Klasik banget kan?
Entah mengapa belum tertarik untuk mendalami model-model a la hijabers yang dulu pernah ngetrend lalu sekarang makin bervariasi itu.
Lalu, mungkin ada yang bertanya, pernah bosan tidak sih bertahan dengan model klasik seperti ini?
Gaya Jilbab Klasik -ku Bermula
Aku mengenakan jilbab itu tidak lama setelah anak perempuanku lahir. Jadi, ceritanya aku menikah lalu punya anak. Anak pertama laki-laki.
Lucu. Imut. Menggemaskan deh waktu anak sulungku ini masih kecil. Pipirnya bulat kemerahan di tengah kulitnya yang putih bersih. Jangan ditanya gimana senang dan sayangnya aku pada anakku ini. Suami juga demikian sih. Apalagi anakku ini terlihat cerdas sejak masih bayi.
Dulu, aku tidak mengenakan jilbab.
Dulu juga, aku tidak terlalu peduli dengan Islam. Yang penting murni beragama Islam dalam arti tahu syahadah, sudah shalat, puasa, bayar zakat, mau naik haji tapi belum mampu. Pengetahuan tentang agama Islamku serba minim. Hanya tahu yang pokok-pokoknya saja.
Waktu kuliah, bahkan aku kerap mengenakan rok di atas lutut. Dan mode pakaian yang aneh-aneh deh. Jika diingat lagi kelakuan tempo dulu pokoknya harus banyak berdoa mohon ampun saja akunya sekarang.
Nah. Dalam kondisi seperti ini, suami mengajukan sebuah permintaan.
"De, pakai jilbab yuk. Biar auratnya tertutup."
Glek.
Padahal, pemahamanku tentang Islam kan masih minim ya saat itu. Kata orang, tidak kenal maka tidak sayang. Jadi, karena pemahaman tentang Islam masih minim, maka loyalitasku pada apa yang diperintahkan Allah-pun masih kurang banyak. Menghadapi permintaan suami seperti ini, tentu saja aku langsung memvetonya. Menolak dengan tegas.
Suami tidak memaksaku saat itu. Tapi, dia memperkenalkan aku pada internet dan memberi bahan bacaan tentang Islam yang dia dapat dari internet. Waktu itu tahun 1995-an deh; dimana yang namanya media sosial masih berupa yahoo messenger dan milis-milis saja.
Suami juga mulai sering mengajak aku ikut serta dengannya menghadiri pengajian, dan mengajak untuk mampir ke perpustakaan.
Hmm.. mulai tuh. Rada-rada tergerak dan terbuka sedikit kesadaranku tentang Islam yang sesungguhnya. Tapi, masih belum mau menurut pada permintaan suami. Aku mendebatnya.
"Ayo, pakailah jilbab, De. Dengan begitu, elo bisa memberi contoh pada anak-anak lo nanti."
"Mas, mau ngasih contoh apaan sih? Anak kita kan cowok. Gimana sih lo, perumpamaannya salah deh."
(satu lagi nih perubahan sebelum dan sesudah mengenakan jilbab adalah: sapaan. Dulu, sebelum mengenakan jilbab aku dan suami saling menyapa dan ngobrol dengan panggilan "elo-gue". Tapi setelah mengenakan jilbab, kami jadi mengubah sapaan ketika ngobrol menjadi "aku-kamu")
Tapi suami tidak kenal lelah membujuk meski aku sering kali menolak dan mendebatnya. Dia tetap tidak memaksa, tapi menghimbau dengan tidak kenal lelah. hehehehe. Jadi, akhirnya aku pun menyerah dan mengajukan sebuah syarat.
"Okeh. Gue akan pakai jilbab. Tapi nanti, kalau gue punya anak perempuan. Jadi seperti yang elo selalu bilang itu, gue bisa ngasi contoh ke anak gue yang perempuan."
"Bener ya? Janji?"
"Iya... iya.. gue janji. Nanti ya kalau gue udah punya anak perempuan baru gue pakai jilbab."
(terus terang nih, dalam hati aku mentertawakan janji ini dulu. Karena waktu itu aku masih kuliah, jadi masih punya beberapa cita-cita ceritanya. Jadi, dalam hati, aku merencanakan buat menunda kehamilan. Jika pun nanti berencana untuk hamil lagi, aku berencana untuk mengaturnya agar bisa mendapatkan anak laki-laki lagi. Hehehe.. dengan begitu, jadi terbebas kan dari kewajiban bayar hutang janji? Itu pikirku saat itu).
Lalu, kehidupan berjalan terus. Aku kuliah, suami kuliah. Aku lulus kuliah lalu kembali ikut suami ke Sydney lagi. Dan... akhirnya aku hamil.
