Coba deh sebutin benda apa yang harus dibawa jika ingin bepergian. Selain dompet berisi uang tentunya. Rata-rata, jawabnya mungkin adalah handphone.
Tidak bisa dipungkiri memang. Handphone sudah menjadi bagian dari gaya hidup seseorang di jaman sekarang ini. Bagian dari lifestyle. Itu sebabnya, jika ada orang yang sama sekali tidak punya handphone, rasanya tuh... uniek banget.
Kebetulan, karena aku termasuk manusia yang mengalami masa-masa perubahan mulai dari handphone belum dikenal secara luas seperti sekarang, jadi aku sempat mengikuti perkembangan handphone.
Pada masanya, handphone itu adalah benda kecil yang bisa dianggap sebagai tolok ukur seberapa keren seseorang.
Eh... apa sampai sekarang ya tolok ukuran ini berlaku?
Hmm. Nggak juga sih.
Aku pernah nih punya kejadian nggak enak berkaitan dengan handphone.
Jadi, suatu hari yang panas ceritanya. Pulang dari pasar, aku naik bajaj. Sebelum bajaj melaju, aku terlibat acara tawar-menawar dulu dengan si abang tukang bajaj. Hingga akhirnya sepakat di harga Rp20.000 (dua puluh ribu rupiah). Yaitu harga dengan jarak dari pasar ke rumahku. Biasanya aku memang membayar dengan harga segini. Tapi, meski sudah terbiasa tetap saja sebelum naik harus melakukan adegan tawar-menawar dulu.
Aku dan putriku serta segenap belanjaanku pun akhirnya naik bajaj.
Bajaj melaju. Tidak lama, tiba-tiba bajaj belok ke arah yang berlawanan dengan arah rumahku. Tentu saja aku protes.
"Eh... eh.. bang. Rumah saya bukan ke arah sana."
Si abang kaget, dan tanpa mengurangi kecepatan berteriak bertanya padaku yang duduk di kursi belakang.
"Iya lewat sini bu. Lebih cepat." Aku tentu saja menolak anggapannya. Arah yang dia tuju benar-benar berlawanan arah dengan rumahku.
"Nggak bang, bukan lewat sini."
Akhirnya supir bajaj pun menghentikan bajajnya dengan wajah kesal karena aku terus membantah pendapat dan keputusannya.
"Emangnya ibu mau kemana sih?" Aku menyebut nama jalan rumahku.
"Loh? Kok berubah? Tadi katanya mau ke ..." si Abang tukang bajaj menyebut nama tempat lain yang berbeda sekali dengan daerah rumahku. Persamaannya hanya di kata "utara" saja. Tentu saja aku tidak merasa mengatakan seperti itu. Menurutku, si abang salah dengar. Si abang, yang masih kesal karena ternyata dia salah dengar, mencoba untuk mengubah harga yang sudah disepakati.
"Bu, maaf aja ya. Jika ke daerah itu, harganya tidak segitu bu. Dua kali lipat. Saya minta lima puluh ribu."
"Hah? Mahal amat? Masa jauh lebih mahal dari taksi?"
"Ya memang segitu bu harganya. Saya tuh sudah antri nunggu penumpang selama dua jam loh bu, jadi ada tambahan harga uang lelahnya." (dalam hati: "Itu kan problem lo, bang. Ngapain gue yang kena charge coba?")
Aku menolak harga tinggi yang ditetapkan oleh si abang. Si abang meradang. Dia langsung bersungut-sungut, Ngomel dan menggerutu sendirian.
"Jadi gimana ini urusannya bu? Saya sudah terlanjur keluar dari antrian nunggu penumpang buat antar ibu terus ibu ternyata nggak mau bayar harga yang sesuai dengan jarak yang seharusnya."
"Eh bang. Bukannya saya nggak mau. Tapi kan abang yang salah dengar. Daritadi juga saya udah bilang saya mau kemana. Malah saya sampai kasih petunjuk, rumah saya di belakang kantor pos, arah masjid Ijo. Udah jelas banget kan. Di daerah yang abang maksud, mana ada masjid ijo?"
Si abang menatapku dengan garang. Kesal. Rahangnya mengeras kaku. Duh. Aku deg-degan. Aneka cerita tentang penjahat yang membantai penumpang kendaraan umum segera hadir di kepalaku.
Aku mengusir pikiran yang berkembang karena takut tersebut. Dan bertahan sambil pura-pura berani.
Akhirnya, si abang tukang bajaj pun bertanya dengan suara yang berat (seperti sedang mengancam).
"Jadi gimana nih urusannya bu?"
"Ya sudah, saya batal saja naik bajaj abang. Saya turun disini saja." Aku segera menggamit tangan anakku dan mengangkut semua barang belanjaanku. Dalam hati, aku sebenarnya takut si tukang bajaj yang kesal membawa lari anakku jika aku tidak segera menurunkan anakku terlebih dahulu.
Setelah semua berada di luar bajaj, aku segera membuka dompet dan mengeluarkan uang Rp5000 (lima ribu rupiah). Uang tersebut aku sodorkan pada si abang tukang bajaj.
Tapi, jangankan menerima uang yang aku berikan, menbyentuhnya saja tidak itu si abang.
"Bu, saya nggak butuh uang lima ribu. Harga yang kita sepakati tadi kan dua puluh ribu ya."
"Loh, gimana sih. Dua puluh ribu itu kan jika abang mengantar saya sampai ke rumah. Ini masih jauh banget dari rumah saya. Lagian kita baru jalan sebentar banget tadi."
"Tapi ibu mikir dong. Saya kudu antri dua jam buat dapat penumpang dan masa ibu cuma bayar lima ribu aja?"
"Saya bayar karena abang nggak mengantar saya sampai rumah. Tapi malah menurunkan saya di jalan. Ini ganti rugi dari saya." Bola mata si abang tukang bajaj membelalak galak.
"Bu, uang lima ribu ibu tuh nggak ada artinya buat saya. Saya minta dua puluh ribu."
"Nggak mau. Dua puluh itu jika sampai rumah. Ini ganti rugi karena sudah jalan sebentar banget."
"Jangan menghina saya ya bu. Uang lima ribu itu terlalu kecil. Jangan mentang-mentang saya tukang bajaj lalu ibu pikir saya nggak punya banyak duit. Bahkan, handphone saya saja lebih canggih daripada handphone yang ibu punya sekarang. Saya cuma minta hak saya."
Saat itulah aku melirik handphone yang dia pamerkan di depan wajahku. Sebuah handphone merek terkenal yang saat ini dipajang di toko handpone dengan harga di atas sepuluh juta rupiah.
Huff.
Kapan si tukang bajaj merhatiin handphoneku coba? Lalu dia merasa lebih keren gitu cuma gara-gara punya handphone dengan merek terkenal yang dibundling dengan harga belasan juta rupiah itu?
Itu kisah tidak enakku tentang handphone yang aku miliki.
Akhirnya, aku tetap tidak naik bajaj si tukang bajaj. Ganti bajaj lain. Dan si tukang bajaj, tetap menolak uang ganti rugi dariku yang sudah membatalkan naik bajaj dia. Dan si tukang bajaj pergi sambil menggerutu marah-marah sendiri.
Duh. Sampai sebegitunya ya rasa percaya diri seseorang tumbuh karena merasa mampu memiliki handphone.
Pemakaian handphone sekarang juga bisa buat macam-macam. Bahkan termasuk untuk hal-hal yang amat sangat tidak masuk di akal: selfi di kuburan orang terkenal seperti gambar di bawah ini.
Para penggemar Olga Syahputra Rahimahullah, sibuk berselfi ria di makam Olga. Kabarnya, makam Olga sampai turun tanahnya akibat para penggemar yang sibuk berselfi di makam. |
Wah.
Pemakaian handphone sudah berkembang banget penggunaannya. Tidak lagi hanya sebagai alat komunikasi semata.
Dulu, waktu handphone baru pertama kali muncul di Indonesia, yaitu sekitar pertengahan tahun 90-an; di keluargaku adikku lah yang pertama kali memilikinya. Tapi, karena belum banyak yang menggunakan handphone di tengah masyarakat jadi kami pun menggunakannya sekedar untuk gaya-gayaan saja. Juga, untuk alasan mengatasi rasa malas.
Enaknya punya handphone itu jaman dulu adalah, kita bisa menyuruh orang lain melakukan sesuatu dengan cara menelepon mereka.
Rumah orang tuaku bertingkat. Jika sudah ada di kamar loteng atas, malas rasanya turun ke bawah untuk mengambil sesuatu. Jadilah kami sering meminjam handphone adikku untuk meminta orang yang ada di bawah mengambil sesuatu.
Angkat telepon, lalu telepon rumah sendiri. Hanya untuk mengatakan, "Tolong masakin air panas buat mandi dong."
Jadi tidak perlu teriak dari lantai atas ke bawah untuk meminta tolong.
Atau untuk mengetahui situasi terkini di lantai bawah. "Ayah ibu sudah pada tidur belum?"
Dulu, rasanya keren sekali jika bisa menggunakan handphone untuk kesenangan pribadi seperti itu.
Jadi, jika ditanya pingin punya handphone apa waktu aku masih muda dahulu? Apa saja deh. Dulu, model handphone nggak banyak. Jadi dikasih model apa saja mau.
Aku mengalami mulai dari model handphone yang besar dan berat dan berantena. Dan pernah sekali antena handphoneku patah karena handphone diselipkan di dalam kantong.
Itu sebabnya, pernah ada masa dimana keren itu jika bisa punya handphone yang mungil. Makin mungil makin terlihat keren. Itu sebabnya ada model handphone clampshell alias handphone lipat. Dimana ketika dalam posisi terlipat, besar handphone bisa selebar kotak korek api.
Jadilah aku mengalami masa gonta-ganti model handphone.
Seiring dengan makin canggihnya aplikasi bawaan handphone, makin beragam juga accesoris pendukung handphone.
Ada yang pernah mengalami masa dimana kita menggantung handphone seperti sedang memakai kalung saja tidak? Dulu, semua model handphone selalu diselipkan lubang kecil untuk tempat menyelipkan tali agar handphone bisa dikalungi oleh pemiliknya.
Lalu ketika film aksi James Bond dan Mission Imposible muncul di bioskop, model handphone pun ikut menjadi trend sesuai dengan film yang disponsorinya. Pokoknya, jika ada orang yang punya handphone model communicator kemungkinan besar dia orang kaya. Hahahaha.... Karena handphone communicator itu adalah handphone mahal jaman itu.
Lalu, keberadaan handphone kian lama kian mengambil tempat spesial sebagai bagian dari gaya hidup seseorang. Seiring dengan makin beragamnya aplikasi yang disematkan dalam handphone tersebut.
Lalu, mulai muncul aneka provider yang menawarkan layanan untuk berkomunikasi dan berselancar. Dan karena jika kita berlangganan pada satu provider akan dikenakan biaya roaming jika menelepon ke nomor provider lain, maka menjadi trend jika seseorang punya lebih dari satu handphone. Semata agar terhindar dari biaya roaming.
Untungnya, aku termasuk yang setia dengan salah satu provider. Itu sebabnya nomorku angkanya tidak banyak. Karena masih nomor lama. Apalagi nomornya berurutan dengan nomor suamiku. Jadi mudah diingat oleh keluarga besarku.
Jaman sekarang sih, telepon sudah canggih.
Keren itu jika handphone yang dimiliki bisa melakukan banyak hal.
Bisa mendengarkan musik, berselancar internet, nonton film, foto selfi, foto macam-macam, baterenya awet dan sebagainya.
Mungkin, seperti handphone Zenfone 2 Laser ZE550KL di video ini ya. Yang sudah terbukti memang handphone yang mumpuni banget.
Hmm...
Aku dan suamiku termasuk pasangan yang menikmati kecanggihan handphone yang bermunculan. Mungkin karena aku dan suami mengalami masa mulai dari belum ada handphone hingga handphone terus berkembang ya. Jadi kami ikut penasaran untuk mencoba seberapa nyaman dan canggih sih fitur yang ditawarkan oleh handphone-handphone tersebut.
Lagipula, handphone itu bisa menghubungkan yang jauh agar menjadi terasa dekat. Dan kian mengakrabkan orang-orang terdekat yang kian sibuk dan dibatasi oleh jarak dan waktu.
Jadi, handphone buatku bukan patokan untuk tampil keren. Toh, tetap saja lebih keren tukang bajaj yang menolak uang lima ribuku karena merasa handphone dia jauh lebih mahal dari handphone yang aku miliki. Handphone itu bagian dari kebutuhan berkonunikasi dan eksistensi.
Tulisan ini diikut sertakan dalam: 'Giveaway Aku dan Kamera Ponsel by uniekkaswarganti.com'.
Been there done that mba hehehe.. miris juga ya kalau pikir keren ngg keren karena gadget yang dimiliki :(. Tapi memang begitulaaah adanya... Btw, jadi pengen jitak si abang bajaj :)
BalasHapusbtul kata mbak :D, zaman sekarang, tampil dengan smartphone canggih itu bisa dibilang keren :D hehe, walau disetiap zaman emang trus ada prubahan, yah ngikut-ikut aja sih. mungkin tahun depan udah zamannya smartwatch lgi, hehe.
BalasHapusbtw, nice artikelnya mbak. bisa diangkat jdi cerpen, hehe.
salam kenal yah :D
Hape zaman skrg canggih2 ya langsung lirik hape jadulku :(
BalasHapusAduuh, ikut emosi sama tukang bajaj. Btw, aku jg mengalami masa2 pake hp berantena, ganti ke yg lbh kecil, trus poliponik trus internetan, sampe blekberi dan skrg android. Hihi
BalasHapusSaya punya HP tahun 2004 itupun setelah jadi TKw hong Kong Mbak. Karena tahun 90an hanya yang berduit aja yang bisa beli HP :)
BalasHapusWaduh, ngeri bener si abng tukang bajaj.
BalasHapusMba Ade, berani banget ya, saya dah jiper kali.
Btw, henpon emang tak hanya memudahkan komunikasi tapi juga mengupah tampilan seseorang jadi lebih kekinian.
Hp yang pertama kali kulihat adalah kualitas kamera hihi, biar bisa jepret-jepret sepuasnya.
BalasHapusAku dulu sampe koleksi tali hape, demi ngalungin hape dan keliatan tajir. beli di stasiun UI, 10ribu xD
BalasHapuswuiiihh keren bingit postingannya mbakk...
BalasHapusNiat banget di makam juga masih poto2an. nggak kasihan sama yg ninggal.
kalau saat ini hp android telah merajaai pasaran
BalasHapusSaya punya HP tahun 2004 itupun setelah jadi TKw hong Kong Mbak. Karena tahun 90an hanya yang berduit aja yang bisa beli HP :)
BalasHapus