Ya iyalah ya. Profesi sebagai ibu itu tidak lantas hilang dan terbebaskan hanya karena seorang perempuan bekerja di luar rumah atau memiliki sebuah profesi di bidang pekerjaan tertentu. Karena, tidak mungkin seorang perempuan akan bisa melepas rasa sayang dan khawatirnya pada si buah hati. Khususnya ketika seorang ibu harus meninggalkan buah hatinya di rumah.
Ish. Hal terberat memang ketika harus meninggalkan anak terlepas dari kita.
Kebetulan, aku sejak awal menikah dan punya anak tidak punya pengalaman seperti itu sih. Mungkin kakakku punya pengalaman harus berpisah dengan anaknya.
Kebetulan, kakakku dulu adalah ibu bekerja. Kebetulan lain, putra kakakku hanya berbeda satu (1) bulan saja dengan putraku. Karena waktu itu aku masih kuliah dan kakak bekerja, jadi kakak menitipkan putranya padaku untuk aku asuh setelah masa cuti melahirkan 2 (dua) bulannya selesai. Jadilah aku sempat merasakan seperti mengasuh 2 bayi kembar. Biar praktis, malah aku susukan kedua bayi yang ada di pengasuhanku itu, bayiku dan bayi kakakku.
Setiap pagi, kakak menyerahkan bayinya yang gemuk dan kekenyangan padaku dalam posisi si bayi sudah tertidur nyenyak. Lalu kakak dan suaminya pergi ke kantor. Selepas kakak berangkat ke kantornya, mulai deh rutinitasku dengan "bayi kembar" ku itu. Memandikan mereka, menyusui, lalu menjemurnya.
Setelah bayi beranjak besar seiring pertambahan waktu, bayi kakak mulai mengerti mana ibunya yang sesungguhnya dan mana yang ibu titipan. Tentu saja pengetahuan baru yang dimilikinya ini membuatnya sering terlihat sedih ketika harus berpisah dengan ibunya yang sesungguhnya. Jadi, setiap pagi, aku melihat adegan kakak dan suami pamitan pada bayinya.
Bisa jadi mereka sedih, tapi, budaya Sumatra yang mengajarkan "keluar rumah untuk bekerja itu bukan adegan drama yang sedih tapi menggembirakan" membuat kakak dan suaminya tidak terlihat begitu sedih-sedih amat sih. Khawatir iya. Tapi, mereka punya pembantu pribadi juga yang mengurus bayinya secara full time. Kebetulan, waktu itu aku sedang bersiap-siap untuk berangkat ke Sydney kembali, untuk mengikuti suamiku yang sedang belajar di Sydney.
Drama Ibu Bekerja dan Si Buah Hatinya
Curhat teman yang aku copas di atas, adalah curhatnya Rosalina Susanti. Dia seorang blogger, dan kesehariannya bekerja sebagai staf pajak di sebuah Yayasan Islam. Rosalina ini, baru punya anak balita, namanya Faza. Bayi yang lucu deh. Masya Allah.
Jika kalian main ke blog parentingnya yang diberi judul Rumah Cerita Sani & Rosa, kalian bisa membaca semua cerita-cerita seru keseharian dia ketika mengasuh putranya ini.
ini Faza, putranya Rosalina Susanti atau Rosa |
ini dia Rosalina Susanti |
Kemnali ke curhatnya Rosa ya. Ternyata, memang demikianlah dilema yang nyaris dihadapi oleh semua ibu bekerja ketika harus meninggalkan anaknya untuk pergi bekerja. Akhirnya, di grup whats app kami saling berbagi cerita deh tentang hal tersebut.
Ada yang harus pergi meninggalkan anaknya untuk bekerja di lokasi yang beda pulau. Jadi setiap pagi, harus naik kendaraan umum di darat lalu lanjut naik kendaraan umum di laut. Melihat ombak besar menghadang buritan kapal, merasakan gelombang dan angin mempermainkan perahu, sementara di rumah terbayang anak yang berwajah sedih karena harus ditinggalkan itu luar biasa ternyata (dialami oleh blogger Irawati Hamid yang tinggal di bau-bau, Sulawesi).
Oh ya, aku pernah menulis tentang Irawati Hamid ini di postingan sebelumnya, yaitu di tulisan (siapa tahu ada yang mau baca, klik saja ya:)
"Mempertanyakan agama dan cara menjelaskannya pada anak" .
Nggak kebayang kan gimana perjuangan ibu-ibu bekerja yang harus meninggalkan anak-anak mereka di rumah. Selain Irawati Hamid, ada beberapa lagi pendapat yang sharing kisah mereka ketika harus meninggalkan anak ketika masih bekerja. Kalau sudah begitu, pasti deh jadi ngerasa
"Ih... ternyata ya, yang gue rasa itu biasa saja."
Iya sih.
