[Keluarga] Tadi pagi, lingkungan di sekitar rumahku gempar.
Mengapa?
Karena salah seorang tetanggaku ditemukan seorang tukang koran dalam keadaan sudah meninggal dunia dan tubuhnya lecur dikerubungi oleh belatung-belatung yang gemuk-gemuk berwarna putih dan menguarkan bau bangkai yang amat tajam. Tetanggaku itu meninggal dalam keadaan terduduk di depan pintu mobilnya, sambil memegang kunci mobil. Begini kronologis ceritanya.
Sendiri. Mengapa? Karena istrinya sudah meninggal dunia. Mereka tidak dikaruniai anak. Saudara pun tidak punya. Asisten rumah tangganya yang biasanya datang pagi pulang sore untuk membersihkan rumahnya izin pulang kampung sudah seminggu ini. Anaknya asisten rumah tangga itu sedang mengikuti ujian dan si asisten rumah tangga bermaksud untuk mendampingi anaknya menghadapi ujian sekolah.
Selama 5 hari koran terus dilempar oleh tukang koran. Hingga tiba hari ini, tanggal 31 maret 2016, dimana merupakan hari terakhir di bulan Maret. Waktunya untuk menagih bayaran koran. Tukang koranpun mengebel rumah dari luar pagar.
Bau bangkai mulai tercium. Tapi, belum ada kecurigaan. Tikus dan cicak jika mati juga mengeluarkan bau bangkai yang sangat. Karena tidak ada yang keluar setelah bel dipencet beberapa kali, tukang koran pun melongokkan kepalanya untuk mengintip ke dalam rumah. Ternyata, pintu pagar tidak digembok. Dan di teras rumah, terlihat 5 buah koran yang belum dipungut oleh pemilik rumah.
5 buah koran yang tergeletak.
Hei? Kemana empunya rumah?
Tukang koran heran. Biasanya, Pak Kolonel rajin membaca koran sambil menyeduh secangkir kopi di teras rumahnya setiap pagi. Tapi ini 5 koran yang dilempar tidak dipungut. Penasaran, tukang koran pun membuka pintu garasi yang tidak digembok.
Bau menyengat mulai tercium. Semakin tukang koran mendekati tumpukan koran yang tergeletak di lantai, bau menyengat semakin tajam. Tajam sekali. Hingga membuat tukang koran mulai curiga. Dan berjalan semakin masuk ke dalam rumah hingga akhirnya dia menemukan mayat yang dikurubungi belatung tergeletak di dalam garasi mobil yang terbuka.
Innalillahi wa inna ilaihi rajiun.
Cepat tukang koran berlari takut sambil berteriak hingga tetangga kiri kanan datang. Pak RT, RW juga datang. Dan akhirnya kepolisian pun datang. Lokasi disterilkan.
Visum dari dokter keluar. Mayat Pak Kolonel sudah meninggal sejak 5 hari yang lalu. Terkena serangan jantung.
Yang menjadi pertanyaan banyak orang, mengapa sampai tidak ada seorang pun yang mengetahuinya?
Waktu hari ahad sebelumnya, tanggal 26 Maret 2016, wilayah RW ku memang difogging karena kejadian jatuh korban demam berdarah yang menimpa beberapa orang sekaligus. Akibat dari fogging, ada ribuan kecoak yang bergelimpangan di jalan raya dan selokan. Dan, beberapa ekor tikus tampak membusuk di tepi jalan. Tidak heran jika bau bangkai semilir sampai di hidung nyaris di seluruh wilayah RW. Tidak ada yang sadar dan bisa membedakan mana bau bangkai tikus dan manusia.
Meninggal dalam kondisi seorang diri dan tidak ada yang mengetahui bahwa kita meninggal dunia itu sesuatu yang menyesakkan sebenarnya.
Benar-benar menyesakkan. Menyedihkan.
Kematian itu sesuatu yang pasti datangnya. Bahkan, dia lebih pasti daripada kepastian lain yang terjadi di muka bumi ini. Hanya saja, kapan tepatnya dia datang itu yang tidak bisa kita ketahui.
Lalu, apa yang akan kita lakukan jika suatu hari sudah divonis bahwa jatah usia kita hanya tersisa 8 hari saja di dunia ini?
Lalu bagaimana jika vonis datang sehingga kita tahu kapan kita akan meninggal dunia?
Ayahku, divonis dokter usianya sisa 6 bulan lagi ketika terungkap bahwa dia menderita kanker di usus besarnya. Tumor di ususnya sudah begitu besar. Tapi tidak mungkin untuk diambil karena usia ayah yang sudah tua dan riwayat penyakit dia yang membuat kesempatan untuk berhasil berkurang. Sebelumnya, ayahku memang pernah mengalami Sirosis Hati, kanker hati yang sudah berhasil disembuhkan. Tapi kesembuhan ayah dari kanker hati menyebabkan volume hatinya mengecil. Hanya sebesar kepalan anak kecil. Jika ayah harus menjalani operasi pengangkatan tumor ganasnya yang ada di usus besarnya itu, maka kerja hati yang kecil itu tidak akan mampu menopangnya.
Itu sebabnya usia ayah sisa 6 bulan saja.
Sedih.
Dilema.
Setelah pembicaraan keluarga, kami sepakat untuk tidak memberitahu ayah tentang vonis dokter itu. Tapi, sepertinya ayah tahu bahwa ajalnya semakin mendekat. Dan dia mulai melakukan sebuah perjalanan menghadapi kematian.
Pertama, ayah menulis seluruh hutang-hutangnya di dalam sebuah buku tulis. Apa saja kewajiban yang harus ayah bayar dan pada siapa. Termasuk hutang disini adalah janji-janji manis yang pernah dia berikan pada orang lain.
Di tanah kebun kami di Depok, sepetak tanah kecil di kebun, didirikan warung kecil oleh penjaga kebun. Penjaga kebun ini menjaga kebun sejak anaknya masih kecil-kecil, hingga anaknya kini sudah dewasa. Di belakang warung rokok kecil itu, mereka mendirikan rumah kecil tempat bernaung. Dan disitulah mereka berkeluarga.
Tentu saja, karena sudah menempati tanah kebun itu bertahun-tahun, si penjaga kebun jadi merasa memiliki tanah tersebut. Beberapa kesempatan ketika ayah ingin menjual kebun itu, penjaga kebun sepertinya tidak bisa menerimanya. Akhirnya, ayah memberi janji, bahwa jika kebun itu laku terjual maka si tukang kebun akan diberikan uang terima kasih sebesar 5 juta rupiah.
Waktu berlalu. Tidak ada yang tahu janji manis ayah tersebut. Hingga ketika ayah sudah meninggal dan kebun itu akhirnya dibeli orang, tiba saatnya untuk meminta si penjaga kebun meninggalkan rumah dan warung kecilnya. Yang terjadi adalah, si tukang kebun menolak untuk pindah sebelum diberi uang ganti rugi.
"Saya sudah menempati tanah dan rumah ini sejak anak saya masih kecil hingga anak saya sudah pada menikah. Saya rawat kebun ini, saya jaga. Jika memang saya harus pindah, saya ikhlas. Tapi beri saya ganti rugi agar saya bisa memulai hidup baru. Dulu, bapakmu pernah mengatakan pada saya untuk memberikan 25% dari harga jual yang disepakati."
Awalnya, tentu saja kami anak-anak ayah bingung. 25% dari harga penjualan kebun itu jumlah yang banyak. Bahkan, lebih banyak daripada jumlah warisan yang kami terima dari pembagian warisan. Tapi, jika memang benar yang dikatakan oleh penjaga kebun, itu tetap wasiat yang harus dijalankan.
Alhamdulillah, beruntung ayah sudah menulis berapa pastinya jumlah hutang yang harus dibayar dan janji manis terhadap tukang penjaga kebun tertulis di dalam buku tulis itu. Sehingga, bukti itu bisa kami perlihatkan pada penjaga kebun.
Ayah juga menulis di dalam buku tulis itu, apa saja kewajiban lain yang harus dia lakukan dan kelak menjadi kewajiban kami anak-anaknya untuk menjalankannya.
Jelas.
Terang.
Dan itu alhamdulillah menjauhkan kami anak-anaknya dari perselisihan pasca meninggalnya orang tua. Karena, setelah meninggal maka persoalan yang paling riskan dan sensitif itu adalah soal warisan.
