Pagi ini, Senin 3 May 2010 saya disuguhi dua sarapan notes yang berisi cerpen. Subhanallah.. indahnya.
Dua cerpen ini ditulis oleh Cepi Sabre dan Melvi Yendra. Yang satu berjudul "Tokoh-Tokoh Cerita Dari Sebuah Kotak Kayu" (Cepi Sabre) dan yang satunya lagi berjudul "Tobat" (Melvi Yendra).
Keduanya saya persandingkan bukan karena keduanya memiliki kerenyahan dalam penuturan kalimat-kalimat yang terjalin di dalamnya. Juga bukan karena gaya menulis cerdas yang mereka suguhkan. Keduanya saya persandingkan karena keduanya menulis cerpen dari sesuatu yang sudah amat akrab di dunia imajinasi pembaca.
Dalam tulisan "Tobat" (pernah dimuat di republika 25 april 2010); Melvi menceritakan ulang kisah tentang seorang pendosa yang telah membunuh 23 orang lalu ingin bertobat. Di versi asli kisah ini, pembaca tentu sudah pernah membaca atau mendengar tentang seorang yang telah membunuh 99 orang lalu ingin bertobat tapi ternyata mati di tengah jalan. Malaikat lalu menghitung lebih dekat mana jarak dia ke arah tobat dan ke arah perbuatan dosanya. Tentu saja lebih dekat ke arah tobatnya dan si pendosa pun diangkat ke surga.
Melvi mengangkat kembali kisah ini. Tapi tentu saja dengan modifikasi kekinian. Tidak sebrutal 99 orang, karena secara logika, orang yang telah membunuh 99 orang secara langsung pasti akan terlacak kejahatannya oleh kepolisian. Jadi, cukup 23 orang saja (sedikit lebih banyak dari korban babe yang membunuh anak-anak jalanan setelah mereka disodomi terlebih dahulu). Tapi tetap merupakan kejahatan brutal. Kisah pembunuh 99 orang ini disampirkan Melvi di tengah ceritanya untuk mencerahkan hati tokoh central di cerpen Tobatnya ini.
Sama seperti kisah pembunuh 99 orang, si pembunuh 23 orang inipun akhirnya juga ingin bertobat. Dia ingin bertobat setelah membaca pesan dari putrinya yang rindu ingin bertemu. Kian tergerak hatinya setelah mendengar alunan suara orang yang mengaji di masjid (dan ternyata suara seorang ustad) hingga dia memutuskan untuk mendatangi ustadz tersebut di Masjid dalam usahanya melarikan diri dari kejaran kepolisian.
Sedangkan dalam kisah "Tokoh-Tokoh Cerita Dari Sebuah Kotak Kayu" (Cepi Sabre), Cepi menceritakan tentang seorang lelaki yang bernama Frick Fritzgerald yang berprofesi sebagai seorang penulis cerita. Dia selalu meletakkan tokoh-tokoh cerita khayalannya di dalam sebuah kotak kayu. Sayangnya, karena diletakkan dalam sebuah kotak kayu yang kecil, si tokoh-tokoh cerita yang mini-mini tubuhnya tapi memiliki kecerdasan tersendiri ini, cepat belajar untuk menghadapi situasi yang tidak enak. Diletakkan dalam sebuah kotak kayu yang tertutup dan sempit, tentu saja merupakan sebuah situasi yang tidak enak. Karena letaknya yang tertutup menjadikan cakrawala berpikir mereka menjadi kerdil dengan sendirinya karena tidak banyak mengalami perkembangan akibat tidak pernah melihat dunia luar secara bebas lagi. Kerdilnya cara berpikir lamban laun akan mematikan kreatifitas. Cupek; sumpek; pengap dan akhirnya kerdil untuk kemudian lenyap tanpa bekas. Tokoh-tokoh cerita yang mini yang cerdas dan bisa diajak bertukar pikiran untuk membentuk sebuah cerita oleh Frick Fritzgerarld ini akhirnya berontak. Mereka mencoba untuk melarikan diri. Walhasil, Frick Fritzgeraldpun menjadi sibuk mengejar semua tokoh ceritanya yang melarikan diri dan memasukkannya lagi satu persatu ke dalam kotak.
Cerdas sekali idenya Cepi Sabre menulis cerpennya ini kan?
