Aku hanya mengunjungi makam ayah dan ibuku ketika hari raya Idul Fitri saja.
Bukan. Bukan karena aku sombong, atau sibuk, atau melupakan mereka.
Tidak. Sama sekali tidak. Tapi karena aku selalu ingat bahwa sebenarnya, dalam syariat Islam, seorang perempuan itu tidak boleh terlalu sering mengunjungi makam dan apalagi sampai menumpahkan emosinya di sana. Itulah alasanku amat sangat jarang mengunjungi makam kedua orang tuaku.
Meski demikian, rasa rindu di hatiku terus hadir.
Mencengkeram, memeluk erat.
Sudah terlalu sering air mataku tumpah karena mengenang mereka berdua.
Ini tulisanku tentang kerinduan yang aku miliki ketika mengenang ibuku yang sudah meninggal dunia: Assalamu'alaikum ibu (2)
Kembali pada ceritaku.
Beberapa tahun setelah ibuku meninggal dunia, sepatu putriku terlepas bagian bawah solnya. Maka, aku pun segera menunggu tukang sol sepatu lewat di depan rumah. Ketika itu, ada seorang tukang sol sepatu yang sudah tua usianya. Maka, aku pun memanggil dia. Tukang sol sepatu ini adalah langganan keluargaku ketika aku belum menikah dulu.
Tukang sol memperbaiki sepatu putriku. Setelah selesai aku membayarnya dan tukang sol sepatu pergi.
Tidak ada hal yang istimewa terjadi saat itu. Semua biasa saja. Hingga keesokan harinya bel rumahku terdengar berdentang nyaring. Aku segera berlari ke depan rumah dan disana aku mendapati tukang sol sedang berdiri terpaku di luar pagar.
"Eh.. mang. Ada apa? Ada yang tertinggalkah?" Wajah tukang sol terlihat sedih. Dia langsung menurunkan panggulan kayu untuk membawa kotak perlengkapan sol sepatunya di atas aspal.
"Nggak neng. Mang mau tanya saja. Kemarin, ada yang bertanya sama mang, mang dari mana. Mang jawab, habis benerin sepatu di rumah eneng. Terus, yang nanya sama Mang ngasih tahu Mang bahwa ibu eneng sudah meninggal dunia. Mang nggak percaya. Makanya tadi Mang ke rumah eneng yang lama. Tapi sepi disana. Nggak berani atuh Mang nanya. Jadi mang kesini saja. Mau nanya kepastian. Bener neng, ibu sudah meninggal?" Sambil bertanya, Mang sol menurunkan topinya. Dan meletakkan topi itu di depan dadanya.
"Iya Mang. Ibu sudah meninggal dunia pada bulan april 2003 lalu."
"Innalilahi wa innailaihi rajiun. Duh, ternyata benar ya Neng ibu sudah meninggal. Padahal Mang berharap itu kabar nggak benar. Mana sudah lama lagi meninggalnya." Lalu, si Mang Sol menunduk dan raut wajahnya terlihat amat sedih.
"Duh, maaf atuh Neng. Tapi Mang beneran sedih dengar kabar ibu sudah meninggal. Ibu itu baik sekali. Jika Mang dipanggil buat benarin sepatu atau sendal, ibu pasti nawarin Mang makan dan minum. Kadang, makan nasi berikut lauk pauknya. Kadang suka ngasi kopi segelas sama kerupuk. Kadang ibu manggil meski tidak ada sepatu yang akan disol cuma buat ngasih makanan saja. Karena ibu itu cepat kasihan sama orang susah kayak Mang. Duh... Mang sedih. Ibu baik banget."
Aku bisa melihat si Mang ketika tertunduk diam-diam menghapus air matanya. Dengan wajah lesu, si Mang akhirnya berjalan ke arah masjid.
Beberapa hari kemudian, datang lagi tukang abu gosok dan tukang buah. Mereka mengebel rumah dan berdiri di luar pagar. Kembali menanyakan hal yang sama tapi dengan tambahan yang baru.
"Neng. Kemarin waktu di masjid lagi istirahat. Itu mang sol sepatu ngajakin shalat jenazah ghaib buat ibu neng. Ibu sudah meninggal lama ya neng?"
"Iya mang, sudah meninggal bulan april 2003 lalu."
"Iya neng. Kami ramai-ramai melakukan shalat jenazah ghaib buat ibu neng. Jujur saja neng. Ibu itu orangnya baik sekali. Beli nggak beli tapi suka nawarin kopi atau makanan buat kami. Terutama kalau ibu lihat jualan kami sampai sore belum banyak yang laku. Duh neng, semoga saja kebaikan yang ibu pernah lakukan buat kami-kami ini terus menjadi amal pahala tersendiri ya neng. Saya jadi saksi betapa baik ibu neng tersebut."
Jujur saja.
Aku banyak belajar dari ibuku bahkan meski ibuku sudah meninggal dunia. Begitu banyak orang yang mengenal beliau, ketika mengetahui bahwa beliau sudah tiada maka yang pertama kali dikenal adalah kebaikan yang pernah ibu lakukan.
Ada 3 hal yang pahalanya terus mengalir dan sampai pada kita meski kita sudah meninggal dunia nanti. Yaitu doa anak-anak yang sholeh/sholehah, ilmu yang kita ajarkan, dan amat jariah yang sudah kita lakukan di muka bumi.
Banyak orang yang berlomba-lomba membangun masjid. Menyumbangkan dana untuk pembangunan aneka fasilitas dan sebagainya. Tapi, ketika aku bertemu dengan orang-orang yang pernah mengenal ibuku; aku berpikir.
Tentu saja aku tidak bisa menyamai sepak terjang ibuku dalam berbuat baik dan ikhlas.Sesungguhnya, yang harus kita lakukan itu adalah melakukan kebaikan dengan ikhlas sepenuh hati. Karena sesuatu yang dilakukan ikhlas dari hati, akan menyentuh hati dan terkenang selamanya.
Dari sinilah kelak akan mengalir doa-doa kebaikan yang juga akan dikirimkan dengan ikhlas sepenuh hati bagi kita, meski kita sudah meninggal dunia kelak.
Tapi tetap harus berusaha, karena itulah receh demi receh amalan yang bisa aku kumpulkan menjelang kehidupan akherat yang akan kita hadapi setelah kita meninggal dunia nanti.
Ini tulisanku tentang ibu juga: Ibuku, perempuan yang mengajarkan aku tentang pahala kebaikan.
Tidak ada komentar