Ibuku senang berkebun. Halaman rumahku memang luas. Ada pohon mangga, belimbing, rambutan, jambu air, nangka, serta kecapi. Belum lagi tanaman pendek-pendeknya yang senantiasa terawat sempurna seperti aneka perdu, aneka pakis dan tanaman bunga-bungaan. Tanah yang terhampar pun tidak dibiarkan oleh ibuku begitu saja. Selalu ada rumput hijau yang dibentangkan diatasnya. Hijau royo-royo mungkin amat tepat untuk halaman rumah tempatku dibesarkan itu.
Suatu hari, seekor ulat mampir ke atas tempat tidurku. Warnanya abu-abu, gemuk dan mungil sekali. Dia tampak tidak berdaya sama sekali. Terasing di atas hamparan sprei putihku yang terbentang kencang. Aku benci ulat. Benci sekali. Spontan aku langsung berteriak memanggil ayah dengan suara histeris. Seketika ayahku datang.
“Kenapa?”
“Ada ulat di atas sprei ade. Itu.” Aku tunjuk ulat yang sedang kebingungan tersebut. Ayah hanya tersenyum dan menghampiri ulat tersebut lalu mengangkatnya hati-hati untuk ditaruh di atas kertas.
“Mau diapakan yah?”
“Dibuang saja keluar. Dia kebingungan begini.”
“Bunuh saja. Ini, ade sudah menyiapkan alat pembunuhnya.” Aku menyodorkan gagang sapu. Sekali tekan pasti ulat itu hancur terlumatkan. Isi perutnya akan terburai, bercampur dengan isi kepalanya. Lalu getah seperti nanah yang merupakan darahnya akan muncrat ke kanan dan ke kiri. Mungkin akan ada geliat menahan sakit sesaat sebelum nyawa ulat itu melayang. Liukan tubuhnya akan meronta mencoba untuk bertahan hidup, tapi dengan kepala dan tubuh yang hancur terburai, hiduppun tentu akan membawa petaka baginya di masa depan. Mati berkalang tanah adalah lebih baik.
“Hush! Jangan. Kasihan, lihat tuh, dia juga sudah tidak ada dayanya kok. Ini namanya nyasar, sayang. Seharusnya, mungkin dia ada disalah satu daun di pohon-pohon yang ada dirumah kita. Tapi karena tubuhnya kecil, dia tidak berdaya hingga terbawa angin lalu terjatuh tanpa sengaja di sprei tempat tidurmu. Sudah. Kita kembalikan saja dia ke alam. Perkara dia mau mati atau terus bertahan, itu tergantung takdirnya nanti.” Aku hanya memandang geram pada makhluk kecil, gemuk, yang tidak memiliki kaki atau tangan untuk melakukan perlawanan itu dengan pandangan geram. Huh, awas jika kamu datang lagi ke tempatku. Aku akan membunuhmu. Janjiku kejam dalam hati.
Lalu musim hujan datang membawa kesejukan. Bunga-bunga yang semula putih kini telah mengandung benih buah. Sebentar lagi musim buah akan datang. Biasanya, aku dan saudara-saudara kandungku akan mengundang teman-teman sekolah kami untuk mampir ke rumah dan lalu kami mengadakan pesta buah-buahan alias rujakan. Berkantung-kantung buah itu dipanen dan dibawa pulang oleh siapa saja yang ingin mencicipinya. Ayah dan ibu tidak pernah pelit untuk berbagi. Siapa saja boleh memetik. Baik yang dikenal maupun yang tidak dikenalnya. Tak jarang, ada saja orang yang kebetulan lewat depan rumah dan melihat koleksi buah-buahan di kebun kami yang ranum turut mengidamkan koleksi buah-buahan kami. Jika sudah begitu, mereka harus pandai memanjat pohon karena kedua orang tuaku memang tidak pandai memanjat tapi hanya pandai memelihara pohon buahnya saja.
