Rumahku berada sebenarnya berada di tengah-tengah sebuah
jalan yang lumayan besar. Muat dua mobil, dengan jalur dua arah. Tepat di depan
rumahku, ada sebuah gang sempit yang bisa dilewati oleh satu buah mobil ukuran
City Car atau angkot kecil (bukan mikrolet). Sedangkan di sebelah kanan
rumahku, ada sebuah gang yang ukurannya lebih kecil lagi, hanya bisa dilewati
oleh satu buah gerobak saja, atau satu buah motor. Antara gang dengan ukuran
lebar satu motor dan jalan sempit ukuran satu City Car masing-masing
terhubungkan dan orang-orang sering melewatinya sebagai bagian dari jalan tikus
atau jalan pintas menuju jalan raya besar: Jalan M.T Haryono (jalan raya besar
yang kumaksud disini adalah jalan yang dilewati oleh banyak sekali mobil karena
memiliki 10 jalur kendaraan, ada jalan tolnya, ada jalur bus way, ada jembatan
penyeberangan). Ini gambar gang sempit di samping rumahku:
Karena letak rumahku yang diapit oleh tiga bentuk jalan
tersebut, maka bisa dikatakan rumahku selalu ramai dilalaui oleh orang maupun
kendaraan yang lalu lalang. Bentuk rumahku dua lantai, tapi lantai atas hanya
diperuntukan untuk mencuci dan menjemur pakaian saja. Sambil mencuci pakaian,
aku sering mengamati berbagai macam kegiatan yang terjadi di depan simpang
pertemuan tiga bentuk jalan di depan rumahku tersebut. Ada banyak sekali yang
lewat di persimpangan jalan tersebut. Mulai dari tukang pos, anak-anak sekolah,
ibu-ibu yang bepergian, tukang jualan, dan sebagainya.
Yang paling ramai di antara semua yang lewat tersebut, tentu
saja jika rombongan anak-anak sekolah lewat. Baik mereka itu pergi atau pulang
dari sekolah. Suara teriakan, nyanyian, senda gurau, obrolan, anak-anak yang
berkejar-kejaran dan juga suara anak-anak yang ... sedang naik motor.
Hmm, yang terakhir ini sebenarnya aku kurang setuju. Usia anak-anak
yang mengemudikan motor tersebut masih amat muda, masih usia SD kelas lima (5)
dan kelas enam (6). Beberapa ada yang masih duduk di kelas 4 (empat). Terkadang,
aku bingung dengan kebijaksanaan yang dipegang oleh orang tua mereka. Bagaimana
mungkin orang tuanya mau melepas anak-anak mereka yang terhitung masih usia
dini tersebut untuk kesana kemari membawa sepeda motor. Ukuran tubuh mereka
saja, masih terhitung lebih kecil ketimbang sepeda motor yang mereka bawakan.
Jadi, terbayang saja jika suatu hari motor itu oleng, si anak pasti tidak dapat
mengendalikannya karena memang tubuh mereka yang masih kecil. Tapi lebih dari
itu, di usia yang masih dini untuk memiliki kendaraan bermotor tersebut,
anak-anak tersebut pastinya belum memiliki kesadaran hukum tentang aturan yang
benar jika berada di jalan raya dengan kendaraan yang mereka kendarai.
Itu sebabnya mereka tertawa-tawa di atas kuda besi tersebut,
dengan kecepatan tinggi, tanpa mengenakan helm, beberapa bahkan ada yang
mengendarai motor tanpa mengenakan baju atasan. Dada telanjang mereka menjadi
satu-satunya tameng yang dipakai untuk menerjang serbuan angin untuk organ
tubuh bagian dalam mereka. Yang lebih parah lagi adalah, mereka sering
mengadakan adu balap di depan rumah. Istilahnya Track-trackan. Aduh, jika ini
sudah terjadi, berisiknya minta ampun. Dan itu bahkan dilakukan di waktu:
TENGAH MALAM!!!.
Warga sekitar rumahku akhirnya berusaha menanggulangi masalah
track-trackan ini dengan memasang banyak polisi tidur di tengah jalan. Karena
banyaknya polisi tidur, akhirnya anak-anak tersebut mulai mengurangi
track-trackan. Sebagai gantinya, mereka sering kumpul-kumpul untuk ngobrol di
pinggir jalan. Sesekali, sambil ngobrol, mereka mempermainkan kendaraan mereka.
Gasnya digerum keras-keras meski motor tersebut tidak dalam kondisi berjalan.
Jadi, hanya menggerum di tempat saja. Suaranya berisik sekali. Barulah setelah
tetangga di depan rumahku ada tiga rumah yang memiliki bayi, dan mereka semua
protes pada anak-anak yang berkumpul tersebut, kegiatan menggerum gas motor
tersebut tidak lagi terjadi. Mereka akhirnya hanya jongkok atau nongkrong di
pinggir jalan sambil ngobrol dan bercanda sambil menyalakan suara musik dari
handphone mereka dengan suara keras-keras.
Aduh.