Berdasarkan "kata bacaan" yang aku pelajari, katanya jika ingin punya anak laki-laki itu harus banyak makan daging-dagingan, setelah berhubungan badan langsung miring ke salah satu arah (lupa arah mana) sebelum membersihkan badan, dan lain-lain. Semuanya, diam-diam aku ikuti tuh. Jadi, aku merasa percaya diri saja ketika dinyatakan positif hamil lagi.
"Ah.. paling juga anaknya laki-laki lagi."
Tapi, ternyata ketentuan Allah berkata lain.
Di luar dugaan, aku keguguran.
Ugh. Sedih.
Sedihnya banget-banget.
Pokoknya sedih deh. Untuk pertama kalinya aku merasa kehilangan sesuatu yang aku merasa sudah separuh memilikinya. Aku sudah merasakan rasa mual di perut, sudah merasakan rasa mengganjal di perutku, sudah merasakan cikal bakal air susu yang mulai mengisi payudaraku, dan sudah terlanjur mendengar suara detak jantung calon janinku di perut.
Karena keguguran itu, aku jadi merasa bersalah sekali karena sudah berlaku sombong selama ini. Merasa sombong bahwa aku bisa mengatur takdir yang aku pilih. Padahal, ada Allah yang tetap Maha Berkuasa atas segalanya.
Dalam kondisi terpuruk inilah, untuk pertama kalinya aku mulai mendekatkan diri kembali pada Allah. Lalu diam-diam curhat, minta maaf - mohon ampun. Dan pasrah, apapun yang dititipkan di rahimku nanti, aku akan terima dengan ikhlas. Dan ikhlas juga untuk membayar hutang janjiku pada suami.
Akhirnya, aku pun bisa hamil lagi. Tahun 1999 putri keduaku lahir. Suami bukan main senangnya. Sekaligus, dia tidak lupa menagih janji.
"De.. ingat kan, bahwa jika sudah punya anak perempuan mau mengenakan jilbab?"
Bahkan, suami menagih janji ini sejak aku masih di rumah sakit loh. Hehehe. Aku masih agak shock sih dengan tagihan janji ini. Jadi masih mencoba untuk berkelit.
"Tapi mas, gue nggak punya jilbab sehelai pun loh. Gue juga nggak tahu, gimana caranya memakai jilbab itu."
Setelah aku keluar dari rumah sakit, suami mengajakku jalan-jalan ke Queen Victoria Building. Sebuah pusat perbelanjaan besar yang ada di jantung kota Sydney. Pada sebuah gerai yang menjual aneka macam scarf dan dasi, suami memintaku untuk memilih scarf apa saja.
"Gue beliin. Pilih aja."
"Cara makenya gimana? Lihat deh, ini bahannya licin banget loh, sutra gitu. Rambut gue kan licin gitu."
Kebetulan, bersamaan dengan saat aku memilih itu, ada sepasang suami istri bangsa Timur Tengah yang memperhatikan kepanikanku. Si istri menghampiriku lalu mengajariku cara mengenakan scarf agar bisa menetap di kepala tidak geser-geser.
"Kamu baru pertama kali ingin mengenakan hijab ya?" kata istri pasangan Timur Tengah itu. Aku mengangguk. Lalu, dia mengeluarkan sebuah ciput serupa bando dari dalam tasnya.
"Ini, buat kamu. Nanti, selalu kenakan bando kain ini dulu agar scarf ini tidak meluncur di wajahmu. Lalu jepit ujung jilbabmu di bawah dagu dengan cara menyelipkannya."
Aku ikuti caranya dan berhasil. Dan jilbab pertamaku adalah jilbab berwarna kuning terang dari bahan sutra yang aku beli di Queen Victoria Building.
ini dia jilbab pertamaku (terus pas kembali ke Jakarta, jilbab ini kena setrikaan, lalu bolong.. huhuhu) |
Nah. Selanjutnya; ternyata keinginan untuk memakai jilbab itu hanya sebatas "punya hutang janji" sepertinya bukan sebuah komitment yang benar deh.
Terbukti aku masih maju mundur untuk mengenakanya dan kembali keluar aneka macam alasan. Padahal, suami selalu berusaha untuk mengatasi semua rintangan berjilbab yang aku kemukakan di hadapannya.
"Gue nggak punya baju lengan panjang mas." (lalu dia beliin kemeja dan tunik lengan panjang).
"Gue nggak pede mas kalau pakai jilbab." (dia lalu senantiasa mendampingi dengan setia).