Enaknya saling curhat itu memang jadi menemukan teman-teman yang kurang lebih merasakan hal yang sama dengan kita. Dengan begitu, kita jadi tidak merasa sendiri kan. Tapi, nggak enaknya nih, lama-lama, fokus perhatiaan bukan lagi ke kita. Hehehe.. resiko ini mah. Karena, curhat yang semula kita curahkan itu, berawal dari perasaan "masalah gue berat nih" tapi ternyata di tengah orang lain "masalah gue nggak ada apa-apanya".
Kalau sudah merasa B aja alias biasa saja, malah jadi ketemu dilema lagi biasanya.
"Yang sudah aku lakukan ini benar nggak ya?"
"Yang sudah aku lakuin ini sudah tepat belum ya?"
Akhirnya jadi ragu-ragu sendiri.
Nah, aku bertemu lagi curhatnya Rosalina di blog parentingnya itu (Sanirosa.com). Yaitu di tulisannya tentang "Belajar Parenting, Belajar Mendidik Diri Sendiri.". Jadi menurut Rosa, menggali ilmu parenting dari mana saja itu penting. Tapi, setelah dapat ilmunya, kalau bisa sih jangan membebani diri sendiri. Kenapa? Karena tiap orang tua itu juga manusia. Dan interaksi antara orang tua dan anak memang unik. Tidak bisa disama ratakan seluruhnya.
Tiap orang tua dan anak pada tiap-tiap keluarga punya latar belakang yang berbeda.
Tiap orang tua dan anak pada tiap-tiap keluarga punya pengalaman yang berbeda-beda.
Juga, mereka punya perbedaan karena sistem budaya lingkungannya, etos dan nilai budaya keluarga asal yang berbeda, tingkat pendidikan, tingkat status sosial ekonomi, dan sebagainya.
Jadi, menurut Rosa, jangan cepat stress ketika belajar ilmu parenting dari orang lain. Karena, semua orang tua sebenarnya punya insting masing-masing apa yang terbaik bagi anaknya.
Jadi, jika masih mengalami drama ketika harus meninggalkan si buah hati, mungkin ada baiknya:
1. Curhat lah di group tertutup yang kalian percaya orang-orang di dalamnya bukanlah sosok penyebar gosip. Dengan begitu hati jadi lega.
2. Dengarkan cerita orang lain yang punya kisah serupa. Ambil hikmahnya dan bersyukur bahwa ternyata, kita tidak sendiri mengalami hal serupa.
3. Jangan stress jika anak orang lain terbaca hebat sedangkan anak kita terasa biasa; ingat, yang mereka tulis itu adalah cerita pilihan yang kebetulan hebat-hebat tertulisnya; sedangkan anak kita, kita melihat keseluruhannya; jadi hebat dan tidak hebatnya sudah bercampur baur menjadi sesuatu yang biasa. Kalau kita fokus melihat kehebatannya saja, maka insya Allah kita akan sadar bahwa anak kita sama seperti anak lain, yaitu sama hebatnya.
4. Jangan cepat merasa bersalah jika ibu lain terlihat berhasil sedangkan kita tertatih-tatih. Karena sekali lagi, mereka terlihat berhasil karena memilih tidak menceritakan cerita terpuruknya mereka sebelum akhirnya berhasil.
Jadi... mari belajar untuk berinteraksi dengan keluarga kembali. Itu sepertinya PR yang tidak bakalan selesai deh.
Mbak, aku udah lama banget nggak mampir ke sini, jadi, pangling sama tampilannya.
BalasHapusMbak Ir sama Mbak Ocha, aku lumayan tahu cerita dari blognya. Pun aku juga seorang bekerja. Ya, aku sepakat dengan semua Mbak ulas. Pokoknya aku berusaha banget tidak membanding2kan anakku, Kak Ghifa, dengan yang lain. Apalagi aku tidak selalu bisa bersamanya. Paling tidak aku hanya bisa mencoba untuk menjadi orangtua yang terbaik untuknya.
Makasih mbak Adeeee :)
BalasHapusBener banget mbak. Kalo curhat pada orang yg tepat, kita akan tercerahkan dan perasaan akan membaik.
sebentar lagi aku bakal ngerasain nih.
BalasHapussanggup gak ya? bekerja plus ngurus anak dan suami..
pasti bisa lah yaa.. hehe
PR sepanjang hayat :)
BalasHapussebagai ibu bekerja aku merasakannya sekali dan semua yang mba ade katakan itu bener banget :) akan selalu ada dilema dan drama yang aku rasakan selama ini tapi semua kembali ke masing2 pilihan karena kumemilih bekerja maka segala konsekuensinya aku hadapi :)
BalasHapusAku belum pernah ngerasain,tapi baca curhatan diatas,ikut mewek. Nggak kebayang ditatap anak saat pamit kerja :(
BalasHapus