Teristimewa (bagian ketiga, bersambung)

Apa yang disisakan oleh sinar mentari di sore hari?
Mungkin hanya bayang-bayang sepanjang badan
Atau guratan kuning di kaki langit
Tapi bisa juga sebongkah senyum di wajah yang tidak lagi nestapa

Hati manusia memang tidak dapat disangka
Tak cukup hanya menilai seseorang dari seulas senyum yang menghiasi wajahnya
Dan jangan pernah tertipu oleh seraut wajah manis nan menawan
Terlebih jika wajah itu dimiliki oleh seorang penipu

Bertemu dengan penipu adalah hal yang paling menyesakkan.
Rusak binasa bangunan rasa percaya.
Kacau balau hubungan timbal balik yang telah terbina.
Lalu siapa yang harus dipercaya jika rasa percaya sudah dikhianati?
Dan siang itu, tujuh tahun yang lalu, aku tertipu oleh pandangan mataku sendiri.

"Jadi, usia bapak berapa?"
"32 tahun."
"Ah, masih muda. Lalu, ibu sendiri, berapa usianya?"
"29 tahun."
Perempuan dengan tubuh gemetar itu, ternyata memiliki usia yang jauh lebih muda dariku. Aku nyaris salah sangka, menyandangkan cap sebagai perempuan tua di pundaknya.
"Anak menyangka saya sudah tua ya?"
Aku terkejut, amat khawatir bila isi kepalaku terbaca.
"Tidak."
"Berapa usia anak sendiri?"
Aku menggeleng, enggan menjawab.
"Anak-anaknya sudah besar, pasti sudah lumayan berumur?"
"Sudah lapor rt setempat bu, untuk memberitahu kematian bapak?"
"Apakah anak eh… mbak sudah mencapai kepala tiga seperti saya?"
"Ah, mungkin lebih baik saya minta tolong seseorang untuk memberitahu pengurus masjid terdekat perihal kematian bapak."
"Ataukah jangan-jangan sudah mencapai kepala empat?"

Lalu tiba-tiba tangan kurus yang terlihat lemah itu mencengkeram lenganku.
"Berapa usiamu nak?"
"Nggak penting bu berapa usia saya."
"Tapi ibu ingin tahu nak. Berapa usiamu?"
Cengkeraman itu kian kuat. Dagingku mulai terasa dibenami sesuatu yang menyakitkan. Aku gelisah, bagaimana ini?
"Bu, itu tidak penting. Bapak harus dikuburkan, itu fokus kita hari ini bukan?"
"Bapak sudah mati. Apa lagi pentingnya hal itu? Masa muda saya sudah terlewati olehnya. Kecantikan saya tersedot oleh kesengsaraan yang terlalui bersamanya. Jika dia mati, apa lagi yang bisa saya lakukan? Hidup saya sudah tidak berarti lagi. Masa depan saya sudah terenggut oleh kematian suami saya. Saya tidak punya harapan. Jadi, saya ingin tahu usia mbak sebelum hidup saya berakhir?"

Aku tergugu.
Gelisah menggantang galau.
Gamang.


Kehidupan sering terkotak-kotak dalam berbagai perbedaan yang menggelisahkan.
Muda dan tua.
Cantik dan jelek.
Pintar dan bodoh.
Kaya dan miskin.
Sholeh dan kafir.
Terpuji dan terhina.
Gendut dan kurus.

"Berapa usiamu?"

Senang dan sedih.
Terpilih dan tersingkir.
Kalah dan menang.
Kecil dan besar.
Muda dan dewasa.
Laki-laki dan perempuan.
Tinggi dan pendek.
Modern dan kuno.
Baik dan buruk.

"Saya, ...ngg… 33 tahun."

Lalu aura di wajah itu pun berubah layu. Perempuan gemetar di depanku mulai menjambak rambutnya sendiri. Tak lama kemudian dia menunduk lalu menangis tersedu.
Meraung.

"Tuhan amat sangat tidak adil pada saya. Semua keburukan ditimpakannya pada saya. Lalu lihat apa yang dia berikan pada mbak. Saya hanya menerima sisa. Saya benar-benar sampah, saya benar-benar sampah."

Aku kian galau.
Merasa bersalah dengan kejujuran yang baru saja aku ucapkan.

"Sstt... Jangan bergerak bu. Ada nyamuk di wajah ibu."
Tangan gemetar itu mengusir dengan sekali kibas.
"Bahkan nyamuk pun menginginkan kematian saya lebih cepat."
PLOK!
Nyamuk mati terpukul. Darahnya muncrat di pipi.
Aku tersenyum.
"Bukan bu, nyamuk itu utusan Tuhan yang teristimewa untuk ibu."
"Kenapa?"
"Berarti ibu amat berarti, hingga darahnya dicari-cari. Sudah, jangan terus-menerus menyalahkan Tuhan. Jika tidak ada nyamuk, mungkin tidak akan berguna semua pemikiran manusia untuk mengusir nyamuk, dan pil kina tidak ada artinya sama sekali."
Perempuan gemetar itu menatapku lamat-lamat.
Tatapannya terasa mencoba untuk menembus ke dalam kepalaku.
Perlahan, aku mendaratkan tanganku di atas telapak tangannya dan mencoba untuk menepuknya secara perlahan.
Berharap rasa hangat yang kumiliki bisa sedikit memberinya ketenangan.

Jadi ... apa yang disisakan oleh sinar Mentari di sore hari?
Rasa sedih karena kehilangan hari yang ceria
Berlalunya waktu dalam kesia-siaan sepanjang hari
Rasa pilu menyambut gelap malam dalam gaun hitam yang muram
Tidak.
Itu bukan gambaran senja yang aku suka.

Baik, sekarang, tanya aku sekali lagi.
Apa yang disisakan oleh sinar mentari di sore hari?
Keindahan senja yang jingga
Semburat lembayung yang syahdu
Serta keteduhan angin yang berbisik lembut di telinga

Aku menyukai senja
Apakah kau juga menyukainya?

---------
Penulis: Ade Anita
Catatan penulis:
Hal-hal yang harus dilakukan ketika ada tetangga terdekat atau anggota keluarga kita meninggal dunia.
1. Lapor RT setempat. Petugas RT akan memberikan pada kita surat pengantar keterangan kematian resmi hingga tingkat kecamatan. Adapun biaya yang mungkin dikeluarkan di kelurahan dan kecamatan berkisar antara Rp100.000 s.d Rp500.000 (tiap-tiap lokasi berbeda-beda kisarannya dan biasanya, tidak diberikan kuitansi).

2. Lapor pengurus masjid terdekat untuk yang beragama Islam. Tiap-tiap masjid setempat, memiliki dana khusus untuk yang tertimpa kematian. Dana ini dipakai untuk membantu: honorarium sekedarnya bagi petugas memandikan jenazah, memberikan, Kain kaffan gratis bagi keluarga miskin (tentu saja harus ada surat keterangan kematian resmi dari RT setempat dan surat keterangan tidak mampu, juga dari RT setempat), dan menyediakan peminjaman gratis tenda sederhana sebesar 2 x 3 meter bagi pelayat di rumah duka dan meminjamkan kursi sebanyak 10 buah kursi lipat bagi pelayat. Juga penyediaan satu kotak minuman gelas kemasan, dan membantu memberitahu perihal kematian lewat pengeras suara. Termasuk disini peminjaman keranda mayat gratis.

Mengapa 2 hal ini harus dilakukan (terutama jika yang tertimpa musibah adalah keluarga miskin)? Karena siar pemberitahuan lewat pengeras suara tersebut bisa menghimpn dana tambahan dari masyarakt guna keringankan beban yang harus ditanggung oleh yang tertimpa musibah.