Ya. Selain hutang, ayah juga menulis tentang wasiat warisannya. Dia, bahkan berjalan mencari informasi dimana bisa mendapatkan rumah sederhana untuk anak bungsunya yang belum menikah. Kami semua memang diberi rumah oleh ayah setelah kami menikah. Tapi, si bungsu karena belum menikah maka belum mendapat rumah. Untuk itu ayah berusaha keras mencarikan rumah untuk si bungsu.
Lalu, ayah juga berusaha untuk mengundang seluruh kerabat dan saudaranya untuk hadir di acara pernikahan putri bungsunya.
"Ayah. Kenapa banyak sekali tamu yang mau diundang?"
"Tidak mengapa. Kesempatan bertemu sanak keluarga. Siapa tahu ini kesempatan terakhir. Jadi sekalian mengundang, sekalian minta maaf kalau ada kesalahan. Jika tidak diundang, bagaimana cara menghampiri sanak saudara sebanyak ini coba?"
Ayah juga semakin rajin melakukan ibadah. Sepanjang bulan ramadhan, dia selalu berusaha untuk shalat di masjid dan berbuka di masjid sambil menunggu waktu shalat jamaah di masjid.
Berusaha keras untuk berpuasa. Lalu menghabiskan waktu bersama dengan cucu-cucunya.
Yang mengharukan adalah, setiap pagi, ayah akan mampir ke rumahku untuk membaca koran pagi. Oleh kakak tertuaku, yang kasihan melihat ayah berjalan menuju rumahku, dipanggil tukang koran keliling agar bisa berlangganan koran. Dengan begitu koran otomatis diantar ke rumah setiap pagi. Tapi ayah menolaknya.
"Ayah pingin main ke rumah Ade. Sepanjang jalan, ayah bisa menyapa banyak orang, banyak tetangga. Menanyakan kabar, ngobrol. Di rumah Ade, ayah bisa ngobrol lagi sama Ade."
Ah. Aku sedih jika ingat perkataan ayah ini. Ini, sungguh membuatku terharu. Padahal, yang kami perbincangkan setiap pagi itu hanya masalah seputar gosip artis, perkembangan politik, gosip seputar tokoh politik, dan desas-desus masalah lain. Tidak ada yang mutu sebenarnya. Mungkin masuk obrolan di warung kopi yang sering diikuti oleh mereka yang sarapan pagi di warung kopi. Tidak berdasar dan hanya berdasarkan asumsi pribadi. Tapi aku menikmati obrolan itu. Setiap pagi, tidak pernah bosan.
"Eh, De. Kamu sudah bayar zakat belum untuk gelang emas yang kamu pakai? Jangan lupa loh."
"Ih, ini nggak sampai qiraat wajib zakat sepertinya."
Yap. Ayah juga rajin bersedekah dan membayar semua kewajiban zakatnya sebelum dia meninggal.
Demikian yang dilakukan oleh ayah menjelang vonis 6 bulan kematiannya.
Sikap hidup yang bahagia, tabah, sabar. membuat ayah diberi bonus tambahan waktu. Ayah meninggal 10 bulan setelah vonis dokter turun. Jadi, dapat bonus 4 bulan.
buku tulis ayah, tempat dia menulis semua pesannya sebelum meninggal dunia |
Lalu, bagaimana jika kita divonis 8 hari lagi meninggal dunia?
Subhanallah.
Mungkin, aku akan mengikuti jejak ayahku.
Aku akan membeli sebuah buku tulis lalu mulai menulis semua wasiatku di dalamnya. Aku akan tulis apa saja hutang-hutangku, janji manis yang pernah aku berikan pada orang lain, juga titipan permintaan maaf jika aku ada salah pada orang lain yang belum bisa aku temui dalam kurun waktu 8 hari itu.
Aku juga akan menulis wasiat seputar warisanku. Pada siapa saja dan kemana saja serta berapa banyak. Perselisihan ahli waris akibat kasus pelik warisan itu sesuatu yang sebenarnya membebani mereka yang meninggal. Jadi, agar tidak terjadi perselisihan, maka aku akan tulis wasiatku.
Lalu, aku akan menulis juga surat untuk anak-anakku. Aku akan menulis pesan-pesan, nasehat, dan juga kenangan yang palng berharga yang pernah aku lewati bersama mereka. Serta mengucapkan terima kasih karena mereka telah membuat hidupku penuh warna.
Dan aku akan menulis surat untuk suamiku. Juga pesan agar dia mencari istri penggantiku yang baik bagi anak-anakku kelak. Yang bukan hanya mencintai dirinya saja, tapi juga mau menyayangi anak-anakku dengan sepenuh hati.
Rajin bersedekah. Dan meminta maaf pada orang-orang yang bisa aku temui yang aku kenal, dan khususnya yang aku tahu aku pernah berbuat salah pada mereka.
Aku juga akan semakin intensif shalat. Bukan hanya yang wajib saja tapi juga yang sunnah. Membaca Al Quran, agar hati ini terus mengingat Allah. Dan sering mengucapkan istighfar ketika waktu senggang. Apa lagi yang bisa dilakukan 8 hari menuju kematian selain memohon ampun pada Allah?
Ah. Membayangkannya saja sudah membuat bulu kuduk berdiri.
Waktu datangnya kematian itu memang misteri ya mbak Ade. Beruntunglah orang-orang yang mampu membersiapkan diri menghadapiNya.
BalasHapusIkut berduka untuk pak Kolonel...
Iya..itu heboh banget kasus pak kolonel. Warning banget buat kepedulian antar warga krn udah 5 hari meninggal sampe gak ada yg tahu tetangga nya
HapusKematian memang pasti datangnya ya mbak. Betul kata mbak Haya Nufus, beruntung bagi orang-orang yang diberi kesempatan untuk mempersiapkan diri hingga ajal menjemput.
BalasHapusBila dengan menulis bisa kita manfaatkan sebagai 'wasiat', maka sebaiknya kita memang menulis.
Salam kenal ya mbak :)
Salam kenal juga. Iya..aku liat ayah dan merasa bahwa menulis itu ternyata bisa jadi catatan berharga bagi yg dtinggalkan
HapusMungkin yg bisa meringankan rasa takut adalah selalu mengingat Allah ya mbak
BalasHapusBukan mungkin tapi pasti
Hapussedih banget membaca beberapa paragraf pertamanya, Pak Kolonel meninggal seorang diri tanpa ada yang mengetahui :'(
BalasHapussebelum meninggal sebaiknya hutang memang segera dilunasi yah Mbak Ade,,
semoga kita semua bisa meninggal dalam keadaan khusnul khotimah, amin..
Tapi kadang ada hutang yg terpaksa harus dibuat dan tidak ada yg tahu. Nah...jadi kewajiban ahli waris utk melunasinya
HapusNangis saya membacanya hiks
BalasHapusIya..aku juga mikir kemarin... meninggal seorang diri tanpa ada yg tahu...menyedihkan banget
HapusSungguh kita harus bersyukur atas segala nikmat yang sudah diberikan oleh allah kepada kita dan kita harus mensyukurinya karena dengan banyak bersyukur akan membuat kita lebih mendekatkan diri kepada allah swt.
BalasHapusBener..bener
HapusTetanggaku ini juga lagi skaratul maut. Kalau ingat kematian memang bikin sedih. Tapi ada baiknya supaya gak lalai.
BalasHapusMembaca artikel ini saya jadi semakin tersadar bahwa saya harus mempersiapkan amal terbaik untuk bekal ke akhirat.
BalasHapusartikel ini benar-benar memberikan hikmah yang sangat baik dan juga fositif, memang benar maui itu tidak ada yang tahu jadi kita harus mempersiapkan bekal kita dari detik ini juga, nice mbak artikelnya
BalasHapusBaca ini air mataku mengalir... *sedih
BalasHapusKalau ingat kematian, semakin takut dan terus berserah diri. Kita tidak pernah tahu, kapan kematian akan menjemput.
BalasHapusartikelnya keren, dan buat ketakutan
BalasHapushii bikin merinding
BalasHapusSuatu hal yang pasti, dan paling dekat dengan kita, tapi paling sering terabaikan
BalasHapusSemoga almarhum ayahanda dilapangkan di dalam kuburnya ya mbak, aamiin
BalasHapusSediih bgt mak, Terimakasih tulisannya ya, Melimpah berkah segala urusannya,, aamiin
BalasHapus