Ayah dan ibuku berasal dari Sumatra Selatan. Bukan cuma berasal, tapi mereka juga dilahirkan disana. Ayah lahir di Bumi Ayu sedangkan ibu lahir di
Kayu Ara. Keduanya masih dalam lingkup kabupaten Musi Banyuasin. Hanya saja,
dibesarkannya tidak disana. Usia 3 tahun ibu dibawa orang tuanya untuk hijrah
ke Bandung, Jawa Barat dan dibesarkan disana hingga akhirnya dia menikah kelak.
Sedangkan ayah menyelesaikan sekolahya di beberapa tempat, seperti di
Palembang, Solo dan akhirnya di Bandung. Nah, ketika berada di Bandung inilah
mereka bertemu, saling jatuh cinta dan akhirnya menikah. Setelah menikah,
mereka pindah ke Jakarta. Lalu, lahirlah kami anak-anaknya.
Ada banyak penyesuaian yang dilakukan oleh keduanya dalam
membesarkan anak-anak mereka, yaitu kami. Soal bahasa misalnya, kami tidak
dibiasakan menggunakan bahasa daerah di rumah. Hanya sekedar tahu saja alias
pengguna bahasa daerah pasiv. Tapi, tentang sebutan 'kepangkatan' dalam
keluarga besar, kami masih menerapkan bahasa daerah yang dikombinasikan dengan
bahasa Indonesia. Bukan bahasa Indonesia murni. Itu sebabnya sejak kecil kami
mengenal istilah uwak perempuan dan uwak laki-laki (bukan biksok atau maksok), om
(bukan paman, juga bukan makcik atau mamang), tante (bukan bibi juga bukan bikcik),
dan anang (panggilan untuk nenek laki-laki = nenek layah yang lalu disingkat
menjadi neknang), dan nek ine (panggilan untuk nenek perempuan = nenek betine),
dan sebagainya.
FYI: silsilah
keluargaku rumit sebenarnya karena terlalu banyaknya pernikahan antar saudara
jauh maupun amat jauh maupun dekat tapi bukan amat dekat... hehehe. Jadi, ada
saudara sepantaran usianya yang harus aku panggil om, tapi juga ada saudara
yang lebih tua yang ternyata malah dipanggil adik, atau panggil nama saja.
Rada-rada kacau sebenarnya. Karena kepangkatan-saudaranya yang tumpang tindih
antara saudara ibu dan saudara ayah. Jadi kadang aku dan saudara-saudara
kandungku suka-suka saja memanggil mereka. Toh jika salah juga ada yang
menegur, tapi jika tidak ada yang menegur ya sudah.. bablas selamanya salah. Hhahahaha.
Setelah kami semua menikah, lahirlah anak-anak kami yang
menjadi cucu bagi ayah dan ibuku. Lalu, tradisi panggilan itupun diterapkan
pada mereka. Anak-anak kami memanggil mereka anang dan nek ineh. Tapi,
sayangnya ibuku malah menolak dipanggil nek ineh. Dia maunya dipanggil Enin,
panggilan nenek dalam bahasa Sunda. Jadilah mereka dipanggil Anang dan Enin.
Hanya saja, kalau sedang bercanda kami sering menyebut mereka berdua: Anang Dan
Krisdayanti. Hahahaha... karena dulu pasangan selebritis ini lagi
ngetop-ngetopnya jadi...
"Eh, tolong panggil Anang dong."
"Anang?"
"Iya.. sekalian deh sama Krisdayantinya juga."
Jika sedang kambuh mesranya, ayah dan ibuku memang sama
mesranya dengan Anang dan Krisdayanti, tentu saja Anang dan Krisdayanti KW 12 tapinya. Hehehe...
bukan apa-apa, tapi Ayah dan Ibu ini memang adalah pasangan yang memiliki
perbedaan yang cukup banyak. Ayah adalah seorang lelaki yang pengalah, suka
melontarkan lelucon garing (yang kebanyakan dirinya sendiri yang tahu bahwa itu
lucu. Kadang ayah sudah tertawa hingga mengeluarkan air mata tapi orang-orang
di sekelilingnya ternyata hanya terdiam menunggu kelanjutan cerita lucunya.
Padahal, cerita lucunya sudah selesai. Aih.). Ayah juga tegas pada orang lain tapi tidak pernah marah
jika di rumah. Pernah waktu aku kecil, ada segerombolan orang yang berkelahi di
lapangan dekat rumahku. Keduanya dari kelompok yang berbeda jadi perkelahian
antar warga dan pokok permasalahannya hanya karena salah satu pihak merasa
dicurangi ketika sedang bertanding di acara tujuh belas agustus. Akhirnya, Ayah
pulang ke rumah dan mengambil senjata apinya (oh ya, dulu ayahku memang sempat
ikut wajib militer) dan melepaskan tembakan peringatan ke udara untuk
menghentikan perkelahian. Lalu, dengan tegas ayah meminta agar kedua kelompok
yang bertikai tanding ulang dan membuat perjanjian agar hasil dari tanding
ulang itu harus diterima secara sportif jika tidak, ...
"... kalian terpaksa harus berhadapan dengan saya. Kita
berkelahi satu lawan satu. Jangan keroyokan. Biar bagaimanapun, saya menguasai
ilmu bela diri yang lumayan."
Dan entah mengapa semua warga takut pada ayahku. Mereka tahu
bahwa ketika ikut wajib militer dulu, ayahku menguasai ilmu pedang Samurai yang
lumayan dan juga ayah bisa pencak silat sumatra (di rumah, ayah memang selalu
merawat pistol dan pedang samurainya dengan rajin meski dia sudah bukan lagi
dinas tentara. Dan ayahku selalu membersihkan pedangnya di teras depan rumah
sehingga orang-orang yang lalu lalang di jalan depan rumahku bisa melihat
dengan jelas betapa panjang dan tajamnya pedang Samurai ayahku. Hehehehe,
belakangan ayah bercerita bahwa itu adalah strategi dia untuk menunjukkan
kepada orang-orang agar jangan sembarangan dengan keluarganya).
Itu kalau di luar rumah. Tapi ketika di dalam rumah, Ayah
berubah menjadi seorang lelaki yang menuruti perkataan istrinya karena rasa
sayang beliau pada istrinya. Itu sebabnya pemandangan ayahku yang mengepel
lantai, membantu memasak terutama ketika ibuku sakit (meski menunya jadi gak
karuan dan jauh dari 4 sehat 5 sempurna), menyapu halaman, menggunting tanaman
adalah pemandangan yang biasa. Tidak pernah dia merasa gengsi melakukan itu. Bahkan
ketika kancing bajunya lepas atau celananya sobek, dia terbiasa menjahitnya
sendiri. Dia tidak pernah marah dalam arti mencak-mencak dan bersuara keras dan
tinggi. Yang dilakukannya hanya satu jika kecewa, menunjukkan wajah kecewa dan
berkata bahwa dia kecewa. Jika tidak suka, dia akan diam dan tidak berbicara.
Jika marah, dia akan membuang napas panjang di hadapan kita lalu pergi
meninggalkan kita dan menghindari untuk berbicara dengan kita.
Nah, sebaliknya dengan Ibu, di luar rumah, Ibu termasuk
perempuan yang kurang percaya diri sebenarnya. Tapi ayahku selalu mendorong dan
memberi semangat padanya agar percaya
diri. Lalu untuk menutupi salah tingkah karena kurang percaya diri tersebut, Ibu
jadi banyak melontarkan lelucon yang benar-benar lucu (bukan sekedar garing).
Juga menjadi sosok yang gemar bercanda. Dengan cara ini orang lain jadi tidak
bisa melihat kekurangan kemampuan yang dia miliki. Jadi, teman-temannya pun
banyak dan dia sering diajak ikut aneka ragam
kegiatan karena satu alasan:
"Gak rame ah kalau Hos gak ikut."
Ibu juga seorang yang ceplas ceplos dan sering bersikap
spontanitas. Apa yang ada di pikirannya, langsung tercetus untuk dilakukannya.
Dan spontanitasnya ini ternyata membuat orang lain merasa bahwa "dia
ternyata tidak sempurna, dia sama seperti kita" jadi orang lain banyak
yang merasa nyaman dengan kehadirannya. Itu sebabnya tua-muda-miskin-kaya-lelaki-perempuan
merasa nyaman ketika bersama dengan dirinya. Termasuk teman-teman sekolahku.
Teman-teman sekolahku tidak pernah merasa sungkan ketika bertemu dengan ibuku.
Mereka akrab-akrab saja, kadang malah bercanda bersama-sama. Bahkan tidak
jarang, ketika aku melontarkan undangan untuk acara makan-makan di rumahku,
teman-temanku banyak yang bersemangat,
"Asyik, ketemu nyokap lo yang lucu itu lagi nih
kita-kita. Suka gue ama nyokap lo. Orangnya asyik."
Padahal jika bertemu dengan ayahku, mereka seperti layaknya
anak muda yang bertemu orang tua temannya, jadi kaku dan sungkan. Paling
maksimal obrolan yang berhasil terjalin hanya :
"Om, apa kabar?"
atau
"Mari om, kita pulang dulu."
Cuma dua itu saja. Karena Ayah tidak pernah berhasil
membangun obrolan yang 'mengakrabkan". Pernah, seorang teman datang ke
rumah dan kebetulan pembantuku tidak ada di rumah juga ibu dan
saudara-saudaraku yang lain. Jadi, sambil aku bersiap untuk menerima temanku
itu aku minta tolong ayahku untuk menemani temanku itu. Ketika aku tiba di
ruang tamu, ternyata ayahku benar-benar menemani dalam tanda kutip. Yaitu, dia
duduk dihadapan temanku yang salah tingkah sambil membaca koran dan asyik
dengan korannya tersebut. Sama sekali tidak ngobrol !!! Padahal temanku itu
sudah kaku senyumnya berharap diajak ngobrol layaknya seorang tamu pada
umumnya.
Mungkin karena kekakuannya ini, maka ayah selalu melibatkan
ibuku dalam banyak acara yang mengharuskan bertemu dengan orang lain dalam
jumlah banyak. Pesta atau halal bihalal atau acara pertemuan besar lain. Karna ibuku
selalu punya lelucon untuk mencairkan suasana. Jika ibuku sakit, ayah lebih
senang tidak menghadiri pertemua tersebut.
Ayah juga seorang yang pelitnya luar biasa. Jadi, jika ingin
minta ongkos untuk pergi ke suatu tempat misalnya. Maka pertanyaannya panjang
sekali.
"Naik apa kesananya?"
"Naik bis."
"Berapa kali gonta ganti bisnya?"
"Dua kali."
"Berapa lama perjalanannya?"
"Setengah jam."
"Perlu bawa bekal gak buat di acara itu?"
"Gak perlu, karena itu acara ulang tahun teman. Pasti
disediakan makanan."
"Ya sudah, ini... ini untuk ongkos bisnya, dua kali
gonta ganti berarti pulang pergi empat kali." (lalu dia akan memberikan
harga tiket bis yang persis sama dengan hitungannya ini. Tidak dilebihkan sama
sekali).
"Dan ini bonus, siapa tahu kamu haus di jalan."
(lalu dia memberikan kelebihan uang seharga minuman termurah yang dijual di
warung: yaitu satu botol teh botol sostro. Hahahaha).
Jadi, jika ingin minta uang, jangan pernah minta ongkos sama
Ayahku. Dijamin dapatnya amat sangat "NGEPAS".
Terkadang, dia bahkan memberikan saran yang lebih ekstreem
agar tidak memberikan ongkos pada kita.
"Dimana rumah temanmu itu?"
"Di tebet."
"Jauh?'
"Dekat."
"Ya sudah, jalan kaki saja. Bawa saja minuman dari
rumah jadi jika di tengah jalan haus, bisa minum, tidak usah jajan. Ayo, jalan
kaki saja. Ayah dulu waktu masih muda kemana-mana jalan kaki. Kamu pasti
kuat."
Hahahahaha.
Bener deh, kalau tidak kuat iman, mintalah uang pada Ibu
karena dia akan memberikan lebih, bisa untuk ongkos pulang pergi sambil traktir
dua tiga teman di dalam bis, dan bisa membeli bukan cuma minuman tapi juga
makanan hingga beberapa kali nambah.
Nah, itu sebabnya Ayah dan Ibu tuh banyak sekali
perbedaannya. Tapi, justru perbedaan itulah yang membuat mereka saling tertarik
satu sama lain. Mungkin seperti dua kutup magnet yang saling berbeda sehingga
satu sama lain akan saling tarik menarik untuk saling bersatu.
Setelah mereka berdua tiada sekarang, aku baru sadar bahwa
ternyata aku terdidik untuk memiliki fisik yang kuat. Aku kuat jalan kaki
sejauh apapun insya Allah. Juga terdidik untuk tidak suka jajan. Dan terbiasa
untuk luwes menghadapi tamu, gemar bercanda dan senang melontarkan lelucon. Sayangnya
tidak semua leluconku lucu, kebanyakan sih garing (parahnya, kadang aku merasa
bahwa hanya aku yang tahu dimana letak lucunya, orang lain tidak. Oh No!).
Huff. Ini pasti hasil dari akulturasi ayah dan ibuku. Mau bagaimana
lagi coba? Hehehe.
----------
Penulis: Ade Anita
Saya juga orang Sumatera Selatan Mbak :D
BalasHapusOrangtuanya Keren :D
Eh..eh.... sumaatra selatan nya dimana?
HapusOKI mbak, Penyandingan sm Ulak Ketapang di sekitar Danau Teluk Gelam, tapi orangtua aja, kami lahirnya di Palembang :D
Hapusnggak lucu mah, nggak lucu aja mbak... nggak usah menyebut akulturasi ... hihihi. Tapi mbak Ade emang lucu kok.
BalasHapusnggak garing juga. Mungkin itu yg membuat Pak Bandi jatuh cinta..
Huehehehehe....
Hapusayo mbak jalan kaki bareng :)
BalasHapusayooo... mauuu.. kapan?
Hapuspelit yang melatih i2 mba, Alfatiha buat beliau...
BalasHapusiya... pelit yang melatih bener
Hapuswalau beda tapiakhirnya bersatu jua ^^
BalasHapuskalau beda kan makin seru, hehe. salut sama ortunya. kalau mbak sama suami, gimana?