"Gue kekurangan bando dan peniti deh kayaknya. Susah kalau cuma diselipin di bawah dagu aja. Gue kan menyusui gitu mas. Kalau ketarik lalu terlepas ama tangan bayi gimana?" (suami lalu selalu berusaha, jika datang ke sebuah mall, hal pertama yang dia cari adalah denah mall yang memang selalu terdapat di lantai dasar mall. Lalu, dia mulai mencari dimana terdapat ruang menyusui. Atau selalu membawa koran agar ketika aku menyusui maka koran itu bisa ditaruh di depanku untuk menutupi kegiatan menyusui.
Hmm.. nyerah deh nyerah untuk semua kegigihan dia. Bahkan, tidak hanya berusaha itu saja. Suami juga berani menawarkan sebuah hadiah.
"Jika kamu berjilbab dengan rapi, aku akan memberimu hadiah."
Terbukti aku masih maju mundur untuk mengenakanya dan kembali keluar aneka macam alasan. Padahal, suami selalu berusaha untuk mengatasi semua rintangan berjilbab yang aku kemukakan di hadapannya.
"Gue nggak punya baju lengan panjang mas." (lalu dia beliin kemeja dan tunik lengan panjang).
"Gue nggak pede mas kalau pakai jilbab." (dia lalu senantiasa mendampingi dengan setia).
"Gue kekurangan bando dan peniti deh kayaknya. Susah kalau cuma diselipin di bawah dagu aja. Gue kan menyusui gitu mas. Kalau ketarik lalu terlepas ama tangan bayi gimana?" (suami lalu selalu berusaha, jika datang ke sebuah mall, hal pertama yang dia cari adalah denah mall yang memang selalu terdapat di lantai dasar mall. Lalu, dia mulai mencari dimana terdapat ruang menyusui. Atau selalu membawa koran agar ketika aku menyusui maka koran itu bisa ditaruh di depanku untuk menutupi kegiatan menyusui.
Hmm.. nyerah deh nyerah untuk semua kegigihan dia. Bahkan, tidak hanya berusaha itu saja. Suami juga berani menawarkan sebuah hadiah.
"Jika kamu berjilbab dengan rapi, aku akan memberimu hadiah."
Wah. Reward untuk sebuah kewajiban itu asli sebuah bonus penyemangat banget buat aku. Aku diberi pilihan, boleh memilih hadiah apa saja. Nanti dia akan berusaha untuk memenuhinya.
Jadi, selain jadi mahasiswa, suamiku ikut kerja part time demi untuk memenuhi janjinya untuk memberiku hadiah yang "terserah elu mau hadiah apa."
Hmm... waktu itu aku memilih untuk dibelikan mesin jahit serba otomatis. Tahun 1999, mesin jahit seperti ini masih terbilang mahal. Harganya masih ribuan dollar Australia. Jadi... kalau masih juga maju mundur tidak mau mengenakan jilbab, sepertinya kebangetan banget ya? wkwkwkwk.
Dan begitulah akhirnya aku mengenakan jilbab sejak saat itu.
Pakai Jilbab Tapi Tetap Up To Date
Setelah pakai jilbab, karena belajar pertama kali berjilbab itu model klasik a la Timur Tengah sana, yaitu model segiempat yang dilipat tiga lalu dijepit di bawah dagu dan dibiarkan jatuh begitu saja, untuk seterusnya aku mengalami kesulitan untuk mencoba model pemakaian jilbab yang lain.
Lalu, di Indonesia sendiri, setelah tahun 2000-an, kesadaran untuk menutupi aurat semakin besar di tengah masyarakat. Bahkan, gerakan menutup aurat ini semakin mewabah dengan diperkenalkannya model-model hijab yang trendy dan dikenal dengan istilah HIJABERS.
Aku sendiri, bagaimana? Nah. Aku sempat diajari sih sebenarnya oleh adikku memakai jilbab a la hijabers itu. Tapi, ternyata rasa percaya diriku malah berkurang ketika aku memakai jilbab a la hijabers itu. Ujung jilbab aku tarik-tarik secara diam-diam karena merasa bagian dadaku terangkat. Belum lagi merasa tidak nyaman dan tidak bisa berekspresi secara maksimal rasanya dengan model yang trendy itu.
Aku lebih nyaman dengan model klasik.
Cara agar tetap terlihat up to date dengan model jilbab klasik yang aku kenakan adalah dengan memvariasikan aneka corak dan warna jilbab-nya. Serta memvariasikannya dengan model-model bros yang disematkan di dada.
Kadang. kenyamanan itu membuat kita bisa tampil percaya diri. Jadi, yang penting nyaman dulu di kita. Keindahan insya Allah akan hadir sendiri jika kita nyaman dan percaya diri.
