saja untuk berobat. Karena kalau datang ke tempat kakakmu pasti kita digratiskan deh pengobatannya."

Tapi gigiku makin sakit. Dokter gigi yang aku temui tidak lagi aku percaya karena tidak berhasil mengusir rasa sakitnya. Akhirnya, aku pun menghubungi kakak iparku ini untuk berobat dengan catatan minta diperlakukan seperti pasien dia yang lain saja.

Mas Baban dan istrinya, Mbak Uli, hanya tersenyum saja menanggapi permintaan recehku ini. Hehehe. Tapi aku suka dengan sikap mereka berdua karena mereka menghargai keputusanku.

Yang aku kagumi dari pasangan Mas Baban dan Mbak Uli adalah, mereka meski kaya raya tapi sama sekali tidak sombong dan menjaga jarak dengan orang lain yang bisa jadi memiliki status sosial lebih rendah dari mereka. Mereka pasangan yang humble dan sederhana. Dam juga sabar.

Tentang sabar ini, aku punya cerita tersendiri lagi.
Jadi, aku tuh pernah merasa kesal karena suamiku amat mengagumi pasangan Mbak Uli dan Mas Baban ini. Sehingga ketika masih punya anak 1 orang, suamiku tanpa sadar beberapa kali membandingkan aku yang kala itu masih muda dan tidak sabaran dengan kesabaran Mbak Uli ketika mengasuh anak.

"Pernah nih De. Ketika pulang ke Jakarta dari Solo, anak mereka Ami menangis saja sepanjang jalan menuju ke Jakarta di dalam mobil. Mungkin Ami kecapekan setelah beberapa hari di Solo lalu kembali ke Jakarta dengan mobil. Dengan sabar Mbak Uli membujuk Ami agar berhenti menangis hingga Ami diam dan tenang hingga tiba di Jakarta. Mbak Uli sabar banget."

Masalahnya, waktu itu aku masih muda sih jadi ceritanya sensi berat deh mendengar cerita suamiku ini. Aku merasa suamiku sedang menyindir aku. hahaha... jadi aku merenggut dan jadi membenci Mbak Uli malahan. Dalam hati aku berkata sendiri, "Ih, ngapain elu bandingin gue ama dia? Sebel. Gue ya gue, jangan dibandingin dengan orang lain dong."

Padahal mungkin saat itu suamiku sama sekali tidak sedang membandingkan aku dengan kakaknya. Tapi akunya saja yang baper berat.
Karena aku masih muda dan baperan kelas berat, jadi rasa benci yang tumbuh di dalam hati membuatku menjaga jarak dengan Mbak Uli. Pokoknya tidak mau dekat-dekat deh. wkwkwkw. 😜😁

Tapi, karena pasangan Mbak Uli dan Mas Baban ini memang karakternya sudah baik dan humble maka rasa benciku yang justru luntur dan lalu menghilang. Yang ada semakin aku mengenal mereka malah semakin tumbuh rasa sayangku pada mereka berdua. Setiap tahun, aku ikut nebeng mobil kakakku untuk berlebaran ke keluarga almarhumah ibu mertuaku di Bogor. Setiap tahun juga, aku ikut mobil kakakku ini untuk datang ke acara halal bihalal keluarga besar Mangunsewoyo.
Dan setiap kali ada acara arisan keluarga Soebadi, aku selalu satu mobil dengan keluarga Mbak Uli dan Mas Baban. Kami bertukar cerita, atau saling diam tapi tetap merasa dekat di dalam hati karena kebersamaan.

Dan akhirnya, tanpa terasa, seperti halnya yang dirasakan oleh suamiku, aku mulai menganggap bahwa kedua kakak iparku ini bukan sekedar kakak ipar tapi sudah seperti orang tua bagi suamiku.

Aku hormat pada mereka. Sekaligus juga sayang. Sama seperti aku menyayangi kedua orang tuaku.

Itu sebabnya, ketika kakak iparku ini, Isbandiono Subadi meninggal dunia, aku menangis karena merasa kehilangan. Sama seperti kehilangan kedua orang tuaku.





Jadi, berlalunya tahun 2017 ini, maka mulailah tahun dimana tidak ada lagi kakak iparku yang baik hati ini. Tapi kenangan tetap melekat dalam ingatan. Tentang kebaikannya, tentang rasa sayang yang tumbuh perlahan dan menancap kuat di dalam hati karena kebaikan dia yang tulus. Semoga Allah membalas semua kebaikan yang pernah kakak iparku berikan. Aamiin.

Selamat jalan Mas Baban.





2 komentar

  1. Innalillahi wa innailaihi roji'uun. Semoga almarhum husnul khotimah. Aamin

    BalasHapus
  2. Innalilahi wainnailaihi rojiuun..semoga beliau tenang di sisi-Nya ya mba. Memang kalau in-laws rivalry itu berasa ya, aku juga pernah ngalamin hehehe..tapi situasi aku terbalik dengan dirimu mba :)

    BalasHapus