Untuk menguburkan mayat, di DKI Jakarta, ada sewa kuburan untuk 3 (tiga tahun) yang dibayar di muka dengan kisaran sebesar Rp150.000 s.d Rp300.000 (untuk tanah pemakaman umum di DKI Jakarta, memang diberlakukan sewa lahan kavling, tidak ada hak pemilikan kavling, dimana sewa tersebut berlaku untuk tiga tahun.
Setiap tiga tahun sekali, harus dilakukan pembayaran sewa lahan jika tidak maka kavling dianggap terlantar dan berhak untuk dialihkan kepada pihak lain tanpa pemberitahuan sebelumnya). Biaya membuka kavling kuburan berkisar antara Rp300.000 s.d Rp2.000.000 (tergantung apakah itu kavling pavorit atau tidak dan tergantung apakah itu termasuk tanah kuburan pavorit atau tidak. Yang dimaksud dengan kavling pavorit yaitu letaknya yang tidak terlalu jauh dari jalan raya, letaknya yang eksklusif seperti di hook atau tempat yang mudah diingat lainnya. Sedangkan yang dimaksud dengan tanah kuburan pavorit, yaitu tanah kuburan yang menjadi incaran banyak orang karena letaknya yang terkenal dan mudah dijangkau dari berbagai arah. Misalnya, areal pemakaman Karet Bivak, Menteng Pulo, dan sebagainya).

Comment · Like · Share
Aisyah Dian, Vienna Alifa, Afifah Ahmad and 8 others like this.
Astrid Septyanti Ar-Rosyidi aku juga suka senja.senja seringkali datang utk memberi waktu utk tenang,dan mengumpulkan asa-asa yang tersisa.

bagus banget mbak.hm,jd wanita itu tetangganya mb Ade y?
ternyata sesudah mati,msh mengeluarkan biaya jg y?...
01 October at 16:01 via Facebook Mobile · Like
Elisa Trisnawati Ade bagus sekali tulisannya..........
01 October at 16:08 · Like
Tyasti Aryandini Tulisan2 ini sungguh mengingatkan saya akan hal2 yang baru saja terjadi di sekitar kita...saya sungguh setuju kata Mbak Ade...kita harus memberitahu anak2 kita ttg keadaan kita sepahit apapun itu..setiap saat kami berdua memikirkannya dengan memberi wasiat masing2...
01 October at 16:25 via Facebook Mobile · Like
Indria Auliani Masih lanjut mba? Ku tunggu.. Trnyata umur belum tntu bisa menakar pelajaran hidup ya... Wanita kelihatan tua brumur muda dgn pngalaman hidup yg klihatan bgitu berat..
01 October at 16:26 via Facebook Mobile · Like
Ilham Q Moehiddin Makin menyeret...dan menyentuh di seri ke tiganya ini...

