"Tante Ade, tante ade bisa ke rumah nggak. Ibu sakit."
"Sakit apa?"
Lalu telepon bunyi kresek-kresek, sepertinya dipindah tangankan. Dan tidak lama kemudian terdengarlah suara kakakku.
"arsjahasakfanksabgamernabaieubadakejrabgakhansgaj"
Suara kakak nadanya terdengar seperti sedang mengadu sesuatu tapi bunyinya amat sangat tidak jelas. Seperti orang yang sedang kumur-kumur tapi diminta untuk bicara. Detik itu juga aku tahu bahwa kakak terkena Stroke.
"Kak, sudah, ade ke sana. Tunggu ya."
Telepon segera kututup dan aku berlari ke arah suamiku, setengah berteriak panik juga sebenarnya.
"Mas.. mas. Kakak kena stroke."
"Eh? Stroke gimana?"
"Tadi dia telepon dan suaranya bambling nggak jelas. Itu pertanda kena stroke."
Suamiku langsung melompat ke kamar ganti pakaian dan ganti pakaian. Begitu juga dengan diriku. Anak sulungku, yang semula sedang berada di kamarnya ikut muncul.
"Apa yang bisa aku bantu?"
Suamiku segera bertanya padaku, "De, di rumah kakak ada Mas (nama suaminya) nggak? Atau dia cuma berdua dengan Ilham saja?"
"Nggak tahu mas. Tadi nggak sempat tanya."
"Ya sudah. Kamu cari taksi saja nak, jaga-jaga jika ternyata di rumahnya uwak tidak ada mobil."
Akhirnya, anakku segera berlari ke arah jalan raya sementara aku dan suamiku jalan cepat ke arah rumah kakak yang hanya berjarak 100 meter dari kediamanku. Setibanya di rumah kakak, ternyata suaminya kakak ada. Tapi dia sedang kerepotan mengganti pakaian kakak karena tubuh kakakku sudah kaku tidak bisa digerakkan. Wajahnya miring, benar-benar miring sehingga tampak begitu mengerikan. Kedua bola matanya melotot dan air seni sudah tidak terkendali lagi keluar dari kantong kemihnya. Seluruh permukaan tempat tidur sudah basah dan tergenang. Bau pesing dalam sekejap memenuhi ruangan.
Aku segera membantu suami kakakku mengganti pakaian kakak. Sementara suamiku menelepon anak sulungku agar tidak perlu mencari taksi tapi segera saja berlari ke rumah kakak karena tampaknya kakak harus benar-benar dilarikan ke rumah sakit. Tubuh kakak gemuk dan waktu itu dalam kondisi yang kaku dan tidak bisa dia gerakkan. Untuk menggotongnya kami memerlukan tenaga lelaki selain tenaga suamiku dan suami kakakku. Aku sendiri pasti tidak bisa melakukannya karena dokter sudah memperingatkan aku agar tidak boleh mengangkat benda-benda berat sehubungan dengan kondisi kakiku sendiri.
Setelah kakak dipakaikan pakaian yang lebih layak, aku segera mencari tas dan memasukkan bekal yang harus dibawa ke rumah sakit. Kondisi kakak amat parah, pasti harus diopname di rumah sakit. Tidak mungkin hanya singgah sebentar di unit gawat darurat. Apalagi selama di dalam mobil kakakku berkali-kali muntah dan buang air kecil tanpa bisa dikendalikan lagi.
Dan ternyata benar.
Dokter menyatakan kakak harus dirawat di opname untuk observasi dan penanganan lebih lanjut. Ada pembuluh darah yang pecah di otak kanan kakak dan itu mengakibatkan seluruh tubuh kakakku yang sebelah kiri, mulai dari ujung kepala hingga kaki dalam kondisi mati rasa dan lumpuh. Itu sebabnya wajahnya amat sangat miring dan matanya seperti sedang melotot.
Karena kakak tidak punya anak perempuan, ditambah dengan kami memang tidak punya orang tua lagi, maka aku pun menawarkan diri untuk menjaga kakakku di siang hari. Malam hari baru suami dan anak-anaknya. Aku bisa memaklumi karena suaminya harus tetap bekerja (sakit itu kan butuh biaya, jadi bekerja tetap harus terus dilakukan) dan anak-anaknya harus tetap bersekolah seperti biasa (prihatin sih boleh tapi masa harus bolos? Lagipula, mau bolos sekolah berapa lama coba padahal pasien stroke itu tidak pernah sebentar di rawatnya).