Saya amat menikmati gaya Cepi Sabre yang selalu ringan dan renyah dalam bertutur. Sekilas saya merasa bahwa dia sedang membicarakan tentang kondisi terkini para penulis dengan gaya sarkasmenya yang halus dan sopan. Betapa banyak penulis yang selalu merasa bahwa mereka punya keunikan tersendiri dalam menulis dan mengklaim kekhasannya tersebut sebagai miliknya pribadi. Lalu.. bagaimana jika tokoh-tokohnya tersebut ternyata merasa bosan diceritakan dengan gaya yang itu-itu saja? Apa jadinya jika para tokoh khayalan itu ingin merasakan proses kreatifitasnya sendiri-sendiri? Bisa jadi mereka bisa lebih kreatif... bisa jadi juga mereka bisa malah mati dan terlupakan. Tapi, sebagai pemilik ide, setiap penulis akan berusaha keras untuk menyimpan karakter-karakter ciptaannya itu dalam sebuah kotak ide rapat-rapat.
Lalu... apa hubungannya cerpen Cepi Sabre dan Melvi Yendra?
JIka Cepi Sabre masih melukiskan kondisi terkini para penulis maka Melvi Yendra memberikan contoh nyata yang dilakukan oleh penulis. Ketimbang harus terpaku dengan cerita baku yang sudah turun-temurun diceritakan dengan gaya yang sama (kisah tentang pembunuh 99 orang yang bertobat) maka Melvi mencoba untuk "mengadopsi" tokoh cerita yang berhasil kabur dari kotak ide ini menjadi tokoh cerita yang baru.. pembunuh 23 orang. Artinya.. jika kita semua menulis lalu tiba-tiba kehabisan ide mau nulis apa... jangan pernah ragu untuk membuka kotak ide dan ambil satu tokoh. Bisa jadi tokoh itu sudah banyak diceritakan banyak orang; bisa jadi itu adalah tokoh yang amat sangat umum dan tidak punya keistimewaan; tapi kita bisa memodifikasinya agar kembali menjadi tokoh yang fresh lagi.
Subhanallah... keduanya memang cerdas dan benar-benar sudah memberikan sarapan bergizi untuk saya belajar menulis.
--------------------------
Tokoh-Tokoh Cerita Dari Sebuah Kotak Kayu cerpennya Cepi Sabre
“Di sana! Di sebelah sana, Gabriel!”
“Kakimu, Tuan Frick! Di bawah kakimu!”
Frick Fritzgerald adalah seorang penulis cerita. Frick Fritzgerald suka menyimpan tokoh-tokoh ceritanya ke dalam sebuah kotak kayu. Setiap kali ingin mengarang cerita, Frick Fritzgerald akan membuka kotak kayu tersebut, mengambil beberapa tokoh, lalu mulai menulis cerita. Ceritanya menjadi begitu hidup karena tokoh-tokoh yang ada di dalamnya memang hidup. Di dalam sebuah kotak kayu.
Beberapa minggu belakangan ini, Frick Fritzgerald tidak menulis cerita apa pun. Bukan berarti Frick Fritzgerald kehabisan ide atau tokoh untuk dijadikan cerita. Beberapa minggu belakangan ini, tokoh-tokoh cerita Frick Fritzgerald suka melarikan diri dari kotak kayu itu. Begitulah, Frick Fritzgerald sibuk mengejar-ngejar tokoh-tokoh ceritanya sendiri. Tanpa tokoh-tokoh cerita itu, Frick Fritzgerald akan kesulitan menulis cerita.
Bisa saja Frick Fritzgerald membuat tokoh-tokoh lain, tapi tokoh-tokoh cerita yang sudah dibuatnya dan melarikan diri itu bisa menulis cerita sendiri. Akan sangat lucu sebuah cerita yang ditulis sendiri oleh tokoh ceritanya. Belum pernah ada. Belum pernah ada, tapi lucu. Dan kali ini Frick Fritzgerald dibantu oleh seorang makhluk dengan sepasang sayap kecil di punggungnya, Gabriel.
Gabriel. Tidak salah lagi, Gabriel adalah salah satu malaikat Tuhan. Gabriel sedang menjalankan tugasnya berkeliling dunia ketika di sebuah kota Gabriel melihat satu rumah dengan lampu yang masih menyala. Gabriel melihat Frick Fritzgerald berbicara dengan beberapa makhluk aneh. Makhluk-makhluk aneh itulah tokoh-tokoh cerita buatan Frick Fritzgerald yang selama ini disimpannya di dalam kotak kayu.
Gabriel begitu terpesona dengan pemandangan yang dilihatnya. Gabriel berpikir bahwa Frick Fritzgerald adalah Tuhan yang lain. Tidak bisa tidak, hanya Tuhan yang bisa menciptakan tokoh-tokoh cerita. Gabriel tidak berpikir lama untuk mengetuk di pintu rumah Frick Fritzgerald lalu minta dimasukkan juga ke dalam kotak kayu.
Satu-satunya alasan saya tidak memasukkan Gabriel ke dalam kotak kayu itu adalah ukuran tubuhnya yang besar. Gabriel hampir setinggi Frick Fritzgerald. Sepasang sayap kecil di punggungnya menambah besar ukuran badan Gabriel. Sementara tokoh-tokoh cerita buatan Frick Fritzgerald tidak pernah lebih tinggi daripada sebuah gelas. Itulah sebabnya sangat sulit menangkap tokoh-tokoh cerita itu setiap kali mereka melarikan diri dari kotak kayu Frick Fritzgerald.
Seekor anjing dengan topi pet setinggi gelas berlari dengan kencang. Anjing itu masih sempat menoleh ke belakang satu kali sebelum sebuah tangan yang sangat besar menggenggamnya. Anjing itu ikut berguling bersama si pemilik tangan yang ternyata adalah Frick Fritzgerald.
“Bwahahaha ... Akhirnya tertangkap, Gabriel! Anjing nakal ini sudah kutangkap!”
Frick Fritzgerald memasukkan kembali anjing dengan topi pet itu ke dalam kotak kayu. Anjing itu masih hendak melompat keluar lagi, tapi Frick Fritzgerald cepat menutup kotak kayunya. Topi petnya terjatuh. Frick Fritzgerald memungutnya lalu memasukkannya juga ke dalam kotak kayu.
“Bagus, Tuan Frick. Saya sudah sangat lelah. Anjing itu benar-benar lincah.”
Gabriel segera menjatuhkan tubuhnya di sofa. Tidak lama kemudian, Frick Fritzgerald pun melakukan hal yang sama.
“Aku juga, Gabriel. Mereka semakin lama semakin cepat. Mungkin karena mereka juga sudah hafal letak perabotan-perabotanku. Kupikir, sebaiknya kita kosongkan saja rumahku ini, Gabriel.”
Tapi mereka berdua, Frick Fritzgerald dan Gabriel, berhenti hanya sampai di sana. Keduanya terlalu lelah untuk mengosongkan rumah Frick Fritzgerald hari itu juga. Terlebih mereka sekarang merasa begitu nyaman di dalam pelukan sebuah sofa. Nafas Frick Fritzgerald dan Gabriel mulai lebih teratur.
“Bagaimana bisa, tokoh-tokohmu melarikan diri dari kotak kayu itu, Tuan Frick?”
“Entahlah, Gabriel. Kupikir, mereka sudah merencanakannya sejak lama lalu bersama-sama mengangkat tutup kotak kayu itu.”
“Maksudku, bagaimana bisa, kau tidak punya kendali atas mereka, Tuan Frick? Bukankah mereka semua itu kau yang ciptakan?”
“Aku bukan Tuhan, Gabriel.”
Gabriel tersentak. Selama ini Gabriel merasa yakin bahwa Frick Fritzgerald adalah Tuhan yang lain. Itulah sebabnya Gabriel memilih mengikuti Frick Fritzgerald daripada meneruskan tugasnya yang menjemukan, berkeliling dunia. Di rumah ini Gabriel bisa melihat Frick Fritzgerald menciptakan tokoh-tokohnya, menulis cerita tentang tokoh-tokoh itu, lalu menyimpan mereka ke dalam sebuah kotak kayu.
Kadang-kadang Frick Fritzgerald menulis cerita baru dengan tokoh-tokoh yang sudah lama disimpannya di dalam kotak kayu itu. Beberapa tokoh baru akan ditambahkan Frick Fritzgerald untuk melengkapi tulisannya. Gabriel sangat menikmati ketika Frick Fritzgerald mengeluarkan tokoh-tokoh ceritanya dari kotak kayu itu dan mulai bercerita dengan mereka. Ketika semua selesai, Frick Fritzgerald akan menuliskan semua itu menjadi sebuah cerita baru. Jadi pengakuan Frick Fritzgerald bahwa dirinya bukan Tuhan, sangat mengejutkan Gabriel.
