Warna Kulit Sawo Matang

[Parenting] Apa warna kulit anak-anak kalian?
Sebenarnya, aku tidak pernah terlalu peduli dengan warna kulit. Karena, sebagai manusia kita memang tidak pernah bisa memilih dilahirkan dengan warna kulit apa. Bukan hanya warna kulit, tapi juga bentuk hidung, bentuk mata, bentuk bibir, warna rambut, bentuk helai rambut, dan semua yang berbentuk fisik manusia.

Kebetulan, aku dilahirkan di keluarga dari Sumatra Selatan yang memang memiliki ciri khas fisik warna kulit kuning terang, mata sipit, rambut lurus tidak hitam, bibir tipis dan hidung tidak mancung tapi juga tidak pesek. Sedangkan suamiku, dilahirkan di dalam keluarga yang masih ada campuran Jawa-Pakistan-Bogor, sehingga memiliki rambut berbeda dengan  keluargaku. Yaitu rambut yang helai-helainya  sedikit kaku dan warnanya hitam. Hidungnya mancung, bibirnya berisi, dan warna kulit sawo matang. Karena percampuran antara aku dan suamiku ini, lahirlah anak-anak kami dengan gabungan fisik kami berdua.




Ketiga anakku memiliki ciri fisik yang berbeda satu sama lain. Kata orang, anak yang sulung mirip dengan fisik aku. Putih, matanya minimalis. Tapi sebenarnya sih tidak 100% mengambil fisik aku sih dia. Karena helai rambutnya mirip dengan helai rambut suamiku. Hitam, tidak lemas, juga ikal. Tapi bukan ikal yang bergelombang seperti itu. Ini jenis ikal yang membuat rambut tidak pernah bisa terlihat lurus lantak. Dia akan membuat rambut mengembang. Jadi seperti membal. Hidungnya juga mancung seperti hidung suamiku. Bentuk dagunya juga. Seperti ada bola kempes di ujung dagunya.

Sesungguhnya, yang mirip dengan aku hanyalah bagian warna kulit dan bentuk matanya saja. Tapi, 2 hal ini adalah hal yang mendominasi keseluruhan. 2 hal yang dilihat orang ketika pertama kali bertemu dengan seseorang. 2 hal yang pada akhirnya dianggap telah mewakili keseluruhan fisik seseorang.

Lalu sekarang anak keduaku. Kata orang, dia juga mirip denganku. Sekali lagi, hal ini karena dia dikaruniai bentuk mata dan warna kulit seperti aku. Mata minimalis dan warna kulit yang terang. Padahal sih, bentuk wajahnya yang tidak terlalu oval, mirip dengan suamiku. Hidungnya juga. Bentuk bibirnya juga. Dan terutama bentuk dagunya yang khas.

Yang kata orang mirip suamiku adalah anak bungsuku dan sepertinya kali ini aku setuju dengan apa yang dikatakan oleh  orang-orang. Anak bungsuku ini memang mirip dengan suamiku. Secara keseluruhan mereka mirip.

Awalnya nih, aku sebenarnya tidak begitu memperhatikan kemiripan putri bungsuku dan suamiku ini. Hanya saja, setiap kali kami bepergian semua orang berkata bahwa dia mirip sekali dengan ayahnya. Karena selalu begitu dikata orang, akhirnya aku jadi memperhatikan mereka berdua.

Mereka berdua yang selalu kemana-mana berdua ini. Saling bergandengan tangan. Dekat. Akrab.
Dan disitulah aku akhirnya setuju dengan apa yang dikatakan oleh semua orang, bahwa putri bungsuku ini memang mirip dengan ayahnya.



Pernah nih, aku membuka-buka album lama dan menemukan foto suamiku waktu dia masih duduk di bangku sekolah dasar. Ya ternyata, suamiku memang mirip dengan putri bungsuku sih. Tapi versi anak laki-laki sih memang. hehehe.

#ayahjamannowgakgampang karena ketika ibu berhalangan mendampingi putrinya maka ayah harus siap menggantikan posisi ibu. Termasuk jika harus menemani putrinya membeli pakaian dalam. Atau masuk ke toko-toko yang tidak ada barang elektroniknya sama sekali. Toko yang didominasi warna pink dan penuh dengan pernak-pernik girly. Ayah harus siap mendengar celoteh putrinya yang bingung memilih apakah harus membeli jepitan dengan hiasan beruang berwarna pink atau hiasan beruang berwarna ungu. Pilihan yang mungkin dalam kamus si ayah terbaca sama tidak pentingnya. Tapi demikianlah jaman sekarang. Tugas orang tua tidak lagi dikotakkan dengan batasan yang tegas mana tugas ayah dan mana tugas ibu. Jaman now itu ayah dan ibu harus bekerja sama bahu membahu menghadapu semuanya. Sehingga #kidsjamannow tidak menghabiskan waktu untuk mencari hal-hal tidak berguna yang akan disesalinya di kemudian hari kelak. Keputusan akibat #younganddumb . Konon, ayah yang berhasil mendampingi anaknya dan bisa memberi rasa nyaman dan hangat bagi keluarganya, Insya Allah akan membentuk anggota keluarga yang juga hangat dan jauh dari masalah. #ayahjamannow adalah pahlawan dalam keluarga di rumah. Selamat #haripahlawan #kesayanganku
A post shared by Ade Anita (@adeanita4) on

