Apakah Hubungan Pranikah Yang Syar'i itu?

Apakah Hubungan Pranikah Yang Syar’I itu?
13
MAY
2008
4 Comments
by pacaranislamikenapa in Artikel, pacaran islami, Renungan

Source
Uneq-Uneq, kafemuslimah.com – Thursday, 13 January 2005

Tanya: Assalamu’alaikum Wr Wb…
Mba Ade Anita yg dirahmat Allah SWT, aku masih bingung mengenai hubungan pra nikah yg syar’i itu seperti apa? apakah seperti yang aktivis dakwah kampanyekan yaitu melalui murobi ataukah seperti konsep manajemen cintanya Aisha Chuang, jd dikonsep mgt cintanya aisha memapaparkan bahwa kita dapat mencari pasangan hidup kita tanpa proses murobbi , dibuku itu hujjahnya sangat rasional sekali dgn bdasarkan pada alquran dan assunnah..
mohon dijawab… Af1 apabila ada kata2 yg menyakiti ukhti..
Syukron Jazakumulloh ….
Wassalamu’alaikum Wr Wb



Jawab:
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Aku tidak tahu apa isi panjang lebarnya buku Manajemen Cinta Aisha Chuang yang kamu maksud (terus terang, dulu Aisha pernah mempromosikan bukunya tersebut ke aku lewat email, tapi aku sama sekali tidak tertarik untuk membeli dan membacanya, karena sejak awal dia mengeluarkan pemikirannya lewat diskusi-diskusi di sebuah milis, aku dan Aisha beberapa kali berbeda pendapat dalam memandang beberapa hal, termasuk dalam memandang apa yang dianggap boleh dan tidak boleh. Jadi, entah jawabanku berikut ini akan berkenan bagimu atau tidak, karena sejak awal aku sudah beritahu, bahwa pada beberapa hal aku sendiri berbeda pendapat dengan Aisha Chuang dan buku yang berisi kumpulan pendapatnya. Saranku, jika di buku tersebut Aisha mengutip pendapat seseorang atau seorang ulama yang kamu tahu buku asli tempat dia mengutipnya, silahkan baca juga buku asli yang dia kutip tersebut; dan ini juga berlaku untuk pendapat yang akan aku utarakan di bawah ini tanpa terkecuali. Aku senang sekali jika kamu bersedia membandingkannya dengan pendapat ustad/ustadzah yang lebih berkompeten dalam hal ini, karena ilmuku sendiri juga masih amat sangat sedikit. Insya Allah semua itu berguna untuk memperluas cakrawala berpikirmu dan mempermudahmu dalam meraih ridha Allah.).
Tentang Hubungan Pranikah yang Syar’i. Berbicara tentang hubungan pranikah yang syar’i, sama artinya dengan membicarakan hubungan yang syar’i antara pria dan wanita yang non mahram. Mengapa? Karena selama belum ada ikatan perkawinan, maka antara pria dan wanita yang tidak ada pertalian hubungan darah atau persaudaraan dalam Islam diperlakukan sama, yaitu keduanya harus mentaati rambu-rambu yang sesuai ketentuan syariah. Sesungguhnya, Islam tidak menetapkan hukum secara khusus mengenai masalah ini (yaitu tentang hubungan pranikah yang syar’i). Tapi bukan berarti tidak ada aturannya. Ada ketentuannya dan dalam hal ini Islam justru memperhatikannya dengan melihat tujuan atau kemaslahatan yang hendak diwujudkannya, atau serta bahaya yang dikhawatirkannya, gambarannya, dan syarat-syarat yang harus dipenuhinya atau lainnya.

Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam sebuah hubungan yang syar’i antara pria dan wanita (baik yang keduanya berencana akan menikah atau yang keduanya hanya berteman biasa saja dan bahkan berlaku juga bagi mereka yang hanya bersahabat akrab), syarat-syaratnya adalah sebagai berikut:

1. Menahan pandangan dari kedua belah pihak. Artinya, tidak boleh melihat aurat, tidak boleh memandang dengan syahwat, tidak berlama-lama memandang tanpa ada keperluan. Allah berfirman:
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada wanita yang beriman, Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya.”(An Nur: 30-31)

2. Pihak wanita harus mengenakan pakaian yang sopan yang dituntunkan syar’i, yang menutup seluruh tubuh selain muka dan telapak tangan. Jangan yang tipis dan jangan dengan potongan yang menampakkan bentuk tubuh. Allah berfirman:
“..dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa tampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya..”(an-Nur:31)

Diriwayatkan dari beberapa sahabat bahwa perhiasan yang biasa tampak ialah muka dan tangan.
Allah berfirman mengenai sebab diperintahkan-Nya berlaku sopan:
“..Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal karena itu mereka tidak diganggu..” (Al-Ahzab:59)

Dengan pakaian tersebut, dapat dibedakan antara wanita yang baik-baik dengan wanita nakal. Terhadap wanita yang baik-baik, tidak ada laki-laki yang suka mengganggunya, sebab pakaian dan kesopanannya mengharuskan setiap orang yang melihatnya untuk menghormatinya.

3. Mematuhi adab-adab wanita muslimah dalam segala hal, terutama dalam pergaulannya dengan laki-laki.
a. Dalam perkataannya, harus menghindari perkataan yang merayu dan membangkitkan rangsangan. Allah berfirman:
“Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (al Ahzab:32)

b. Dalam berjalan, jangan memancing pandangan orang. Firman Allah:
“..dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan”(An-Nur:31)
Hendaklah mencontoh wanita yang diidentifikasikan oleh Allah dengan firman-Nya:
“Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan kemalu-maluan” (Al-Qashash: 25)

c. Dalam gerak, jangan berjingkrak atau berlenggak-lenggok, seperti yang disebut dalam hadits:
“(Yaitu) wanita-wanita yang menyimpang dari ketaatan dan menjadikan hati laki-laki cenderung kepada kerusakan (kemaksiatan)” (HR Ahmad dan Muslim).
Jangan sampai bertabarruj (menampakkan aurat), sebagaimana yang dilakukan wanita-wanita jahiliyah tempo dulu ataupun jahiliyah modern.

4. Menjauhkan diri dari bau-bauan yang harum dan warna-warna perhiasan yang seharusnya dipakai di rumah, bukan di jalan dan di dalam pertemuan-pertemuan dengan kaum laki-laki.

5. Jangan berduaan (laki-laki dengan perempuan) tanpa disertai mahram. Banyak hadits sahih yang melarang hal itu seraya mengatakan, “karena ketiga adalah setan.”

Jangan berduaan sekalipun dengan kerabat suami atau istri. Sehubungan dengan ini, terdapat hadits yang berbunyi:
“Jangan kamu masuk ke tempat wanita. Mereka (sahabat) bertanya, Bagaimana dengan ipar wanita? Beliau menjawab, Ipar wanita itu membahayakan. (HR Bukhari).
Maksudnya, berduaan dengan kerabat suami atau istri dapat menyebabkan kebinasaan, karena bisa jadi mereka duduk berlama-lama sehingga menimbulkan fitnah.

6. Pertemuan itu sebatas keperluan yang dikehendaki untuk bekerja sama, tidak berlebih-lebihan yang dapat mengeluarkan wanita dari naluri kewanitaannya, menimbulkan fitnah, atau melalaikannya dari kewajiban sucinya mengurus rumah tangga dan mendidik anak-anaknya (dikutip dari pendapat Qaradhaway dalam bukunya: Fatwa-fatwa Kontemporer, jilid 2, Karangan DR Yusuf Qardhawi, penerbit: PT Gema Insani Press, tahun 1995, hal 381-395).

Lalu, bagaimana untuk mereka yang akan berencana untuk melanjutkan hubungannya ke arah pernikahan? Apakah ada keistimewaan atau dispensasi bagi pria dan wanita tersebut? Jawabannya, sama saja. Syarat-syarat tersebut di atas tetap berlaku pada keduanya, meskipun keduanya berencana untuk melanjutkan hubungan mereka ke arah sebuah pernikahan. Tidak ada dispensasi atau keringanan, malahan, ada sebuah penekanan pada pertimbangan dan tuntunan tambahan bagi keduanya agar lebih berhati-hati, yaitu:

“Katakanlah kepada orang laki-laki yuang beriman, Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya. Yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada wanita yang beriman, Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya.” (An Nur :30-31)

Allah menjadikan mata sebagai cermin hati. Jika seseorang menahan pandangan matanya, berarti dia menahan syahwat dan keinginan hati. Jika dia mengumbar pandangan matanya, berarti dia mengumbar syahwat hatinya. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa yang dilarang dengan tiada keraguan lagi dalam perkara menjaga pandangan adalah melihat dengan menikmati dan bersyahwat, karena ini merupakan pintu bahaya dan penyulut api. Sebab itu, ada ungkapan, “memandang merupakan pengantar perzinahan”. Sebagaimana yang dikatakan oleh Syauki ihwal memandang yang dilarang ini, yakni “..memandang (berpandangan) lalu tersenyum, lantas mengucapkan salam, lalu bercakap-cakap, kemudian berjanji, akhirnya bertemu”. (kutipan dari Ibnu Qayyim, Taman Orang-orang Yang Jatuh Hati.).

“Sesungguhnya Allah telah menetapkan atas diri anak keturunan Adam bagiannya dari zina. Dia mengetahui yang demikian tanpa dipungkiri. Mata itu bisa berzina dan zinanya adalah pandangan. Lidah itu bisa berzina dan zinanya adalah perkataan. Kaki itu bisa berzina dan zinanya adalah anyaman langkah. Tangan itu bisa berzina dan zinanya adalah tangkapan yang keras. Hati itu bisa berkeinginan dan berangan-angan. Sedangkan kemaluan membenarkan yang demikian itu atau mendustakannya.”(Diriwayatkan Bukhari-Muslim, An Nasa’iy dan Abu Daud).

Mengapa hal tersebut di atas diberi penekanan pada mereka yang berencana untuk melanjutkan hubungannya ke arah pernikahan (atau dalam istilah pranikah)? Karena, pada keduanya mulai tumbuh sebuah perasaan kecenderungan (baca=tertarik) antara satu sama lain dan mulai ancang-ancang dengan impian untuk membangun hari esok bersama-sama. Padahal, meski bagaimanapun juga, apa yang terjadi di hari esok itu tetap merupakan rahasia yang tabirnya tidak akan diketahui oleh manusia. Allah-lah yang Maha Mengetahui apa yang akan terjadi di hari esok. Manusia boleh saja berencana tapi Allah jua yang menentukan. Artinya, selama hubungan itu belum diikat dalam sebuah hubungan yang halal (pernikahan) maka terlarang bagi pasangan pria dan wanita tersebut melakukan hal-hal yang terlarang (baca = zina), dan atau yang mendekati yang terlarang, karena mendekati itu lebih banyak celah untuk menjerumuskan. Mendekati itu adalah langkah awal dari lahirnya sebuah kata maaf atas sebuah kesalahan kecil yang ringan dimana dari kecil tanpa terasa akan membesar dan menggiring pada sikap permisif seseorang untuk pada akhirnya melakukan hal yang terlarang, dan biasanya selanjutnya diiringi dengan logika yang berusaha mencari pembenaran atas sikap tersebut. (Hmm.. iya kalau jadi, kalau nggak? Iya kalau sempat bertobat, kalau nggak sempat? Iya kalau logikanya bener, kalau ternyata ngawur dan sebenarnya itu hanya tipu muslihat syaithan belaka yang memang selalu berusaha memperlihatkan kebaikan (untuk menutupi) dari sebuah kekejian gimana?) Yah.. mungkin bisa dikatakan, saat-saat ini kita sedang dilatih untuk tetap bersabar. Sabar dalam menahan hawa nafsu agar tidak keluar dari jalan yang diridhai Allah, sabar dalam membina hubungan agar senantiasa masih dalam jalur yang sesuai dengan syariat Islam, dan sabar dalam mengendalikan diri agar tetap dapat masuk golongan orang yang selamat.

“Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu.” (qs Al Baqarah: 253)

Lalu bagaimana dengan proses pranikah dalam memperoleh pasangan yang sesuai dengan syariat Islam? Pernikahan itu adalah sebuah ibadah yang nilainya sama dengan setengah dien. Sebagai sebuah ibadah, tentu tidak bisa dilepaskan dari hakekat tawakkal pada Allah. Karena, ibadah itu sendiri adalah penghambaan, yang merupakan tujuan utama Allah menciptakan hamba-hamba-Nya, sebagai perintah, cinta dan ridhaNya. Sebagaimana firman-Nya:

“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahku.”(Qs Adz-Dzariyat: 56)

Artinya, berlaku di dalamnya penyatuan kesempurnaan cinta kepada Allah dan kepatuhan kepada-Nya. Maka, ibadah hanya sah jika ditujukan kepada Allah, meskipun manfaatnya bagi hamba (karena Allah Maha Kaya atas sekalian alam). Dalam hal ini, memperoleh calon pasangan hidup (calon istri atau calon suami) melalui perantara Murrobi, atau melalui perantara orang tua, atau melalui perantara comblang lain seperti teman, sahabat, club-club media pencari jodoh islami, internet atau media cetak, atau mencari sendiri, boleh-boleh saja selama ditujukan untuk mencari keridhaan Allah dan dilakukan dalam rangka beribadah kepada Allah (yaitu selalu mengkedepankan segala sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah, seperti selalu taat untuk meninggalkan laranganNya dan menjalankan perintahNya, mengerjakan yang dicintaiNya dan menjauhkan diri dari apa yang dibenciNya). Allah menyukai dan meridhai sesuatu yang ditujukan untuk mencapai ridhaNya serta perantara yang baik dan halal yang digunakan oleh segala sesuatu tersebut untuk tujuan memperoleh keridhaanNya.

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (Qs Al Maidah: 87)

“Dan apabila mereka melakukan perbuatan keji, mereka berkata, Kami mendapati nenek moyang kami mengerjakan yang demikian itu, dan Allah menyuruh kami mengerjakannya. Katakanlah, sesungguhnya Allah tidak menyuruh (mengerjakan) perbuatan yang keji.” (Qs Al A’raf: 28)

“Yang halal itu jelas dan yang haram juga jelas, dan antara keduanya ada hal-hal yang syubhat (diragukan) yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia. Barangsiapa menghindari yang syubhat, maka dia telah membebaskan diri bagi kehormatan dan agamanya. Dan barangsiapa terjerumus dalam syubhat, maka dia telah terjerumus ke dalam yang haram, seperti seorang penggembala yang menggembala di sekitar batas terlarang, dikhawatirkan akan terjerumus ke dalamnya. Ketahuilah! Sesungguhnya setiap tuan memiliki batas larangan dan batas larangan Allah adalah segala sesuatu yang diharamkanNya. Dan ketahuilah! Sesungguhnya di dalam tubuh ada segumpal daging, jika ia baik, maka baik pula seluruh anggota tubhunya, dan jika ia rusak, maka rusaklah seluruh anggota tubuhnya. Dan ketahuilah! Segumpal daging itu ialah hati.” (Diriwayatkan oleh Nu’man bin Basyir, dari HR Bukhari).

Diriwayatkan pula oleh Abu Hurairah bahwa Nabi saw bersabda, “Hati itu adalah raja, sedangkan anggota tubuh adalah para tentaranya. Jika raja itu baik, maka baik pula para tentaranya, dan jika raja itu buruk, maka buruk pula para tentaranya.” (HR Al Baihaqi)

Nah.. sekarang selanjutnya. Berpulang pada kamu sendiri dengan pertanyaanmu perihal masalah hubungan pranikah. Ingin mencari keridhaan Allah dengan menjadikan segala sesuatu yang kamu lakukan sebagai bagian dari ibadah atau ingin mencari pembenaran atas sesuatu yang ingin (atau sedang) kamu lakukan dan kamu ragu apakah itu termasuk bagian yang putih, hitam atau abu-abu? Tanyalah hatimu sendiri.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Ade Anita (maaf jika ada kata-kata yang tidak berkenan)

Rekomendasi Bahan bacaan:

- Ibnu Taimiyah, â€Å“Mengenal Gerak Gerik Kalbu”, penerbit: Pustaka Hidayah.
- Yusuf Qardhawy, â€Å“Fatwa-fatwa Kontemporer jilid 2”, penerbit: Gema Insani Press.

Tidak ada komentar