Ibu, lahir dari nenekku yang merupakan anak tunggal. Ada
kisah tersendiri dari lahirnya nenekku. Nenekku ini, lahir dari pasangan suami
istri yang tidak menduga akan dikaruniai seorang bayi perempuan yang cantik. Tapi
kedua pasang suami istri ini tidak putus berharap lewat doa dan ikhtiar.
Hingga
suatu hari di bulan Ramadhan, selesai shalat taraweh, si istri duduk di pinggir
jendela lebar di rumah panggung mereka. Dia terkejut, karena dia melihat hari
begitu terang benderang. Begitu terang hingga pohon tebu itu terlihat mulai
dari ujung daun hingga ujung batang yang mengarah ke akar! Akhirnya, dia pun
berteriak pada tetangganya.
"Oi, kenapa hari begitu terang?"
Temannya bingung
dan menjawab bahwa cuaca amat gelap gulita saat itu. Sang istri pun langsung
gemetar ketakutan dan langsung mendirikan shalat sunnah sambil memohon ampun.
Dia mengira akan menerima azab karena penglihatannya yang tidak lazim ini. Tapi
kemudian tetangganya itu berteriak lagi padanya, "Jangan-jangan itu
lailatul Qadar? Ayo cepat mohon sebuah permintaan." Dan segera sang istri
memohon permintaan, yaitu dia ingin diberi keturunan. Dia tidak peduli meski
usianya sudah tidak muda lagi untuk mendapat keturunan (ini jaman dahulu dan di
dusun pedalaman, jadi di hamil serta melahirkan di usia yang tidak muda itu
rasanya resikonya amat berat). Dan benar saja, tidak lama kemudian sang istri
pun hamil, kehamilan pertama dan terakhirnya. Sayangnya karena hamil di usia
tua, maka si anak memiliki fisik yang kurang sehat. Dialah nenekku, Hasunah.
Nenek Hasunah lalu menikah dengan kakekku (di Sumatra
Selatan, kami menyebutnya bukan kakek tapi nenek anang; artinya nenek lanang
alias nenek laki-laki). Dari pernikahan dengan nenek anang ini lahir lima orang
anak, dan ibuku adalah anak keduanya. Kondisi fisik kurang sehat nenek ine
(artinya nenek betine yang artinya nenek perempuan) menurun pada keturuannya.
Yaitu kami semua dikaruniai penyakit asma dan bakat diabetes. Di usia 3 tahun,
nenek anang memboyong istri dan anak-anaknya pindah ke Bandung dan menjalankan
usaha sebagai seorang tukang jahit di sana.
Karena ibunya sakit-sakitan, maka ibuku menjadi dekat dengan
kakak tertuanya. Kemana-mana mereka selalu bersama. Ibuku juga lebih senang
bermanja-manja pada kakaknya ketimbang pada ibunya yang sakit-sakitan. Pernah
ada satu peristiwa dimana ketika kecil ibuku merasa iri dengan sepatu yang
dipakai oleh teman-temannya. Semuanya model-model terbaru, sementara sepatu
yang dipakainya adalah model yang kuno dan murahan mengingat ayahnya hanya
seorang tukang jahit yang juga harus membiayai pengobatan ibunya secara terus
menerus. Tapi, yang namanya anak-anak, ibuku tetap ingin sama dengan
teman-temannya. Lalu, dia curhat pada kakaknya (yang terpaut usia 2 tahun saja
dengannya). Kakaknya itu bukannya mengusahakan, malah menasehati ayah mereka,
"Sepatunya masih bagus kok. Jika sepatu tidak rusak, jangan dibelikan
ayah. Boros."
Ibuku tentu saja kesal. Sementara keinginan untuk memiliki
sepatu model terbaru terus menggelitik hatinya. Akhirnya, diam-diam dia pun
mulai 'merusak' sepatunya dengan cara, jika berjalan diseret-seret langkahnya.
Tapi, sepatunya itu ternyata kuat sekali teksturnya. Ayahnya memesannya
langsung dengan pesanan khusus di pengrajin sepatu (jadi diberi jahitan dobel
dan sol sepatunya dibuat lebih tebal dari sepatu biasanya. Rasanya memang jadi
berat, layaknya sepatu untuk tentara, tapi dijamin amat kuat dan awet). Kesal
karena sepatunya tidak rusak-rusak, akhirnya dia mengendurkan tali sepatunya.