“Kalau kau bukan Tuhan, Tuan Frick, lalu bagaimana caramu menciptakan tokoh-tokoh ceritamu?”
“Entahlah, mereka hanya keluar begitu saja dari dalam kepalaku, Gabriel. Awalnya hanya satu, lalu dua, lalu semakin banyak sehingga aku butuh sebuah kotak kayu untuk menyimpan mereka semua.”
“Lalu ceritamu, mereka atau dirimu yang menulisnya, Tuan Frick?”
“Tentu saja aku yang menulisnya, Gabriel. Tokoh-tokoh ceritaku tidak kubiarkan menuliskan ceritanya sendiri. Kami memang suka berbicara untuk membuat sebuah cerita. Mereka menceritakan keinginannya dan aku menceritakan keinginanku. Lalu aku akan menulis keinginan kami itu sebagai sebuah cerita. Mereka sangat menentukan cerita yang kutulis, Gabriel. Tapi tetap tidak kubiarkan mereka menulis ceritanya sendiri.”
“Lalu kau, Tuan Frick, apakah kau percaya pada Tuhan?”
“Tentu saja, Gabriel! Tuhan adalah seseorang yang menuliskan cerita tentang aku. Juga tentang dirimu, Gabriel.”
“Tapi Tuhan tidak pernah mengajakmu bercerita. Kau tidak bisa menceritakan keinginanmu, dan dia tidak pernah menceritakan keinginannya. Padaku tentu lain, Tuan Frick. Tuhan memberi tugas langsung padaku. Begitupun, kami tidak pernah saling menceritakan keinginan kami masing-masing.”
“Aku tahu, Gabriel. Tapi aku tetap yakin bahwa Tuhan ada dan sedang bekerja semalam-malaman untuk menuliskan cerita tentang aku dan kau, ‘Frick Fritzgerald Si Penulis Cerita Dan Gabriel Si Malaikat Tuhan.’”
“Aku tidak pernah melihat Tuhan menulis, Tuan Frick. Percayalah.”
“Yah, Tuhan tentu punya cara lain untuk itu kan, Gabriel.”
“Tidakkah kau berpikir bahwa Tuhan adalah sebuah ‘saya’, Tuan Frick?”
“Saya?”
“Ya. ‘Saya’ yang memutuskan untuk tidak memasukkanku, Gabriel ini, ke dalam kotak kayu hanya karena ukuran tubuhku yang besar. Aku hampir setinggi dirimu, Tuan Frick, dan sepasang sayap kecil di punggungku ini menambah besar ukuran badanku.”
“Ah, kau hanya berhalusinasi, Gabriel. Bukankah kau sendiri yang bilang bahwa kau belum pernah melihat Tuhan menulis?”
Gabriel diam. Pikirannya mulai menyusun kepingan-kepingan pengetahuan yang baru didapatnya. Frick Fritzgerald yang bukan Tuhan, Tuhan yang menulis tentang Frick Fritzgerald dan dirinya sendiri, juga ‘saya’ yang memutuskan untuk tidak memasukkan dirinya ke dalam kotak kayu bersama tokoh-tokoh cerita Frick Fritzgerald yang lain.
Frick Fritzgerald juga sedang termenung. Kemungkinan-kemungkinan yang dikatakan Gabriel ada benarnya. Tuhan bisa saja tidak pernah menulis tentang dirinya atau tentang apapun. Dan yang membuatnya semakin tertarik adalah kemungkinan bahwa dirinya, Frick Fritzgerald, adalah Tuhan. Tapi Frick Fritzgerald cepat menolak pikirannya ini, meski dia sudah menciptakan banyak tokoh cerita, Gabriel tidak pernah diciptakannya. Gabriel tidak pernah keluar begitu saja dari dalam kepalanya.
“Tuan Frick, Sang Kapten! Sang Kapten!”
Seseorang yang tingginya tidak lebih dari sebuah gelas dengan seragam merah dan celana biru terlihat berlari di atas meja tulis Frick Fritzgerald. Dengan ketangkasan seperti seorang tentara, orang itu turun dari meja dengan melompat dari satu laci ke laci yang lain, lalu lari dengan kencang.
Frick Fritzgerald segera bangun dari sofa. Dengan cekatan Frick Fritzgerald mencegat orang yang disebut Gabriel sebagai Sang Kapten itu. Gabriel meloncat ke sisi yang lain, tapi Sang Kapten bergerak sangat cepat. Sang kapten segera berbelok ke arah lemari dan mengubah arah larinya.
“Di sana! Di sebelah sana, Gabriel!”
“Kakimu, Tuan Frick! Di bawah kakimu!”
Saya harus menghentikan cerita ini di sini. Kalau saya teruskan, maka kita bisa berminggu-minggu terjebak bersama Frick Fritzgerald dan Gabriel mengejar-ngejar tokoh-tokoh cerita yang melarikan diri dari sebuah kotak kayu. Kita tentu punya pekerjaan lain yang lebih penting daripada sekedar mengejar-ngejar mereka. Begitu juga saya. Saya masih harus menyelesaikan cerita yang lain.
Frick Fritzgerald dan Gabriel terdiam. Mereka berdua tidak bergerak sama sekali. Mereka berdua tidak bersuara. Bahkan mereka berdua bernafas dengan sangat hati-hati.
“Tuan Frick, ‘saya’,” kata Gabriel setengah berbisik.
“Aku tahu, Gabriel,” Frick Fritzgerald juga setengah berbisik sekarang.
“Ini menakutkan, Tuan Frick.”
“Ya, ini benar-benar menakutkan, Gabriel.”
--------------------
- end of note - penulis Cepi Sabre
---------------------
Tobat
Cerpen Melvi Yendra
[Republika, 25 April 2010]
TEMBAKAN itu datang dari berbagai arah. Dada dan kepalanya pecah. Rusuk dan kedua kakinya rengkah. Ketika malaikat maut menghampirinya, ia melihat lambaian tangan putrinya dan terukir senyum di bibirnya.
Lelaki itu roboh dengan puluhan peluru bersarang di tubuhnya.
***
Beberapa saat sebelum penembakan
Lelaki itu keluar dari masjid, berdiri sejenak memandang ke arah kegelapan. Angin pagi menerpa wajah kerasnya. Dicobanya memejamkan mata. Sedikit saja, sebentar saja, ia merasa sangat bahagia. Entahlah, ia kini merasa benar-benar terbebas. Ia ingin pulang. Sudah lama ia ingin pulang. Ia lelah menghabiskan umurnya di jalanan. Ia bosan dengan kegelapan. Wajah anak perempuannya kini memenuhi ruang pandangnya. Ia rasanya ingin terbang saja agar cepat sampai di rumah. Ia memakai jaket kulit hitamnya dan mengenakan sepatunya. Ditariknya napas panjang sekali lagi sebelum melangkah menuruni tangga masjid.
***
Setengah jam sebelum penembakan
Sosok-sosok bersenjata itu tiarap di semak-semak, di dalam kegelapan. Sudah lebih dari satu jam. Masjid itu telah dikepung. Lelaki yang mereka tunggu ada di dalam, di saf terdepan, sedang shalat Subuh bersama empat orang jamaah lainnya. Dalam perhitungan, mustahil ia bisa lolos sekarang. Meskipun, sesungguhnya, legenda yang tersiar tentang lelaki itu masih membuat mereka gemetaran. Sejak sepuluh tahun terakhir, ia selalu lolos dari kepungan. Kabarnya, ia menyimpan ilmu kanuragan. Dan, kabarnya punya indra keenam.
“Kenapa tidak kita serbu sekarang saja, ndan?” bisik seorang anggota pasukan kepada komandannya.
“Kau ingin menyerbu orang yang sedang sembahyang? Markas tidak akan suka. Wartawan akan senang menulis berita kita telah menodai rumah Tuhan,” sahut sang komandan.
“Ia bisa saja lolos lagi,” kata anggota pasukan pesimis.
“Tidak lagi. Masjid ini telah dikepung. Ia tidak akan bisa mengelabui kita kali ini,” sahut sang komandan, yakin.
“Bagaimana kalau lelaki itu keluar duluan? Pasti terjadi kericuhan,” tanya anggota pasukan sekali lagi.
“Tidak akan ada bedanya buat kita. Itu sudah risiko tugas. Biarkan markas yang akan menjawab semua caci maki masyarakat,” sahut sang komandan dan menyuruh anak buahnya diam.
Mereka menunggu. Menit demi menit berlalu. Shalat Subuh pun usai. Setelah zikir dan doa yang singkat, satu per satu jamaah keluar dari masjid dan pulang. Tak satu pun di antara mereka yang sadar, ada pasukan polisi sedang ber sembunyi di kegelapan. Masjid itu berada jauh dari rumah-rumah penduduk, di pinggir jalan yang sepi, di tengah persawahan.
