Hujan yang menurunkan bulir air yang indah pun; akhirnya menjadi sesuatu yang tidak lagi diinginkan.
Tapi aku termasuk orang yang tetap setia menyukai hujan.
Aku percaya, bahwa ketika hujan turun ke bumi, itu adalah kesempatan untuk memanjatkan doa. Karena janji Allah akan doa yang akan dikabulkan di saat hujan turun membasahi bumi.
Itu sebabnya aku tetap setia mencintai hujan.
Dan merindukannya ketika cuaca panas datang menerjang.
Tanah merekah.
Daun kering kian bertumpuk dan ranting banyak yang rapuh karena kekurangan air.
Ya. Hujan... tetap sesuatu yang senantiasa membawa keberkahan.
Setiap bulir air yang membasahi tanah, bisa terserap dan terkumpul menjadi sumber penghidupan banyak makhluk hidup. Apa jadinya sebuah denyar kehidupan tanpa tetesan air yang dihadiahkan oleh langit? Dan besarnya semua jasa air yang tumpah dari langit tersebutlah yang aku ceritakan pada anakku ketika suatu sore sepulang dari dokter, hujan datang mencegat perjalana pulang kami.
Sejauh mata memandang, nyaris semua taksi menolak untuk mengangkut kami.
"Macet bu... di bawah terowongan ada banjir soalnya. Takut terendam."
Penolakan yang bisa diterima alasannya. Akhirnya, aku dan putriku hanya bisa menatap setiap bulir air yang memercik di genangan sepanjang pinggir jalan raya. Berharap hujan berhenti sejenak saja.
Ya. Hujan yang turun telah mampu mengikis semua debu yang menempel di atas batu. Tapi hujan yang turun terus menerus terus meninggi terkumpul di sudut-sudut. Tinggi air yang terkumpul telah menenggelamkan lubang dan menipu orang yang melintas di atasnya. Hujan yang berhenti, adalah kesempatan untuk menghalau genangan agar kembali masuk ke dalam saluran air yang penuh. Aku dan putriku menunggu.
Sementara waktu terus beranjak pergi. Mobil-mobil yang tumpah ke jalanan semakin padat. Merayap dalam macet yang panjang. Dan semakin tertolaklah lambaian tangan kami oleh semua taksi yang ingin kami berhentikan. Bahkan meski hujan sudah tidak lagi deras curahnya. Semua curiga bahwa jauh di depan sana, entah dimana tepatnya, telah terjadi banjir. Aku memandangi putriku yang tampak berdiri mungil memandangi langit yang mendung.
"Dik.... kamu capek tidak jika kita harus berjalan kaki ke rumah?" Ragu, aku bertanya. Tapi putriku malah menatapku dengan wajah ceria.
"Nggak. Aku nggak capek." Itu jawaban spontan yang diberikan oleh putriku yang kala itu baru berusia 4 1/2 tahun. Senyumnya cerah dan penuh semangat.
"Jadi nggak papah ya kita jalan kaki meski gerimis? Soalnya jika menunggu hujan benar-benar berhenti, ibu takut kita akan terus disini sampai malam. Semua taksi yang ibu berhentikan tidak ada yang mau berhenti."
"Iya, ibu. Aku nggak papah kok jalan kaki meski masih ada hujan kecil-kecil." Hujan kecil-kecil adalah istilah putriku untuk menyebut gerimis.
"Baiklah dik. Ayo kita jalan kaki."
Lalu kami pun berjalan kaki menerjang gerimis. Tubuhku masih lemah karena baru saja selesai berobat ke dokter. Untuk menggendong tubuh mungil putri bungsuku ini tentu saja tidak cukup kuat. Jadi, yang kami lakukan dalam perjalanan adalah saling bergandengan tangan dengan erat.
skrinshot dari google map untuk menggambarkan jauhnya perjalanan yang harus kami tempuh |
Jarak yang harus kami tempuh dalam perjalanan ini bukan jarak yang pendek untuk ditempuh sebenarnya. Terlebih oleh anak yang baru berusia 4 1/2 tahun. Kaki mungilnya, bahkan beberapa kali tidak cukup jauh untuk melompati genangan air yang ada di pinggir jalan. Kecipak-kecipuk beberapa kali kakinya terperosok masuk ke dalam genangan. Tapi senyumnya tidak pernah luntur sedetikpun.
Mulutnya terus berceloteh tentang berbagai macam hal.
Tentang ibu gurunya yang mengajarkannya lagu-lagu yang dia suka. Atau tentang teman-temannya yang lucu-lucu dan menyenangkan hati di sekolah tadi pagi. Perlahan, rambut tipis putriku mulai kelimis karena terus menerus ditetesi oleh gerimis.
Tanpa terasa, akhirnya kami tiba di pinggir jalan besar. Langit tampak benderang karena gerimis sudah berhenti. Senja yang merah telah mulai mengintip.
Aku melirik putriku. Poninya sudah bergerombol karena basah. Dan Masya Allah senyumnya, sama sekali tidak luntur meski hanya sedikit.
"Capek dik? Kita sudah sepertiga jalan. Tinggal naik jembatan penyeberangan, lalu berjalan sedikit lagi untuk sampai di rumah."
"Nggak bu. Aku nggak capek sama sekali. Ibu sendiri gimana? Ibu capek nggak? Sakit nggak? Mau istirahat dulu?" ("Ya Allah. Terima kasih karena sudah Kau tanamkan rasa pengertian yang amat dalam di hati putriku")
Mendengar jawaban pemberi semangat dari mulut mungilnya, aku mempererat genggamanku di jemari kecilnya. Mengecup punggung tangannya yang hangat meski telah terguyur oleh gerimis.
"Ayo dik... kita lanjutkan perjalanan kita."
Lalu kami melangkah dengan senyum di bibir. Tapi baru saja kaki kami melangkah 5 langkah, tiba-tiba sebuah pemandangan terhampar di hadapan kami.
"Subhanallah... dik.. lihat... itu... ada pelangi."
"Pelangi?"
"Iya.. pelangi. Pelangi selalu muncul setelah hujan berhenti." Mata putriku langsung berbinar takjub.
"Dik... pelangi itu adalah hadiah dari langit karena semangatmu melawan gerimis; dan juga hadiah dari Allah karena kamu sabar banget menemani ibu di sepanjang perjalanan tadi."
Senyum putriku semakin berbinar mendengar jawabanku. Perlahan dari mulutnya keluar ucapan hamdallah.
"Foto aku dengan pelangi bu. Aku belum pernah punya foto dengan pelangi."
"Iya... sini ibu foto. Kan pelangi itu hadiah dari Allah untuk kamu. Terima kasih ya nak."
foto bersama pelangi meski rambut kelimis |
Ahh.... selalu ada keindahan dari cerita hujan. Bahkan ketika hujan berhentipun, ada harapan muncul. Bahwa ada keindahan yang akan kita saksikan ketika hujan sudah berhenti. Jadi... tetaplah semangat. Pelangi setelah hujan adalah gambaran keindahan setelah sesuatu yang tidak menyenangkan datang menghadang.
(kenangan foto bersama pelangi senja di bulan oktober 2010)
---------------------
''Tulisan ini diikutsertakan dalam A Story of Cantigi's First Giveaway''
Indah ya kebersamaan saat hujan.. aku juga sebenarnya punya story sama suami, tapi hik.. aku lagi ogah nulis... keren mak Ade tulisannya.. semoga menang deh :D
BalasHapuswaah bagus nihhhh
HapusKenapa Yul ogah nulis? Nulis itu hiburan tersendiri loh.
BalasHapusPelangi dan model di depannya sama-sama indah untuk dipandang.. :)
BalasHapusAku suka hujan, tapi kalo disertai angin kenceng takuuut
BalasHapusjauh juga,tapi salut buat si adek....hilang capeknya pas lihat pelangi
BalasHapusaaah... sudah lama saya gak lihat pelangi :( dan senyum si kecil sudah memberikan pelangi bagi hidup mba Ade ya.... :)
BalasHapusPelangi setelah hujan adalah gambaran keindahan setelah sesuatu yang tidak menyenangkan datang menghadang.
BalasHapussetujuuuuu :) kata2 ini sungguh menghibur...
Cerita hujan yang indah, Mak... Pelangi adalah momen eksklusif :)
BalasHapusHadiah yang indah untuk si Adik ya mak... seindah senyum si Adik.....
BalasHapusiya mak betu bangettt
Hapuswahh typo tuh gann
Hapusalam itu tidak pernah salah mengajarkan hikmah pada manusia ya Mbak. salah satunya, munculnya pelangi setelah hujan, atau hujan pun tak selamanya turun, pasti ada waktunya untuk berhenti. sukses dengan GAnyaya
BalasHapuswahhh kereennn
Hapustulisannya bagus sekali mbak menarik :) sukses ya
BalasHapusblognya keren dan menarik, thanks ya
BalasHapuskeren bangat infromasihnya
BalasHapusceritanya menarik :)
BalasHapusinfonya sangat bermanfaat
BalasHapusKeren banget ceritanya, kalo punya anak yang suka bahagia akan mudah dalam mendidiknya.
BalasHapus