Jujur saja, aku sering merasa terganggu dengan kegiatan
anak-anak tersebut. Tapi, tampaknya anak-anak tersebut memang tidak memiliki
pilihan lain untuk kegiatan bermain mereka. Rumah mereka terletak di dalam gang
sempit (yang hanya bisa dilewati oleh sebuah motor saja). Berderet-deret,
berjejal-jejal dan sempit. Aku sering mengunjungi rumah orang tua mereka. Di
dalam rumah sempit ukuran 3 x 7 meter persegi tersebut, hanya terdapat 3 sekat
ruangan; ruang tamu, ruang tidur, dapur plus kamar mandi. Tapi, dihuni oleh
ayah, ibu, anak-anak mereka (yang jumlahnya herannya selalu lebih dari tiga
orang), nenek, tante, paman, saudara sepupu. Karena jumlah penghuni rumah yang
penuh, ditambah dengan keberadaan peralatan rumah pada umumnya, ditambah dengan
jumlah kendaraan bermotor (motor dan sepeda) yang harus ditaruh di dalam rumah
(karena gangnya memang sempit, jadi jika parkir di depan rumah, otomatis gang
itu tidak bisa dilewati oleh orang yang ingin lalu lalang). Itu sebabnya orang
tua mereka tampaknya lebih senang jika anak-anak mereka menghabiskan waktu di
luar rumah saja. Karena rumah memang sudah terlalu penuh jika seluruh anggota
rumah berkumpul untuk bercengkerama. Di malam hari, jendela dan pintu rumah
tersebut dibuka lebar-lebar jika mereka sedang tidur untuk mengusir hawa panas
di dalam rumah ketika penghuninya sedang tidur. Tidak takut dimasuki pencuri
karena memang pencuri tampaknya juga akan kesulitan untuk mondar-mandir
membongkar rumah mencari barang berharga. Motor mereka dirantai dengan rantai
besi yang disambungkan ke kaki tempat tidur.
Jadi, akhirnya aku pun belajar untuk menerima keberadaan
anak-anak tersebut. Yang berisik, tidak tahu aturan, semau gue, dan sebagainya.
Yang penting mereka tidak melakukan: track-trackan, transaksi obat terlarang,
melakukan perbuatan cabul di pinggir jalan, tawuran, atau melakukan kegiatan
yang mengganggu ketenangan warga. Ya. Aku bisa menerima keberadaan mereka
sejauh mereka masih melakukan kenakalan yang masuk kategori nakalnya anak-anak
saja. Lebih dari itu, lebih baik aku laporkan pak RT deh.
Setuju gak?
“Postingan ini disertakan dalam #8MingguNgeblog Anging Mammiri”
Semangat!!, semoga bisa menuntaskan hingga minggu ke 8 nanti :) Salam kenal.
BalasHapusmakasihhhhh.... semoga, aamiin.
HapusBerusaha membiasakan diri dengan ulah anak-anak itu, (apakah semua anak SD atau ada yang usia SMP/SMA?) memang adalah langkah yang sudah benar. Tetapi, melaporkan ke bapak RT tentang ulah mereka, jauh lebih baik. Saran saja, melaporkannya bukan untuk menghukum mereka atau cuma melarang saja, karena mereka dengan cepat akan buat kegiatan lain yang juga mengganggu. Laporkan ke Pak RT, untuk dicarikan solusi. Misalnya, Pak RT dan beberapa tetangga yang terganggu coba memfasilitasi mereka dengan membantu mereka melakukan kegiatan yang lebih. apkaah kegiatan seni atau kegiatan perbengkelan. Pokoknya, dibuatkan kegiatan apalah. Sepertinya, mereka cuma butuh wadah tuk bermain dan berekspresi saja.
BalasHapusgak semudah itu sih. dulu pernah diajak ngobrol, anak2 ini tuh udah gak pingin sekolah karena ngerasa capek dan malas mikir. Mereka maunya ya emang nongkrong2 aja, ngobrol gak karuan sambil ngutak ngatik motor. Soal bengkel, mereka punya bengkel sendiri karena motor2 itu hasil rakitan semua. istilahnya motor odong. Yang tanpa plat nomor, stangnya ditinggiin, dan sebagainya. pak Rt dan Pak RW mah udah gak bisa ngapa-ngapain lagi. pasrah. karna emang banyak sih anak2 itu. Kadang, setiap kali ada ibu2 yang lagi jemur bayi di depan rumah, aku suka berhitung sendiri, "hmm, 10 tahun lagi, bertambah lagi nih anak2 yang disuruh orang tuanya keluar rumah karena bikin sempit rumah."... orang tua anak2 itu emang aneh. waktu bayi disayang-sayang, begitu gedean dikit, diusir-usirin karena bikin sempit rumah. *ups, jadi curcol
Hapushehehe... waktu tinggal di rumah mertua, nasib kita ternyata sama ya mbak :D, tapi lama-lama kami jadi terbiasa, dan setelah pindah rasanya malah jadi agak aneh, karena skrg tinggalnya di daerah yang masih asri, jauh dari jalanan besar malah Jam 6 sore pun udah jarang orang yang lalu lalang
BalasHapusaku belum terbiasa dan tetep merasa terganggu sih sebenarnya. tapi mencoba untuk terbiasa, meski pas ramadhan nanti aduh ampun deh... mereka tuh jam setengah dua malam udah keliling kampung sambil mukul macem2 yang bising ngalahin suara mo perang ngebangunin orang sahurnya. Padahal, pas shalat shubuh, itu anak2 malah pada tidur di gardu hansip. ugh.(*lagi2 curcol)
HapusYa ampuun...itu yang menyebabkan Jakarta padat penduduknya ya Mbak. 1 rumah aja bisa sampe lebih dari 10 orang. Duh Aku nih kurang bersyukur rumah yg luasnya 72 meter persegi dan cuma ditinggalin 3 orang (Aku suami dan 1 orang anak) aja dah berasa sempit pengen diluasin lagi. Makasih sharingnya.
BalasHapusBtw mampir di blog Aku jg dong Mbak http://www.sierrasavanna.blogspot.com
track-trackan itu yang bikin sebel ya, mbak ade. dulu sering di deket jalan rumahku. skrg sih udah ga kedengeran lagi
BalasHapusKalau masalah anak2 nongkrong2 perlu diwaspadai juga ya, khawatir disusupi orang yg tidak benar
BalasHapus