Terima kasih sudah berbagi...mba' Ade :-)
01 October at 16:53 · Like
Ade Anita ‎@elisa: makasih ya...kamu tuh asli teman yg paling setia baca semua notesku..:D
01 October at 16:54 via Facebook Mobile · Like
Elisa Trisnawati hehehehe.......soalnya aku suka baca tulisan2 orang yg pandai menulis, kan pembelajaran buat aku juga. Aku tuh suka gaya kamu menulis
01 October at 16:56 · Unlike · 1 person
Ade Anita ‎@astrid: tetangga jauuuhhh...tapi memang benar, setelah seseorang meninggal bukan berarti urusan bagi yg ditinggalkan ikut selesai.. ada kewajiban utk menshalatkan, mengurus dan menguburkannya..serta membayar semua hutang2nya.. dan menguburkan di pemakaman di DKI artinya cari kontrakan baru utk tanah 1 x 2 meter itu..(jadi emang kasian orang DKI Jkarta, sudah meninggal pun masih dikejar utk bayar kontrakan)
01 October at 16:58 via Facebook Mobile · Like
Ade Anita ‎@elisa: aku malah masih mencari gaya yg enak buat nulis...ternyata kita masih sama2 belajar ya...
01 October at 16:59 via Facebook Mobile · Like
Ade Anita ‎@indri: masih berlanjut sptnya (eh, aku nggak tau kamu ngikutin..makasih ya)
01 October at 17:01 via Facebook Mobile · Like
Elisa Trisnawati hehehehe iya de, aku juga kadang masih berpikir apa gaya menulisku tuh sudah tepat, enak dibaca dll. Kadang suka ragu dengan tulisan sendiri
01 October at 17:01 · Unlike · 1 person
Indria Auliani I'm your secret admirer B-)
01 October at 17:41 via Facebook Mobile · Unlike · 1 person
Astrid Septyanti Ar-Rosyidi wah,saya juga harus bersiap2 mengumpulkan uang "kontrakan" nih,
makasie mb Ade.tulisan2nya buat saya jd byk "berpikir" ...
01 October at 18:17 via Facebook Mobile · Unlike · 1 person
Dessy Aja sedih jdnya...smg kepergianku nanti tdk smp menyusahkan keluargaku..
syukur melanda..ternyata ada yg jauh lebih susah...betapa tak bersyukurnya aku.....fabi ayyi alaa irobbikuma tukazzibaan...
01 October at 19:47 · Unlike · 1 person
Dwi Klik Santosa ya, sendu ..... memang seakan-akan bisa seperti itu hidup itu .... seolah-olah membawa penderitaan karena nasib yang terus kurang dari yang lainnya ... setiap orang punya misteri tersendiri untuk bisa merasakan senang dan sedih .... tapi saya rasa, hidup dijalani saja dengan heppy .... jika ukuran sedih itu meratapi diri sendiri ... saya rasa, jadi teramat sulit jika kita harus bisa memberi untuk membuat kesenangan diri ...
02 October at 09:44 · Unlike · 1 person
Ade Anita baru baca sekarang..maaf..
@dwi: iya..semua jalan hidup itu emang unik ya..makasih ya dwi
02 October at 09:47 · Like
Ade Anita ‎@dessy: ammiin.. itu juga harapanku..
02 October at 09:47 · Like
Ade Anita ‎@astrid: jangan cuma siap2 ngumpulin uang kontrakan tapi juga jangan sampai berhutang dan menyusahkan ahli waris kita kelak.
02 October at 09:48 · Like
Ade Anita ‎@indri: ahay... ahay... ini mah dari dulu bukan?? sejak jamannya istilah tebar pesona.. hahahaha
02 October at 09:49 · Like
Ade Anita ‎@elisa: kondisi itu aku alami kalo aku kebanyakan baca notes2 keren orang2 ..."duh, bisa nggak ya nulis seperti itu?
02 October at 09:51 · Like
Astrid Septyanti Ar-Rosyidi betul betul betul mbak,
yg pastinya jg harus terus menyiapkan bekal y mbak..
02 October at 11:40 via Facebook Mobile · Like
Ade Anita yg terakkhir in i pasti dong..judulnya harus kalo nggak mau remuk dihadapan malaikat munkar dan nakir..:D
02 October at 14:24 via Facebook Mobile · Like
Ate Aza di seri ketiga ini ada larikan2 syair yang bijak sekali. mengikuti 3 seri kisah mbak Ade ini sungguh besar manfaatnya. saya kagum.

makasih yah. salam hangat, mbak. saya menanti kisah lainnya.
03 October at 11:19 · Like
Arfianti Dwi Kusuma Ade makasih ya (sori baru baca hari ini)...banyak pelajaran dalam tulisan ini...sama seperti yg 1 dan 2...tetep request..jangan bosan2 tag nya ya...he3..tq
04 October at 12:46 · Like
Ade Anita ‎@arther: makasih, ini hasil lalu lalang membaca notes2 keren kalian para penyair...jd, jgn lupa tag aku utk notesmu agar bisa tetep belajar nulis
04 October at 17:06 via Facebook Mobile · Like
Ade Anita ‎@fifi: iya..aku selalu tag kamu kok skrg...makasih ya
04 October at 17:07 via Facebook Mobile · Like
Nazla Luthfiah As usual tulisan mba ade terjalin kuat, mengalir mulus :)

Mahal jg ya pemakaman umum. Selama ini keluarga selalu pakai tanah sendiri
07 October at 06:38 via Facebook Mobile · Like
Vienna Alifa ‎*duduk anteng, menikmati seri tulisan ini di pagi sunyi..*

Mb Ade, jempolku ini saja ya yg cukup menjadi saksi..
Bahwa diriku terhanyut menyesapi hikmah di beberapa lembar halaman catatan hatimu.
07 October at 07:37 · Like
Aisyah Dian teh Viena sama, ini juga lagi hanyut sama coretan mbak ade. nggak cuma ilmu nulisnya yang dapat, tapi pengetahuan umum tentang kuburan di Jakarta, syukroon tagnya mbak ade.
07 October at 08:35 · Like

Tidak ada komentar