Setiap pagi, dia pergi sekolah selalu dibonceng sepeda ontel
oleh kakaknya. Nah, pagi itu, sepatu yang talinya kendur padahal body sepatunya
berat itu pun terlepas dari kaki di tengah jalan. Ibuku diam saja tidak
memberitahu karena memang berharap sepatu itu hilang. Sesampai di sekolah,
barulah dia memberitahu kakaknya. Kakaknya kaget luar biasa dan akhirnya mereka
kembali menyusuri jalanan dengan "JALAN KAKI SAMBIL MENUNTUN SEPEDA".
Padahal, jarak antara rumah dan sekolah itu tidak dekat (ini jaman dahulu loh
dimana sekolah belum banyak jumlahnya) dan jalanan di Bandung itu kondisi
fisiknya menurun dan menanjak silih berganti. Belum lagi sepanjang jalan ibu
dimarahi oleh kakaknya. Syukurlah sepatunya bisa diketemukan. Si kakak akhirnya kasihan juga melihat semua
usaha ibu demi mendapatkan sepatu baru. Akhirnya, kakaknya ini pun ikut
membantu membujuk ayah mereka agar mau membelikan sepatu baru untuk ibuku. Tapi
akibatnya, jatah sepatu baru kakak ibuku jadi hilang. Ibuku senang luar biasa
dengan sepatunya tapi kenyataan bahwa kakaknya jadi tidak bisa punya sepatu baru
juga, membuatnya sedikit menyesal. Dia pun kian sayang pada kakaknya ini. Dan
mungkin ini adalah pelajaran kehidupannya yang pertama, bahwa
"suatu saat kita akan dihadapkan pada sebuah pilihan. Siapa yang harus dipilih? Menyenangkan diri kita sendiri atau orang lain? Memilih menyenangkan diri kita sendiri, akan menyenangkan hati kita pasti tapi sekaligus juga melahirkan sebuah rasa bersalah. Tapi memilih menyenangkan orang lain dengan ikhlas akan menyenangkan hati kita dan orang lain tersebut."
Pelajaran kehidupan yang
ternyata membentuk ibuku menjadi sosok yang penyayang dan suka berbagi pada
orang lain.
Aku ingat di tahun 2005, yaitu dua tahun setelah kematian
ibuku (ibu meninggal dunia pada 18 april 2003) ketika suatu hari rumah saya
diketuk oleh seorang tukang sol sepatu (tukang sol sepatu ini memang langganan
ibuku sejak aku mash kecil dahulu. Dia hafal semua wajah anak-anak ibu. Bahkan
ketika aku pindah ke rumah sendiri dan masih satu daerah dengan tempat si
tukang sol berjualan, si tukang sol tetap rajin menyapaku jika lewat depan
rumahku). Ketika aku keluar rumah, kulihat dia masih memanggul kotak solnya dan
berdiri di muka pintu.
"Eh, ada apa mang?"
"Neng..., numpang tanya. Kata orang-orang, ibu sudah
meninggal dunia ya neng?"
"Iya pak, sudah meninggal dunia dua tahun yang
lalu."
Si tukang sol langsung menurunkan kotak jualan yang
dipanggulnya. Juga menurunkan topi lebar yang dipakainya dan meletakkannya di
depan dada. Wajahnya sedih, bahkan aku melihat genangan air mata di pelupuknya.
"Innalillahi wainnailaihirajiun. Aduh, sedih bapak.
Maaf ya neng. Bapak benar-benar merasa kehilangan ibu." Lalu si tukang sol
itu termenung dan merunduk. Aku ikut hanyut dalam rasa sedihnya.
"Ibu itu orangnya baik banget loh neng. Setiap kali
bapak lewat depan rumahnya, meski ibu tidak sedang membetulkan sepatu, ibu
selalu menawarkan bapak segelas kopi. Dan setiap kali ibu memperbaiki sepatu,
bapak tuh bukan cuma diberi upah saja, tapi juga diberi nasi sepiring lengkap
dengan lauk pauk dan secangkir kopi. Tidak ada pelanggan bapak yang sebaik ibu.
Duh. Semoga Allah melimpahkan keberkahan pada ibu eneng, mengampuni dosanya,
dan membalas semua kebaikannya dengan pahala berlimpah. Ibu eneng itu baik
sekali."
Jujur saja, semua yang dikatakan oleh si tukang sol sepatu
itu benar-benar menginspirasiku.
Bahwa doa yang paling mustajab itu adalah doa orang kecil. Dan bahwa doa yang akan langsung diaamiinkan oleh malaikat itu adalah doa yang dipanjatkan tanpa sepengetahuan orang yang didoakan. Dan bahwa doa yang tulus ikhlas dipanjatkan ketika kita sudah meninggal kelak yang keluar dari orang yang pernah menerima amal sedekah kita itu akan dihitung sebagai salah satu harta yang pahalanya tetap mengalir meski kita sudah meninggal dunia (yaitu ketika semua hal telah terputus secara otomatis bersamaan dengan kematian kita).
Subhanallah. Saya ingin seperti ibu. Memiliki sesuatu yang
panjang umurnya bahkan jauh lebih panjang daripada usia fisik kita sebagai
manusia.
Bahkan, di tahun 2011, yaitu delapan tahun (8) setelah
kematian ibu, ada lagi seorang perempuan yang datang padaku. Aku tahu perempuan
ini adalah teman ibuku dulu, dan salah satu tetangga kami.
"Ade.... aduh nduk, saya kemarin menangisssss.... rasanya
saya ingin memelukmu, nduk."
"Kenapa bu?"
"Beberapa hari yang lalu waktu saya berbuka puasa. Kamu
tahu sendiri kan, suami saya sudah meninggal karena kena stroke. Sebelum suami
saya meninggal, semua harta saya habis dijual untuk mengobati suamiku itu. Tapi
setelah harta habis semua, suamiku tetap meninggal dunia. Dan saya hidup tidak
punya apa-apa lagi. Rumah juga sudah dikontrakin, hanya tertinggal kamar satu. Sementara
anak-anak saya sudah tidak ada lagi yang menyantuni saya." (FYI: ibu ini
tidak punya anak. Dia sempat mengangkat anak tapi setelah anaknya menikah, si
anak hidup terpisah dengannya). Sambil berurai air mata dan memegang kedua
belah tanganku hangat, si ibu ini melanjutkan kalimatnya.
"Lalu, kemarin pas mau sahur, di kamar saya sudah tidak
ada makanan sama sekali. Saya sudah dua hari berpuasa tanpa sahur dan berbuka
hanya dengan air putih. Tapi malam itu, saya bisa sahur dengan makanan
pemberianmu yang diletakkan di atas piring pemberian ibumu. Aduhhhh... saya
benar-benar terharu mengenang almarhumah ibumu. Semua harta saya sudah saya
jual dan yang tersisa hanya piring pemberian ibumu. Ibumu dulu memberikan saya
makanan dengan piring itu. Dan malam itu saya makan dari piring itu lagi. Aduh
Gusti, saya tuh makan sambil menangis. Setiap suap saya jadi berdoa untuk
ibumu, ibumu itu baik sekali. Semoga Gusti Allah membalas semua kebaikannya
dengan pahala berlimpah. Karena meski almarhumah sudah tiada, tapi kebaikannya
pada saya terus mengalir."
Jujur saja, saya merinding mendengarnya. Ibu benar-benar
telah memberikan inspirasi pada saya tentang amal jariah yang tiada pernah
putus sepanjang masa; pahala ibadah yang usianya lebih panjang dari usia fisik
manusia. Dan cerita tentang kebaikan ibuku terus mengalir dari banyak orang-orang: teman-temannya, saudara-saudara kami, tetangga, tukang jualan, orang-orang miskin, ibu-ibu orang kaya, orang-orang tua, anak-anak muda. Semuanya (termasuk teman-teman sekolah saya).
Oh. Ibu.
Dan percayalah, jika saya tulis semua kenangan dulu
dah sekarang tentang kebaikan ibu saya ini, bisa jadi ini akan menjadi sebuah
catatan yang amat panjang. Padahal hati saya sudah terlanjur sesak oleh rasa
rindu yang menggelembung dan terus membeludak hingga rasanya ingin meledak.
Rindu yang tidak berujung.
-----------------------
Penulis: Ade Anita
“Postingan ini disertakan dalam #8MingguNgeblog Anging Mammiri”
saya suka kali mbak baca makna dari kalimat ini:
BalasHapus"suatu saat kita akan dihadapkan pada sebuah pilihan. Siapa yang harus dipilih? Menyenangkan diri kita sendiri atau orang lain? Memilih menyenangkan diri kita sendiri, akan menyenangkan hati kita pasti tapi sekaligus juga melahirkan sebuah rasa bersalah. Tapi memilih menyenangkan orang lain dengan ikhlas akan menyenangkan hati kita dan orang lain tersebut."
sangat bijak sekali maknanya
Ya...mungkin karena demikianlah yang kita temui dalamaa mendulang pengalaman di kehidupan ini.
HapusMakasih ya Lisa
subhanallah, tulisannya bikin saya netes air mata mbak, jadi teringat almarhumah mama saya juga yyg senang bersedekah. Semoga beliau2 ditempatkan di tempat yg terindah disisiNYA sekarang ya mbak.
BalasHapusSalam kenal mb Ade Anita, :)
Aamin Allahumma Aamiin... Salam kenal juga Zaffara
HapusYa Allah semoga Bunda mendapat tempat di sisiNYA, diterima amal ibadah dan diampuni dosa dosanya. Aq koq jadi sedih ah :'{
BalasHapusAamiin..makasih ya egi
HapusAl Fatihah untuk ibunda. manusia mati hanya meninggalkan nama baik, dan ibunda orangnya.
BalasHapusmenitik air mata bcnya mba...ingat ibu ku juga. semoga arwah2 beliau mendapat tempat terbaik di sisiNYA, aamiin
Aamiin Allahumma Aamiin semoga Allah memberikan tempat terbaikbdan terindah baginpara ibu kita.
Hapusjadi ikut nangis baca kata-kata si tukang sol dan teman ibu... inspiratif sekali mbak... semoga arwah ibu mendapat tempat terbaik di sisi Allah SWT.
BalasHapusmakasih sudah berbagi :)
Aamiin makasih ya Diah
Hapus"Bahwa doa yang paling mustajab itu adalah doa orang kecil. Dan bahwa doa yang akan langsung diaamiinkan oleh malaikat itu adalah doa yang dipanjatkan tanpa sepengetahuan orang yang didoakan. "
BalasHapusSemoga kelak berkumpul kembali di surgaNYa :)
Aamiin Allahumma Aamin makasih Dwi
Hapusterima kasih telah berbagi mbak..
BalasHapussangat tersentuh. betapa kebaikan itu akan membekas abadi.
semoga bunda mb ade diberikan tempat terbaik, semoga kelak dikumpulkan kembali dengan orang2 tercinta di jannahNya.
sekali lagi terima kasih telah bercerita,mba..
Sama2 ayu
BalasHapusMbak Adeee...Alhamdulillah ya Ibu memiliki amalan setulus itu semasa hidupnya, Insya Allah bermanfaat baginya. Semoga Saya dapat meniru kebaikan Ibu. Semoga amalan2nya menerangi masa tidur panjangnya. Amiin.
BalasHapusiya alhamdulillah banget...
Hapusternyata usianya sepantaran dg alm Ayahku... beliau jg yg mengajarkan untuk selalu berbagi bahkan jd merasa lebih pelit pada keluarga sendiri.. hi.. hi.. pemikiran yg sempit @_@
BalasHapusoo.. ayahmu berarti lahir di tahun 1947 juga ya? jangan2 mereka pernah saling mengenal dulu di jamannya
Hapusterharu aku mbak ade.. smoga menjadi amal jariyah ibunya yaa, pun bagi penulis yang mengangkat ceritanya dengan menyentuh hati. Aamiin.
BalasHapusaamiin allahumma aamiin.. makasih doanya.. bikin aku terharu juga
Hapussemoga Allah mengampuni dosa Ibu mbak ade, aamiin...
BalasHapusterima kasih sudah berbagi dan menginspirasi saya....
ayah dan ibu saya juga orang kayu Ara, ayah saya kelahiran tahun 47 jugaaa... mungkin ayah dan ibu saya kenal sama ibu nya mbak yaaa? :)
nah.. nah.. jangan-jangan ... aduh... ibuku tinggal di bandung sejak dia usia 3 tahun... setelah menikah diboyong ke jakarta.. dan ikut organisasi serasa sekate.. ayahmu jugakah?
Hapusbtw emma fikri, gimana sih cara mampir ke blogmu, aku gaptek nih.. kalo aku klik fotomu yang muncul google circle.. terus, blognya mana?
Hapuskeren bangat blognya thanks
BalasHapus