(cerpen) gubrak, nyoh, dan din- din- din.
by Cepi Sabre on Tuesday, 18 January 2011 at 16:48
Gubrak, Nyoh, dan Din- Din- Din.
Gubrak!
Aku melemparkan tubuhku begitu saja ke atas sofa seperti layang-layang putus. Hasilnya: gubrak yang sangat keras. Sofa hijau pupus ini berderak, sepertinya ada yang patah. Aduh, aku harus memperbaikinya. Tapi, hijau pupus? Sofa ini seharusnya merah menyala. Seingatku, aku tidak pernah membeli sofa berwarna hijau pupus. Terlalu teduh. Orang-orang akan betah duduk berlama-lama di sini. Bukan itu mauku. Aku punya ruang tamu untuk menerima tamu, bukan untuk melayani tamu yang betah berlama-lama. Merah. Sofa harus berwarna merah. Dan menyala.
Aku tidak tahu mana yang harus kurisaukan dari sofa ini, sesuatu yang patah di dalamnya atau warnanya yang hijau pupus. Istriku pasti menggantinya diam-diam ketika aku tidak di rumah. Ini pemberontakan, tidak bisa tidak. Istriku yang jarang bicara itu sudah berani mengganti sofaku tanpa bertanya padaku. Hei, aku arsiteknya di sini. Aku memang arsitek. Soal warna, soal interior, aku lebih tahu dari siapapun. Tapi lebih dari itu semua, aku seorang suami. Laki-laki. Perasaan bahwa kekuasaanku sebagai suami dikangkangi mulai menjalari tubuhku. Telingaku mulai terasa panas.
Gubrak!
Aku marah. Istriku harus tahu bahwa aku yang punya kuasa di sini. Tapi aku terlalu lelah untuk memulai sebuah pertengkaran. Tiga hari aku tidak pulang ke rumah. Pekerjaan di proyek mulai memasuki masa kritis. Aku terjepit di antara tenggat waktu dan klien yang cerewet. Atasanku mengerahkan semua pekerja untuk bekerja siang dan malam. Itu juga termasuk aku. Aku juga pekerja, walaupun arsitek. Kuputuskan untuk menginap di proyek. Terlalu merepotkan kalau aku harus pulang ke rumah. Tiga hari.
Hari ini barulah aku bisa pulang ke rumah. Setelah tiga hari. Aku lelah luar biasa, tentu saja. Salah satu supir di proyek kuminta untuk mengantarku pulang. Aku terlalu lelah untuk bisa mengendarai mobilku sendiri. Dan benar-benar seperti layang-layang putus, setelah melewati beberapa lapangan dan beberapa sawah, tubuhku akhirnya terhempas di sofa hijau pupus ini. Ah, sofa hijau pupus. Kenapa harus hijau pupus? Supir yang mengantarku masih berteriak-teriak dari dalam mobil. Sepertinya dia masih ingin mengatakan sesuatu padaku, tapi aku sudah tidak peduli. Pintu kututup dengan keras.
Gubrak!
Setelah tiga kali gubrak, seorang perempuan akhirnya mendatangiku. Istriku. Dia berdiri saja di sisiku. Menatapku lama dan tidak bicara. Seperti biasanya. Istriku memang jarang bicara. Mungkin dia memang dididik seperti itu. Dididik bahwa suami adalah segala-galanya. Raja, kalau bukan dewa. Mungkin juga istriku bisa memahami pekerjaanku yang berat. Memahami suaminya yang seringkali pulang larut malam dalam keadaan lelah. Bahkan tidak jarang baru pulang ke rumah setelah beberapa hari lembur. Seperti sekarang.
“Kopi.”
Kata orang, beda antara pelacur dengan istri yang sah adalah secangkir kopi. Secangkir di pagi hari dan secangkir lagi malamnya. Tapi aku sendiri tidak pernah tertarik untuk mencoba seorang pelacur. Bukan karena mereka tidak menyediakan kopi, tapi karena aku memang tidak tertarik. Selain karena mahal juga. Bekerja sekeras ini pun aku masih harus pontang-panting untuk membiayai kebutuhanku dan istriku. Orang bilang, aku diperbudak pekerjaan. Tapi sebenar-benarnya, aku diperbudak oleh kebutuhan. Harga-harga terus naik. Merambat atau meroket sama saja. Naik. Intinya, tidak ada anggaran buat melacur.
Membuat secangkir kopi tidak mungkin memakan waktu sampai satu paragraf. Seorang penulis mungkin menghabiskan hanya beberapa menit saja untuk menulis satu paragraf, tapi seorang arsitek yang kelelahan butuh tidak kurang dari setengah jam. Setengah jam untuk secangkir kopi, lama sekali.
Aku memaksa kaki-kakiku yang lelah untuk membawaku ke dapur. Istriku sedang mengaduk kopi dengan lembut. Pinggulnya, aduh, pinggulnya. Sudah setahun kami menikah. Ratusan kali aku sudah tidur dengan istriku. Tapi tiga hari aku tidak bertemu dengan istriku, dan pinggulnya itu, dan pinggulnya itu. Aku memeluknya dari belakang. Menciumi lehernya dari belakang. Istriku tersentak. Kaget. Tapi lehernya dijulurkannya juga.
Nyoh.
Aku terus menciumi leher istriku. Lehernya begitu jenjang. Kemana saja aku tiga hari ini, atau setahun ini, sampai tidak menyadari begitu indahnya leher istriku. Aku mulai merasa menjadi dewa yang mati selama tiga hari, lalu bangkit dan menebus tiga hari yang terlewati itu. Kepala istriku menggeliat ke sana ke mari. Istriku seperti menikmatinya. Tangannya mulai sibuk mencari-cari pegangan. Mungkin karena takut jatuh. Mungkin juga karena tak kuat menahan sesuatu. Di dalam hatinya, istriku mungkin juga bertanya-tanya, kemana saja suaminya ini selama tiga hari atau setahun belakangan?
Nyoh.
Cepat sekali istriku membalik badannya. Kami berhadap-hadapan seperti jagoan dari film-film barat lama. Bedanya, kami sama tidak menenteng pistol di pinggang. Sebentar saja kami sudah saling mencium. Bibir istriku begitu merah. Dan basah. Aku membayangkan irisan tomat dengan es batu yang sering kuminum di proyek ketika matahari begitu garang. Betapa segar meminumnya dalam beberapa tenggak. O, tiga hari yang sungguh melelahkan. O, tiga hari. O, tiga hari. Dan aku bersyukur bibir istriku tidak berwarna hijau pupus.
Baru setahun kami menikah. Sudah tiga hari istriku kutinggalkan. Aku tidak pernah menyadari betapa hebat ciuman istriku. Sama seperti aku tidak menyadari betapa indah lehernya. Tangan istriku tidak lagi mencari-cari pegangan, tangannya menggapai-gapai. Melihatnya seperti melihat orang yang sedang tenggelam dan berusaha minta tolong. Sepertinya, bibirku menenggelamkan bibirnya, seperti laut menenggelamkan butir-butir pasir. Aku percaya, kalau saat itu ada penjaga pantai, mereka pasti akan bergegas berlari menolongnya. Aku percaya, celana mereka pasti merah. Bukan hijau pupus.
Nyoh.
Nyoh.
Nyoh.
Din, din, din.
Kami berdua hampir meledak. Tiga hari, gubrak, sofa hijau pupus, dan kopi setengah jam. Tiga hari, leher yang jenjang, dan bibir-bibir yang nyoh. Istriku pasti tidak berharap laut segera membawa butir-butir pasir terdampar di pantai. Hampir empat paragraf lamanya kami berciuman. Seorang penulis mungkin menghabiskan hanya beberapa menit saja untuk menulis empat paragraf, tapi seorang arsitek yang sedang terbakar nafsu butuh tidak kurang dari satu jam. Dan aku bersyukur bahwa aku adalah arsitek, bukan penulis. Tapi din- din-din itu sekarang mulai menggangguku.
Sebuah ingatan akan sofa hijau pupus berkelebat cepat di kepalaku. Aku tidak berharap din- din- din itu adalah tamu yang menikmati teduhnya ruang tamuku dengan sofa hijau pupusnya. Tapi ingatan itu mulai mengendurkan cengkeramanku. Begitu juga istriku. Dia pasti lebih terganggu pada din- din- din itu daripada memikirkan sofa yang dibelinya diam-diam ketika aku tidak di rumah. Tangannya mulai pindah ke dadaku, mendorong pelan, memberi isyarat untuk menjauh. Laut masih harus bersabar menunggu datangnya badai.
Din, din, din.
Ada alasannya kalau aku memilih warna merah untuk sofa. Di saat kami hampir meledak seperti ini, alasan itu dan naluri arsitekku ternyata benar. Ini saatnya menepuk dada kukira. Tapi dada yang hampir meledak ini tidak bisa ditepuk sembarang waktu. Istriku memandangiku dengan bingung. Wajahnya pias. Aku lebih bingung melihatnya bingung. Dari dapur, istriku berusaha mengintip asal suara yang membatalkan badai yang kami buat selama empat paragraf.
Din, din, din.
Aku tidak meninggalkan bekas apa-apa di bibirnya, tapi istriku berusaha membersihkan bibirnya. Aku tidak tahu harus berkata apa. Sofa hijau pupus itu saja sudah menyinggung kelaki-lakianku. Cukup untuk menghasilkan sebuah gubrak. Lalu sebuah bekas ciuman yang dihapus bisa menghasilkan berapa gubrak? Hanya kebingunganlah yang sekarang memisahkan aku dengan beberapa gubrak itu. Istriku benar-benar sedang ketakutan. Dia seperti didatangi oleh hantu laut. Istriku memang jarang bicara, tapi aku tidak pernah melihat wajahnya sepucat ini.
“Suamiku,” katanya.
“Hah!”
Din, din, din.
“Suamiku pulang,” katanya lagi.
Din, din, din.
Apa-apaan ini? Tiga hari kutinggalkan istriku dan dia sudah bisa menyebut din- din- din itu sebagai suaminya. Dua juta gubrak tidak akan cukup untuk meredakan amarahku. Terbakar. Tidak ada lagi laut, tidak ada lagi pasir, tidak ada lagi badai. Kering. Cepat aku berlari ke ruang tamu. Sofa hijau pupus itu lagi. Dari balik jendela aku melihat sebuah mobil dengan seorang laki-laki di dalamnya. Kepalanya mulai terjulur keluar. Din- din- din yang tidak mendapat tanggapan memaksanya menurunkan kaca mobil dan menjulurkan kepala. Dari wajahnya yang merah aku tahu bahwa din- din- din itu akan segera berubah menjadi gubrak.
Tapi bukan laki-laki dengan wajah merah di dalam mobil itu yang menggangguku. Juga bukan din- din- din-nya. Di belakang mobil itu aku melihat sebuah rumah kecil. Dari jendela rumah itu aku bisa melihat sofa merah menyala di ruang tamunya. Sofa merah menyalaku. Di depan pintunya, seorang perempuan sedang menyapu teras kecilnya. Istriku. Bibirnya memang tidak merah, tidak basah, tapi dia istriku. Lalu siapa laki-laki yang din- din- din ini? Dan yang lebih penting lagi, siapa perempuan yang nyoh- nyoh- nyoh selama empat paragraf tadi?
Gubrak!
--------------------
- end of note -
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar