Lelaki Hebatku

Saya suka nulis. Jadi kalau ada sesuatu yang bersemayam dalam kepala saya lebih dari satu kali dua puluh empat jam, sudah pasti sesuatu itu akan saya tuang dalam sebuah tulisan. Ah, jangankan sehari semalam seperti itu, kadang sesuatu yang berkelebat di benak sayapun sering saya tulis. Mungkin ini yang disebut inspirasi ya. Nah, karena seringnya ingin menuangkan sesuatu dalam bentuk tulisan, maka lembar untuk menulis dan alat tulis adalah sebuah keharusan yang harus tersedia di dekat-dekat saya. Saya pernah menulis di atas tissue dengan lipstik sebagai alat tulisnya saking kebelet pingin nulis banget karena melihat sesuatu.

Suatu hari, kejadiannya di rumah. Tiba-tiba pingin nulis banget dan komputer lagi dipakai oleh anak saya. Langsung saja saya ambil selembar kertas dan mulai menulis. Lalu atmosfir keasyikan mulai merasuki dan selembar kertas hvs itu ternyata tidak cukup menampung gagasan yang membeludak dari kepala saya. Jadi, saya ambil lagi lembar berikutnya hingga tidak terasa telah memakai tiga lembar. Setelah terpuaskan, lalu saya pamerkan pada seseorang tulisan tersebut. Belum jadi sih tulisannya, tapi setidaknya draft jalan cerita ide tulisan sudah terlihat rapi.
"Bagus nggak?"
"Hmm, sebentar. Ini pake kertas yang mana?" Kening saya langsung berkerut. Kok, nanya kertasnya sih?
"Yang itu." Ragu saya menunjuk tumpukan kertas di atas meja tulis.

"Bagus nggak tulisanku?" kembali saya bertanya sambil senyum malu-malu mengharapkan pujian, muncul di wajah saya.
"Kenapa pake kertas itu de?" Loh? Hallooo....lagi ada yang minta dikomentari nih. Sumpah.
"Emang kenapa?" Meski sudah mulai kesal, tetap saja saya bertanya, nggak mungkin jujur bilang minta dipuji kan?
"Jangan pake kertas itu. Itu bukan milik kita." hah!!! Kesal. Apa pentingnya sih kertas, kenapa sih nggak lihat isi tulisannya ketimbang kertasnya?

"Cuma tiga lembar kok."
"TETEP. Jangan meremehkan hal sepele yang bikin kamu menyesal nanti. Biar cuma secuil, jika bukan milik kita kalau bisa jangan diambil De. Korupsi itu terjadi karena merasa nyaman ngambil yang kecil lalu mulai memperbesar porsi yang diambil sedikit demi sedikit. Kita harus mengembalikan kertas itu segera." Kali ini saya benar-benar sudah kesal. Huh. Ini kan masalah sepele. Beli saja di warung, habis perkara. Kalau perlu beli satu rim sekalian. Itu draft tulisan saya gimana nasibnya? Baguskah? Jelekkah? Akhirnya alih-alih minta tanggapan saya memilih untuk ngambek. Sebel banget. Kesal. Lalu kemana-mana sepanjang sore itu saya menggotong bibir manyun di atas pangkuan.

Malamnya, dengan penuh kelembutan barulah saya dijelaskan pelan-pelan tentang inti teguran sore tadi. Dalam suasana tenang, kemarahan yang sudah reda, saya bisa mencerna nasehat dengan penuh kesadaran. Ya. Sering kita meremehkan hal-hal kecil dalam kehidupan kita. Padahal, dari hal-hal kecil inilah sebuah masalah besar akhirnya membelit erat dan kadang meremukkan seluruh tulang dan memecahkan urat nadi. Bertoleransi pada sebuah kekhilafan kecil akan memupuk rasa tidak melakukan kesalahan lalu tanpa terasa membangun menara kesombongan bahwa diri telah menjadi super. Lupa bahwa kaki sedang menginjak orang susah. Tak merasa bahwa ada pihak yang terpaksa harus berkorban demi kejayaan yang kita raih. Apa pentingnya sebuah kemenangan jika diraih dengan cara yang tidak jujur dan tidak adil? Apakah masih terasa nikmat kejayaan yang disertai sumpah serapah pihak yang teraniaya?

"By the way, tulisan kamu bagus." Akhirnya komentar yang ditunggu keluar juga. Tapi hati ini sudah terlanjur malu. Malu pada kelakuan saya yang terlalu manja dan hampir menjerumuskan orang lain, keluarga saya, ke dalam arus perilaku koruptor. Malu pada dua malaikat pencatat kelakuan baik dan buruk yang mengintip dari belakang pundak.

"Maafin ade ya." Ternyata, tidak selalu sebuah pujian membuat hati merekah dengan bunga-bunga.
"Udah." Sudah? oh, seharusnya saya sudah menduganya.

mmmmm.....ngg.... Saya jadi bingung mau ngapain lagi. Salah tingkah mulai merasuk.

"Kenapa lagi?" Akhirnya saya ditanya. Laki-laki ini memang selalu tahu jika ada sesuatu yang menggayut dalam kepala saya.
"Boleh minta sesu atu?" Akhirnya malu-malu saya bertanya padanya.
"Apa?"
"Besok-besok, biarpun aku merengek minta sesuatu yang bikin kamu harus usaha keras memenuhinya, jangan sampai hal itu bikin kamu bertoleransi untuk terjerumus jadi koruptor ya. Persis seperti kamu ngingetin aku dengan tiga lembar kertas tadi sore. Aku perempuan manja yang banyak maunya. Jadi, tetaplah jadi lelaki berpendirian." Lalu lelaki di depan saya mengangguk setelah mengucapkan kata insya Allah. Dialah lelaki hebatku. Dialah, suamiku.

penulis: ade anita


Maaf, gambar ayam yang sering saya jadikan ilustrasi tulisan notes saya, bukan karena saya suka ayam.. hanya saja, pelajaran menggambar saya baru sampai binatang ayam. Masih belum sempurna, tapi setidaknya karya sendiri.

Tidak ada komentar