Warna Warni Koleksi Jilbabku
Tahun ini, tepatnya sebelum memasuki bulan Ramadhan tahun ini, aku menambah koleksi warna jilbab klasikku. Dulu, model jilbab klasik dengan lebar yang aku inginkan itu amat jarang aku dapatkan di Indonesia. Model jilbab klasikku memang lebarnya jumbo, yaitu 130 x130 cm, atau 140 x 140 cm, atau 150 x 150 cm.
Selain lebar, aku juga mengutamakan bahannya. Aku tidak suka bahan yang kaku, tidak mau bahan yang transparan, dan tidak begitu suka bahan yang ujungnya diganduli macam-macam gantungan.
Karena keinginan spesifik ini maka dahulu, aku selalu membeli jilbab jika sedang main ke Kuala Lumpur. Karena di Jakarta dan sekitarnya model jilbab yang aku inginkan ini sulit didapat.
Tapi, alhamdulillah seiring dengan berkembangnya trend online shop, maka model jilbab yang ditawarkan pun mulai banyak variasinya. Jilbab lebar yang selama ini cuma dijual di Kuala Lumpur mulai tersedia di online shop. Jadilah aku membelinya secara online. Jauh lebih hemat sih. Apalagi untuk pengirimannya tinggal memilih jalur pengiriman paket yang ditawarkan oleh JNE Reguler (karena memang tidak buru-buru juga sih mau dipakainya). Seperti ini nih cara pemilihan model ekspedisinya ketika berbelanja online itu:
Lumayan banget kan? Bisa menghemat ongkos jika kita membeli langsung ke pasar. Eh.. tapi susah sih nyari model jilbab lebar ini di pasar. Lebih murah ketimbang ongkos belanja jilbab ke Kuala Lumpur bahkan. Alhamdulillah banget kan. Makanya, makasih banget layanan JNE sudah ada di daftar pilihan jasa pengangkutan yang tersedia di online shop-online shop.
FYI: di pasar itu kebanyakan jilbab yang dijual itu ukurannya 110 x 110 cm yang paling besar. Lebih seringnya sih 90 x 90 cm.
Kenapa pilih JNE?
Tentu saja karena JNE penawaran harga jasanya lebih murah ketimbang pemberi jasa sejenis lain. Selain itu, petugas JNE juga rela gitu mengirim SMS ke kita jika kebetulan kita sedang tidak di rumah padahal mereka sudah di depan pintu pagar rumah kita.
"Bu, saya mau antar barang. Kok saya ngebel nggak ada orang yang muncul ya bu?"
Dengan begitu, kami bisa berkomunikasi dan membuat kesepakatan pada siapa paket kiriman bisa dia titipkan. Biasanya sih di tetangga. Ekspedisi lain, pernah tuh sampai bolak-balik nganter barang karena mendapati rumah kosong malah dibawa lagi barangnya. Terus datang lagi hari lain. Akibatnya, malah jadi serasa mau ketemu calon mertua yang sibuk gitu deh. Susah nyari kapan waktu dimana aku dan petugas punya waktu yang pas untuk saling bertemu dan serah terima barang.
Itu sih yang aku suka dari JNE.
Aku memakai jilbab pertama kali tahun 2000, tepat setelah menikah. Model jilbabnya juga klasik (menurutku paling gampang si), semakin kesini semakin banyak model jilbab dan nyobain mana yg nyaman.
BalasHapusAku juga tipe klasik banyaknya Mbk, kalau pun model paling pas ke pesta xixi...lebih banyak ke gak nyaman dengan wajah aja, takut makin cantik di depan umum xixix
BalasHapusAnaknya pastilah lucu dan imut mba Ade sebab menurun dari orang tuanya terutama ibu yang lebih dominan dalam hal keturunan. Maaf saya ngak bisa koment soal jilbab. Saya ngak ngerti modern, klasik dan semacamnya. Saya cuman tau pasmina mba. Ibu saya sering nitip beli jilbab jenis ini untuk dijual di kampung soal nya 😂😂😂
BalasHapusSama mba, aku juga mode klasik dulu, sampe sekarang 70% jilbab ya yang bentuknya segi4 itu, atau bergo, enak tinggal slep. Hehe
BalasHapusTapi karena dulu pernah dikasih yang pashmina jadi kadang nyobain juga deh, yang pasti mesti nutup dada, jadi kalau beli pashmina aku nyari yang ukuran 200x75 mba :)
Sama dong, Mbak Ade. Saya juga masih suka pakai model klasik. Merasa aneh malah bila mencoba gaya lain. Hehehe.
BalasHapus