Lelaki yang mereka incar belum juga keluar. Ia masih duduk di saf terdepan. Menundukkan kepala, sedang berdoa.
***
Satu jam sebelum penembakan
Ustaz Ramli menghela napas untuk kesekian kalinya. Ia gemetaran begitu lelaki asing itu selesai berkisah. Tak mudah baginya menerima kenyataan bahwa ia kini sedang berhadapan dengan seseorang yang mengaku telah membunuh 23 orang manusia. Degup jantungnya berkejaran dengan putaran biji tasbihnya. Saat ini, Ustaz Ramli benar-benar ingin Tuhan memberinya petunjuk jawaban apa yang harus diberikannya kepada lelaki itu. “Jadi, Ustaz, apakah Tuhan akan menerima tobat saya?”
Ustaz Ramli sudah sering mendapat pertanyaan seperti itu, tetapi belum pernah yang seperti ini. Untuk menjawab pertanyaan itu, ia menceritakan kisah yang diambil dari salah satu hadis Nabi Muhammad SAW. Dahulu kala, pada zaman umat-umat terdahulu, ada seorang pembunuh kejam yang telah membunuh 99 orang. Namun, setelah beberapa waktu, pembunuh itu sadar dan ingin bertobat. Maka, mulailah ia mencari seorang alim untuk menyatakan tobatnya. Namun, ketika berhasil menjumpainya, sang alim malah membentak pembunuh yang ingin bertobat tersebut dan mengatakan bahwa tidak ada ampunan bagi seorang pembunuh. Karena marah, si pembunuh pun membunuh sang alim. Sehingga, genap 100 orang yang telah ia bunuh.
Setelah itu, sang pembunuh merasa menyesal dan kembali meneruskan perjalanannya untuk mencari orang alim lain untuk menyatakan tobatnya. Maka, saat menemui orang alim kedua, ia berkata, “Apakah ada jalan untuk bertobat setelah saya membunuh 100 orang?” Si orang alim menjawab, “Ada. Pergilah ke dusun di sana karena banyak orang yang taat kepada Allah. Berbuatlah sebagaimana perbuatan mereka. Dan, janganlah engkau kembali ke negerimu karena negerimu adalah tempat para penjahat.” Dan, pergilah pembunuh itu. Di perjalanan, mendadak maut menjemputnya.
Maka, bertengkarlah Malaikat Rahmat dan Malaikat Siksa, memperebutkan roh si pembunuh. Berkata Malaikat Rahmat, “Orang ini telah berjalan untuk bertobat kepada Allah dengan sepenuh hatinya.” Lalu, berkatalah Malaikat Siksa, “Orang ini belum pernah berbuat baik sama sekali.”
Maka, diutuslah seorang malaikat lain untuk menjadi hakim di antara dua malaikat itu. Malaikat yang ketiga berkata, “Ukur saja jarak antara dua dusun yang ditinggalkan dan yang dituju. Maka, ke mana orang ini lebih dekat, masukkanlah ia kepada golongan orang sana.” Setelah diukur, didapatkan lebih dekat jaraknya ke dusun baik yang ditujunya kira-kira sejengkal. Maka, dipeganglah roh orang ini oleh Malaikat Rahmat.
“Jadi, aku masih bisa bertobat?” tanya lelaki itu setelah mendengar cerita Ustaz Ramli.
“Tentu saja, pintu rahmat Allah selalu terbuka luas untuk orang-orang yang ingin bertobat,” jawab Ustaz Ramli.
“Tapi, saya tidak tahu caranya, Ustaz. Jadi, mohon ajari saya,” kata si lelaki.
Belum sempat menjawab, beberapa jamaah datang. Waktu Subuh telah masuk dan azan segera dikumandangkan.
“Setelah Subuh, mampirlah ke rumah. Rumah saya di ujung jalan sana, rumah ketiga dari sebelah kanan. Saya akan tuntun Saudara untuk bertobat,” sahut Ustaz Ramli. Si lelaki mengangguk, kemudian pergi mengambil wudhu.
Sehabis shalat dan berzikir, Ustaz Ramli menghampiri si lelaki.
“Saya pulang duluan. Saya tunggu di rumah,” kata sang Ustaz. Si lelaki yang ingin bertobat mengangguk dan melanjutkan doanya sendirian.
***
Dua jam sebelum penembakan
Ustaz Ramli terpaksa berhenti mengaji. Lelaki berjaket kulit hitam berbadan kekar itu masuk ke dalam masjid terhuyung-huyung. Mulanya, ia berpikir lelaki itu salah satu preman kampung yang mabuk dan terdampar di tempat itu. Namun, melihat lelaki itu sadar dan segar bugar, Ustaz Ramli mengoreksi dugaannya.
“Assalamu ‘alaikum,” sapa Ustaz Ramli.
Lelaki itu tak menjawab. Ia mendekat dan menyalami sang Ustaz.
“Tolong saya, Pak Ustaz,” katanya lirih.
Ustaz Ramli kini benar-benar kaget. Lelaki di depannya bersimbah air mata. Ia menangis sesenggukan.
“Apa yang bisa saya lakukan untuk Saudara?” tanya Ustaz Ramli waswas campur bingung.
“Saya ingin bertobat.”
Ustaz Ramli terdiam.
***
Dua setengah jam sebelum penembakan
Tiba-tiba saja, lelaki itu merasa letih. Kakinya perih. Di sebuah persimpangan, ia berhenti berlari. Ia pikir, para pengejarnya sekarang sudah kehilangan dirinya.
Matanya melihat puncak sebuah masjid, kecil di kejauhan. Sayup-sayup terdengar suara bacaan Alquran dari pengeras suara.
Tiba-tiba, ia merasa sangat rapuh.
***
Tiga setengah jam sebelum penembakan
Ia keluar dari rumah besar itu tanpa kesulitan. Suara anjing menggonggong, tapi di sana, di kejauhan. Di salah satu belokan, ia berhenti karena telepon genggamnya bergetar. Sebuah pesan singkat datang dari nomor yang sangat ia kenal:
Selamat ulang tahun, Ayah. Semoga panjang umur dan selalu bahagia. Ayah lagi di mana? Ayah sudah janji, di hari ulang tahun Ayah yang ke-45 ini, Ayah akan pulang dan tak akan pergi lagi. Fitri ada kado untuk Ayah. Ayah pasti suka. Salam sayang selalu, Fitri dan Ibu.
Ia memejamkan mata. Membayangkan wajah Fitri, anaknya yang masih kecil dan istrinya di rumah. Sudah berapa lama ia tidak pulang? Ia sudah tidak ingat. Entah mengapa, ia teringat akan putrinya. Ia pernah berjanji untuk menemani putrinya itu.
Ia ingin menangis, tapi terlambat. Air matanya sudah menetes membasahi pipinya. Tiba-tiba ia tersenyum. “Preman ternyata masih punya nurani,” batinnya.
Lelaki itu membuka mata ketika mendengar suara mencurigakan di suatu tempat tak jauh dari tempatnya berdiri. Naluri memerintahnya untuk segera berlari.
Ia pun berlari, tak berhenti.
***
Empat jam sebelum penembakan
Ia berdiri di pinggir tempat tidur besar itu. Lelaki yang harus ia bunuh sedang mendengkur sendirian di atas ranjang. Tampak tenang. Terlihat tanpa dosa.
Ia sebenarnya tidak terlalu menyukai pekerjaannya. Pembunuh bayaran bukanlah pekerjaan yang baik, ia tahu. Namun, pekerjaan ini kadang-kadang memberi lebih dari sekadar uang. Ia sering merasa puas setelah mengeksekusi para maling ini. Kadang-kadang ia merasa sedang menunaikan tugas suci. Ia seakan-akan adalah algojo yang ditunjuk untuk menghukum mati para pelaku korupsi.
Tiap kali sebelum membunuh, ia tak lupa berdoa agar dosa-dosanya diampuni.
***
Dua jam setelah penembakan
Ustaz Ramli kembali ke masjid karena lelaki yang ingin bertobat itu tak kunjung mengetuk pintu rumahnya. Di halaman masjid, ia menemukan banyak bercak darah yang telah coba ditutupi dengan tanah.
Ustaz Ramli merinding.
Lebih-lebih ketika ia mencium aroma wangi. Aroma wangi yang asing, yang belum pernah ia cium sebelumnya. (*)
Jakarta, 4 April 2010
Melvi Yendra, pegiat sastra, tinggal di Depok.
------------------
penulis notes ini: ade anita... terima kasih untuk Cepi Sabre dan Melvi Yendra untuk notesnya yang cantik
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar