Yang disayang dan yang dibenci

Serpihan yang tercecer di tahun 2009-nya ade anita

Yang disayang dan yang dibenci

Perempuan tua itu sudah sepuh. Aku mengetahuinya dari keriput yang menempel di seluruh permukaan kulitnya yang kusut. Meski begitu, semangatnya tetap membara. Dengan langkah tertatih, dia susuri jalan berbatu dan berdebu. Tak peduli lagi pada langkah kakinya yang sudah setengah menyeret karena tulang betis yang mulai mengintip dari bekas kulit yang terbakar api.

“Ini luka bakar nak. Ibu dapat ketika kompor minyak dirumah ibu meleduk. Tapi ibu tidak apa-apa, ini berkat anak-anak ibu yang manis, semuanya ada tiga ekor.”
Tiga? Manusia seperti apakah dia yang memiliki anak yang memiliki ekor? Diam-diam aku menatap punggungnya. Khayalan dan paranoidku datang menyergap. Jangan-jangan aku berbicara dengan seorang siluman. Ternyata anak yang dimaksud adalah tiga ekor kucing kampung. Yang dipeliharanya sejak anak kandungnya meninggal dunia akibat tersiram air panas.

“Anak kandung ibu usianya 32 tahun. Sudah tua, laki-laki, tapi mental retarded. Suami ibu sudah meninggal dunia sepuluh tahun yang lalu. Lima tahun sebelum anak kandung ibu meninggal dunia. Ibu sudah tua, lelah bekerja sendirian mencari uang sekaligus merawat anak yang cacat. Suatu hari ibu tertidur di meja dapur. Anak itu haus lalu langsung meraih ceret air panas dan langsung menuangkannya ke dalam mulut. Lalu dia mati seketika.”

Aku merinding mendengar ceritanya. Tapi tak tampak setitikpun air mata di bola mata ibu tua tersebut. Bola mata yang berwarna kelabu. Dengan kelopak yang sayu dan kerutan yang tampak kusut masai disekeliling bola mata tersebut. Beberapa permukaan kulitnya tampak terkelupas. Mungkin sudah terlalu kering. Karena air mata ibu tua ini sudah lama terkuras habis oleh derita.

“Sabar bu. Ibu amat luar biasa, bisa amat sabar dengan kehilangan yang beruntun.” Aku berkata padanya sambil menahan tangis. Kugenggam jemari tangannya yang gemetaran. Telapak tangannya dingin seperti batu es. Beberapa butir nasi tampak masih menempel di ujung jemari tangannya. Kami memang bertemu ketika beduk Azan Maghrib baru saja selesai berbunyi. DI pelataran masjid Al Azhar di suatu sore di bulan Ramadhan 2008.

“Tidak ada yang hilang nak. Semua yang hilang sudah diganti dengan yang lebih baik. Ibu kehilangan seorang anak yang terbelakang, tapi seminggu kemudian ibu bertemu dengan tiga ekor kucing yang pintar-pintar. Ibu beri mereka makan, ibu mandikan, ibu beri juga tempat layak untuk mereka tidur. Lalu ibu pun ditemani, dibangunkan setiap kali azan berbunyi, ditemani ketika ibu merasa kesepian, dan dihibur ketika ibu merasa sedih.”

‘Dimana ibu tinggal? Tinggal sama siapa?”

“Ibu tinggal di Bekasi nak. Tinggal seorang diri. Suami ibu hanya meninggalkan satu orang saja anak yang bodoh. Ketika mereka berdua sudah pergi, ibu tidak punya siapa-siapa lagi. Itu sebabnya, suatu hari, ketika ibu tertidur ketika sedang menanak nasi, tiba-tiba kucing ibu menjilati muka ibu, menggigit ujung jari ibu dengan keras. Nggak taunya, kompor minyak tanah ibu meleduk. Api sudah menjilat dinding. Langsung ibu teriak minta tolong sama tetangga sambil melempar keset basah ke atas kompor. Kenalah betis ibu ini cipratan apinya. Tapi Allah belum berkenan memanggil ibu menghadapNya. Ibu masih selamat . Itu semua berkat tiga ekor anak-anak ibu yang pintar-pintar itu.” Aku merinding mendengar ceritanya. Mungkin merinding menyaksikan rasa sayang yang amat besar ibu tersebut kepada hewan berkaki empat dan berbulu lebat tersebut. Atau mungkin juga merinding mendengar cerita heroik tiga ekor kucing. Atau…. Merinding mendengar kata kucing.

Entahlah.

Aku takut pada kucing. Mungkin Fobia. Tapi bisa juga jijik dan tidak suka. Lebih lengkapnya benci.

Entah sejak kapan rasa benci ini bermula. Awalnya mungkin ketika masih kecil, aku yang selalu tertidur diatas lengan ayah suatu hari terbangun karena mendengar ayahku berteriak kesakitan. Ternyata jari telunjuk ayahku digigit oleh seekor kucing. Luka sayatan itu menimbulkan luka yang cukup dalam. Itu untuk pertama kalinya aku melihat betapa seekor binatang kaki empat bisa punya kekuatan untuk melukai manusia. Aku tidak suka melihat darah yang terus mengalir dari jemari ayahku itu. Mungkin itu awalnya aku tidak suka kucing.

Tapi bisa juga, awalnya karena sering sekali aku mendapati darah berceceran di dalam lemari pakaianku. Itu adalah darah yang keluar dari seekor induk kucing yang melahirkan anak-anaknya di dalam lemari pakaianku. Bayangkan jika sedang asyik mengaduk pakaian untuk mencari model apa yang akan dikenakan, tiba-tiba ujung jemari kita menyentuh cairan lengket dan berlendir yang amis. Lalu belum habis rasa heran, tiba-tiba ada sesuatu yang menyakitkan menyentuh ujung jemari. Itulah gigitan induk kucing yang merasa terancam dan menyangka ada makhluk lain yang akan memangsa anak-anaknya.

Entah mana yang lebih dahulu ada dan cukup berkesan bagi diriku yang masih kecil sehingga akhirnya aku amat membenci hewan berkaki empat ini.

Sayangnya, ini Indonesia, bukan Brasil. DI Brasil, kucing masih diburu untuk disantap orang dengan cara membakarnya serupa hidangan panggangan seperti sate atau sejenisnya. Di Indonesia, banyak orang yang menyangka bahwa kucing adalah binatang yang harus disayang dan dihormati. JIka di jalan raya ada seekor anak itik yang lucu dan lemah tertabrak kendaraan, tak seorangpun yang peduli. Ayam, itik, tikus, orang miskin, gembel, pengemis, sama saja kedudukannya. JIka tertabrak di jalan raya, mereka bisa ditinggal kabur begitu saja. Mayat mereka bisa membusuk di atas dipan rumah sakit tanpa ada seorang pun yang peduli. Tapi ketika seekor kucing tertabrak mobil, mati atau tidak mati, pengendara mobil akan mengusahakan untuk menghentikan kendaraannya seketika itu juga. JIka mati, maka dengan hati-hati dan penuh khidmat, mayat kucing itu akan dikubur di dalam tanah. Beberapa ada yang menyertai pemakamannya dengan doa agar terhindar dari mara bahaya. JIka ternyata belum mati, maka dibawalah pulang ke rumah untuk diobati, diberi makan, setelah itu baru dilepas lagi. Derajat kucing benar- benar tinggi disini.

Meski demikian, tetap saja, aku tidak suka pada kucing. Benci sangat pada binatang kaki empat ini. Takut pula.

Pernah suatu hari, rumahku amat sangat panas hawanya. Maka pintu depan kubuka dengan maksud agar angis sudi mampir sejenak dan bersilaturahmi sejenak di rumahku. Tapi lain yang diharap, lain pula yang dapat. Angin tak terjaring justru kucing yang mampir. Aku takut. Spontan aku masuk ke dalam kamar lalu menelepon ayahku yang jarak rumahnya sebenarnya cukup jauh dari rumahku.

“Ayah, ada kucing masuk rumah ade. Ade takut. Nggak bisa ngusirnya.” Lalu aku mengharap keajaiban datang sambil berdiam diri di dalam kamar. HIngga ayah datang dengan mobilnya dan mengusir kucing tak diundang tersebut pergi. Sudah itu ayah pulang lagi ke rumahnya.

Aku benci kucing tapi suasana perkucingan terus menyelimuti rumahku. Entah sudah berapa kali kucing-kucing orang lain numpang melahirkan di rumahku. Dan tidak terhitung lagi mereka yang nunpang buang kotorannya di halaman rumahku. Yang terakhir, ada yang numpang menghembuskan nafas terakhirnya di rumahku.
Lalu harus bagaimana lagi aku berkata pada kucing-kucing itu agar tidak lagi datang mengunjungi kehidupanku?

Pernah aku punya boneka kecil yang amat lucu. Menurutku itu boneka anak anjing atau anak beruang. Warnanya putih dengan coreng coklat di hidungnya. Lucu sekali. Sering aku ajak ngobrol jika sedang mencari ide untuk menulis. Anak-anakku tahu aku amat menyayangi boneka tersebut. HIngga suatu hari suamiku berkata, bahwa boneka itu boneka anjing. DIamini juga oleh anak-anakku yang mengamati dengan seksama. Aku bersikeras itu boneka beruang. Tapi akhirnya terpengaruh. Lalu mulai memperhatikan wajahnya lamat-lamat. HIngga tiba-tiba muncul perasaan bergidik dan mual. Bulu kudukku tiba-tiba berdiri meremang. Ya. Si beruang amat mirip kucing ternyata. Detik itu juga boneka kesayangan itu aku buang jauh-jauh. Tidak ada lagi boneka kesayangan. Hilang.

“Kamu tahu nak. Ketika anak ibu berada di usia remaja, ibu amat berharap dia cepat mati. Ibu sudah kehilangan banyak sekali waktu dan energy untuk mengurusnya. Memandikan tubuh besarnya yang kian hari kian berat. Menyuapi mulutnya yang terus berceracau tidak karuan sambil terus meneteskan air liur yang tidak ada habis-habisnya menetes dari sela-sela bibirnya yang tidak pernah tertutup rapat.
Membersihkan kotorannya yang kian hari kian bau dan menjijikkan. Tapi, yang cepat mati ternyata malah orang-orang yang ibu sayangi. Orang tua ibu, suami ibu, juga saudara-saudara ibu. Akhirnya ibu berhenti berharap yang tidak-tidak. Ibu sadar, ternyata bukan kita yang mengetahui apa yang terbaik untuk diri kita sendiri. Tetap Allah jualah yang Maha Mengetahui semua hal itu. Akhirnya ibu belajar untuk ikhlas. Ibu belajar untuk sabar. Siapa sangka, akhirnya Allah mengirimkan tiga ekor makhluk yang amat sangat menyayangi ibu dan ibupun amat sangat menyayangi mereka. Mereka menjaga ibu dengan caranya sendiri, dan ibu pun menjaga dia dengan cara ibu sendiri. Tapi kami saling tolong menolong. Mungkin hingga nanti. Hingga maut memisahkan kami. Berkat mereka, sekarang ibu bisa tenang beribadah ke masjid. Untuk ikhtikaf seperti sekarang, untuk berpuasa dengan lebih sabar dan lebih bersyukur. Subhanallah wal Alhamdulillah.” Lalu kalimat puji-pujian pun mengalir deras dari bibir wanita tua yang mulai sepuh itu. KOndisi yang aku ketahui dari keriput yang mulai menempel kusut masai di seluruh permukaan kulitnya.

Lalu Ramadhan 2009 ini, aku tidak lagi bertemu dengan wanita tua ini.
Penulis: Ade Anita

2 komentar