Warna Kulit Sawo Matang

Tapi, mirip dengan ayahnya bukan berarti 100% membuat hati putriku ini senang ternyata. Hal ini karena setelah begitu banyak orang-orang yang berkomentar lebih dari sekedar bilang "mirip ayah."

"Nah.... ini sih anak ayah nih, mirip banget dengan ayahnya. Kulitnya sawo matang."

"De, anak lo yang ini beda ya ama anak-anak lo yang lain. Lebih mirip dengan ayahnya deh kayaknya, kulitnya sawo matang."

"Ini sih sudah tidak diragukan lagi pasti anak ayah ini sih. Kulitnya nggak kayak kulit ibunya, tapi mirip kulit ayahnya."

Kadang, aku kurang suka dengan orang yang berbasa-basi berlebihan. 
Aku juga kurang suka dengan orang yang sering menambahkan kalimat komentar pada sesuatu yang sebenarnya tidak perlu juga dikomentari.

Ini sih anak ayah nih, mirip banget dengan ayahnya. Kulitnya sawo matang. ---> Memangnya yang lain bukan anak ayahnya? Komentar seperti ini, kadang bikin anak merasa tidak nyaman.

Anak lo yang ini beda ya ama anak-anak lo yang lain. Lebih mirip dengan ayahnya deh kayaknya, kulitnya sawo matang. ---> So what gitu loh? Manfaatnya apa coba komentar seperti ini selain bikin rasa tidak nyaman di hati anak. 

Gara-gara terlalu banyak orang yang berkomentar dengan nada seperti di atas, perlahan anakku mulai mempertanyakan mengapa warna kulit dia berbeda dengan warna kulit kakak-kakaknya yang mirip dengan aku. Ditambah dengan serbuan iklan yang mempromosikan bahwa kecantikan itu identik dengan warna kulit tertentu, bentuk helai rambut tertentu, warna rambut tertentu, bentuk tubuh tertentu, dan lain-lain yang mengkotak-kotakkan perempuan.  Akhirnya, anakku mulai resah.

"Bu, kenapa sih aku nggak punya kulit kayak ibu? Kan lebih enak kalau kulitku putih kayak ibu."

Kalau sudah begitu, sudah deh. Aku berusaha untuk membeberkan beribu alasan bahwa semua warna kulit manusia itu sama baiknya.

Yang penting itu kulitnya sehat.
Yang penting itu hatinya bahagia.
Yang penting itu otaknya terpakai untuk berbagai hal kebaikan.
Dan yang paling penting, dia tetap beribadah apapun yang terjadi dengan sekitarnya.

"Enaknya punya warna kulit sawo matang itu, zat pigmennya banyak. Lihat deh kulit ibu. Setiap kali ibu berpanas-panas ria, jika ibu kelupaan pakai sun cream ughh.. langsung deh bintik-bintik hitam ibu bertambah dengan pesat. Kalau warna kulit sawo matang, dia lebih tahan dengan sinar matahari."

"Kamu ingat nggak waktu kita liburan ke Pulau Belitung? Ibu tergantung banget sama yang namanya topi. Kenapa? Karena warna kulit ibu yang terang gini. Sudah pakai topi, pakai sun cream, eh, tetap saja sore harinya setelah kita bersenang-senang di pantai kulit ibu merah kayak abis direbus karena terbakar matahari. Sedangkan kamu dan ayah, biasa-biasa saja. Enak warna kulit seperti kamu."

Nah, kemarin kebetulan aku membeli buah sawo. Sekalian saja deh aku perlihatkan kenapa di antara semua buah-buahan yang banyak sekali, buah sawo ditunjuk untuk mewakili salah satu warna kulit manusia.

"Karena memang kulit sawo yang matang itu mirip dengan salah satu warna kulit manusia. Lihat deh."

punggung tangan putriku dan warna kulit buah sawo yang sudah matang

warna punggung tanganku dan warna kulit sawo yang sudah matang
Sebenarnya sih, kulit orang Indonesia itu mirip-mirip. Bedanya tipis. Pada umumnya warnanya seperti warna kulit sawo matang semua. Hanya saja, ada yang lebih terang dan ada yang lebih gelap. Apalagi kita tinggal di daerah tropis. Mereka yang tinggal di daerah pesisir dan tepi pantai, otomatis lebih sering terkena sinar matahari dan pantulan panas matahari dari permukaan laut. Itu sebabnya jadi lebih gelap. Sedangkan mereka yang tinggal di daerah yang lebih tinggi, yang daratannya lebih tinggi dan lebih jauh dari permukaan laut, warnanya lebih terang. Begitu juga dengan mereka yang sehari-hari lebih sering tinggal di dalam ruangan, ber- ac pula. Nah. Warna kulit mereka  lebih terang biasanya.

"Tapi, buat apa terus menerus berada di dalam ruangan jika kita bisa berlari-lari, melompat, jalan-jalan, dan bermain dengan teman-teman di bawah matahari? Cuek saja lah apapun warna kulitmu. Yang penting itu bahagia dan tetap bermanfaat buat orang lain. Sehat, nggak bau, nggak jorok.  Iya kan?"

Putriku tersenyum. Dia sekarang sudah lebih bahagia dengan warna kulitnya.
(putriku sudah berubah, para komentator nih yang belum berubah. Ayoo... kita perbaiki cara kita memberi komentar dan berbasa basi pada orang lain).

12 komentar

  1. betul sekali mbak Ade, kadang kala budaya timur di kita sering jadi bumerang, maksud hati mau terlihat akrab tapi berakhir dengan mengatakan hal2 yang tidak pada tempatnya, misalnya seperti ih kamu sekarang sudah besar ya, mirip sama papa kulitnya. Atau, eh jeng sudha lama ga kelihatan, maaf ya ga bisa datang waktu nikahan, sekarang sudah hamil?

    Tanpa mereka menyadari kalau pertanyaan2 tersebut bisa membuat sedih yang ditanya atau tidak.

    BalasHapus
  2. Iya pertanyaan seperti itu kadang "menyakitkan" dan membuat anak jadi minder. Ini juga saya alami, anak pertama dan ketiga, laki-laki, kulitnya putih nurun dari papanya. Anak kedua perempuan, kulitnya sawo matang nurun dari mamanya.

    BalasHapus
  3. Anakku juga kata orang mirip banget ayahnya pernah juga anakku bilang gini bunda cantik aku jelek kayak ayah *aku ngakak denger dia ngomong gitu mb* padahal dia masih 4th karena banyak org yang sll blg dy anak ayah dan pemikirannya dia bahwa ayah itu ganteng bukan cantik maka ketika dilabel mirip ayah dy bilang aku jelek. kadang memang komentar orang tanpa disadari membuat down.

    BalasHapus
  4. Si sulung sejak tinggal di Malang, kulitnya jadi lebih terang. Bahkan saya yang tinggal di pesisir, kalah. Padahal dulu dia termasuk paling gelap di keluarga kami.

    BalasHapus
  5. Iya nih, anakku pertamaku mirip Pak Suami, anak kedua malah miripnya sama kakakku.
    Tapi sawo matang semua. Mama mertuaku yang kulitnya cerah tapi ngga nurun ke anak2ku.

    Yang penting sih mereka semua sehat ya, Bu Ade

    BalasHapus
  6. aki jh merasakannya pas anak pertamaku mirip plek dg abinya, sdngkn anak ketiga sipit dan kuning spt aku. Dan resenya org2 lgsg blg klo anak pertamaku jelek krn pny kulit sawo matang, apa gk sakit hati coba anakku dan aku jg. Kelewatan org2 ini

    BalasHapus
  7. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  8. Setuju Mba', anak laki-lakiku usia 3 tahun juga sudah sibuk bertanya warna kulit, huhu. Padahal dia aslinya putih, cuma sering panas-panasan jadi agak gelap . Mungkin ngaruh juga karena selalu dibilang putih dulunya.

    BalasHapus
  9. Hm, masih mending itu mirip dengan ayahnya. Adik perempuan kedua saya warna kulitnya lumayan gelap sekujur badan, padahal boleh dibilang umik dan abi berkulit lumayan kuning langsat. Awalnya dia suka banding2in dg saudara yg lain, tapi saya bilang, 'kamu tuh disukain bule, kulitnya eksotis'. Huehehe.

    BalasHapus
  10. Wah, cara ngejawab pertanyaannya menyenangkan sekali mba Ade.

    Hmm ... aku pun sewaktu kecil sering bertanya begitu. Tentu saja kalo aku putih pirang, sementara mama papaku nggak. Ternyata aku mirip nenek nenekku. Alhamdulillah mama papa pun memberi jawaban dengan cara yang menyenangkan.

    BalasHapus
  11. Kalo aku malah sering bilangin ke anakku, kak kamu kok kulitnya gosong gt, mama aja putih, kaya siapa sih. Anakku langsung bilang, kaya ayah, ayah lebih gosong kulitnya 😁😁

    BalasHapus
  12. anak saya mba pernah sedih karena telapak kaki lebar sedangkan teman2nya nggak, ya ternyata memang genetik sepertinya. yg bisa saya lakukan juga hibur dia gapapa yg penting jd anak soleh

    BalasHapus