“Heran. Dibanding tahun lalu, tahun ini pohon Rambutan kita tidak berbuah selebat tahun lalu ya?” Suatu sore kulihat ayah berkacak pinggang memandang pohon rambutan kami. Aku ikut memandang pohon Rambutan tersebut sambil memeluk pinggang ayah hangat. Pohon Rambutan itu terletak persis di sebelah kamar tidurku. Mungkin, jika ada seorang pangeran tampan dari sebuah kerajaan kaya raya yang jatuh cinta padaku dan ingin membawaku pergi, pohon Rambutan inilah jalan keluar tempat sang pangeran membawaku pergi (aih.. menghayal, kan ada teralis di jendela-jendela kamarmu?... kupandang ayah yang sedang ada dalam pelukanku. Apakah dia pernah terpikir tentang kisah sang pangeran ini lalu mengantisipasinya duluan dengan memasang teralis-teralis jendela?).
“Nggap apa-apa yah. Makan Rambutan kebanyakan juga bisa bikin batuk kok. “
Karena memang tidak untuk dikomersialkan, panen buah-buahan dirumahku seperti tidak ada habisnya. Buah yang sudah ranum dipetik untuk dikonsumsi, tapi sementara yang ranum belum habis, putik sudah kembali terlihat. Angin kencang menerbangkan putik itu kesana kemari. Putik yang bertahan akan kembali mengandung buah. Putik yang rapuh, terbang terbawa angin, salah satunya mengotori sprei tempat tidurku. Huh. Aku menyapu sprei kembali dengan kesal hingga kulihat sesuatu yang gemuk dan menggeliat terdapat di atas sprei. Ulat. Bukan cuma satu, tapi ada beberapa. Kembali kupanggil ayah dengan teriakanku yang kencang. Ayah kembali datang dengan tergopoh-gopoh. Tanpa kata kutunjuk sekumpulan ulat itu dengan kesal. Ayah terlihat bingung.
“Hah? Banyak banget. Darimana asalnya.” Aku menggeleng. Ayah tidak langsung memungut ulat-ulat itu seperti ketika pertama kali aku menemukan makhluk tidak berdaya itu dahulu pertama kali di atas tempat tidurku. Ayah berjalan menuju jendela berteralis yang langsung bertetangga dengan pohon Rambutan. Mengamati dengan seksama untuk kemudian mundur dengan kaget dan terhenyak.
“Gawat.”
“Kenapa?” Aku bertanya dan ikut mengamati pohon Rambutan yang bersebelahan dengan kamar tidurku. Dahannya cukup kuat dan bentuknya horizontal, cocok untuk tempat seseorang berjalan dengan aman di atasnya.
“Pohon kita terserang hama ulat.”
“Hah! Aku kaget tapi rasa kagetku justru mendesakku untuk kian seksama memperhatikan pohon Rambutan kami. Benar juga. Di atas dahan kuat itu, telah berjajar ribuan ekor ulat bulu. Bukan Cuma di atas dahan, tapi juga puluhan ribu lagi diatas dedaunannya. Bercampur baur dengan buah Rambutan yang ranum. Perutku langsung mual. Kulitku linu seperti tersayat-sayat melihat jumlah mereka yang jutaan tersebut. Terlebih ketika pasukan ulat itu ternyata bisa kami temui di bawah karpet mushalla keluarga ketika kami sedang shalat berjamaah, di pinggir meja makan, di atas sofa dan bahkan di atas keset rumah. Tidurku jadi tidak nyenyak karena khawatir ulat itu masuk ke dalam mulut atau hidung ketika aku sedang tidur. Apa jadinya jika mereka menguasai juga seluruh isi perutku dan isi kepalaku? Makanpun terburu-buru karena khawatir dia masuk ke dalam hidangan karena ulah angin yang sudah sepakat untuk berkonspirasi dengan ulat tersebut. Hah! Seharusnya makhluk kecil yang tidak memiliki tangan dan kaki untuk berkelahi, atau tanduk untuk menusuk itu aku bunuh dahulu. Bahkan meski dia tidak memiliki wajah sangar seorang penjahat, atau badan kekar seperti algojo sekalipun. Dia, si makhluk kecil yang imut dan tampak tidak berdaya.
------
Jakarta, 13 Oktober 2009 (dalam kenangan pohon rambutan yang akhirnya ditebang dan dimusnahkan hingga akar-akarnya oleh Almarhum Ayahku dahulu demi berperang melawan hama ulat dahulu).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar