Mempertanyakan Agama Dan Menjelaskannya pada Anak

[Parenting] Dulu, sebelum menikah aku selalu berpikir bahwa semua orang itu pasti memiliki agama. Agama itu kan bagian dari gaya hidup. Bahkan mungkin bagian terpenting dari hidup itu sendiri, the way of life, Sejahat-jahatnya seseorang, pasti deh dia punya agama. Hingga akhirnya aku menikah, dan ikut suamiku yang mendapat tugas belajar ke Sydney, Australia.

Di Sydney, untuk pertama kalinya aku mengetahui bahwa, tidak semua orang mengakui agama. Bahkan, tidak semua orang menganggap agama adalah sesuatu yang harus mereka miliki. Bahkan, lebih dasyat lagi, ada orang yang tidak mengakui keberadaan Tuhan. Disitulah aku menjadi tercenung dan banyak belajar lagi tentang menjadi orang tua di jaman modern seperti sekarang.


Karena tidak bisa berbahasa inggris, maka suamiku memasukkan aku ke sebuah lembaga yang diperuntukkan untuk seluruh migran. Lembaga milik pemerintah ini memberikan kursus-kursus yang bisa memudahkan para migran resmi di Australia untuk melakukan  berbagai adaptasi untuk bisa bertahan hidup di Australia. Salah satu kursus yang diajarkan adalah kursus belajar bahasa Inggris bagi para migran.

Di tempat kursus belajar bahasa Inggris ini, aku bertemu dengan berbagai macam migran. Ada orang Italia, Korea, Jepang, Iran, Irak, Serbia, Bosnia, Indonesia, China, India, Bangladesh, Pakistan, Perancis. Semua kami dikumpulkan menjadi satu di sebuah ruangan besar, dan selama belum bisa berbahasa Inggris, semua orang memulai percakapan dengan cara yang amat unik: bahasa isyarat tangan. Konyol memang, tapi herannya cara ini membuat kami bisa berkomunikasi.

Setelah beberapa lama belajar bersama, akhirnya aku semakin lancar berkomunikasi dengan mereka. Tidak cas-cis-cus berbicara berbahasa inggris sih. Tapi terbata menggunakan kalimat bahasa Inggrisnya, tapi semakin lancar membaca isyarat bahasa tangannya.

Salah satu temanku di tempat kursus, adalah seorang yang berasal dari China. China, sejak dahulu memang kita ketahui menganut paham komunis. Jadi, tidak heran jika banyak penduduknya yang akhirnya menjadi Atheis (tidak ber-Tuhan/mengakui adanya Tuhan). Aku dan orang Chinese ini sering berdiskusi tentang Tuhan jika guru belum hadir. Beberapa kali, aku berusaha untuk datang lebih dulu ke tempat kursus sekedar agar dapat memperoleh diskusi lebih banyak dengan teman Chineseku ini.

Sejak dulu, aku memang hobi ngobrol dan berdiskusi hehehe.

"Jadi, menurutmu kenapa kita harus beragama?" Teman Chineseku bertanya suatu hari padaku.
"Karena, dengan beragama kita jadi tahu mau apa kita sebenarnya di dunia ini."
"TEETT. Salah. Tanpa beragama pun sebenarnya kita bisa kok memiliki tujuan, mau apa di atas dunia ini. Cari jawaban lain."
"Karena dengan beragama kita jadi tahu alasan sesuatu hadir, dan sebab dari sebuah masalah. Lalu belajar ikhlas untuk menerimanya."
"TEETT. Salah lagi. Manusia itu makhluk yang cerdas loh. Cuma orang yang malas menggunakan otak mereka yang tidak dapat menemukan alasan sesuatu hadir. Atau sebab dari sebuah masalah. Dan pemalas yang bodoh adalah mereka yang tidak mau menerima kenyataan bahwa kemalangan yang mereka dapatkan itu akibat kebodohan mereka sendiri."


Di kesempatan lain, teman Chineseku ini berkata,
"Kamu tahu. Agama itu, sebenarnya upaya manipulasi dari manusia sendiri ketika dia merasa gagal untuk mengeksplorasi kemampuan yang sebenarnya dia miliki. Manusia itu makhluk yang selalu mencari kambing hitam ketika dia gagal. Dia menolak untuk mengakui bahwa dia malas berusaha lebih dalam, lebih giat. Lalu dia menyalahkan takdir Tuhan yang memang ada dalam agama. Menurutnya, karena takdir Tuhanlah maka dia menerima hanya sedikit. Atau gagal. Itu sebabnya aku menolak keberadaan agama. Dan bersama dengan istri, sepakat untuk tidak menganggap penting mengajarkan agama pada anak-anak kami nanti."

Aku merenung. Merenung berhari-hari setiap kali selesai berdiskusi dengan teman Chineseku ini.  Hingga suatu hari, anakku yang baru satu kala itu, jatuh sakit. Karena aku seorang ibu muda, tanpa pembantu (no maid), tanpa baby sitter, tanpa orang tua dan keluarga ( di Sydney, tidak ada keluarga satu pun yang bisa didatangi kala itu), tentu saja aku panik dan sedih. Berdua dengan suamiku, aku berusaha untuk membawa anakku yang sakit ke dokter. Sepanjang perjalanan dan selama pengobatan, dalam hati aku berdoa.

Bisa jadi, bagi orang lain berdoa itu sebuah perkara yang sepele. Hanya sebait harapan dan serentetan kalimat permohonan agar Allah berbelas kasihan pada kami, dan mau mengubah takdirnya. Tapi, ketika aku menggantungkan harapan tinggi-tinggi pada Tuhan itu, entah mengapa ada sebuah ketenangan yang hadir di dalam hati. Dan itu sungguh menyejukkan hati dan membuatku bisa berpikir waras "harus berbuat apa". Jadi, tidak panik nggak karuan.

Pekan depannya, ketika waktu kursus bahasa Inggris tiba dan anakku sudah sehat, aku ceritakan pengalaman spiritualku ini pada teman Chineseku itu.

"Jadi, agama buatmu hanya untuk menghadirkan sosok Tuhan agar kamu bisa menggantungkan harapan?"
"Sekalian memohon pertolongan. Karena aku tahu, bahwa kemampuan kita sebagai manusia itu ada batasnya. Sudah berusaha sejauh mungkin pun, tetap tidak bisa menembus batas."
"Kamu yakin sudah berusaha sejauh mungkin?"
"Waktu kemarin iya. Dan di ujung usaha terakhirku itu, aku meminta perpanjangan pertolongan Tuhan. Karena aku yakin, hanya Tuhan yang bisa menembus segala batas yang tidak bisa dilalui oleh manusia."

Aku kembali termenung.
Tapi aku tetap percaya bahwa doa itu spesial.
Dan keberadaan Tuhan semakin terasa ketika kita berdoa. Justru ketika menggantungkan harapan pada Tuhan.
Artinya, ada tempat terakhir kita menitipkan harapan. Bayangkan jika tidak ada sama sekali tempat menaruh harapan setelah segalanya ternyata berakhir gagal?
Dan tebak deh.
Setelah setahun, istri teman Chineseku ini hamil lalu melahirkan. Kandungannya besar sekali. Dia hamil kembar tapi... keduanya sungsang.

Dalam beberapa saat sebelum kelas dimulai beberapa puntung rokok dihabiskan oleh teman Chineseku ini untuk mengatasi rasa gugupnya.

"Ade, sepertinya aku akan mengikuti caramu."
"Cara apa?"
"Menggantungkan harapan dan janji terakhir pada Tuhan. Tapi aku belum mau menerima kebenaran agama."
"Kenapa?'
"Karena aku butuh sandaran terakhir untuk mengatasi rasa gugupku. Aku takut kehilangan istri dan anakku. Dan sepertinya, hanya Tuhan yang  bisa membantuku."
"Lah... terus. Lewat Tuhan di agama apa kamu akan meminta jika kamu tidak mengakui keberadaan?"
"Tuhan universal. Aku akan membuat janji, jika anak istriku selamat dan sehat sempurna, aku akan berhenti merokok. Ini negosiasiku dengan Tuhan universal."

(alhamdulillah istrinya bisa melahirkan bayi kembar yang sungsang itu dengan selamat, bahkan tanpa operasi caesar. Dan temanku inipun langsung berhenti merokok)

Film P.K Aamiir Khan


Beberapa bulan yang lalu, diskusi seruku jaman dahulu ini kembali teringat lagi gara-gara aku nonton film India berjudul P.K. Film yang dibintangi oleh Aamir Khan dan Anusha Sharma.




P.K ini adalah nama seorang lelaki yang sebenarnya bukan manusia. Dia alien yang ditugaskan ke bumi untuk melakukan penyelidikan atas kondisi bumi dan kehidupan di atasnya. Tapi sayangnya, pesawat yang dinaiki oleh P.K kehilangan remote control yang berfungsi untuk memanggil pesawat yang akan menjemputnya kembali ke planet asalnya. Jadilah P.K tidak bisa kembali ke planetnya lagi sebelum menemukan remote controlnya. Nah... inilah cerita bagaimana P.K melakukan penyesuaian untuk bisa berbaur dengan manusia.

Pada awal kemunculannya di India, P.K menghadapi gelombang protes yang cukup keras dari penduduk India. Mengapa? Karena di film ini, Aamir Khan melontarkan kritik yang berbau sarkasme terhadap kepercayaan agama Hindu yang dianut oleh mayoritas penduduk India.

P.K juga mengkritik banyak sekali adegan yang menyindir kehidupan masyarakat India secara keseluruhan. Aku sendiri, selama nonton film P.K ini, beberapa kali ketawa keras ngakak, tapi beberapa kali merasa.. JLEB.

Tapi secara garis besar keseluruhan, saranku sebagai blogger parenting adalah:
Kalau tidak siap dengan rasa kritis dari anak sendiri, jangan nonton film ini bersama dengan anak-anak kalian. Karena film ini tidak hanya melontarkan sarkasme pada agama Hindu, tapi sarkasme pada seluruh agama secara keseluruhan.

skrinsut diambil dari http://www.bbc.com/news/world-asia-india-30602809
Kalian tahu sendiri kan, satu buah adegan yang menyampaikan sesuatu yang "mencuat" akan menghadirkan rentetan pertanyaan di benak anak-anak. Dan jika anak dekat dengan orang tuanya, maka anak otomatis akan bertanya pada orang tuanya.

Jika orang tuanya bijak dan hangat, maka orang tuanya akan berusaha untuk menjawab dengan kalimat yang gamblang hingga tidak terjadi miss-understanding.

Permasalahan menjadi berbeda ketika orang tua kelelahan, atau tidak dalam kondisi bisa menjawab pertanyaan. Orang tua cenderung untuk menjawab asal-asalan atau bahkan menampik pertanyaan anak hingga anak menjadi membatalkan rasa ingin bertanyanya.

Iya kalau anak lupa dengan pertanyaannya sih nggak masalah ya. Tapi, bagaimana jika pertanyaan ini dipendam dalam hati anak saja? Lalu anak diam-diam akan tetap penasaran dan berusaha mencari jawabannya dengan caranya sendiri. Nah.. ini yang bahaya.

Ada beberapa pertanyaan anak yang sebaiknya disikapi bijak oleh para orang tua. Yaitu:

1. Pertanyaan tentang agama dan Tuhan.
2. Pertanyaan tentang hubungan pria dan wanita
3. Pertanyaan tentang kejahatan dan kebaikan
4. Pertanyaan tentang perilaku seksual seseorang
5. Pertanyaan tentang fungsi organ seksual

Nah, kebetulan, aku punya teman yang juga hobi nonton film India (dan Korea, tapi yang Korea lagi nggak dibahas di tulisan ini sih hehehe). Namanya Irawati Hamid, seorang blogger yang tinggal di Bau-Bau, Sulawesi Tenggara, Indonesia.

Blogger yang suka menulis segala sesuatunya di blognya yang bertajuk ... mengaku bahwa dia aktif menulis sejak tahun 2015.

Awalnya menulis di blog detik, tapi kemudian ada lomba blog dengan hadiah besar yang membuat Ira melirik untuk menulis di blog selain blog detik. Dan setelah ngeblog lama, dia makin menemukan kenikmatan menulis di blog dengan judul Irawati Hamid .com, wadah untuk menuangkan pikiran dan kata.

Kata Ira yang aku kutip dari blognya nih:
"...ternyata blogging itu memiliki banyak manfaat. Memiliki blog bukan hanya untuk ikut lomba saja namun banyak hal positif lain yang bisa didapatkan seperti melatih kemampuan menulis saya, mengurangi stress dan yang paling penting bisa mendapatkan banyak teman baru."
Nah. Karena Irawati Hamid mengaku menyukai film India (bahkan sering terbawa perasaan hingga menangis di pundak suaminya dong sodara-sodara), aku bertanya pada Irawati Hamid pendapatnya tentang Film P.K yang kontroversial ini, dan bagaimana sikapnya ketika menghadapi pertanyaan anaknya tentang agama dan Tuhan.