Ya, karena ada pendarahan di otak kanan kakak sebesar 30 CC, maka kakak tidak boleh mengangkat kepalanya sama sekali. Jika dia mengangkat kepalanya, pendarahan bisa semakin banyak dan melebar. Kakak harus ada di atas tempat tidur selama 24 jam. Makan pun dari sonder (selang makanan yang dimasukkan lewat hidung) dengan bantuan pompa makanan yang mirip suntikan ukuran jumbo. Buang air dan lain sebagainya dilakukan di atas tempat tidur. Dan, mulailah hari-hariku berlalu dan banyak dihabiskan di rumah sakit.
Selama di rumah sakit itu, ada satu hal yang aku rindukan. Yaitu, kegiatan menulis dan blogging. Duh. Rindu sekali rasanya dengan dua kegiatan itu. Entah berapa banyak give away dan lomba-lomba menulis yang aku lewatkan selama beberapa pekan itu. Dan blogku pun jadi terlihat sepi karena tidak pernah di-update lagi. Aku tidak punya waktu untuk membuka notebookku di rumah dan aku tidak terbiasa mengetik postingan lewat hape. Kecil-kecil banget euy.
Duh, aku benar-benar seorang emak-emak rempong.
Bayangkan, pagi-pagi sekali, setelah shalat shubuh, aku segera mempersiapkan keperluan anak-anakku (kami tidak punya asisten rumah tangga memang). Lalu dilanjutkan dengan mengantar mereka ke sekolah. Setelah selesai mengantar anak-anak sekolah, aku langsung ke rumah sakit. Pukul 06.45 aku harus sudah tiba di rumah sakit karena gantian dengan suami kakakku. Jika aku telat datang, itu berarti dia juga telat berangkat ke kantornya (di Jakarta jika telat berangkat artinya bakalan telat tiba di kantor karena jalanan memang super duper macet). Aku jaga kakakku hingga menjelang sore. Yaitu ketika anaknya ada yang menggantikan aku, atau pembantu kakak (tapi pembantu kakak tuh.. mmm... bodoh. Jadi, aku rada-rada gak percaya kalau dia yang menemani kakak).
Setibanya di rumah, aku masak untuk keluarga, lalu mencuci piring atau mencuci pakaian dan beres-beres rumah. Setelah itu... TIDUR. Jangankan untuk menulis di blog atau di mana pun, menonton acara televisi saja aku tidak punya tenaga lagi. Lelah luar biasa (oke. Untuk diingat, usiaku sudah 43 tahun; sudah tidak muda lagi sebenarnya untuk jumpalitan seperti ini. Tapi, insya Allah aku ikhlas; hanya saja mohon dimengerti jika aku cepat lelah karenanya).
Di rumah sakit, aku kadang mengobati rasa rinduku pada dunia social media dengan berselancar dengan hapeku. Tapi... tetap saja susah untuk melakukan kegiatan blogging karena layarnya yang kecil ditambah lagi... penglihatanku yang sering menjadi buram jika melihat sesuatu (aku sempat datang ke dokter mata karena menyangka min atau plus ukuran kacamataku berubah. Tapi, ternyata tidak berubah ukuran kacamataku hanya saja... "tekanan darah ibu rendah sekali, jadi syaraf-syaraf mata kekurangan darah untuk mengaktifkan penglihatan. Perbaiki dulu bu tekanan darahnya. Jangan dipaksakan ya bu, nanti syaraf penglihatannya malah tegang dan bisa putus.". Itu kata dokterku. Akhirnya, aku pun mengurangi aktifitas melihat SocMed via hape).
Akhirnya, rasa rindu kian membuncah pada kegiatan tulis menulis dan blogging, ditambah dengan rasa kesal campur kecewa karena satu persatu event give away, lomba menulis dan tugas bikin review lepas dari genggaman tanganku, membuatku uring-uringan di rumah dan suamiku tentu saja jadi ajang untuk menumpahkan uneg-unegku. Ditambah lagi dengan telepon dari editorku yang bertanya kapan tulisan revisi novelku selesai (aduhhhhh).
"Kenapa?"
"Pingin ngetik. Kalau malam, aku sudah terlalu lelah untuk melakukannya."
