Ibu, Jangan Malu Jika Aku Lambat

[Parenting]  Seperti anak tangga, ketika kita menapaki anak tangga pertama, pasti tidak akan terasa lelah. Tenaga masih terkumpul, dan debar di jantung belum terpacu.

Oh. Mungkin kalian bingung, mengapa perumpamaanku adalah debar di jantung.
Ya. Debar di jantung itu bukan hanya bermasalah ketika kita sedang jatuh cinta saja. Tapi, untuk mereka yang punya masalah dengan jantung, maka debar di jantung itu merupakan sebuah pertanda yang harus diwaspadai.

Aku punya masalah dengan jantungku. Itu sebabnya jika sedang naik tangga jantungku sering berdebar lebih cepat bitnya, hingga kadang membuat sesak napas. Bahkan, meski kegiatan naik tangga itu sudah setiap hari aku lakukan pun, tetap saja debar di jantungku tidak bisa dikendalikan.

Setiap pagi, aku selalu naik jembatan penyeberangan yang membentang di atas jalan raya MT Haryono dimana ada jalan tol di tengahnya, dan jalan biasa yang lebar di kiri kanan jalan tol. Semua dalam rangka mengantar anak pergi ke sekolah.

Itu sebabnya, setelah tiba di atas, irama langkahku melambat. Dan setelah turun kembali di seberang jalan, aku harus minum air putih.
Lalu, waktu melambat.
Seterlambat apapun, aku tidak bisa lagi bergegas.

"Tidak apa-apa kok bu. Aku paling cuma telat sedikit." Biasanya, itu yang selalu dikatakan oleh putriku padaku.
Meski tubuhnya kecil, tapi dia punya pengertian yang besar. Itu sebabnya aku selalu sayangku padanya terus mekar membesar. Alhamdulillah, Masya Allah.

Lalu, bagaimana pengertianku padanya?
Entahlah.
Terkadang, meski aku ibunya, tapi kadang aku yang belajar banyak dari anak-anakku.

Seperti kala itu. Beberapa tahun yang lalu. Aku menemukan sebuah catatan tentang hal ini di memory facebook.

Putri kecilku baru duduk di kelas satu waktu itu. Setiap hari, ada pelajaran menulis.

Aku termasuk orang tua yang tidak mengharuskan anak harus bisa membaca-menulis dan berhitung ketika mereka masih ada di usia pra sekolah (alias duduk di bangku taman kanak-kanak). Itu sebabnya, ketika putriku duduk di bangku kelas satu (1) irama menulisnya lebih lambat dibanding irama menulis anak-anak lain di kelasnya yang sudah mengikuti les menulis dan membaca ketika masih TK.

Tapi tidak mengapa.
Aku sabar menunggunya.

Sehari dua hari.
Seminggu.
Lalu tidak terasa menjadi berminggu-minggu.

Lalu bulan berlalu dengan cepat. Dan putriku masih tetap paling belakangan keluar dari kelasnya. Menulis dengan tekun apa yang ada di papan tulis. Atau menulis dengan tekun tugas-tugas yang diperintahkan gurunya yang diambil dari buku pelajaran.

Kadang, dari yang semula menunggu dengan ibu-ibu yang lain, akhirnya hanya tinggal aku sendiri yang menungguinya di luar kelas.

Satu persatu ibu-ibu dari anak-anak yang lain mulai pulang lebih dulu.
Dan, mungkin karena iseng dan basa basi, mereka mulai melontarkan komentar.

"Pulang dulu ya bu. Eh, anaknya belum selesai juga? Lambat ya dia?"

"Nggak juga kok. Dia cuma menikmati aja menulisnya." (hehehe, pembelaan. Tapi jujur, setiap hari dikomentari bahwa "anaknya lambat ya?", lama-lama mulai muncul penyakit di dalam hatiku. Apa iya anakku lambat? Kok anak lain bisa cepat sih? Kok anak lain begitu, anakku begini? Kok anak orang lain bisa, kok anakku nggak bisa? duhhh. Semua gara-gara komentar iseng para ibu yang merasa anaknya lebih dibanding anakku. Ugh).

Akhirnya, karena tergerus oleh komentar terus-menerus, terkompori setiap hari, suatu hari aku pun mengajak anakku bicara. Ini aku rekam pembicaraan kami menjadi status facebook.


====================
Terkadang, komentar iseng seseorang itulah yang justru menghancurkan sebuah hubungan dalam keluarga; bahkan hubungan dalam sebuah pernikahan.
Padahal sungguh deh, bahagia itu sederhana sebenarnya. Jika saja orang lain tidak datang mengganggu kesederhanaan dari kebahagiaan yang kita miliki itu.

10 komentar

  1. dulu saya juga harus super duper sabar mbak...anak ke dua(cowok,lambat bicara, akibatnya di awal bangku Sekolah Dasar anakku di 'membaca dan menulis' juga tidak selancar teman-teman seusianya.. Duuh, bahagia sedikit terusik dengan bisik2 tetangga.

    BalasHapus
  2. jadi ingat, dulu teman saya disebut idiot karena selalu belakangan kalo nyalin catatan di papan. Begitu gede, dia mengaku kalau disleksia. Sedih banget karena orang2 menyebut dia dulu idiot :(

    BalasHapus
  3. Dulu waktu SD, saya juga nulisnya lama. Dan sampai sekarang, masih lama juga.hehehe...

    BalasHapus
  4. Perlu dukungan yang lebih kalau anak lambat

    BalasHapus
  5. persis sama kayak aku dulu pas masih sekolah -_-

    BalasHapus
  6. Ya Allah.. kadang saya suka keceplosan komentarin anak orang lain yang perkembangannya jauh dari teman seusianya,, padahal itu menyakitkan banget ya mbak.. semoga nanti bisa sabar kalo ada komentar tentang anak saya. deg-degan mau jadi ibu

    BalasHapus
  7. lahh jadi merasa sendiri yaa, emg rada2 loading jaman2 SD :D

    BalasHapus
  8. kayanya dulu saya mah gak lemot, tp emg males aja buat nyatet
    wkwkwkkk

    BalasHapus
  9. jadi ibu harus punya sok sabar ya mbak

    BalasHapus
    Balasan
    1. bener banget itu mbak lidya :") terkadang saya merasa sangat bersalah sama ibu saya yang harus sabar menghadapi saya yang nakal :'( Docomox

      Hapus