Ketika Anak Mempertanyakan Agama dan Menjelaskannya pada Anak (versi Irawati Hamid):



Assalamu alaikum Mba Ade
mau jawab pertanyaan yang diajukan Mba Ade di WA maaf yah jawabnya lama soalnya saya harus menonton ulang film PK dulu, hehe inilah beberapa kesimpulan yang saya dapatkan setelah menonton film PK:
- Tuhan itu sebenarnya satu, hanya manusia saja yang mengkotak-kotakkan cara penyembahannya.
- Bahwa pemuka agama itu adalah manusia biasa yang sama seperti kita, bukanlah orang yang harus diagung-agungkan, bahkan ada pemuka agama (di film PK dicontohkan dengan toko Tapasvi) yang rela memanfaatkan kepopuleran dan kepercayaan jamaahnya untuk memperkaya diri sendiri atau istilahnya menjual ayat-ayat untuk mendapatkan uang.
Hmm apa lagi yah? Yang jelasnya saya suka sama kata-kata PK kepada Tapasvi yang ini “Kita hidup di dunia yang sangat kecil, hanya debu di alam semesta. Lalu kamu bilang mau melindungi Tuhan? Tuhan tidak butuh dilindungi.” Benar-benar kalimat yang harus kita renungkan, terutama oleh mereka yang suka melakukan kejahatan dengan alasan melindungi agama”.
Lanjut pada pertanyaan Mba Ade yah
1. Apa arti agama buat keluargamu? ---> arti agama buat keluargaku adalah sebagai pedoman hidup Mba. Untuk membedakan mana yang baik dan buruk, mana yang boleh dilakukan dan mana yang gak boleh.
2. Bagaimana mengajarkan dan mengembangkan pemahaman toleransi pada anak-anakmu? ---> wahh anak saya baru satu Mba Ade. Pertanyaan ini sebenarnya agak susah nih saya jawab soalnya di lingkungan tempat tinggal kami, 100% orang-orangnya beragama islam. Dan kebetulan anak saya bersekolah di TK islam jadi untuk mengajarkan toleransi belum saya lakukan. Tapi bila usianya sudah beranjak besar, saya akan memberitahu bahwa toleransi itu indah. Ia boleh bergaul dengan siapa saja (pemeluk agama lain) tapi harus tahu batasan-batasannya. Ia tidak boleh menghakimi dan menjelek-jelekkan mereka. Bahwa dia bisa hidup dengan damai dengan mereka yang berbeda bila saling menghargai dan menghormati.
3. Anakmu berapa orang ya? Usia berapa aja? ---> seperti yang saya tulis di no. 2, anak saya baru satu Mba, pada bulan november nanti usianya 5 tahun
4. Kapan anak2mu (usia) diajarkan agama. Materi agama apa yang pertama kali diajarkan pada anakmu? ---> Pertama kali melihat kami shalat (apa ini termasuk mengajarkan yah?) adalah ketika usianya dua tahun. Setelah itu dia mulai semangat tuh ikutan shalat. Materi agama yang pertama kali saya ajarkan apa yah? Hmmm, sepertinya tentang hak Mba. Bahwa bila ia ingin mengambil barang yang bukan miliknya, maka ia harus meminta izin terlebih dulu pada yang punya. Misal ia ingin memegang hp-ku atau hp papanya, maka ia harus izin dulu pada saya atau papanya. Oh iya sama berdoa juga. Bahwa setiap kali dia ingin melakukan sesuatu (misal makan) maka ia harus mengucap bismillah terlebih dulu dan setelah selesai makan harus mengucap alhamdulillah.
5. Bagaimana mengajarkan pada anakmu terhadap kondisi perbedaan antar agama?---> wahh pertanyaan ini sepertinya berkaitan dengan pertanyaan nomor dua nih. Berhubung anak saya masih kecil jadinya saya belum pernah menyinggung hal ini. Tapi seperti jawaban saya di pertanyaan nomor dua, bila ia sudah beranjak besar, akan saya katakan bahwa kita hidup di dunia ini penuh dengan perbedaan, namun jangan sampai perbedaan itu memisahkan kita (ini kok kayak lirik lagu yah? Hehe). Saya akan mengajarkan bahwa berbeda itu akan terlihat indah apabila kita saling menghormati. Bagaimana caranya? Hmm belum terpikirkan sih, tapi yang jelas akan saya lakukan melalui pendekatan emosional.
6. Bagaimana caranya menumbuhkan kecintaan pada agama pada anak2?---> cara kami menumbuhkan kecintaan Wahyu pada agama adalah dengan memberinya contoh. Misalnya saat kami ingin shalat maka kami akan mengajaknya untuk shalat bersama-sama. Saat mendapatkan kebahagiaan kami akan mengucap alhamdulillah. Kami berharap dengan seringnya ia melihat dan mendengar kami melakukan itu, ia akan menirunya.
Setiap kali saya memberinya mainan baru atau apapun itu, saya akan bertanya padanya seperti ini “Wahh, ada mainan baru nih untuk Wahyu, Wahyu bilang apa?” dan dengan berbinar-binar dia akan bilang terimakasih mama, kemudian disusul alhamdulillah.
Dan salah satu cara yang kami tempuh agar Wahyu mengenal dan cinta agama sejak dini adalah dengan memasukkannya di sekolah islam. Harapan kami, dengan memasukkannya di lingkungan sekolah yang islami bisa membentuk karakter yang islami juga. Insyaallah!
demikian jawaban saya Mba Ade

Sederhana ya ternyata menghadapi anak-anak itu. Kuncinya satu: tetap bijak, hangat dan kepala dingin.

Nanti, ada saatnya setiap anak akan melontarkan pertanyaan tentang agama dan Tuhan pada kita orang tuanya. Kalian harus siap dan tetap bijak ya, seperti teman bloggerku Irawati Hamid ini.

Jika ingin kenal lebih jauh atau ingin ngobrol (asyik deh ngobrol dengan Irawati ini, apalagi kalau udah tema film India dan drama Korea), bisa ke:
Facebook: Irawati Hamid
Twitter: @Ira_Hamid16 (686 pengikut)
Instagram: @Ira_Hamid16 (212 pengikut)

12 komentar

  1. terimakasih tulisannya Mba Ade :*
    semoga saya bisa menjadi orang tua yang senantiasa membimbing anak saya di jalan yang baik dan benar, amin..

    BalasHapus
  2. suka ngeri mbak kalo diajak diskusi soal agama sama orang yg beda pemahaman. takut salah jawab, soalnya tau diri pengetahuan agamaku sbg bekal menjawab belum seberapa.

    BalasHapus
  3. Ulasan dan filmnya bagus mba jadi penasaran pengen nonton. Adakalnya betul sekali ketika ortu tidak dalam keadaan siap menjawab maka akan kesulitan menjawab pertanyaan anak :)
    Nice sharing mba ^^

    BalasHapus
  4. selain hangat, bijak dan berkepala dingin, pengetahuan orangtua harus cukup, saya sedang merasakannya, jadi ceritanya jadwal abis magrib ngaji dan membca terjemahannya bareng si sulung dan banyak pertanyaan yang bikin saya gagap , kode emaknya ini kudu banyak baca dan ikut kajian agaman heuheu

    BalasHapus
  5. Tulisan yang baik. Mencerahkan sekali admin :)

    BalasHapus
  6. terima kaish Mba ade atas ide dan sarannya

    BalasHapus
  7. Aku jadi inget kalok nanyak sama Mama Allah itu kayak apa, Mama termenung lamaaaa banget. Wkwkwk. Mungkin susah yak, secara aku nalarnya belom nyampek. :p

    BalasHapus
  8. Aku juga udah nonton filmnya mbak, tapi memang anak2 ga nonton

    BalasHapus
  9. Aku bbrp kali berdiskusi agama dg temen chinese yg konghucu. Dia nanya segala hal ttg makna gerakan shalat. Sennagnya aku bisa menjelaskan dg gamblang, karena suka melihat tayangan di metro tv. Ustadznya siapa ya namanya, kok lupa sih.

    BalasHapus
  10. Ternyata migran di Australia cukup mendapat perhatian juga ya mba...

    Dapat pencerahan baru di sini. Saya belum liat filmnya tuh mba

    BalasHapus
  11. Dija juga sudah nonton film PK ini tante
    lucu yaaa.... hehehee

    BalasHapus
  12. saya jadi nggak sabar pengen nonoton filmnya ..........

    BalasHapus