"Ya sudah, bawa saja notebooknya ke rumah sakit."
Hmm.. bener juga. Akhirnya, setelah kakak beberapa hari di rumah sakit, aku mulai mempersiapkan perlengkapan perang tersendiri. Ada Ransel berisi notebook (termasuk adaptornya), ada tas tanganku yang berisi keperluan wajib seperti dompet, hape, kabel adapter hape, buku untuk dibaca, tablet pc untuk mainan anakku agar tidak bosan, pakaian bersih untuk ditukar dengan pakaian kotor kakakku, lunch box untuk makan siang anakku di sekolah, tas sekolah anakku yang isinya sama beratnya dengan tas para tentara yang berangkat tugas jaga negara.
Wah. Asli penampilanku tidak ada manis-manisnya.
hehehe dah kayak pedagang pasar kaget ya? Banyak banget bawaannya. |
Dan itu semua harus kupanggul dengan berjalan kaki menelusuri perjalanan ke sekolah anakku yang asoy geboy karena harus menaiki dan menuruni tangga penyeberangan yang melintasi sebuah jalan tol dengan jalan raya biasa dua arah.
ini pemandangan yang aku lewati setiap pagi, setiap hari |
jika ada yang bertanya kenapa tas anakku tidak dibawa oleh si anak saja. Jawabannya, karena aku takut perkembangan putri ku terganggu akibat memanggul tas sekolahnya yang super berat itu. |
Akhirnya, di pekan kedua pinggangku sakit. Dan kembali aku uring-uringan di depan suamiku.
"Beban yang kamu bawa terlalu berat, De."
"Iya, karena aku harus bawa notebook mas. Sudah ditagih dengan editorku tuh."
"Hmm... mungkin karena isi tas notebooknya terlalu berat ya?"
"Sepertinya sih begitu."
Akhirnya, suamiku mengajak untuk melihat-lihat notebook di gerai notebook di akhir pekan (aku sudah bilang pada keluarga kakakku bahwa sabtu minggu aku ingin istirahat dari tugas jaga kakak karena harus mencuci seragam sekolah dan ... butuh relaks). Salah satu notebook yang terlihat cantik adalah notebook Acer E Series. Khususnya Acer Aspire E1-432.
Mungkin, karena aku emak-emak ya, jadi ketika melihat deretan aneka notebook yang dipajang yang aku lihat tentu saja harga yang tercantum di sebelahnya. Acer Aspire E1-432 ini dijual dengan harga yang amat terjangkau, yaitu Rp4.749.000 alias di bawah lima juta rupiah. Menurutku itu harga yang amat terjangkau. Padahal, notebook Acer E-1 ini dibanding dengan notebook dengan kapasitas yang serupa di kelasnya, termasuk notebook yang tipis sekali. Tebalnya hanya 23,5 mm. Dibandingkan dengan notebook konvensional lainnya, notebook ini 30% lebih tipis. Tipis bagiku itu artinya satu: ringan. Insya Allah bisa mengatasi keluhan sakit pinggangku karena beban membawa notebook yang berat selama ini.
"Ish. Kamu itu, kalau lihat notebook itu, jangan cuma lihat harganya saja. Lihat juga spek dia. Dia bisanya apa saja? Soalnya, yang namanya notebook itu jika tipis berarti ada sesuatu yang dia kurangi."
Suamiku menegurku. Suamiku memang seorang penggemar gadget. Jadi, dia lebih mengerti tentang seluk beluk notebook apa yang benar-benar-berguna dan notebook apa yang lupakan-saja-deh-jika-kamu-menginginkannya.
"Paling juga Optical Drive/DVD-RWnya dikeluarin jadi eksternal. Padahal, Optikal Drive/DVD-RW itu berguna jika kita iseng mau nonton dvd waktu nunggu kakak tidur di rumah sakit. Jadi judulnya saja tipis tapi tetap banyak bawaan juga kitanya kalau optikal Drive/DVD-RW-nya eksternal."
"Nggak mas, dia ada kok di dalamnya, internal kok mas, bukan eksternal." (kami iseng mengintip bawaan si Acer E-1 Slim series ini).
"Cek baterenya tahan berapa lama. Kamu kan jaga kakak dari pagi sampai sore." Eh... ternyata sodara-sodara, Notebook Acer E-1 ini baterenya tahan hingga 6 jam.
Hmm... menggoda-menggoda.
Sepertinya, para produsen notebook dewasa ini benar-benar sudah melakukan survey di lapangan ketika mereka mengeluarkan sebuah produk notebook di pasaran. Yaitu notebook yang ringan, tipis dan baterenya tahan lama tanpa mengurangi fitur-fitur yang memang amat dibutuhkan oleh para pengguna notebook. Keluhan sakit pinggang yang aku alami karena menggotong notebook dan segala adaptor dan kabelnya itu ternyata dialami oleh banyak orang di seluruh penjuru dunia. Itu sebabnya para produsen notebook berlomba-lomba menciptakan notebook yang ringan dan tipis sekaligus memiliki fitur yang tetap lengkap bagi mereka yang aktif di kesehariannya. Dan diriku termasuk di dalamnya karena kegiatanku yang seabreg-abreg setiap harinya. Ya, namanya juga emak-emak rempong. Hanya dengan notebook yang makin tipislah, emak-emak rempong seperti aku bisa tetap produktif bahkan mungkin makin produktif. Dan kembali lagi deh, jika bicara soal harga, notebook tipis itu nggak berarti harus notebook mahal kan? (xixixi, dasar emak-emak tetap saja perhitungan soal harga).
"Tergoda nggak mas?" Aku menyentuh pundak suamiku. Suamiku hanya tersenyum.
dua pilihan warna Acer E1-432, piano black dan silky silver |
---------------------
Kenangan selama September Lalu.
“Tulisan ini diikutsertakan dalam event “30 Hari Blog Challenge, Bikin Notebook 30% Lebih Tipis” yang diselenggarakan oleh Kumpulan Emak Blogger (KEB) dan Acer Indonesia.”
Subhanallah... hebat deh Mak Ade. Jempooool :)
BalasHapusTanpa komputer
BalasHapusEmpu Sedah dan Empu Panuluh
Mampu menghasilkan karya yang ngedab-edabi
Kakawin Bharatayudha yang termashur
Kumpulan Emak Blogger
Dengan personnal computer
Dan laptop tipis Accer
Seharusnya bisa menerbitkan karya yang serrrrr dan TER
Semoga GAnya sukses Jeng
Salam hangat dari Surabaya
wow,,super emak,,aku paling suka alasan mak ade bwain tas anaknya,,iya jg ya,,sukses ya mak,,cepet sembuh jg bwt kakaknya ya :)
BalasHapusNotebook yang satu ini memang menggoda sekali, Mba. Saya juga pingin memilikinya. Hihihi
BalasHapusSemoga kakak lekas sembuh, ya. Semoga menagng ngontesnya, Mba. :)
makin tipis makin giat menulis ya mbak
BalasHapusMasyaAllah, semoga kakaknya cepat sembuh ya mak....
BalasHapusya Allah... kasian bgt ya kakaknya mbaa... semoga dimudahkan
BalasHapussukses yah mak untuk kompetisinya ^_^
BalasHapus#notebook impian
Jury visit. Terima kasih sudah berpartisipasi. Semoga kakaknya sehat kembali. Aamiin.
BalasHapusWah, salut sama Mak Ade. Semoga kakak lekas pulih ya, Mak.
BalasHapusSukses ngontesnya :)
Semoga kakaknya lekas sembuh ya, mak. Speecless baca ini. Terima kasih sudah berpartisipasi
BalasHapusAkupun tergoda nih...pingin yang tipis ituh :D
BalasHapussemoga kakaknya segera pulih ya mbak... Goodluck juga buat kontesnya. Eh aku juga suka nggak ngebolehin anakku bawa ransel sekolahnya yang berat tapi rumahku mah dekat dengan sekolahnya cuma 100 meteran.
Jeng Ade, salam kenal. Semoga kakanda pulih seturut anugerahNya. Notebook tipis semakin menopang karya buku yang menginspirasi kami pembaca. Salam
BalasHapusSalam kenal, mak Ade :) ceritanya menyentuh sekali - sambil menjaga saudara masih punya waktu untuk keluarga dan tetap aktif menulis :)
BalasHapusSemoga kakaknya dalam keadaan sehat selalu. Tas anak-anak juga sekarang memang berat-berat ya T_T atau dibawakan notebook saja mungkin yaa hehehe, gantian ama emaknya nanti kalo jadi dapet Acer Aspire , hehe..
keren tipsnya
BalasHapus