Jujur, saya tidak tahu apakah logika matematika itu sama dengan cara berpikir orang-orang “biasa” yang berpikiran “biasa-biasa saja” juga? Atau mungkin pertanyaannya harus diubah. Apakah berpikir secara logika matematika itu sudah pasti menghasilkan sesuatu yang amat masuk akal?
Ih, bingung kan. Kenapa harus maksa ada kata logika matematikanya. Hehehe. Tenang, baca lagi notes ini sampai selesai.
Masih bercerita tentang anak saya yang bungsu yang duduk di bangku Sekolah Dasar. Akhir-akhir ini memang ada banyak cerita tentang si bungsu saya ini. Mungkin karena jarak antara dia dan kakaknya terbilang cukup jauh sehingga sering saya merasa seperti mendapat “mainan baru” yang amat sangat membuat saya jadi refresh kembali. Semuanya terasa berbeda dengan jaman kakak-kakaknya dahulu (beda usianya dengan kakaknya yang sulung adalah 11 tahun, sedangkan dengan kakak yang tepat di atasnya adalah 6 tahun). Dan perbedaan ini ternyata masuk juga ke ranah pelajaran sekolah yang dia terima. Termasuk perlakuan terhadap cara saya membuat dia memahami pelajaran yang dia terima di sekolah (Tips dari saya: mungkin ini bisa jadi pelajaran untuk para orang tua, jika memang tidak siap untuk mendampingi dan membimbing anak secara maksimal di rumah ketika anak mulai masuk sekolah dasar, sebaiknya ikuti saran pemerintah untuk tertib memasukkan anak sesuai dengan usianya saja, jangan terlalu cepat seperti yang saya lakukan).
Salah satu pelajaran sekolah yang menjadi kegemaran dia by accident adalah pelajaran matematika.
Yup, anda tidak salah baca. Memang disana tertulis kegemaran dia by accident, sama sekali tak terduga dan tak direncanakan kenapa bisa gemar. Anak saya menggemari pelajaran matematika semata karena matematikalah yang paling mudah dibuat permainan dibanding pelajaran yang lain. Kita bisa memasukkan unsur-unsur matematika dalam dongeng, menyisipkan hitungan kecil dalam tebak-tebakan, atau sekedar menyampirkannya dalam obrolan ringan di tengah kesibukan beraktifitas.
“Aduh, sudah berapa lama nih kita kejebak macet gini? Tadi saja dari rumah berangkat jam delapan sekarang sudah jam setengah sepuluh tapi masih juga di sini. Sudah berapa jam tuh?” --> ada matematika disana.
“Sstt, coba deh lihat, kira-kira ada berapa mobil yang harus kita lewati kalau kita mau mencapai lampu merah di depan sana?” --> ada matematika lagi.
“Hayoo.. sudah berapa gelas air putih yang kamu minum hari ini? Sudah dua liter belum?” --> ketemu lagi kan dengan matematika.
Walhasil anak-anak saya terbiasa berhitung cepat. Ditambah dengan saya sebagai ibunya yang amat sangat malas menggunakan kalkulator, maka semuanya dipaksa untuk bisa berhitung (asyiknya jadi seorang ibu yang sudah mengkondisikan anaknya bisa berhitung cepat adalah, kita tidak perlu lagi menenteng kalkulator. Jadi, ketika selesai berbelanja, saya tinggal menyodorkan kertas hitungan harga pada anak untuk dia periksa apakah hitungan si abang penjual tepat atau tidak. Atau bisa dengan segera mengetahui berapa banyak sisa uang di dalam dompet yang bisa dialokasikan untuk kesenangan pribadi…hehehehehe. Ini bagian yang paling nikmat).
Adapun dari semua pembelajaran matematika yang paling menyenangkan untuk diterapkan adalah melalui permainan. Dan di antara semua permainan, maka main tebak-tebakan adalah yang paling efisien, tidak perlu merangkai cerita panjang-panjang, yang penting jeblak, duer, jadi deh.
Kita kilas balik dahulu sejenak.
Dahulu ketika saya masih duduk di bangku sekolah, saya mengukur diri sendiri apakah sudah mengerti sebuah pelajaran dengan cara membuat soal sendiri setiap hari sebelum saya tidur. Saya buat 10 buah soal di atas kertas, lalu kertas tersebut saya letakkan di samping tempat tidur saya. Ketika alarm saya berbunyi keesokannya harinya, saya memaksakan mata yang mengantuk untuk membaca soal-soal itu dan memberikan jawaban yang benar (konon kabarnya, kecantikan asli seorang wanita itu terlihat ketika dia bangun tidur di pagi hari. Eh…. kenapa nulis ini? Nggak ada hubungannya deh.... Maaf,... salah lihat contekan kutipan. Yang benar adalah: konon kabarnya, keaslian cara berpikir kita adalah ketika bangun tidur di pagi hari. Disinilah puncak kejujuran terpancar. Si bodoh akan planga-plongo ketika bangun dari tidurnya, dan si pandai bangun dengan wajah penuh semangat, sedangkan si licik bangun dengan wajah penuh rencana untuk berbuat culas. Saya tidak mau jadi si bodoh dan selalu bermimpi jadi si pandai, itu sebabnya saya berusaha keras untuk bisa mengerjakan soal-soal yang saya buat sendiri malam sebelumnya. Sekedar ingin mengukur diri sendiri, apakah benar saya sudah memahami apa yang saya pelajari semalam). Setelah saya memiliki anak, saya tidak mengajarkan cara belajar ini pada anak saya. Ah, cara belajar aneh ini kan amat subjektif, belum tentu cocok diterapkan pada orang lain. Tapi saya mengadopsi substansi cara belajar tersebut. Yaitu bahwa kita baru bisa dikatakan menguasai jika kita mampu mengantarkan materi tersebut kepada orang lain, mengajarkan mereka lalu menguji mereka sebagai evaluasinya. Itu sebabnya semua anak saya harus bisa membuat sendiri pertanyaan atau tebak-tebakan mereka, jangan hanya bisa menjawab saja. Tidak terkecuali bungsu saya. Msski usianya masih kecil, dia harus bisa membuat sendiri pertanyaan tebak-tebakan untuk orang lain. Jangan hanya pasif saja. Seperti halnya ketika pelajaran matematika a la keluarga saya berlangsung di atas sebuah kendaraan yang meluncur dan (lagi-lagi) terjebak kemacetan kota Jakarta.
“Nah, di hutan belantara nih, ada seekor harimau. Dia lapar sekali. Lalu dia berjalan mencari makan sampai akhirnya dia bertemu dengan enam ekor kambing. Harimau itu berkata,..." asyik nih, bisa makan domba afrika juga akhirnya gue. Mantap men. Sayang nggak ada mayonnaise atau bumbu kecap". ... Lalu, harimau itu mengendap-endap ... dan hup. Ditangkap seekor. Dimakan… waah… enak banget ternyata, karena dagingnya empuk, soalnya masih kambing muda. Harimaunya mau nambah, lalu dia tangkap lagi satu kambing. Hup. Dapat. Kambing-kambing lain pada ketakutan lalu lari tunggang langgang… pada panik. Ngos…. Ngos…. Ngos…. Lari.. lari.. run for your life…. Lari..lari….. nah… sekarang, berapa ekor kambing yang masih selamat?”
Bungsuku langsung serius menghitung dan tidak lama kemudian menjawab dengan lantang.
“Empat.”
“Pinter.. sekarang, giliran kamu yang bikin soal.”
Bungsuku senyum-senyum, bola matanya berputar kesana kemari tanda dia sedang berpikir dengan satu telunjuk mengetuk-ngetuk kening.
“Nih. Ada empat ekor harimau nih di hutan. Semua harimaunya pada laper. Lalu, ketemu sama empat ekor ayam. Wahh.. asyik nih, ada ayam. Akhirnya, ayamnya dimakan satu ekor. Sekarang, ayam yang masih hidup tinggal berapa ekor lagi? Ayooo tebak.”
Keningku langsung berkerut.
“Ayam yang masih hidup terus... ngapain tuh?”
“Ya nggak ngapa-ngapain. Diem saja disitu. Ayoo.. berapa?... Nyerah ya ibu?”
(Menyerah? Duh, never! Tapi saudara-saudara… masuk akal nggak sih 4 ekor harimau yang sedang kelaparan hanya makan 1 ekor ayam saja? Lah, kita saja, manusia yang bisa memakan segalanya alias Omnivora, tidak seperti Harimau yang carnivora itu, kalau makan di restoran rasanya tidak cukup hanya makan satu potong ayam. Padahal sudah dikombinasikan dengan satu piring nasi, ada tempenya, ada tahunya, ada lalapnya, lalu segelas jus. Lah ini, harimau yang kelaparan hanya makan seekor ayam lalu dengan adil membaginya menjadi empat potong alias satu ekor harimau hanya mendapat ¼ ayam saja?)
“Ayoo ibu, jangan kelamaan ngitungnya. Sudah bilang saja kalau nyerah.”
Akhirnya, dengan suara yang terbata dan sebuah rasa ikhlas yang tertelan amat berat di tenggorokan terpaksa aku menjawab,
“Tinggal 3.”
“Benerrrrrrrrrr… ibu pinterrrrrrrrrr….”
Glek. Baru kali ini sebuah pujian tidak membuat saya merasa bangga. Kenapa pujian ini terasa pahit ya? Kasihan tuh harimau, harus sharing satu ekor ayam buat berempat. Hiks.
----------------------
Penulis: Ade Anita. Masih catatan untuk mengisi Ramadhan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar